Senin, 24 September 2012

Naskah Tesis


TELAAH YURIDIS ATAS UU NO. 22 TAHUN 1946
TENTANG PENCATATAN NIKAH, TALAK, DAN RUJUK
TERHADAP PENERAPAN HUKUM PIDANA DALAM
HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

MUKHTAR ALSHODIQ,  S.Ag., MH

BAB I      :  PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Penelitian
Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[1] menyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Kemudian ayat (2) mengatur, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dikategorikan bahwa sistem perkawinan yang sah di Indonesia, apabila taat asas dengan memenuhi segala unsur yang diatur dalam hukum agama dan kepercayaan yang dianut serta harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Ketika perkawinan tidak memenuhi asas-asas yang telah ditentukan dalam hukum agama, kepercayaan, dan undang-undang, maka perkawinan tersebut tidak sah, dengan sendirinya batal demi hukum.
Perkawinan merupakan masalah yang paling lengkap dan detail diatur mekanisme dan keabsahannya dalam hukum agama, kepercayaan, dan undang-undang, karena erat hubungannya dengan penyatuan keluarga dari berbagai latar budaya, emosi, dan sosial yang berbeda-beda, pengelolaan harta bersama, serta tanggung jawab sosial dalam lingkup keluarga. Dari berbagai lingkup itulah, sehingga negara wajib turut serta melindungi dan menjaga keutuhan dan kelestarian perkawinan melalui peraturan perundang-undangan.
Ketentuan di atas, secara tersirat mengakui bahwa sistem perkawinan di Indonesia telah dipengaruhi oleh berbagai unsur adat (local wisdom/al-adah al-mahkamah=kearifan lokal), agama, dan kepercayaan, sehingga unsur-unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dan dikesampingkan dalam membangun sistem perkawinan di Indonesia. Di sinilah letak perbedaan antara sistem perkawinan yang dianut oleh Indonesia dengan KUH Perdata. KUH Perdata memandang, bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga hukum yang mengatur hubungan hukum keperdataan antara individu dengan individu lainnya. Pasal 26 KUH Perdata menyebutkan batasan tersebut, bahwa undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Artinya, unsur agama tidak dilibatkan dalam menyatakan sebuah perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan yang hanya melihat dari sisi keperdataan bersifat sekuler.
Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia telah mengatur masalah perkawinan secara ketat melalui UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk sebagaimana diubah dengan UU No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura, tidak saja mengatur mekanisme dan keabsahan sebuah perkawinan dalam lingkup keperdataan semata, tetapi juga dilengkapi aturan pidana yang dapat dijatuhkan kepada para pihak dengan ancaman denda hingga penjara, apabila melanggar ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun semangat dan roh undang-undang tersebut tidak dijawantahkan secara menyeluruh dalam UU No. 1 Tahun 1974 sebagai undang-undang perkawinan yang berlaku bagi seluruh warganegara, karena tidak satu pasal pun di dalamnya yang memuat adanya sanksi pidana bagi pelanggarnya. Padahal, lahirnya sebuah undang-undang merupakan produk dari wakil rakyat, apabila di dalamnya diatur tentang pemberian sanksi pidana, berarti rakyat menghendakinya. Sekalipun sanksi pidana dimuat pada Pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun posisi Peraturan Pemerintah (PP) merupakan produk pemerintah, bukan produk wakil rakyat.[2] Padahal UU No. 22 Tahun 1946 tersebut belum pernah dihapus atau diamandemen muatan yang termaktub di dalamnya, bahkan keberlakuannya diperluas di luar Jawa dan Madura melalui UU No. 32 Tahun 1954.
Penjelasan UU No. 22 Tahun 1946 menyatakan bahwa peraturan pencatatan nikah, talak, dan rujuk yang selama ini diatur dalam berbagai staatblaad Hindia-Belanda tidak sesuai lagi dengan keadaan masa sekarang, sehingga perlu diadakan peraturan yang selaras dengan negara yang modern. Oleh karena itu, Huwelijksordonnantie Staatblad 1929 No. 348 juncto Staatblad 1931 No. 467, Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie Staatblad 1933 No. 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten Staatblad 1932 No. 482 dicabut dan diganti dengan peraturan yang baru yang dapat memenuhi keperluan-keperluan pada masa kini.
Ancaman hukuman yang dimuat dalam UU No. 22 Tahun 1946 adalah denda dan pidana. Mulyatno menyatakan, bahwa ….

B.       Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang penelitian di atas, maka peneliti dapat merumuskan beberapa pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.        Bagaimana bentuk hukum pidana dalam UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk?
2.        Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dalam Sistem Perkawinan di Indonesia?
3.        Bagaimana akibat hukum terhadap pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dalam sistem perkawinan di Indonesia?

C.       Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1.        Untuk menemukan dan merumuskan bentuk hukum pidana dalam UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
2.        Untuk menemukan dan merumuskan penerapan hukum pidana terhadap UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dalam Sistem Perkawinan di Indonesia.
3.        Untuk menemukan dan merumuskan akibat hukum terhadap pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dalam sistem perkawinan di Indonesia.
D.      Kegunaan Penelitian
Kegunaan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atau masukan, baik secara teoritis maupun secara praktis.
1.        Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dan memberi sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum pidana dengan segala aspeknya serta melengkapi hasil penelitian yang pernah dilaksanakan oleh pihak lain dalam bidang yang sama. Penelitian ini juga diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran bagi perkembangan hukum keluarga nasional.
2.        Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan masukan yang bermanfaat bagi: pemerintah, para praktisi hukum, hakim, advokat, dan instansi terkait lainnya serta bagi masyarakat luas.

E.       Kerangka Pemikiran

F.        Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu menelusuri, mengkaji, dan meneliti serta menganalisa berbagai data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian ini, berupa bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum perkawinan yang terkait dengan hukum pidana, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta doktrin hukum. Dengan demikian, penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.[3]
Pendekatan yuridis normatif yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tiga pendekatan, yaitu: (a) statutory approach dilakukan dengan menelusuri dan mengkaji ketentuan-ketentuan hukum yang relevan, yang berada dalam rumusan Pasal-Pasal yang berisi norma. Dipahami bahwa dalam logika norma merupakan suatu proposisi (normatif);[4] (b) conseptual approach dilakukan dengan merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana hukum atau doktrin-doktrin hukum;[5] dan (c) comparative approach merupakan studi perbandingan hukum suatu negara tertentu dengan negara-negara lain, baik dalam hal persamaan hukum maupun perbedaan pengaturan harta bersama tersebut, baik di negara yang menganut sistem hukum civil law maupun common law.[6]
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan historis, yang dimaksudkan untuk membantu peneliti memahami perubahan dan perkembangan filosofi hukum yang melandasi penerapan hukum pidana dalam hukum perkawinan.[7] Selain itu, juga menggunakan pendekatan metode perbandingan hukum, yakni dengan menelusuri struktur hukum yang mencakup lembaga-lembaga hukum, substansi hukum yang mencakup perangkat kaidah atau perilaku teratur, dan budaya hukum yang mencakup perangkat nilai-nilai yang dianut.[8]
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu berusaha menggambarkan dan menganalisa data yang diperoleh melalui data sekunder, yaitu berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier serta didukung oleh data primer mengenai berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan hukum pidana dalam hukum perkawinan di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh mengenai bentuk hukum ideal yang dapat diterapkan di Indonesia, kaitannya dengan penerapan hukum pidana dalam hukum perkawinan di Indonesia.
Tiga jenis pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer, sekunder, dan terier. Data primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, yurisprudensi, traktat, dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Sedangkan data sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti; rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan sebagainya. Adapun sumber data terier merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder, seperti kamus, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedi, dan sebagainya.[9]
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah; melalui studi pustaka (library research), studi ini ditujukan kepada obyek teoritis, yakni asas-asas, konsepsi-konsepsi, dan teori-teori serta isi kaidah hukum yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Data-data teoritis ini diperoleh dari dua macam referensi utama, yakni: (1) referensi umum, meliputi buku-buku teks, dokumen-dokumen peraturan perundang-undangan, dan lain-lain, (2) referensi khusus, meliputi; kamus, ensiklopedi, laporan penelitian, review, dan lain-lain. Data-data semacam ini dikumpulkan dengan cara penelusuran literatur.[10] Studi pustaka ini dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh data dokumenter mengenai kasus sita harta bersama dalam perkawinan tanpa adanya perceraian. Di samping itu juga yang tidak kalah pentingnya adalah sumber data dari media massa, baik cetak maupun elektronik berupa jurnal, majalah, koran (surat kabar), dan website.
Data laporan diperinci melalui wawancara mendalam (indept interview) terhadap informan kunci (key informan) yang terkait dengan masalah tersebut serta elemen-elemen lain yang dapat memperkaya penelitian ini. Serta melalui observasi atau pengamatan di lapangan melalui peristiwa atau gejala sosial yang terjadi dengan mengidentifikasi pokok masalahnya, kemudian dihubungkan dengan sistem peraturan perundang-undangan yang ada selama ini. Adapun lokasi penelitian adalah di wilayah Propinsi DKI Jakarta dengan melibatkan lembaga peradilan dan instansi terkait serta elemen masyarakat lainnya.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data yuridis kualitatif, karena metode kualitatif ini memungkinkan peneliti untuk dapat memahami secara benar data yang diperoleh.[11] Keseluruhan data yang diperoleh dalam penelitian ini disusun secara sistematis, kemudian ditarik kesimpulan untuk mendapatkan jawaban sesuai dengan identifikasi masalah dan tujuan penelitian, sehingga topik utama yang menjadi dasar pembahasan penelitian ini terjawab tuntas.

G.      Sistematika Penulisan

BAB II    :  SISTEM PERKAWINAN DI INDONESIA
A.      Mekanisme dan Keabsahan Perkawinan
a.         Pengertian Hukum Perkawinan
Sistem perkawinan di Indonesia sejak awal telah dipengaruhi oleh unsur adat dan agama, kemudian diunifikasi dan dikodifikasi pengaruh tersebut ke dalam suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, istilah yang populer digunakan dalam membangun keluarga adalah “kawin” dan “nikah”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kawin adalah membangun keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri.[12] Sedangkan nikah adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.[13] Kata “nikah” sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu al-nikah, artinya “mengawini”, “menguasai”, “bergabung”, “hubungan kelamin”, dan “akad”.[14] Selain itu, terdapat pula kata “al-zawaj” atau “al-tazwij” yang semakna dengan kata “nikah”, artinya “mengawinkan”, “mencampuri”, “menggauli”, “memperistri”.[15] Ali Yusuf al-Subky mengatakan, bahwa lafad “al-zawaaj” atau “al-tazwiij” digunakan dalam hubungan yang terbina di antara seorang laki-laki (suami) dan seorang perempuan (istri) dengan satu ikatan akad syar’i, juga digunakan untuk segala sesuatu yang timbul dari hubungan itu. Sedangkan lafad “al-nikaah” lebih banyak digunakan dalam hukum-hukum fiqih yang berhubungan dengan pernikahan.[16] Dari pengertian bahasa tersebut, maka dapat dipahami bahwa nikah adalah menghimpun atau mengumpulkan, yaitu salah satu upaya menyalurkan naluri seksual suami istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi.[17]
Perkawinan menurut hukum adat, adalah suatu usaha yang menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongannya itu.[18] Dengan demikian, perkawinan dalam masyarakat adat dipandang sebagai satu peristiwa yang sangat penting. Karena itu, masalah perkawinan bukan saja merupakan urusan mereka yang bersangkutan (calon suami istri), tetapi juga urusan orang tua, kerabat, keluarga, masyarakat, dan urusan kelas (derajat/sosial).[19]
Di dalam hukum Islam, ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh ulama fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya yang berbeda. Mazhab Syafi’i mendefinisikan dengan akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengannya. Ulama Hanafi mendefiniskannya dengan akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan selama tidak ada halangan syara’.[20]
Perkawinan atau nikah adalah, akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan atas kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.[21] Oleh karena itu, perkawinan bukanlah ibadah dalam arti kewajiban, melainkan hanya hubungan sosial kemanusiaan semata. Perkawinan akan bernilai ibadah, jika diniatkan untuk mencari keridhaan Allah Swt.[22] Allah berfirman dalam QS Ali Imran [3]:14:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Pernikahan adalah, melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai oleh Allah.[23] Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS al-Nisa’ [5]:24:
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M, ahli hukum Islam dari Universitas al-Azhar) berpendapat, bahwa nikah adalah akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya menurut ketentuan syari’ (Allah Swt. dan Rasul-Nya).[24]
Islam menganjurkan pasangan suami istri untuk membina dengan langgeng suatu rumah tangga melalui akad nikah yang sah. Terjalin keharmonisan di antara suami istri dengan saling mengasihi dan menyayangi, sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Rumah tangga seperti inilah yang menjadi tujuan dalam Islam, yakni rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sebagaimana disyaratkan oleh Allah Swt. dalam QS al-Rum [30]:21.
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dalam ayat di atas, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu sakinah (al-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (al-rahmah). Ulama tafsir menyatakan, bahwa al-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah Swt. dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana al-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan, bahwa dari al-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul al-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah Swt., sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka.[25]
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[26] menyatakan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 menyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sebagai perwujudan dari Pasal 29 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan, bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.[27]
Unsur-unsur yang dibangun dalam perkawinan menurut Pasal 1 dan 2 UU No. 1 Tahun 1974 di atas adalah: Pertama, ikatan lahir batin, bahwa perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak hanya merupakan suatu perjanjian menyangkut penyaluran hasrat seksual secara sah semata, tetapi juga terkait hak dan kewajiban yang harus saling terpenuhi, karena terkait asas tanggung jawab dan keadilan. Kedua, perkawinan dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Artinya, hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan beda jenis kelamin, yaitu antara jenis kelamin laki-laki dengan jenis kelamin perempuan, bukan perkawinan sesama jenis. Ketiga, membentuk keluarga bahagia dan kekal ini adalah tujuan utama perkawinan. Karena itu, perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Keempat, perkawinan sah apabila didasarkan pada hukum agama yang dianut. Menurut Penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditemukan ketentuan lain dalam undang-undang ini.
Unsur-unsur dalam perkawinan di atas dapat dipahami, bahwa begitu kuat dan kokohnya pengaruh ajaran agama merasuk ke dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, bahwa begitu kuatnya pengaruh ajaran agama terhadap perkawinan di Indonesia tersebut karena perkawinan dan kekeluargaan adalah mengenai hubungan antara manusia yang paling mendekati pada unsur kerohaniaan dan kepribadian, sedangkan keyakinan sebuah ajaran agama bersumber dari kerohaniaan, adapun perjanjian-perjanjian dalam perdagangan dan sebagainya itu semua bersumber dari kepribadian seseorang.[28]
M. Yahya Harahap memahami Pasal 1 dan 2 UU No. 1 Tahun 1974 di atas, bahwa tidak ada perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Oleh karena itu, sah-tidaknya suatu perkawinan semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan. Berarti, setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan hukum agama dengan sendirinya perkawinannya belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.[29] Oleh karena itu, salah satu upaya unifikasi sistem peraturan perkawinan yang berlaku di Indonesia melalui UU No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah menghindari terjadinya konflik, baik konflik berdasarkan hukum adat antar suku karena perbedaan hukum yang dianut maupun konflik hukum agama antar penganut agama yang berbeda. Sehingga apabila seseorang laki-laki atau perempuan yang hendak menikah tetapi berbeda agama atau kepercayaan, maka kedua mempelai diberi suatu kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan yang hendak dianut atau diikuti.
Berdasarkan pengertian perkawinan pada Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 di atas, maka perkawinan di Indonesia bukan semata hubungan keperdataan saja (lahiriyah), sebagaimana dianut dalam konsepsi perkawinan menurut KUHPerdata dan Ordonansi Perkawinan Kristen Bumiputera (Huwelijks Ordonnantie Christen Inlanders), tetapi perkawinan juga mengandung unsur kerohanian (bathiniyah). Hal ini sebagai konsekuensi logis sebagai negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama (kerohaniaan), sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur jasmani, tetapi unsur batin juga mempunyai peranan penting.[30]
Bagi masyarakat Indonesia, perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sakral, mengandung unsur perbuatan sosial, perbuatan hukum, dan sekaligus ibadat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk menampung pandangan masyarakat tersebut, maka disusunlah undang-undang perkawinan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[31]
Hartono Mardjono mengatakan, bahwa pada dasarnya Pasal 29 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 mengandung tiga makna, yaitu: pertama, negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; Kedua, negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan bagi pelaksanaan wujud keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan ketiga, negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapapun melakukan pelecehan terhadap agama.[32]
Hazairin menjelaskan kata “beribadat menurut agama dan kepercayaannya” pada Pasal 29 ayat (2) mengandung arti, bahwa menjalankan syariat (hukum) agama. Artinya, negara berkewajiban menjalankan syariat agama Islam sebagai hukum dunia untuk umat Islam, syariat agama Kristen untuk umat Kristen, dan seterusnya sesuai dengan syariat agama yang dianut oleh bangsa Indonesia.[33]
Sangat beralasan kalau dasar negara Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut menjadi asas dalam undang-undang perkawinan di Indonesia, sehingga ajaran agama dan kepercayaan bagi pemeluknya menjadi unsur utama yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Artinya, bagi mereka yang memeluk agama Islam ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum Islam, demikian pula yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu serta aliran kepercayaan, hukum agama dan kepercayaan merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sah-tidaknya perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak berasaskan agama dan kepercayaan dilarang, lalu bagaimana dengan perkawinan antar agama atau lintas agama?
Masalah perkawinan beda agama atau lintas agama pada dekade terakhir ini telah menjadi perkembangan pemikiran di kalangan kaum intelektual (terutama dimotori oleh kalangan modernis-liberal). Misalnya, pendapat yang menyatakan bahwa “perkawinan campuran” sebagai salah satu masalah kompleks dalam isu perkawinan, bukan isu baru dalam khasanah hukum di Indonesia. Dalam sejarahnya, perkawinan campuran yang berbeda berdasarkan hukum agama, adat, maupun kewarganegaraan telah diatur secara khusus sejak zaman kolonial hingga pasca kemerdekaan (sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974), pengaturan kawin campur meliputi perkawinan dari dua belah pihak yang berbeda agama, adat, maupun kewarganegaraan. Namun sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974, definisi perkawinan campuran mengarah kepada orang yang akan menikah karena perbedaan kewarganegaraan.[34] Pasal 57 menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Hal ini terjadi karena: pertama, pengaturan perkawinan campuran dari sejak zaman kolonial hingga undang-undang perkawinan dilatarbelakangi oleh situasi politik dan kelompok kepentingan tertentu yang sangat berperan dalam dinamika politik tersebut. Situasi hukum yang demikian itulah yang kemudian memunculkan pengaturan yang berbeda antara aturan perkawinan campuran dan UU No. 1 Tahun 1974; Kedua, pengaturan yang berbeda pada zaman kolonial dan pengaturan melalui undang-undang perkawinan memberikan dinamika yang berbeda pula dalam pelaksanaannya, meskipun ada berbagai hal yang relatif sama.[35]
Proses lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 merupakan hasil kompromi politik antara negara dengan agama, yang mengindikasikan memberi kemenangan terhadap kelompok Islam, meskipun tetap mengakomodasi kepentingan pemerintah. Tetapi bagi kelompok sekuler, hal ini merupakan suatu kemunduran, sehingga yang terjadi adalah “penyelundupan hukum” dalam masyarakat, yakni melakukan pemindahan agama hanya sebagai syarat untuk sahnya perkawinan dan kemudian kembali ke ajaran agama masing-masing pihak. Kalau hukum dipahami hanya sebagai hukum substantif, maka seringkali memiliki jarak dengan realitas dalam pelaksanaannya, karena: pertama, hukum sebagai produk politik tidak dapat mengakomodasi segala kepentingan yang ada; kedua, kelompok mayoritas adalah mayoritas pikiran para pembentuk hukum, bukan nilai kepentingan mayoritas yang sebenarnya; ketiga, hukumnya yang mencerminkan kepentingan tertentu, dalam pelaksanaannya pun dipengaruhi dengan cara pikir para pelaksana hukum yang juga memegang nilai mayoritas.[36]
Sejarah awal lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berawal dari Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan yang disampaikan Presiden kepada pimpinan DPR-RI pada tanggal 31 Juli 1973. Menurut pemerintah, RUU tersebut dibuat dalam rangka menuju unifikasi, uniformitas, dan homogenitas hukum yang merupakan pelaksanaan UUD 1945. Pada awalnya, RUU ini mendapat protes dari kalangan umat Islam karena mengandung ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam. Salah satu ketentuan yang kontroversial dalam RUU perkawinan adalah mengenai perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama, pertunangan, dan pembatasan perkawinan (monogami), serta adanya upaya menjauhkan nilai-nilai ajaran agama.[37] Namun pemerintah menanggapi melalui Menteri Agama (H.A. Mukti Ali) yang menyatakan, bahwa pemerintah tidak bermaksud membentuk undang-undang perkawinan yang melanggar nilai, cita, dan norma-norma agama, dan bahwa pemerintah tidak berpikir untuk memaksakan kehendak tanpa peluang bagi perbaikan dan penyempurnaan RUU yang  diajukan oleh DPR-RI.[38]
Meskipun pada akhirnya RUU perkawinan disetujui setelah mengalami perbaikan dan penyempurnaan, pengajuan RUU yang kontroversial tersebut memiliki makna tersendiri. Pengajuan RUU perkawinan yang banyak memuat ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam dan mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan kesadaran hukum umat Islam merupakan salah satu contoh yang paling mengesankan dalam sejarah Orde Baru dalam menyingkirkan hukum Islam. Kalau pun pada akhirnya hukum Islam dan aspirasi umat Islam bisa diselamatkan, itu lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa umat Islam masih memiliki daya juang, bahkan kesiapan memberontak demi mempertahankam keyakinannya.[39]
M. Yahya Harahap mengatakan, bahwa dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974, selain sebagai upaya unifikasi hukum perkawinan juga menghapuskan terjadinya konflik hukum antar lokal, antar suku, dan antar hukum adat serta antar hukum agama. Artinya, jika terjadi perkawinan antara dua calon suami istri yang berlainan agama dan kepercayaan, maka kedua belah pihak yang akan mengikat perkawinan harus terlebih dahulu memilih agama dan kepercayaan yang akan mereka peluk bersama-sama. Tanpa menentukan sikap atas agama dan kepercayaan lebih dahulu, sesuai ketentuan Pasal 1 dan 2 di atas tidak mungkin dapat dilakukan perkawinan. Sebab tidak mungkin sekaligus dipergunakan dua ketentuan hukum agama dan kepercayaan. Karena bagaimana pun sifat universalnya aturan agama, antara satu dengan yang lainnya sudah dapat dipastikan terdapat perbedaan-perbedaan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata cara, persyaratan, dan rukun yang melandasi upaya ibadah keagamaan dan kepercayaan di antara agama-agama, sedangkan penentuan sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh agama dan kepercayaan masing-masing.[40]
Menarik pula dicermati teori receptio incomplexu oleh LWC. van den Berg dan Salmon Keyzer bahwa receptio in complexu oleh suatu bangsa Hindu dari hukum Hindu, oleh kaum Islam dari hukum Islam, oleh kaum Kristen dari hukum Kristen. Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk suatu agama, harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia.[41] Namun teori tersebut kemudian dibantah oleh C. Snouck Hurgronje melalui teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Teori resepsi ini kemudian mendapatkan tantangan kuat dari para pemimpin Islam dengan munculnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang ketentuannya dijabarkan dalam UUD 1945, dalam aturan peralihan menyatakan, bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, menurut Hazairin bahwa seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945 dan harus keluar (teori receptie exit) karena bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul.[42] Teori tersebut kemudian diperkuat dengan munculnya teori receptie a contrario oleh Sajuti Thalib, bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.[43]
Perkembangan wawasan kenegaraan yang mengakui eksistensi hukum Islam dan hukum nasional, maka lahir pula teori eksistensi, yang menyatakan bahwa keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya, bahkan merupakan bahan utama hukum nasional.[44] Menanggapi tentang teori eksistensi tersebut, maka Muchsin berpendapat bahwa tetap eksisnya hukum Islam di Indonesia sampai saat ini bahkan semakin kokoh, karena menganut teori eksistensi komprehensif, yaitu keberadaan hukum Islam memiliki kekuatan sendiri yang wujudnya bisa dilakukan dengan legislasi, yurisprudensi (hakim), dan kesadaran hukum masyarakat.[45]
Sekalipun teori receptie di atas mendapatkan tantangan keras dari berbagai elemen masyarakat, namun dalam kenyataan yuridisnya masih saja mempengaruhi pembentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia. Buktinya, hukum perkawinan yang telah dikodifikasi dan diunifikasi melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu tidak luput dari proses politisasi. Penjelasan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Penjelasan Umum angka 2a menyatakan, bahwa “bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresiplir dalam hukum adat.”[46]
Sudarsono mengatakan, bahwa hukum Islam yang dimaksud dalam Penjelasan Umum 2a adalah hukum Islam yang berlaku sebelum UU No. 1 Tahun 1974, yaitu hukum Islam yang dibatasi oleh ajaran resepsi, sedangkan hukum Islam yang dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 adalah hukum Islam menurut Pasal 29 UUD 1945, yang memuat kewajiban negara RI untuk menjalankan hukum setiap agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kecuali unsur-unsur hukum agama yang bertentangan dengan Pancasila. Karena itu, teori resepsi baik sebagai teori maupun sebagai ketetapan dalam Pasal 134 ayat (2) Indische Staatregeling sebagai konstitusi Hindia Belanda sudah terhapus dengan berlakunya UUD 1945.[47]
Hazairin berpendapat, bahwa Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) adalah unifikasi yang unik, yang menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berketuhanan Yang Maha Esa.[48] Dari kuatnya kedudukan hukum agama dalam hukum perkawinan, Mahadi menyatakan, bahwa penelitian terhadap undang-undang perkawinan membawa kita kepada pendapat bahwa sejak berlakunya undang-undang ini sampailah ajal teori resepsi, seperti yang telah diajarkan di zaman Hindia Belanda. Apabila dulu diteorikan bahwa hukum Islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu hukum Islam telah nyata-nyata diresepsi oleh dan dalam hukum adat, maka dengan misalnya Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama, maka jelas hukum Islam telah … menjadi sumber hukum.[49]
Berdasarkan uraian di atas, maka menurut peneliti, pengaturan sistem perkawinan di Indonesia tidak menutup jalan bagi perkembangan pemikiran dan realitas sosial yang ada, selama itu tidak bertentangan dengan ajaran agama, asas dasar, dan kaidah hukum yang berlaku. Maka selama itu pula dapat diakomodasi sebagai bagian dari realitas sosial, yang kemudian dapat dijadikan sebagai hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat.

b.        Peminangan
Sebelum melangsungkan suatu perkawinan, terlebih dahulu diadakan acara “peminangan”, “pertunangan” atau “lamaran”, yaitu bersepakat (biasanya diumumkan secara resmi atau dinyatakan di hadapan orang banyak) akan menjadi suami istri atau meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri.[50] Ketentuan “peminangan” ini berlaku dalam hukum perkawinan adat di Indonesia, yang hingga kini masih terus terjadi tanpa membedakan tingkat sosialnya.
Awalnya, peristiwa peminangan alam hukum adat di Indonesia dilakukan dengan menghidangkan sirih kemudian mengajak pihak lain mengadakan perkawinan. Dalam acara peminangan ini dijalankan oleh seorang utusan atau wakil, biasanya menggunakan banyak pribahasa untuk menyatakan maksud kedatangan dan kehendaknya itu.[51] Peminangan ini mengakibatkan adanya pertunangan, yaitu persetujuan antara kedua belah pihak, di mana mereka satu sama lain berjanji untuk mengadakan perkawinan.[52] Sebagai tanda pertunangan tersebut, maka pihak laki-laki atau perempuan atau masing-masing pihak memberikan barang atau uang sebagai bukti kuat yang mengikat adanya persetujuan itu. Tetapi pengikat tersebut bukan harga mati bagi pihak perempuan, sehingga mau tidak mau wajib melangsungkan atau menerima perkawinan itu. Jadi paksaan untuk kawin tidak ada akibat pertunangan itu.[53]
Istilah tanda pertunangan itu berbeda-beda di setiap daerah, misalnya, di Aceh disebut tanda kong narit, yaitu tanda bahwa perjanjian telah mengikat; Nias menyebutnya bobo mibu, yaitu pengikat rambut; di Sulawesi Selatan disebut passikkoq, berasal dari kata sikkoq artinya mengikat; di Halmahera disebut tapu, artinya jangkar. Biasanya dalam pertunangan ini pula ditentukan pembayaran [biaya] perkawinan dan dibuat perjanjian mengenai pembayaran denda pelanggaran apabila pertunangan dibatalkan.[54]
Di Inggris, masalah pertunangan berada di bawah naungan common law. Walaupun sifatnya yang sangat “… personal and non-commercial nature …” serta mempunyai sifat-sifat yang khas jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk perjanjian yang lain, pertunangan atau perjanjian untuk kawin ini juga merupakan perbuatan hukum di bawah prinsip-prinsip umum hukum kontrak. Akibatnya, jika salah satu pihak memutuskan perjanjian tersebut tanpa persetujuan pihak yang lain, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntutnya di hadapan mahkamah.[55]
Masyarakat Indonesia yang masih kental tradisinya, memandang bahwa peminangan ini sebagai langkah awal yang sangat menentukan perkawinan itu dapat dilangsungkan atau tidak. Acara peminangan ini biasanya dilakukan secara khusus, di mana pihak keluarga atau perwakilan calon mempelai laki-laki datang ke tempat pihak keluarga calon mempelai perempuan mengutarakan maksud kedatangannya untuk meminang anak perempuan mereka. Pada saat tunangan ini biasanya dihadiri oleh seluruh keluarga pihak perempuan, terutama pihak garis keturunan ayah. Namun dalam masyarakat perkotaan atau modern, acara lamaran ini hanya merupakan seremonial saja, yang diadakan baik jauh sebelum acara perkawinan maupun pada saat sebelum perkawinan itu dimulai.
Ketika lamaran tersebut ditolak oleh pihak keluarga perempuan karena adanya pertimbangan lain, padahal secara pribadi pihak laki-laki dan perempuan saling mencintai, maka seringkali terjadi “kawin lari” (wegloop atau schaakhuwelijk), yaitu suatu perkawinan yang diselenggarakan secara bersama-sama dan bersepakat melarikan diri atau mengambil pergi seorang gadis oleh seorang laki-laki dengan maksud kemudian hidup selaku suami istri.[56] Atau perkawinan lari bersama atau sama-sama melarikan diri (wegloophuwelijk of vluchthuwelijk).[57]
Apabila pertunangan tersebut diterima oleh pihak perempuan, maka ini merupakan bukti awal adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk melangsungkan suatu perkawinan. Ketentuan hukum peminangan dan pertunangan ini tidak diatur secara jelas dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 6 ayat (1) hanya mengatur bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Maksudnya, oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.[58] Padahal bentuk perkawinan dengan cara peminangan (pelamaran) masih hidup dan berkembang dalam struktur masyarakat hukum adat Indonesia.[59]
Istilah “peminangan” dikenal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),[60] Pasal 1 menyatakan bahwa peminangan adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Selain itu, ditentukan pula bahwa peminangan dapat dilakukan sendiri atau melalui pihak perantara terhadap wanita yang masih perawan atau janda, wanita yang telah habis masa iddah akibat talak raj’i. Namun peminangan tersebut belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan dengan cara yang baik sesuai dengan ketentuan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai (Pasal 11-13).
Istilah peminangan tersebut, dalam hukum Islam dibahas secara khusus dalam bab al-khitbah, yaitu suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan suatu perkawinan. Ulama fiqih mendefinisikan dengan menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita pertunangan itu. Adapun tata cara peminangan menurut Sayyid Sabiq dikembalikan kepada urf (kebiasaan) masing-masing masyarakat. Sedangkan hukum peminangan, ulama fiqih sepakat adalah mubah (boleh), selama tidak ada larangan syara’ untuk meminang wanita tersebut, seperti wanita yang sudah dipinang atau sudah menjadi istri orang lain.[61]
Masalah peminangan ini pada dasarnya merupakan tradisi sebelum seorang mempelai melangkah pada pernikahan, karena itu kedudukannya merupakan hal yang penting agar dapat memahami kondisi keluarga masing-masing pihak, baik sisi kepribadian masing-masing calon mempelai, maupun sisi kesepakatan antara dua keluarga sebelum menyatu menjadi sebuah kesatuan keluarga besar. Selain itu, karena tujuan perkawinan adalah suci dan langgeng sehingga hanya usia yang dapat memisahkan mereka, sebagai wujud dari keluarga yang damai, tentram, dan sejahtera.

c.         Rukun dan Syarat Perkawinan


d.        Usia Perkawinan
e.         Pencatatan Perkawinan
f.         Hak dan Kedudukan Suami Istri
B.       Bentuk-Bentuk Perkawinan
C.       Pencegahan, Pembatalan, dan Sebab Putusnya Perkawinan
a.         Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
b.        Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan
D.      Perkawinan yang Dilarang
E.       Perjanjian Perkawinan
a.         Pengertian Perjanjian Perkawinan
b.        Bentuk dan Isi Perjanjian Perkawinan
c.         Kekuatan Hukum Perjanjian Perkawinan
F.        Mediasi terhadap Perselisihan dalam Perkawinan
BAB III   :  HUKUM PIDANA DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A.      Pengertian Hukum Pidana
B.       Macam-Macam Hukum Pidana
C.       Aspek Hukum Pidana dalam Hukum Perkawinan di Indonesia
1.        Tindak Pidana dalam Perkawinan Menurut KUH Pidana
Adami Chazawi mengatakan, bahwa semua tindak pidana kesopanan dalam hal persetubuhan pada KUH Pidana termasuk jenis kejahatan. Kejahatan dimaksud dimuat dalam 5 pasal: Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285 (perkosaan bersetubuh), Pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan), Pasal 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur 15 tahun yang bukan isterinya), dan Pasal 288 (bersetubuh dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan luka atau kematian.[62]
Pasal 284 KUHP ayat (1) menyatakan, bahwa diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: (a) seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),  padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW[63] berlaku baginya; (b)  seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya; (c)  seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; dan (d)  seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya. Kemudian ayat (2) menyatakan, bahwa tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti olehnya dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga. Ayat (3), bahwa terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73, dan 75. Ayat (4) pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. Ayat (5) jika bagi suami istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Pasal 285 KUHP berbunyi, bahwa barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 286 KUHP menyatakan, bahwa barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 287 KUHP mengatur bahwa, (1) barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun; (2) penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.
Pasal 288 KUHP berbunyi: (1) barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. (3) jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 285 KUHP berbunyi, barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

2.        Tindak Pidana dalam Perkawinan Menurut UU No. 22 Tahun 1946 juncto UU No. 32 Tahun 1954

3.        Tindak Pidana dalam Perkawinan Menurut PP No. 9 Tahun 1975

D.      Penerapan Hukum Pidana Atas Hukum Perkawinan di Indonesia

BAB IV   :  ANALISIS PENERAPAN HUKUM PIDANA DALAM SISTEM PERKAWINAN DI INDONESIA KAITANNYA DENGAN UU NO. 22 TAHUN 1946 TENTANG PENCATATAN NIKAH, TALAK, DAN RUJUK
A.      Bentuk Hukum Pidana dalam UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
B.       Penerapan Hukum Pidana terhadap UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dalam Sistem Perkawinan di Indonesia
C.       Akibat Hukum terhadap Pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dalam Sistem Perkawinan di Indonesia
BAB V    :  PENUTUP
A.      Kesimpulan
B.       Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP


[1]Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.
[2]Secara hirarkhi, dalam susunan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, PP berada di bawah UU. Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan[2] menyatakan, bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ayat (2) menyatakan, bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
[3]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta; Kencana Prenada Group, Cet. III, 2007, hlm. 35.
[4]Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta; Gajah Mada Universitas Press, Cet. I, 2005, hlm. 38-39. Lihat juga, Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum … Op.Cit., hlm. 96-102. Dalam metode pendekatan perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam perundang-undangan. Selain itu, dalam pendekatan perundang-undangan peneliti bukan saja melihat kepada bentuk peraturan perundang-undangan saja, melainkan juga menelaah materi muatannya, yakni mempelajari dasar ontologisnya, lahirnya undang-undang, landasan filosofisnya.
[5]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum … Ibid., hlm. 137. Dalam membangun konsep bukan hanya melamun dan mencari-cari dalam khayalan, melainkan pertama kali harus beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.
[6]Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op.Cit., hlm. 1-3. Lihat juga, Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum … Op.Cit., hlm. 96 dan 119.
[7]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum … Ibid., hlm. 126.
[8]Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1985, hlm. 88.
[9]Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Ibid., hlm. 13. Lihat, Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta; UI-Press, Cet. III, 1986, hlm. 52 dan Enid Campbell, Legal Research, Materials, and Methods, Sydney; The Law Book Co. Ltd., 1988, hlm. 8.
[10]Enid Campbell, Legal Research … Ibid., hlm. 15.
[11]Metode kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh narasumber/informan secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum ... Op.Cit., hlm. 250.
[12]Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta; Balai Pustaka, Cet. III, 2003, hlm. 518.
[13]Ibid., hlm. 782.
[14]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Yogyakarta, 1984, hlm. 1560.
[15]Ibid., hlm. 630.
[16]Ali Yusuf al-Subky, Nizhaam al-Usrah fi al-Islam. Mesir; Maktabah al-Azhar, 1990. Penerjemah: Fathurrahman, Membangun Surga dalam Keluarga. Jakarta; Senayan Abadi Publishing, 2005, hlm. 1-2.
[17]Abdul Aziz Dahlan, et.all., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV, Jakarta; Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. I, 1996, hlm. 1329.
[18]Mr. B. The Haar BZN, Beginselen En Stelsel van Het Adatrecht … Op.Cit., hlm. 158.
[19]Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta; Kencana Prenada Media Group, Cet. I, 2008, hlm. 106.
[20]Abdul Aziz Dahlan, et.all., Ensiklopedi … Op.Cit, Jilid IV, hlm. 1329.
[21]Masalah nikah dalam hukum Islam dibahas secara terkhusus dalam kitab “Fiqh al-Munakahat”, yaitu seperangkat ilmu yang mengatur hal ihwal berkenaan dengan perkawinan yang berlaku untuk seluruh umat yang beragama Islam berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah Nabi Muhammad Saw., dan pendapat para fuqaha.
[22]Hal ini senada dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa nikah itu bukanlah ibadah melainkan suatu kebutuhan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar dan seksualnya. Lihat Ibnu ‘Abidin (w. 1252 H/1836 M), Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala al-Darr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Abshar, Mesir: Isa al-Baby al-Halaby, 1974, hlm. 284. Sebagaimana dikutip oleh Mukhtar Alshodiq, dkk. Membangun Keluarga Humanis, Jakarta: Grahacipta, Cet. I, 2005, hlm. 24.
[23]Ahmad Azhar Basyir dalam Ahmad Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, Jakarta: RajaGrafindo, 1995, hlm. 8.
[24]Abdul Aziz Dahlan, et.all., Ensiklopedi… Op.Cit., Jilid IV, hlm. 1329.
[25]Al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Jilid XIV, t.t., 1387, hlm. 16-17.
[26]Lembaran Negara RI Tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3019 Tahun 1974.
[27]Tim Dahara Prize, Undang-Undang Dasar 1945 Disertai Amandemen 1,2,3, dan 4, Semarang; Dahara Prize, Cet. I, 2009, hlm. 48.
[28]R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung; Sumur Bandung, Cet. IX, 1991, hlm. 20.
[29]M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, Medan, CV. Zahir Trading Co. Medan, 1975, Cet. I, hlm. 13.
[30]Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata … Op.Cit., hlm. 106.
[31]Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Jakarta; Tintamas Indonesia, 1988, hlm 1. Dalam, Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta; Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2001, hlm. 28.
[32]Hartono Mardjono, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan, Jakarta; Mizan, Cet. I, 1997, hlm. 28.
[33]Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; Yarsi, Cet. I, 1998, hlm. 77-78. Sebagaimana pula dikutip oleh A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dalam Konteks Penerapan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; Focus Grahamedia, Cet. I, 2007, hlm. 211.
[34]Sri Wiyanti Eddyono, “Perkawinan Campuran Antar Agama: hukum kolonial dan kekinian”. Dalam, Maria Ulfah Anshor, dkk. (ed.), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: perspektif perempuan dan pluralisme, Jakarta; KAPAL Perempuan, Cet. I, 2004, hlm. 92.
[35]Ibid., hlm. 93.
[36]Ibid., hlm. 108-111.
[37]Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, Cet. I, 2005, hlm. 359-370.
[38]Ibid., hlm. 370.
[39]Ibid., hlm. 374.
[40]M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional … Op.Cit., hlm. 14.
[41]I Gede AB. Wiranata, Hukum Adat Indonesia: perkembangan dari masa ke masa, Bandung; Citra Aditya Bakti, Cet. I, 2005, hlm. 273.
[42]Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Untag Press, Cet. I, 2010, hlm. 39.
[43]Ibid., hlm. 40.
[44]Ibid., hlm. 41.
[45]Ibid., hlm. 42.
[46]Penjelasan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Penjelasan Umum angka 2 poin a menyatakan bahwa “bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat.”
[47]Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. III, 2005, hlm. 13.
[48]Jazuni, Legislasi … Op.Cit., hlm. 375. Dalam, Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1-1974, Jakarta; Tintamas, Cet. II, 1986, hlm. 1.
[49]Ibid., hlm. 375. Dalam. Abdurrahman Wahid et.al., Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung; Remaja Rosdakarya, Cet. II, 1993, hlm. 251.
[50]Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Edisi Ketiga), Jakarta; Balai Pustaka, Cet. III, 2003, hlm. 1223, 875, dan 629.
[51]Mr. B. Ter Haar Bzn, Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht … Op.Cit., hlm. 159.
[52]Ibid., hlm. 160.
[53]R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan … Op.Cit., hlm. 31-32.
[54]Mr. B. Ter Haar Bzn, Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht … Op.Cit., hlm. 160.
[55]Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung; Remaja Rosdakarya Offset, Cet. I, 1991, hlm. 33.
[56]R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan … Op.Cit., hlm. 32.
[57]Mr. B. Ter Haar Bzn, Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht … Op.Cit., hlm. 163.
[58]Penjelasan Pasal 6 poin (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[59]I Gede AB. Wiranata, Hukum Adat Indonesia: perkembangan dari masa ke masa, Bandung; Citra Aditya Bakti, Cet. I, 2005, hlm. 277.
[60]Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991.
[61]Ulama fiqih menganjurkan agar wanita yang akan dijadikan istri mempunyai ciri dan sifat, yaitu: wanita yang istiqamah; bisa melahirkan anak; seorang gadis; taat pada agamanya; dari keturunan yang baik; cantik; sebaiknya dari keluarga jauh yang tidak memiliki hubungan kekerabatan sama sekali; dan sebaliknya beristri tidak lebih dari satu orang karena sulitnya berlaku adil. Lihat lebih lanjut, Abdul Aziz Dahlan, et.all., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III, Jakarta; Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. I, 1996, hlm. 928.
[62]Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), Edisi I, 2, hlm. 55.
[63]Pasal 27 BW berbunyi “Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.”