Rabu, 04 Mei 2011

Pesan

“KETIKA ORANG LAIN MEMBUTUHKAN PERTOLONGAN KITA, MAKA DIA TELAH MENGGADAIKAN SEPARUH HARGA DIRINYA, KALAU KITA SAMPAI MENOLAKNYA, MAKA HILANG SEMUA HARGA DIRINYA” (Prof. Dr. Abdul Muin Salim: Mantan Rektor IAIN Alauddian dan Universitas Indonesia Timur - Makassar)

Minggu, 01 Mei 2011

LAW AS A TOOL OF SOCIAL CONTROL DAN PENERAPANNYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA (Studi Analisis Terhadap Kasus Pembunuhan Munir)

Oleh
>Mukhtar Alshodiq, S.Ag., MH
A.    Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hal yang baru terkuak secara bebas dan transparan ke permukaan di bumi pertiwi Indonesia, tetapi tidak berarti bahwa masalah ini baru muncul. Namun selama dekade Orde Lama dan Orde Baru hal-hal yang berbau tuntutan terhadap HAM selalu dibungkam oleh rezim pemerintahan dengan berbagai dalih (demi stabilitas politik dan pembangunan) untuk melegitimasi tindakan aparat, seperti karena separatis atau karena tindakan yang dianggap subversif. Maka tak ayal pula, rezim pun melakukan berbagai tindakan kekerasan hingga menghilangkan nyawa warganegaranya sendiri, baik secara massal maupun pribadi. Misalnya; kasus pembantaian massal tahun 1965,[1] kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh,[2] kasus Tanjung Priok,[3] kasus Marsinah,[4] kasus Talangsari,[5] dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya di Indonesia.
Pengungkitan masalah pelanggaran HAM tersebut tidak serta merta mencuat ke permukaan, melainkan lahir dari pantauan para aktivis yang memiliki kepedulian dan keprihatinan yang tinggi akan nasib sesama anak bangsa, yang ditindas secara sewenang-wenang oleh aparat pemerintah yang berkuasa saat itu, tanpa melalui proses hukum. Mereka pun tak jarang mendapatkan perlakuan yang sama bahkan lebih sadis, sebut saja ketika para aktivis diculik yang hingga saat ini nasibnya hilang begitu saja ditelang zaman, belum lagi yang dijobloskan ke dalam penjara tanpa proses hukum. Salah satu aktivis yang konsern mengabdikan dirinya pada perjuangan Hak Asasi Manusia tersebut hingga akhir hayatnya adalah Munir Thalib, SH., yang selama ini dikenal gigih memperjuangkan kepentingan kaum tertindas.
Munir meninggal dunia pada tanggal 7 September 2004 di dalam Pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA-974 dari Jakarta tujuan Amsterdam, Belanda, transit di Bandara Changi Singapura.[6] Berdasarkan hasil autopsi (visum et repertum) jasad dan toksikologi dari ahli tim forensik Nederlands Forensich Institute (NFI) mengatakan bahwa dalam tubuh Munir ditemukan kandungan zat beracun arsenik dalam jumlah yang mematikan.[7]
Kematian Munir yang misterius inilah yang melahirkan beraneka hipotesis dari banyak kalangan, terutama para aktivis HAM, pemerhati politik dan hukum di Indonesia, bahwa kematian Munir akibat karena diracun oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Bila demikian, maka Munir adalah korban pola pelanggaran HAM baru, yakni pembunuhan yang dilakukan dengan cara-cara tidak manusiawi, sistematis, dan bersifat rahasia dengan melibatkan jaringan yang rapi dan permanen. Dikatakan pola pelanggaran HAM baru, karena kematian Munir tidak menggunakan kekerasan dengan alat-alat persenjataan yang kasat mata, sebagaimana lazimnya pola pelanggaran HAM selama ini. Sementara yang menimpa Munir adalah dengan racun menggunakan zat kimia arsenik.[8]
Memperkuat hipotesis tersebut dihubungkan dengan kegiatan Munir selama hidupnya, yang selalu bersinggungan dengan bijakan militer, misalnya menjadi pembela para aktivis yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan aparat di masa Orde Baru dengan alasan subversif, dan takkala menariknya adalah ketika Badan Intelijen Negara (BIN) mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen Negara yang ditanggapi secara serius oleh Munir dan NGO lainnya, bahwa ada pasal-pasal yang berpotensi mencederai proses transformasi demokrasi dan politik di Indonesia, seperti pasal tentang diperbolehkannya penyadapan telepon, pasal penangkapan terhadap seseorang yang dituduh sebagai separatis dan teroris dalam jangka waktu tertentu untuk kepentingan pengembangan selanjutnya maupun pasal-pasal lainnya.[9]
Menurut Choirul Anam[10] bahwa ada 4 alasan yang diduga menjadi penyebab kematian Munir, yaitu: Pertama, Munir cukup kritis terhadap RUU BIN sebagai upaya mereformasi BIN yang selama ini melibatkan birokrat hingga ke tingkat RT/RW untuk aktivitasnya. Kedua, Munir juga kritis terhadap rencana pembentukan BIN di daerah-daerah. Ketiga, Munir protes atas keterlibatan AM. Hendropriyono yang masih aktif sebagai tim pemenangan Megawati Soekarnoputri [pada Pemilu 2004], dan keempat, kasus Talangsari yang melibatkan Garuda Hitam bentukan AM. Hendropriyono.
Menindaklanjuti kasus tersebut, pihak keluarga dan berbagai NGO menuntut pemerintah mengusut tuntas pelaku pembunuhan Munir, hingga dibentuknya Tim Pencari Fakta (TPF) oleh Presiden pada 23 Desember 2004,[11] dimana anggotanya melibatkan kalangan masyarakat sipil dan berfungsi membantu Polri dalam menyelidiki kasus terbunuhnya Munir, diketuai oleh Bridjen (Pol) Marsudi Hanafi. Sekitar dua (2) bulan menjalankan tugasnya, TPF melaporkan hasilnya kepada Presiden bahwa TPF menemukan adanya indikasi kejahatan konspiratif dan bukan perorangan, di mana di dalamnya terlibat oknum PT. Garuda Indonesia dan pejabat direksi PT. Garuda Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung. Dari hasil laporan tersebut, kemudian ditindaklanjuti oleh Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dengan memeriksa Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai Pilot Garuda Indonesia. Dalam pemeriksaan itu diindikasikan bahwa Pollycarpus adalah anggota BIN, yang kemungkinan besar ada unsur keterlibatan lembaga negara tersebut atas wafatnya Munir, namun semuanya itu dibantah oleh Kepala BIN, Syamsir Siregar. Maka pada 18 Maret 2005, Pollycarpus resmi dijadikan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan Mabes Polri.[12]
Pada 28 Maret 2005, Presiden memperpanjang masa kerja TPF hingga 23 Juni 2005.[13] Dalam masa itu ditemukan 5 tersangka berikutnya, masing-masing adalah karyawan PT. Garuda Indonesia yang diperiksa oleh penyidik Direktorat Kriminal Umum dan Transnasional Polri, yaitu Indra Setiawan (mantan Dirut Garuda), Ramelgia Anwar (Vice-President Security Aviation Garuda), Rohainil Aini (Chief Secretary Pilot Airbus 330), Carmel Sembiring (Chief Pilot Airbus 330), dan Hermawan (Staf Jadwal Penerbangan Garuda). Sementara TPF terus mengusut pelaku utamanya dengan memeriksa para petinggi BIN, seperti Nurhadi Djazuli,[14] Suparto, Muchdi Purwopranjono,[15] dan AM. Hendropriyono[16] hingga berakhir masa tugasnya. Kemudian Presiden membentuk tim penyidik baru yang diketuai kembali oleh Bridjen (Pol) Marsudi Hanafi, yang beranggota 30 orang dari Badan Reserse Kriminal, Interpol Polri, dan Polda Metro Jaya hingga Pollycarpus menjadi tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, dan pada 29 Juli 2005 Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan 5 majelis hakim untuk menangani kasus Munir dengan tersangka Pollycarpus. Mereka adalah Cicut Sutiyarso (ketua), Sugito, Liliek Mulyadi, Agus Subroto, dan Ridwan Mansyur.[17]
Pada tanggal 9 Agustus 2005, Pengadilan untuk kasus Munir dengan terdakwa Pollycarpus mulai digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pollycarpus didakwa melalui Pasal 340 KUHP[18] jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP[19] dan Pasal 263 ayat (2) KUHP[20] jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, karena telah melakukan pembunuhan berencana dan diancam hukuman mati serta menggunakan surat palsu.[21] Motif Pollycarpus membunuh Munir, adalah demi menegakkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), karena Munir banyak mengkritik pemerintah. Namun dakwaan ini dipertanyakan banyak kalangan, karena tidak mengikuti temuan TPF yang menyatakan bahwa pembunuhan Munir sebagai kejahatan konspiratif.
Dengan dakwaan ini, maka Pollycarpus dianggap sebagai pelaku utama pembunuhan Munir dengan proses persidangan selama 26 kali, dan oleh Majelis Hakim dinyatakan bahwa Pollycarpus terbukti turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan pemalsuan dokumen, dengan hukuman penjara 14 tahun, dengan catatan bahwa tuntutan hukuman Penuntut Umum jika dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa yang terbukti tidak sendirian dan masih harus diselidiki lagi siapa dan siapa saja yang turut serta berperan di dalam peristiwa hilangnya jiwa korban Munir, tetapi Pollycarpus segera mengajukan banding dan menolak vonis. Tetapi pada 27 Maret 2007, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pun memvonis 14 tahun penjara bagi Pollycarpus dalam berkas 16/Pid/2006/PT. DKI.[22] Putusan ini sama persis dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 20 Desember 2005, lalu penasehat hukum Pollycarpus mengajukan memori kasasi ke MA. Pada tanggal 3 Oktober 2006, Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya menyatakan bahwa Pollycarpus tidak terbukti terlibat pembunuhan berencana terhadap Munir, dan Pollycarpus hanya terbukti bersalah menggunakan dokumen palsu dan divonis 2 tahun penjara. Pollycarpus pun bebas dari tahanan pada 25 Desember 2006 setelah mendapat remisi keagamaan.[23]
Dari vonis hukuman tersebut, pihak keluarga Munir tidak puas, maka kemudian dibentuklah Tim Pencari Fakta (TPF) baru untuk melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK), maka pada tanggal 29 Desember 2006 Polri dan Kejaksaan Agung yakin bahwa Pollycarpus terlibat pembunuhan Munir. Mereka berencana mengumpulkan bukti baru untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK). Salah satu bukti tersebut didapat dari penyidikan di AS, berupa hasil rekaman telepon Pollycarpus dan Muchdi PR.[24]
Pada tanggal 16 Agustus 2007 pun, Peninjauan Kembali (PK) digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam materi PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum disebutkan adanya bukti baru yang menunjukkan Pollycarpus terlibat dalam pembunuhan Munir. Bukti baru tersebut berupa kesaksian beberapa orang, termasuk salah satu agen BIN, Raden Muhammad Padma Anwar alias Ucok. Dalam materi PK itu pula dijelaskan adanya keterlibatan BIN dalam pembunuhan Munir.[25] Dan pada tanggal 20 Juni 2008, Muhdi PR (mantan Diputi V BIN) secara resmi dijadikan tersangka baru setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri.[26]
Dari rangkaian peristiwa tersebut, dapat dipahami bahwa begitu kuat dan sistemiknya pada satu sisi “lembaga negara” mengontrol aktivitas warganya yang dianggap berhaluan menentang kebijakan pemerintah, tanpa melihat kondisi objektif dan posisi sebenarnya yang dialami lembaga negara tersebut, untuk menerima dan merespon secara positif penilaian yang berbeda tersebut tanpa melalui kekerasan. Oleh karena itu, menarik dikaitkan dengan Indonesia yang sejak awal menyatakan dirinya sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) dan menganut asas “semua warganegara sama kedudukannya di depan hukum” bukan negara kekuasaan (machtstaat). Kalau demikian, maka negara harus berlandaskan atas hukum demi menjaga dan melindungi warganya (rechtsbescherming). Hal ini termaktub dalam Pancasila yang merupakan landasan utama (Staatsfundamenalnorm) yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warganegara, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Landasan ini terjabarkan dalam UUD 1945 sebagai aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz) yang memuat 16 bab[27] sebelum diamandemen, berisikan 41 pasal termasuk di dalamnya pasal-pasal aturan peralihan. Setelah diamandemen, maka UUD 1945 berubah dengan penambahan bukan saja pasalnya tetapi juga memuat bab-bab baru yang secara jelas dan gamblang.[28] Misalnya, tentang Hak Asasi Manusia, sebelum diamandemen hanya tercakup dalam pasal-pasal dan setelah diamandemen menjadi bab tersendiri.
Landasan yang termaktub dalam konstitusi ini, pada intinya menjunjung tinggi dan mengangkat harkat dan martabat warganegara setara dengan manusia lainnya di dunia, sesuai dengan kodrat yang ada sejak manusia itu lahir. Namun harus dipahami bahwa landasan dan ideologi tersebut berada dalam kewenangan kekuasaan negara yang dilindungi hukum. Artinya, tidak bisa lepas dari pengaruh politik, yakni kepentingan antara kelompok yang berkuasa dan yang dikuasai, sehingga sangat memungkinkan terjadinya bentuk tekanan (pressure) dan paksaan (force) dari yang berkuasa sesuai dengan kehendak penafsiran sang penguasa terhadap konstitusi tersebut. Di sinilah lahirnya hukum sebagai alat kontrol penguasa terhadap kondisi objektif warganya.
Dengan demikian, penguasa sebagai pengontrol dan pengatur tingkah laku masyarakatnya dapat memaksakan kehendaknya untuk melindungi kepentingan negara dan warganya, dan hukumlah yang digunakan sebagai pijakan untuk melegitimasi kehendak tersebut. Untuk tidak melahirkan sebuah penguasa yang otoriter-diskriminatif, maka sumber hukum sebagai alat kontrol sosial tersebut harus terumuskan lebih awal dengan penekanan pada hak-hak dasar manusia, dengan menjunjung tinggi harkat dan martabatnya. Maka diperlukan adanya rumusan hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga hak-hak tersebut tak terjamah oleh tindakan kesewenang-wenangan penguasa.
Dari uraian tersebut, maka muncul pertanyaan, bagaimana dengan kondisi hukum sebagai sarana[29] kontrol sosial (a tool of social control) yang diterapkan oleh penguasa di Indonesia, apakah sesuai dengan kondisi objektif warganegaranya, dan bagaimana pula sehingga kerapkali terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia di Indonesia dalam setiap rezim yang berkuasa? Apakah terjadi benturan (clash) antara hukum sebagai sarana kontrol sosial dengan kewajiban negara untuk melindung hak asasi warganegaranya (HAM)?
Menjawab pertanyaan tersebut, maka dibutuhkan pisau analisis yang mendalam terhadap pola kebijakan pemerintah yang berkuasa. Secara empiris-idealnya dapat disaksikan bahwa hukum sebagai sarana kontrol/pengendali sosial yang dijalankan oleh penguasa (pemerintah) terhadap kebijakan-kebijakan yang akan diambil untuk kepentingan sosial (warganegara), bertujuan untuk melindungi kepentingan bangsa dan negara, termasuk melindungi hak asasi warganegaranya berdasarkan UUD 1945, Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) 1948, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun dalam pengimplementasiannya, seringkali berbenturan dengan kepentingan segelintir warga yang menganggap kepentingannya tidak terakomodasi, sehingga melakukan tindakan-tindakan yang dianggap tirani oleh penguasa. Oleh karena itu, di satu sisi diperlukan adanya kebijakan yang ketat dari pemerintah melalui perangkap hukum yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang hidup dalam masyarakat (living law), sehingga ketika terjadi benturan kepentingan, maka hak dasar warganya tetap terlindungi oleh negara.
Thomas Hobbes (1588-1679) filsuf Inggris mengatakan bahwa setiap orang mesti menggunakan kekuatannya untuk mempertahankan hidupnya, dimana hidup disini dipersamakan dengan milik pribadi. Demi keamanan hak milik pribadi, setiap individu mesti menyerahkan kebebasannya pada negara sebagai kuasa arbitrase satu-satunya.[30]
Dengan demikian, keberadaan sebuah negara yang lahir dari sebuah social contract, dimana masyarakat telah mengamanahkan dan menyerahkan seluruh kepentingannya, baik hak maupun kewajibannya kepada negara, maka negara harus menjamin kelangsungan hidup, menjaga, dan mempertahankan hak-hak dasar warganya, yang tidak bisa diabaikan dan dilanggar oleh siapa pun termasuk negara itu sendiri, karena ia merupakan sifat dasar yang melekat sejak manusia itu lahir. Dalam menjalankan amanah tersebut, maka negara membutuhkan suatu perangkap hukum yang efektif bagi masyarakat, yakni hukum yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri, bukan pengaruh dari luar, karena hukum yang lahir dari masyarakat mengandung nilai-nilai/norma sosial dan moral. Sehingga apabila terjadi tindak pelanggaran terhadap norma tersebut, maka akan dikecam sebagai pelanggar yang hukumnya jauh lebih berat dari hukum normatif, karena tidak semata hukuman fisik dan materi saja tetapi juga hukuman psikis/batin.
Namun demikian, perlu disadari bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dialam modernitas saat ini mampu meniadakan dan menghilangkan jejak pemikiran sehebat dan secanggih apapun konsep yang dihasilkan, karena kekuasaan/negara yang otoriter. Lalu manusia yang hidup pada zaman itu hanya mampu menyaksikan langkah dan trick record kebiadaban sang penguasa. Tetapi dari alam otoriter tersebut pula dapat tumbang karena kesadaran penguasa untuk mengubah alam tersebut menjadi alam yang harmonis dengan mengedepankan harkat dan martabat manusia itu. Kesimpulannya adalah harkat dan martabat manusia dapat terlindungi ketika kekuasaan/negara menjunjung tinggi martabat dan moralitas rakyatnya.
Dalam kondisi keindonesiaan yang notabene mengedepankan sikap kemanusiaan, menjunjung tinggi budaya, dan mengedepankan nilai-nilai moral, namun seringkali setiap rezim pemerintah diperhadapkan pada sebuah fenomena pengingkaran dan penyelewengan terhadap hak-hak asasi warganya. Dalam kasus ini, berbagai kejadian telah diukir dengan tinta emas oleh sejarah kelam perjalanan Indonesia merdeka, sejak rezim Soekarno (Orde Lama), Soeharto (Orde Baru), bahkan saat Orde Reformasi berkibar sebagai bentuk rezim yang diharapkan oleh masyarakat dapat membawa pada alam perbaikan pranata sosial sesuai dengan misi yang diusungnya, salah satunya adalah melindungi hak asasi manusia serta mengungkap berbagai tindak pelanggaran HAM rezim sebelumnya. Namun tak pelak, kemudian pun diperhadapkan pada sebuah fenomena serupa dengan berhembusnya nafas terakhir sang pejuang Hak Asasi Manusia, Munir Thalib,[31] sebagaimana telah dijelas sebelumnya dan menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.
B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan topik yang diangkat dalam penelitian ini dengan judul “Law as a Tool of Sosial Control dan Penerapannya Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia (studi analisis terhadap kasus pembunuhan Munir)”, maka penulis perlu mengidentifikasi masalah tersebut untuk membatasi pembahasan selanjutnya, yakni; sejauhmana negara menjadikan hukum sebagai sarana pengendali masyarakat (kontrol sosial) untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, dengan pendekatan pada kasus terbunuhnya Munir yang diindikasikan karena adanya konspirasi politik yang dilakukan oleh lembaga negara, demi mencegah gerakan Munir yang selalu bersinggungan dengan kebijakan militer (anti militerisme). Sebagaimana diketahui bahwa banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia selalu melibatkan militer, seperti kasus Tanjung Priok, Talangsari, Marsinah, Timor Timur, Semanggi, dsb.
Hal ini penting dilakukan penelitian mendalam di era reformasi saat ini, mengingat sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru yang terkenal dengan bentuk otoriterismenya itu, meninggalkan berbagai bentuk kekerasan, penindasan, penculikan, pemenjaraan bahkan pembunuhan misterius dialami oleh kebanyakan aktivis anti kebijakan pemerintah. Untuk melegitimasi tindakan tersebut, pemerintah mengeluarkan peraturan, misalnya undang-undang tentang subversif sebagai bentuk pembungkaman terhadap tuntutan yang diusung dan diperjuangkan para aktivis itu.
Anehnya, ketika reformasi berkibar dengan membawa perubahan ke alam demokratis dan transparansi, peristiwa itu pun berulang lagi dengan meninggalnya Munir, yang terkenal dengan gerakan anti militerismenya itu. Bedanya adalah, ketika pada Orde Lama dan Orde Baru, informasi dibatasi dan negara menjadi milik penguasa (eksekutif) semata. Namun hal ini tidak bisa lagi berulang di era reformasi saat ini, karena selain informasi bebas dan transparan, juga karena adanya ikhtiar independensi terhadap lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mandiri. Nyatanya, kasus Munir pun mulai terkuak selangkah demi selangkah, walau memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang luas biasa akibat begitu tebalnya tembok pemisah antara kepentingan negara melindungi aparatnya versus melindungi rakyatnya. Di lain sisi, negara berupaya memaksakan kehendaknya untuk mengontrol prilaku rakyatnya sementara membiarkan aparatnya melakukan tindak kesewenang-wenangannya dengan dalih stabilitas politik dan pembangunan.
Selain itu, perlu pula ditekankan bahwa penelitian ini berupaya menelusuri sejauhmana negara memposisikan hukum sebagai sarana pengendali tingkah laku sosial tanpa harus melanggar hak asasi warganya. Hal ini penting, karena selama ini pihak eksekutif (pemerintah) selalu menjadikan hukum sebagai alat melegitimasi kebijakan yang diambil atas nama kepentingan negara, sehingga kepentingan asasi warganegara selalu diingkari. Artinya, penelusuran ini lebih cenderung melihat sejauhmana asas-asas hukum itu diterapkan di Indonesia, seperti; asas persamaan di hadapan hukum, pengayoman, kemanusiaan, keadilan, dan sebagainya.

C.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan identifikasi masalah di atas, penulis merumuskan pokok masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini sebagai berikut:
“Bagaimanakah fungsi hukum sebagai a tool of social control terhadap perlindungan hak asasi manusia di Indonesia kaitannya dengan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir?”

D.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka di bawah ini akan dikemukakan tujuan dan kegunaan penelitian:
1.      Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui kebijakan negara menjadikan hukum sebagai sarana kontrol sosial (a tool of social control) bagi warganegara untuk melindungi Hak Asasi Manusia di Indonesia, kaitannya dengan upaya negara mengungkap pelaku utama pembunuhan Munir, sebagai bentuk supremasi hukum demi keutuhan bangsa dan negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.      Untuk mengetahui ada tidaknya perbenturan antara hukum sebagai sarana kontrol sosial dengan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

2.      Kegunaan Penelitian
Setelah penelitian ini selesai, diharapkan dapat memberi daya guna, baik bersifat akademis maupun bersifat praktis. Manfaat yang bersifat akademis, diharapkan penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya ilmu pengetahuan hukum pidana khusus Hak Asasi Manusia, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun bentuk kebijakan-kebijakan lainnya yang mengakomodasi materi atau substansi hukum yang ada.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran bagi para penegak hukum, baik itu hakim, jaksa, polisi, advokat, akademisi hukum terkait, maupun bagi pemerintah sendiri dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia, dengan mengedepankan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia (living law) serta menghindarkan diri dari terjamahnya kembali jati diri bangsa dari pengaruh pihak asing serta independensi bekerjanya hukum itu sendiri. Selain itu, dengan memahami kajian ini diharapkan dapat membantu tumbuhnya semangat kebangsaan dan kenegaraan, sehingga hak asasi warganegara terlindungi dari berbagai bentuk pelecehan, tekanan, kekerasan, dan penindasan lainnya. Hal ini semua diperlukan sebagai wujud kecintaan dan kebersamaan satu keluarga besar dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

E.     Kerangka Konseptual dan Teoritis
1.      Kerangka Konseptual
Kata “hukum” dikenal pula oleh bangsa-bangsa di dunia dengan istilah bahasa mereka masing-masing, seperti; recht (Belanda), droit (Perancis), law (Inggris), ius (latin), dirit (Italia) dan  derecho (spanyol).[32] Prof. Subekti, SH  dalam “Kamus Umum” mengemukakan 8 definisi, dan terakhir beliau mengutip definisi hukum yang disusun oleh seorang ahli hukum bangsa Belanda, Prof. Lemaire yang mengatakan bahwa:
“Hukum itu adalah suatu peraturan tata tertib (ordening) yang mengikat serta didasarkan  atas rasa keadilan dan ditinjau dari rasa tertentu, pun suatu keserangkaian dari norma-norma yang mengatur bagaimana suatu masyarakat tertentu harus disusun dan dibentuk, bagaimana mereka yang hidup dalam masyarakat itu sama lain harus bertindak dan bagaiamana pula mereka  terhadap masyarakat lain harus bertindak dan bertanduk pula.”[33]

Selain itu, hukum dapat diartikan juga sebagai “peraturan-peraturan yang dibuat atau ditetapkan oleh orang atau penguasa yang berwewenang, yang mengikat orang banyak, serta dapat dikenakan sanksi bagi yang melanggarnya.”[34]
Dalam membicarakan hukum, tidak bisa lepas dari esensinya yakni mencari “keadilan”. Keadilan sering disebut sebagai keutamaan hukum, dengan keutamaan itu, manusia hendak menciptakan keseimbangan lahir dan batin dari seluruh keberadaan dan kepribadiannya. Keadilan meminta manusia untuk berpikir secara jernih, bertindak atas dasar kebenaran serta melalui pertimbangan hati nurani dan keyakinan. Oleh karena itu, keadilan meminta manusia untuk mampu mengatasi hambatan-hambatan yang menghalangi terwujudnya keadilan dalam kehidupan bersama. Perwujudan dari keadilan inilah yang diupayakan dengan berfungsinya hukum dalam kehidupan  bermasyarakat, berbangsa, dan  bernegara.[35]
Adapun yang dimaksud dengan penegakan hukum, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah law enforcemant, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut rechtshandhaving. Adapun penegakan hukum dalam bahasa Indonesia membawa pada pemikiran, bahwa penegakan hukum selalu dengan force, sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum  hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja, pikiran seperti ini diperkuat dengan kebiasaan menyebut penegak hukum itu polisi, jaksa dan hakim, pejabat administrasi tidak disebut, yang sebenarnya juga menegakkan hukum.[36]
Menurut Hardjasoemantri ada suatu pendapat yang keliru dan cukup meluas di berbagai kalangan, yaitu bahwa penegakan hukum hanyalah melalui proses di pengadilan. Perlu diperhatikan bahwa penegakan hukum dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan berbagai sanksinya, seperti sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Adapun pendapat yang keliru seolah-olah penegakan hukum itu adalah semata-mata tanggung jawab aparat penegak hukum. Penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban  menjadi syarat  mutlak.[37]
Dalam GBHN 1988 menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan penegakan hukum perlu terus dimantapkan kedudukan dan peranan badan-badan penegak hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing-masing, terus ditingkatkan kemampuan dan kewibawaannya serta pembinaan sikap, prilaku dan keteladanan para penegak hukum sebagai pengayom masyarakat yang jujur, bersih, tegas dan adil.[38]
Karena itu, bila penegakan hukum mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, mampu membuat masyarakat merasa terayomi, maka akan menjadi motivasi tumbuhnya partisipasi masyarakat yang lebih kreatif dalam mendukung pembangunan. Dalam pengertian ini, maka hukum dan penegakan hukum merupakan subjek pembangunan.[39]
Penegakan hukum pada dasarnya, adalah suatu proses penyerasian  antara nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan sikap tindak atau prilaku, dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu perangkat hukum yang ada; kecakapan, profesional dan integritas kepribadian penegak hukum; taraf kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat; fasilitas pendukung penegakan hukum dan kebudayaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.[40]
Dengan demikian, pembangunan hukum diharapkan sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta diarahkan untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakan, pelayanan dan kepastian hukum, serta mewujudkan tata hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.[41]
Hukum sebagai a tool of social control adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri (pengendalian prilaku) terhadap kaidah-kaidah, norma-norma atau nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Teori hukum sebagai alat kontrol sosial yang dipelopori oleh Roscou Pound melalui teori “sociological jurisprudence atau legal realism” yang terkenal ini, mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi, maupun konsiliasi. Standar atau patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan, yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya. Dalam hal ini, bila kepentingan-kepentingan dari suatu kelompok dilanggar, inisiatif datang dari seluruh warga kelompok (yang mungkin dikuasakan kepada pihak tertentu).[42]
Sosiologi hukum selalu mendasarkan pada fenomena interaksi sosial yang terjadi dalam menyelesaikan benturan/kontradiksi kepentingan antar sesama manusia yang terjadi di masyarakat melalui proses distribusi keadilan, dengan tidak membatasi pandangan pada masyarakat tertentu; mempelajari masyarakat sebagai suatu keseluruhan; tidak memusatkan pada dominasi kelompok saja, tetapi juga peran individu; mempelajari masyarakat dalam kondisi dinamis; dan berorientasi pada hukum yang empiris. Karena sosiologi hukum tidak normatif yang hanya mempelajari case (kasus) berdasarkan pasal demi pasal dalam peraturan perundang-undangan, tetapi sosiologi hukum lebih pada peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi dengan menggunakan multidisipliner approach yang intraktif.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat dalam diri setiap manusia sejak lahir. Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948 telah dinyatakan dalam bagian mukadimahnya bahwa hak asasi manusia harus dilindungi pemerintah yang berdasarkan hukum merupakan suatu hal yang esensial, agar orang tidak terpaksa mengambil jalan lain, sebagai upaya terakhir, dengan berontak melawan tirani dan opresi. Artinya, bahwa kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang hidup dalam masyarakat, karena ketika berhaluan maka akan melahirkan perlawanan dari masyarakat itu sendiri.
Lebih jauh lagi, hak asasi manusia itu tidak semata melekat begitu saja dalam diri manusia tetapi terkuak adanya keterlibatan Tuhan sebagai pencipta, yang mengandung makna bahwa selain unsur hukum juga terkait unsur moral di dalamnya. Maka definisi Hak Asasi Manusia dalam perspektif Indonesia dikatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[43]
Dengan hak tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peran, dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia yang ditentukan oleh pandangan hidup dan kepribadian bangsa. Ini merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, bangsa Indonesia menghormati setiap upaya untuk menjabarkan dan mengatur hak asasi manusia sesuai dengan sistem nilai dan pandangan hidup yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.
Pembunuhan Munir adalah suatu kasus yang terjadi pada 7 September 2004 yang dialami oleh Munir dalam pesawat Garuda Indonesia dengan No. Flight GA 974 tujuan Jakarta – Amsterdam transit di Bandara Changi Singapura. Munir adalah seorang aktivis pejuang kelompok tertindas, yang semasa hidupnya tidak pernah lepas dari persinggungan dengan pihak militer terhadap advokasi yang dilakukannya. Misalnya, sewaktu Munir menangani kasus pembunuhan terhadap Marsinah, ia tidak hanya diancam oleh aparat kodam setempat (Brawijaya) tapi juga diancam akan dihilangkan nyawanya lantaran melibatkan diri dalam urusan kematian buruh pabrik Sidoardjo tersebut.[44] Bahkan di lain waktu, Munir berani menantang para pelaku pelanggarn HAM – terutama dari pihak militer – secara terbuka, di mana dalam salah satu aksinya bersama keluarga korban di Mahkamah Agung tanggal 19/08/2004 menyebut pelanggar HAM sebagai ”para pengecut yang bersembunyi di balik ketek (ketiak) kekuasaan.[45]
Dari persinggungan inilah yang mengindikasikan bahwa kematian Munir tidak dapat dilihat dalam oknum atau aktor tunggal saja, melainkan adanya konspirasi kelompok tertentu yang tidak senang dengan kegiatan Munir selama ini. Di mana dalam kasus ini diduga adanya keterlibatan dua institusi negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu perusahaan BUMN PT. Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara (BIN). Hal ini terkuak dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan adanya hubungan telepon antara Pollycarpus (terdakwa) dengan ruang Deputi V BIN.[46]
Dengan berdasar pada pengertian tersebut kaitannya dengan kebijakan pemerintah dalam menegakkan hak asasi manusia di Indonesia, maka peneliti berkesimpulan bahwa dalam proses pembuatan, pembangunan, dan penerapan hukum tidak bisa berdiri sendiri di atas sudut pandang hukum itu sendiri, tetapi yang lebih utama harus memperhatikan kondisi objektif atau fakta sosial yang berlaku dalam masyarakat. Artinya, pemerintah (eksekutif) sebagai pelaksana hukum dan peraturan perundang-undangan, pihak DPR (legislatif) sebagai lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan, dan pihak yudikatif (pengadilan) sebagai lembaga pengawasan hukum, maka dalam menjalankan fungsinya masing-masing harus mengedepankan terlebih dahulu fakta-fakta sosial yang hidup dalam masyarakat, baru kemudian menetapkan suatu aturan untuk dijadikan sarana kontrol bagi setiap warganegara.
Kalau fakta-fakta sosial tersebut dikebiri dan tidak dijadikan sebagai patokan awal dalam membuat dan menetapkan suatu produk hukum, maka yang terjadi adalah pengingkaran dan penganiayaan serta penindasan terhadap hak-hak asasi manusia yang hidup dalam negara. Selama ini, hukum yang diterapkan di Indonesia seringkali terjebak pada sebuah fenomena pengingkaran, penganiayaan, dan penindasan terhadap warga masyarakat yang notabene dilakukan oleh penguasa (rezim), karena sistem hukum yang dibangun tidak berdasarkan pada tuntutan terhadap nilai-nilai sosial yang hidup dan berlaku dalam masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap kesadaran hukum menurun. Bahkan seringkali hukum dianggapnya sebagai tirani, kejam, dan menyesatkan[47] dalam penerapannya oleh penguasa, karena terselubung sebuah kepentingan dan jaringan politik semata, tanpa menghiraukan kepentingan objektif masyarakat secara umum.
Ketika hukum dibangun berdasarkan fakta-fakta sosial yang hidup dalam masyarakat tersebut, maka dengan sendirinya hak-hak dasar manusia akan terlindungi di bawah legitimasi negara, tetapi tidak berarti bahwa hukum dengan sendirinya akan ditaati dan dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat, karena akan muncul kepentingan pribadi-pribadi di lain pihak. Dalam kondisi demikian, di sinilah perlunya ada kontrol sosial (social control) yang dijalankan oleh penguasa terhadap setiap tindakan anggota masyarakatnya sesuai standar nilai-nilai yang telah dipatenkan dalam hukum positif tersebut.
Dari berbagai pengertian tersebut, maka kerangka konseptual yang dimaksudkan peneliti dalam tesis ini adalah sejauhmana negara menjadikan hukum sebagai sarana kontrol sosial (pengendali tingkah laku) demi melindungi hak asasi manusia (warganya), hubungannya dengan konspirasi lembaga negara terhadap pembunuhan Munir.

2.      Kerangka Teoritis
Berangkat dari rumusan masalah tersebut, dimana hukum dijadikan sebagai sarana kontrol masyarakat (social control) kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat sejak manusia itu masih dalam kandungan, yang harus dilindungi, dihormati, dan dijunjung tinggi jangan sampai terlecehkan akibat tindak kesewenang-wenangan manusia lainnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya hukum yang dapat mengatur dan mengontrol tindakan tersebut agar tidak melanggar hak-hak asasi tersebut, dan hukum yang baik adalah hukum yang hidup dan dipraktekkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam mengurai masalah yang diangkat tersebut, peneliti menggunakan teori ”sosiological jurisprudence[48] dan teori living law[49] sebagai grand theory terhadap masalah tersebut. Kedua teori ini dipelopori oleh Roscoe Pound dan Eugen Ehrlich melalui ungkapannya bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.[50] Masalah ini pun dikaji melalui teori-teori sosiologi hukum lainnya yang relevan sebagai pendukung grand theory tersebut.

a.        Teori Sosiological Jurisprudence
Roscou Pound adalah tokoh sentral munculnya teori Sosiological Jurisprudence. Teori ini lebih mengarah pada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Menurut Roscoe Pound bahwa tugas utama hukum adalah rekayasa sosial (social engineering), fungsi utama hukum antara lain untuk melindungi kepentingan sosial. Terdapat tiga kepentingan yang harus dilindungi hukum, yaitu kepentingan umum, kepentingan sosial, dan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, pendapat ini merupakan paham hukum yang ideal-realistik, yakni paham kombinasi antara unsur realitas sosial (legal realism) dari hukum berupa; kebutuhan sosial (social needs), kepentingan sosial (social interest), dan penyesuaian sosial (social adjustment) serta unsur ideal dalam masyarakat berupa nilai-nilai spiritual (religious).[51]
Dengan demikian, ajaran Roscoe Pound merupakan gabungan antara pendekatan hukum secara sosiologis (berdasarkan realitas masyarakat) dan unsur moral spiritual. Dari sini, Roscoe Pound sangat menekankan pentingnya masyarakat dari suatu hukum, sehingga ada yang menilainya bahwa ajaran Pound mengikuti paham utilitiarisme, walaupun tidak berasal dari ajaran itu. Bahkan dalam banyak hal, Pound berseberangan dengan Otto von Jhering (salah seorang pelopor paham utilitarisme). Pandangan Pound tersebut bergerak dari adanya fakta tentang selalu terjadinya konflik antar kelompok-kelompok dalam masyarakat, konflik mana mestilah diselesaikan dengan cara mengombinasikan kebijaksanaan administratif, standar hukum yang fleksibel, dan penerapan hukum common law yang lebih tegas.[52]
Dari pandangan inilah melahirkan pemikiran-pemikiran Pound yang merupakan konfrontasi yang konstan dari berbagai masalah, yaitu: (1) masalah sosiologi tentang kontrol sosial (social control)[53] dan kepentingan sosial (social engineering); (2) masalah filosofis tentang teori yang pragmatis dan eksperimental; (3) masalah sejarah hukum tentang metode pengukuran stabilitas dan fleksibilitas dari putusan yang berdasarkan sistem juri; dan (4) masalah proses kerja dari pengadilan Amerika tentang diskresi administratif dari proses pengadilan.[54] Namun, yang menjadi tema pokok pemikiran Pound dari beraneka ragam pandangan tersebut adalah masalah sosiologi hukum seperti yang dilakukan oleh para pendahulunya, tetapi dengan menggunakan istilah yang berbeda.



b.       Teori Living Law
Awalnya, Eugen Ehrlich mempertanyakan, bahkan menggugat paham begrifssjurispridence, yaitu suatu paham yang semata-mata mengembangkan suatu ketertiban hukum atas dasar susunan yang logis dalam tatanan suatu hukum positif dengan mengabaikan sama sekali perkembangan masyarakat dan interrelasi antara perkembangan masyarakat dan perkembangan hukum.[55]
Dari pengamatan yang cermat dan mendalam itulah, Eugen Ehrlich memperkenalkan konsep ”hukum yang hidup” (living law) dan ”kehidupan hukum” (legal life) yang merupakan dasar bagi suatu ”penemuan hukum yang bebas” (free finding of law) agar hukum tertulis dapat selalu mengadaptasi perkembangan masyarakat dalam wujud dogmatisme dan begrifssjurispridence. Ehrlich berharap agar ilmu hukum dapat dikembangkan menjadi suatu ”teknologi sosial” (social tecnology), serta menentang ilmu hukum dogmatis semata sehingga lebih menonjolkan fakta daripada fiksi.[56]
Dalam konteks ini, Eugen Ehrlich melihat pengaruh hukum terhadap masyarakat dengan pendekatan hukum masyarakat, memiliki signifikansi yang relevan dengan kajian ini. Ajaran Ehrlich ini pada dasarnya berpangkal pada perbedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dia menyatakan bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law). Dalam istilah antropolog sebagai pola-pola kebudayaan (culture patterns).[57] Paham ini mengutamakan keseimbangan antara kekuasaan formal dan kekuasaan non-formal (masyarakat) serta keseimbangan antara peran hukum formal (dibentuk oleh penguasa) dengan living law, yakni keseimbangan kepentingan antara penguasa dengan masyarakat.[58]
Eugen Ehrlich menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan-kenyataan tersebut dinamakan "living law and just law" merupakan "inner order" dari masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika ingin diadakan perubahan hukum atau membuat suatu undang-undang agar hukum atau undang-undang yang dibuat itu dapat diterima dan berlaku secara efektif di dalam kehidupan masyarakat, maka suatu hal yang patut diperhatikan adalah hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat.[59] Jika hal itu tidak mendapat perhatian, maka akibatnya adalah hukum itu tidak akan berlaku secara efektif, bahkan akan mendapat tantangan.[60]

Berangkat dari rumusan masalah di atas, kaitannya dengan fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial (a tool of social control) berhadapan dengan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, yang menitikberatkan pada kasus pembunuhan aktivis dan pejuang HAM – Munir. Di sini perlu ditegaskan bahwa peristiwa pembunuhan politik terhadap pembela HAM ini bukanlah merupakan kejadian kali pertama di Indonesia. Namun sejak pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, kontrol negara (pemerintah) terhadap aktivitas warganya sangat ketat, terutama aktivitas kaum kritis yang dianggap menghambat laju dan arah pembangunan dan kebijakan pemerintah. Sehingga berbagai upaya dilakukan aparat untuk mencegah dan menghentikan gerakan tersebut, seperti penculikan, penembakan misterius, bahkan pembunuhan massal karena dianggap telah melakukan makar dan tindakan subversif. Untuk melegitimasi tindakan aparat tersebut, maka pemerintah menerbitkan peraturan-peraturan tentang subversif dan peraturan pendukung lainnya.
Ketika era reformasi berkibar, trik negara mengubah pola pengontrolan warganya dengan mengalihkan perhatian pada peristiwa yang menakutkan (culture of fear) bagi masyarakat luas.[61] Misalnya, isu kasus Santet, Kolor Ijo, dsb. Tak pelak pula pembunuhan yang dialami Munir dengan cara meracuni di Pesawat Garuda, dan hingga saat ini ”pelaku utamanya” belum juga ditemukan, walau PN telah cukup bukti mengarahkan pada lembaga negara, yaitu BIN dengan ditemukannya hubungan telepon yang menghubungkan antara Pollycarpus dengan ruangan Deputi V BIN. Namun masyarakat tidak bisa berharap banyak kasus pembunuhan politik ini akan tuntas, kalau pemerintah hanya diam dan membiarkan buruknya kinerja tim kepolisian yang selama ini menanganinya serta ketidakkeseriusan pemerintah untuk menegakkan hukum secara adil, ditambah lagi ketakutan para jaksa dan hakim dalam memutus perkara tersebut.
Hal ini terjadi karena belum berjalannya tanggung jawab negara dalam mengungkap berbagai kasus pembunuhan secara sungguh-sungguh terhadap Munir dan Human Rights Defender (HRD) lainnya, menunjukkan ketidakmauan (unwillingness) dalam menegakkan hukum dan melindungi warganegaranya. Dalam kondisi ini, negara menjadi kepanjangan tangan dari kejahatan kemanusiaan itu sendiri, karena tidak bisa melindungi keamanan warganya.[62]
Padahal, negara ada sebagai wadah yang memegang kendali utama untuk mengontrol dan menciptakan sistem kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang demokratis, harmonis dan sejahtera berdasarkan sistem hukum yang dianutnya, bukan sebagai momok yang berkuasa di atas segala kepentingan warganya.

F.     Metodologi Penelitian
1.        Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif, yaitu mengacu kepada norma-norma hukum dikaitkan dengan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya pembunuhan terhadap aktivis Munir. Meskipun penelitian ini tergolong ke dalam kajian ilmu hukum, pendekatan terhadap masalahnya tidaklah semata-mata dari sudut pandang disiplin ilmu hukum saja, melainkan pendekatan disiplin ilmu-ilmu lain juga diperlukan (multidisipliner approach). Apalagi fokus kajian ini menyangkut "Hak Asasi Manusia” sehingga bantuan pendekatan historis, sosiologis, dan politik juga diperlukan.
Pendekatan historis dimaksudkan untuk membantu menjelaskan akar historis hukum di Indonesia, pendekatan sosiologis diperlukan untuk mengkaji secara empiris fakta-fakta dan fenomena hukum yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat, sedangkan pendekatan politik dilakukan untuk membantu memahami berperannya faktor formasi kekuasaan politik dalam upaya memperjuangkan suatu norma menjadi hukum positif.

2.                       Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan tiga jenis pengumpulan data, yaitu data primer, sekunder, dan terier. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait dengan kasus pembunuhan Munir, yaitu keluarga, polisi, jaksa, hakim, pengacara, ahli hukum, dan LSM terkait. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. Sumber data sekunder ini terdiri dari data-data yang isinya mempunyai kekuatan mengikat, seperti; peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan (yurisprudensi), dan perjanjian internasional, dan data yang sifatnya tidak mengikat, seperti; tulisan yang menjelaskan atau membahas berbagai aspek yang berhubungan dengan data primer berupa; buku-buku, artikel ilmiah, surat kabar, jurnal, majalah, makalah yang disampaikan dalam berbagai pertemuan ilmiah, laporan penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi. Adapun sumber data terier merupakan bahan pelengkap primer dan sekunder, seperti kamus, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedi, dsb.[63]
Dengan demikian, metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah; Pertama, studi pustaka (library research), studi ini ditujukan kepada objek teoritis, yakni asas-asas, konsepsi-konsepsi, dan teori-teori serta isi kaidah hukum yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti. Data-data teoritis ini diperoleh dari dua macam referensi utama, yakni: (1) referensi umum, meliputi buku-buku teks, dokumen-dokumen peraturan perundang-undangan, dan lain-lain, (2) referensi khusus, meliputi; kamus, ensiklopedi, laporan penelitian, review, dan lain-lain. Data-data semacam ini dikumpulkan dengan cara penelusuran literatur.[64] Studi pustaka ini dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh data dokumenter mengenai kebijakan pemerintah dalam bidang Hak Asasi Manusia dan kasus-kasus yang terkait dengan aktivis dan pembunuhan Munir serta wacana yang berkembang saat ini terhadap penguatan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Di samping itu juga yang tidak kalah pentingnya adalah sumber data dari media massa, baik cetak maupun elektronik berupa jurnal, majalah, koran (surat kabar), dan internet.
Kedua, studi lapangan (field research) dilakukan melalui wawancara mendalam (indept interview) terhadap informan kunci (key informan) antara lain; anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta melibatkan sejumlah tokoh nasional dan LSM yang terkait dengan hukum dan HAM serta elemen-elemen lain yang dapat memperkaya penelitian ini.
Ketiga, observasi atau pengamatan di lapangan melalui peristiwa atau gejala sosial yang terjadi dengan mengidentifikasi pokok masalahnya, kemudian dihubungkan dengan kebijakan negara selama ini kaitannya dengan penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

3.       Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena metode kualitatif ini memungkinkan peneliti untuk dapat memahami secara benar data yang diperoleh.[65] Keseluruhan data yang diperoleh dalam proses penelitian disusun secara sistematis kemudian ditarik kesimpulan untuk mendapatkan gambaran untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian ini, sehingga topik utama yang menjadi dasar pembahasan ini terjawab tuntas. Untuk itu, dalam penelitian ini dititikberatkan pada data sekunder, yaitu dari bahan-bahan pustaka, seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum, yang nantinya akan memberikan penjelasan mengenai data primer yang diperoleh di lapangan.



4.       Lokasi Penelitian
Adapun lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Provinsi DKI Jakarta, disamping sebagai pusat ibukota negara juga karena Jakarta merupakan tempat Munir selama hidupnya dalam menjalankan sejumlah aktivitasnya.
Dengan demikian, data yang telah dikumpulkan, baik melalui studi pustaka maupun studi lapangan dalam penelitian ini, akan diolah dan dikonstruksi secara kualitatif,[66] dengan pengolahan dan analisis data secara mendalam dan holistik, sebagai upaya deskripsi analitis terhadap komponen substansi yang diulas dalam penelitian ini.

G.    Sistematika Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan terdahulu, maka hasil penelitian ini dituangkan dalam lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang mengantar memasuki pembahasan bab-bab berikutnya. Bab ini menguraikan latar belakang permasalahan, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II memaparkan hukum sebagai a Tool of Social Control dengan mengurai sejarah munculnya teori hukum tersebut, lalu dilihat aplikasinya melalui perkembangan hukum sebagai a Tool of Social Control bagi warganegara di Indonesia, baik pada masa pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Kemudian mengulas posisi hukum dan kekuasaan di Indonesia.
Sedangkan bab ke III mengurai tentang perlindungan warganegara terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia. Dalam bab ini akan dibahas sejarah munculnya Hak Asasi Manusia, Universal Declaration of Human Rights (DUHAM), dan juga dikemukakan Hak Asasi Manusia pasca pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, serta ditelusuri pula upaya perlindungan negara terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia. Dari sini akan ditemukan sejauhmana kebijakan dan upaya pemerintah dalam melindungi hak-hak asasi warganegaranya.
Bab IV merupakan pemaparan analisis data dari hasil penelitian dikaitkan dengan rumusan masalah tersebut. Di sini akan dilihat aplikasi hukum sebagai tool of social control terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia, aktivitas Munir sebagai pejuang Hak Asasi Manusia, mengungkit pembunuhan Munir di mata hukum dan HAM di Indonesia. Akhir, dari pembahasan ini akan ditemukan ada atau tidaknya persinggungan (clash) antara penerapan hukum sebagai a tool of social control dengan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Sebagai penutup, bab V peneliti memberikan kesimpulan dan saran dari ulasan penelitian ini. Peneliti berharap dengan sistematika ini dapat memudahkan memaparkan tulisannya secara ilmiah berdasarkan alur berpikir akademik.[]

OUTLINE


HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
PENGANTAR PENULIS
ABSTRAKSI
DAFTAR ISI

BAB I:       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan dan Manfaat Penelitian
D.    Kerangka Teori dan Konseptual
E.     Metodologi Penelitian
F.      Sistematika Penulisan

BAB II:     HUKUM SEBAGAI A TOOL OF SOCIAL CONTROL DI INDONESIA
A.      Hukum Sebagai a Tool of Social Control
B.      Perkembangan dan Pembangunan Hukum Sebagai a Tool of Social Control di Indonesia
1.      Pasca Orde Lama (Presiden Soekarno: 1945-1965)
2.      Pacsa Orde Baru (Presiden Soeharto: 1966 - 1998)
3.      Pasca Orde Reformasi (1998 s/d sekarang)
C.      Hukum dan Kekuasaan di Indonesia

BAB III:    PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
    1. Sejarah Munculnya Hak Asasi Manusia
    2. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Internasional
    3. Hak Asasi Manusia di Indonesia Pasca Pemerintahan:
1.      Orde Lama (Presiden Soekarno: 1945-1965)
2.      Orde Baru (Presiden Soeharto: 1966 - 1998)
3.      Era Reformasi (1998 – sekarang)
    1. Upaya Perlindungan Negara Terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia

BAB IV:    APLIKASI HUKUM SEBAGAI A TOOL OF SOCIAL CONTROL TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA KAITANNYA DENGAN PEMBUNUHAN MUNIR, SH
A.      Hukum Sebagai a Tool of Social Control dan Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia
B.      Aktivitas Munir, SH Sebagai Pejuang Hak Asasi Manusia
C.      Mengungkit Pembunuhan Munir, SH di Mata Hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia
1.      Pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir
2.      Proses Peradilan dan Usaha Penuntasan Kasus Pembunuhan Munir
D.     Persinggungan Penerapan Hukum Sebagai a Tool of Social Control dan Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia

BAB V:      P E N U T U P
A.      Kesimpulan
B.      Saran-Saran

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INDEKS
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DAFTAR PUSTAKA


Buku-Buku:
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum: Jakarta; Sinar Grafika, 2006.
Amrullah, M. Arief, Politik Hukum Pidana; dalam perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, malang, Bayumedia, 2007.
Ashshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH. UII Press, 2005.
Black, Henry Cambell, Blacks law Dictionary with Pronounciatin Fifth Edition, USA: West Publishing & Co, 1979.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Dirdjosisworo, Soejono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: CV. Rajawali, 2007.
Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta: CV. Rajawali, 2006.
Effendi, A. Masyhur, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). Bogor; Ghalia Indonesia, 2005.
Effendi, Satria, Bahan Kuliah, Aliran-Aliran  Pemikiran  Hukum  Islam, Jakarta : UI 1999.
Fridmann, W., Legal Theory, Stevens & Sons Limited, 3rd Editor, 1953.
Fuady, Munir, Sosiologi Hukum Kontemporer; interaksi hukum, kekuasaan, dan masyarakat, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007.
Gilissen, John dan Frits Gorle, Sejarah Hukum; suatu pengantar, Bandung; Refika Aditama, 2007.
Gulo, W., Metodologi Penelitian, Jakarta, Grasindo, 2004.
Handoyo, B. Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (memahami proses konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia) dilengkapi dengan naskah lengkap Amandemen UUD 1945. Universitas Atmajaya Yogyakarta. Yogyakarta, 2003.
Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta; Gema Insani Press, 1996.
Kelly, Delos H., Deviant Behavior; readings in the sociology of deviance. California, State University, Los Angeles; ST. Martin’s Press, New York, 1979.
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata lingkungan, Cet. XI, Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press, 1994.
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1976.
-----, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung, Penerbit Alumni Bandung, 2006.
Kymlicka, Will, Kewargaan Multikultural, Jakarta, LP3ES, 2002.
Latif, Abdul, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Menwujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta, Total Media, 2007.
Lawrence M. Friedman, The Legal System. A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation, 1975.
Lemek, Jeremias, Mencari Keadilan; pandangan kritis terhadap penegakan hukum di Indonesia, Yogyakarta, Galang Press, 2007.
Liklikuwata, Henkie, Sosiologi Hukum Pidana Kejahatan dan Penjahat; suatu sketsa, Jakarta, IND-HILLCO, 1990.
Maggalatung, A. Salman, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dalam Konteks Penerapan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Focus Gramaedia, 2007.
Marsumodjono, Sukarton, Penegakan Hukum di  Negara  Pancasila,  Cet. I, Jakarta: 1989.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2007.
Mauch, James E. dan Jack W. Birch, Guide to the Successfull Disertations and Thesis, New York: Marcel Dekker, Inc, 1993.
MD, Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 2006.
Miles, Mattew B. dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Jakarta: UI Press, 1992.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985.
Pound, Roscoe, An Introduction to the Philosophy of Law Transaction Publishers, Yale University Press : 1954.
Rahardjo, Satjipto, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Alumni Bandung, 1977.
Rajagukguk, Erman (et. all), Perubahan Hukum di Indonesia (1998-2005).
Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Mandar Maju, 2003.
Rasyid, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: PT. Aditya Bakti, 2004.
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung; PT. Refika Aditma, 2007.
Salman, R. Otje, Ikhtisar Filsafat Hukum, Bandung: Armico, 1999.
Saraswati, LG. dkk, Hak Asasi Manusia; teori, hukum, kasus. Jakarta; Filsafat UI Press, 2006.
Satriya, Cahyadi dkk, Test of Our History??? Tembok Tebal Pengusutan Pembunuhan Munir, Jakarta, Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor), Jakarta, 2006.
Seran, Alexander, Moral Politik Hukum, Jakarta, Obor, 1999.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali, 1985.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Jakarta: UI Perss, 1986.
-----, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. VI, Jakarta: CV. Rajawali, 1991.
-----, Sosiologi; suatu pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 2007.
Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: CV. Rajawali, 2007.

Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi:
Erman Rajagukguk, Perubahan Hukum di Indonesia Persatuan Bangsa, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kesejahteraan Sosial (1998-2004), Makalah disampaikan dalam seminar reformasi hukum di Indonesia, dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 17 Desember 2004 di Jakarta.
Forum Keadilan, Mantan Pedagang Melawan Kekerasan, No. 10 Tahun VII, 24 Agustus 1998.
Kumpulan Pidato Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH., M.CL., Peradilan Agama dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung. Mahkamah Agung, Diektorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2007.
Sri Mamuji, “Makalah” disampaikan pada Acara Pembekalan Peningkatan Wawasan tentang Penyusunan Perundang-Undangan Bagi Peneliti di Lingkungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia tanggal, 9 Desember 1998 di Jakarta.
Satjipto Rahardjo, Budaya Hukum dalam Permasalahan Hukum di Indonesia, makalah dalam Seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta: BPHN, 1979.

Peraturan Perundang-Undangan:
Himpunan Undang-Undang HAM, Jakarta, Badan Kesatuan Bangsa Prov. DKI Jakarta.
Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Perpanjangan Masa Tugas Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir.
Kumpulan Lengkap Perundangan, Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2006.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No: 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst.

Dokumen Internet:
http://www. hukumonline.com. Tanggal 10 Juni 2006
http://www.kompas.co.id Tanggal 12/6/2008.
http://www.rightlivelihood.org. Tanggal 12/6/2008.
http://www.reformasihukum.org/konten.php?nama=Pemilu&op=detailpolitikpemilu&id=285. Tanggal 12/6/2008.


[1]Korban sebagian besar merupakan anggota PKI atau ormas yang dianggap berafiliasi dengannya, seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR, Lekra, dll. Sebagian besar dilakukan di luar proses hukum yang sah, korbannya mencapai 1.500.000. Data diperoleh dari Monitoring KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), http://kontras.org/data/ Kronik_Kasus_Munir.pdf. Tanggal 12/6/2008
[2]Munculnya Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin oleh Hasan Di Tiro sejak tahun 1976.
[3]Kasus pembantaian massal (kaum Muslimin) di Tanjung Priok pada tahun 1984 dengan melibatkan para petinggi militer, karena berdemonstrasi menolak asas tunggal Pancasila di Jakarta.
[4]Seorang aktivis buruh yang terbunuh karena menuntut hak-hak buruh dipenuhi oleh pemerintah.
[5]Kasus Talangsari terjadi pada 1989 di wilayah Lampung Tengah. Saat itu pemerintah menyatakan penduduk Talangsari sebagai kelompok Islam sesat (dituduh sebagai GPK ekstrim kanan) dan melakukan penyerangan lewat suatu operasi militer yang dipimpin oleh Danrem Garuda Hitam Lampung, Hendropriyono (mantan Kepala BIN). Nyawa melayang diperkirakan sekitar 100-an orang. Lihat, http://www.kontras.org/data/Keppres%20 No.6%20Thn%202005. pdf. Tanggal 12/6/2008.
[7]Lembaga Forensik Kementerian Belanda yang ditemukan oleh dr. Robert Visser dan dr. B. Kubat pada tanggal 8 – 13 Oktober 2004 bahwa penyebab Munir meninggal adalah adanya konsentrasi arsen sangat tinggi di darah dan urine serta di lambung. http://www. hukumonline.com. Tanggal 10 Juni 2006 dan http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/ 0805/10/0102.htm. Tanggal 10 Juni 2008.
[8]Agus Riewanto, (Sekjen Institute of Law, Human Right and Democracy (ILHad) Yogyakarta. Lihat, http://www.reformasihukum.org/konten.php?nama=Pemilu&op =detail politikpemilu&id=285. Tanggal 12/6/2008.
[10]Aktivis Human Rights Watch Group dalam acara “refleksi Kematian Munir 2004-2007” di Kampus Universitas Airlangga Surabaya. Lihat, http://www.antara.co.id/arc/ 2007/9/6/kasum-ungkap-jendela-keterlibatan-bin-dalam-kasus-munir/. Tanggal 10 Juni 2008.
[11]Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 111 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir. Adapun susunan Tim Pencari Fakta (TPF)nya adalah: (1) Brigjen (Pol) Marsudhi Hanafi (Ketua); (2) Asmara Nababan (Wa. Ketua); (3) Bambang Widjojanto; (4) Hendardi; (5) Usman Hamid; (6) Munarman; (7) Smita Notosusanto; (8) I Putu Kusa; (9) Kemala Chandra Kirana; (10) Nazaruddin Bunas; (11) Retno LP Marsudi; (12) Arif Navas Oegroseno; (13) Rachland Nashidik; dan (14) Mun’im Idris.
[12]Kronik_Kasus_Munir_Pdf. http://www.kontras.org; Sumber: KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
[13]Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Perpanjangan Masa Tugas Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir. http://kontras.org/data/Keppres %20No.6%20Thn%202005.pdf. Tanggal 12/6/2008.
[14]Mantan Sekretaris Utama (Sesma) BIN dan saat ini merupakan Dubes RI untuk Nigeria. Nurhadi Djazuli diduga mengangkat Pollycarpus sebagai agen utama BIN (Skep Ka BIN No.113/2/2002).
[15]Mantan Deputi V BIN
[16]Mantan Kepala BIN
[18]"Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun"
[19]"Dihukum sebagai orang yang melakukan perbuatan pidana: orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu"
[20]"Barang siapa menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan yang seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau mempergunakan dapat mendatangkan suatu kerugian, maka dihukum karena pemalsuan surat dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun"
[21]Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No: 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst. Sumber: http://kontras.org/munir/Keputusan_Pengadilan_Negeri_Jakarta_Pusat_20_Desember_2005_Terhadap_Pollycarpus.pdf. Tanggal 10 Juni 2008.
[23]Kronik_Kasus_Munir_Pdf. http://www.kontras.org, Op.Cit
[24]Kronik_Kasus_Munir_Pdf. http://www.kontras.org, Ibid.
[25]Ibid.
[26]Berita Pagi SCTV tanggal 20 Juni 2008. Peninjauan Kembali (PK) tersebut sementara dalam penyelidikan dan penyidikan polisi, yang kemungkinan besar para tersangka pelaku utama (otak) pembunuhan Munir akan terkuak hingga penelitian ini ditulis.
[27]Keenambelas bab itu adalah: I. Bentuk dan kedaulatan (pasal 1), II. Majelis Permusyawaratan Rakyat (pasal 2-3), III. Kekuasaan pemerintahan negara (pasal 4-15), IV. Dewan Pertimbangan Agung (pasal 16), V. Kementerian negara (pasal 17), VI. Pemerintahan daerah (pasal 18), VII. Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 19-22), VIII. Hal keuangan (pasal 23), IX. Kekuasaan kehakiman (pasal 24-25), X. Warganegara (pasal 26-28), XI. Agama (pasal 29), XII. Pertahanan negara (pasal 30), XIII. Pendidikan (pasal 31-32), XIV. Kesejahteraan sosial (pasal 33-34), XV. Bendera dan bahasa (pasal 35-36), XVI. Perubahan Undang-Undang Dasar (pasal 37), memuat Aturan Peralihan (pasal I-III)dan Aturan Tambahan.
[28]Adapun bab-bab UUD 1945 setelah diamandemen adalah: [I] Bentuk dan kedaulatan (pasal 1), [II] Majelis Permusyawaratan Rakyat (pasal 2-3), [III] Kekuasaan pemerintahan negara (pasal 4, 5, 6, 6a, 7, 7a, 7b, 7c, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16), [IV] Kementerian negara (pasal 7), [V] Pemerintah daerah (pasal 18, 18a, 18b), [VI] Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 19, 20, 20a, 21, 22, 22a, 22b), [VIa] Dewan Perwakilan Daerah (pasal 22c, 22d), [VIb] Pemilihan Umum (pasal 22e), [VII] Hal keuangan (pasal 23, 23a, 23b, 23c, 23d), [VIIa] Badan Pemeriksa Keuangan (pasal 23e, 23f, 23g), [VIII] Kekuasaan kehakiman (pasal 24, 24a, 24b, 24c), [VIIIa] Wilayah negara (pasal 25a), [IX] Warganegara dan penduduk (pasal 26, 27, 28), [IXa] Hak asasi manusia (pasal 28a, 28b, 28c, 28d, 28e, 28f, 28g, 28h, 28i, 28j), [X] Agama (pasal 29), [XI] Pertahanan dan keamanan negara (pasal 30), [XII] Pendidikan dan kebudayaan (pasal 31, 32), [XIII] Perekonomian dan kesejahteraan sosial (pasal 33, 34), [XIV] Bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan (pasal 35, 36, 36a, 36b, 36c), [XV] Perubahan Undang-Undang Dasar (pasal 37); Aturan Peralihan (pasal I-III) dan Aturan Tambahan (pasal I-II).
[29]Meminjam istilah Muchtar Kusumaatmadja dengan mengganti istilah “alat” (a tool) itu dengan istilah “sarana”. Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung: CV. Mandar Maju; Cet. II, 2003, hal. 183.
[30]LG. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia; teori, hukum, kasus. Jakarta; Filsafat UI Press, 2006, hal. 21.
[31]Supra dan Inpra.
[32]Satria Effendi, Bahan Kuliah, Aliran-Aliran  Pemikiran  Hukum  Islam , (Jakarta : UI 1999), hal. 5. hal. 402.
[33]Ibid.
[34]Ibid.
[35]Sukarton Marsumodjono, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, Cet. I, (Jakarta: 1989), hal. 4
[36]Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary with Pronounciatin Fifth Edition, (USA: West Publishing & Co, 1979).
[37]Koesnadi Hardjasoemantri,Hukum Tata lingkungan, Cet. XI, (Yogyakarta: Gadjh Mada Univercity Press, 1994a), hal. 390.
[38]Sukarton, Op.Cit, hal. 7
[39]Ibid.
[40]Ibid.
[41]Ibid.
[42]Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum: Jakarta; Sinar Grafika, 2006, h. 22.
[43]Himpunan Undang-Undang HAM, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Badan Kesatuan Bangsa Provinsi DKI Jakarta, hal. 3.
[44]Forum Keadilan, Mantan Pedagang Melawan Kekerasan, No. 10 Tahun VII, 24 Agustus 1998. Dalam, Cahyadi Satriya dkk, Test of Our History???: Tembok Tebal Pengusutan Pembunuhan Munir, (Jakarta: Imparsial; The Indonesian Human Rights Monitor, Cet. I, 2006), hal. 2.
[45]Cahyadi Satriya dkk, Test of Our History???, Loc.Cit.
[46]Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No: 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst.
[47]Meminjam istilah Prof. Dr. Bambang Poernomo, SH (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada). Lebih lanjut lihat, Prof. Dr. Bambang Poernomo, SH, Diktat; Materi Kuliah Teori Ilmu Hukum dan Makalah, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya.
[48]Teori ini pada awalnya diperkenalkan oleh Roscoe Pound (1870-1964), salah seorang Dekan Fakultas Hukum Universitas Harvard, Amerika Serikat. Pound menamakan hasil renungannya sebagai sociology jurisprudence. Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cet. I, 2007, hal. 52.
[49]Teori ini dipelopori oleh Eugen Ehrlich (1862-1922), salah seorang professor hukum dari Austria keturunan Yahudi, merupakan salah seorang pelopor sosiologi hukum – living law. Ehrlich hidup sezaman dengan para pelopor sosiologi hukum lainnya, yaitu Emile Durkheim (1858-1917) dari Perancis. Oleh karena itu, boleh dikatakan Durkheim yang pertama di dunia mengkaji hukum secara sosiologi, yakni mengkaji hukum sebagai fenomena sosial atau fakta sosial (social facts), kemudian muncul Max Weber (1864-1920) dari Jerman yang terkenal melalui konsep dominasinya, kemudian dikenal dengan dominasi hukum (legal domination). Munir Fuady, Ibid., hal. 39-49. Dari runtutan munculnya para pelopor teori sosiologi hukum tersebut, berarti Ehrlich lebih dahulu memperkenalkan teori sosiologi hukum daripada Rescoe Pound dalam istilah yang berbeda.
[50]Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra, Ibid., hal. 122.
[51]Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: Elsam dan Huma, Cet. I, 2002, hal. 69.
[52]Rescoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law. Transaction Publishers, Yale University Press : 1954, hal. 5-6; dan Munir Fuady, Ibid, hal. 55.
[53]Sosial control inilah yang menjadi penekanan utama dalam penelitian ini, lalu dihubungkan dengan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), apakah terdapat ada atau tidaknya perbenturan (clash) antara keduanya.
[54]Munir Fuady, Ibid, hal. 53.
[55]Munir Fuady, Ibid., hal. 49
[56]Loc.Cit.
[57]Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. VI, Jakarta: CV. Rajawali, 1991, hal, 36.
[58]Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra, Ibid., hal. 124.
[59]W. Fridmann, Legal Theory, Stevens & Sons Limited, 3rd Editor, 1953, hal. 191.
[60]R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Bandung: Armico, 1999, hal. 52.
[61]Cahyadi Satriya dkk, Test of Our History???: Tembok Tebal Pengusutan Pembunuhan Munir, (Jakarta: Imparsial; The Indonesian Human Rights Monitor, Cet. I, 2006), hal. 4.
[62]Ibid., hal. 5
[63]Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1985, hal. 13.
[64]Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Ibid., hal. 15. Dijelaskan bahwa penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
[65] Metode kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh narasumber/informan secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, Cet. III, 1986, h. 250.
[66]Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, (Jakarta: UI Press, 1992), hal. 16.