Senin, 04 Februari 2013

MINYAK ATSIRI INDONESIA


MEMBANGUN EKONOMI INDONESIA
MELALUI MINYAK ATSIRI BERBASIS KERAKYATAN

Mukhtar Alshodiq 

BASIS ALAMIAH NUSANTARA
“Nusantara” merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan, yang membentang dari Sumatera sampai Papua. Kata ini tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16), untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit.[1] Setelah sempat terlupakan, pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara, sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia-Belanda yang belum terwujud. Ketika penggunaan nama "Indonesia" (berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata “Nusantara” tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia. Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah ini kemudian dipakai pula untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya, namun biasanya tidak mencakup Filipina. Dalam pengertian terakhir, Nusantara merupakan padanan bagi Kepulauan Melayu (Malay Archipelago), suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa Inggris.[2]
Gajah Mada menyatakan dalam Sumpah Palapa, bahwa Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.[3]
Kitab Negarakertagama mencantumkan wilayah-wilayah "Nusantara", yang pada masa sekarang dapat dikatakan mencakup sebagian besar wilayah modern Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan Maluku, dan Papua Barat) ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei, dan sebagian kecil Filipina bagian selatan. Secara morfologi, kata ini adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kunonusa” (pulau) danantara” (lain/seberang).[4]
Kini, kebanyakan sejarawan Indonesia percaya bahwa konsep kesatuan Nusantara bukanlah pertama kali dicetuskan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa pada tahun 1336, melainkan dicetuskan lebih dari setengah abad lebih awal oleh Kertanegara pada tahun 1275. Sebelumnya dikenal konsep Cakrawala Mandala Dwipantara yang dicetuskan oleh Kertanegara, raja Singhasari. Dwipantara adalah kata dalam bahasa Sanskerta untuk "kepulauan antara", yang maknanya sama persis dengan kata “Nusantara”, karena "dwipa" adalah sinonim "nusa" yang bermakna "pulau". Kertanegara memiliki wawasan suatu persatuan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara di bawah kewibawaan Singhasari dalam menghadapi kemungkinan ancaman serangan Mongol yang membangun Dinasti Yuan di Tiongkok. Karena alasan itulah, Kertanegara meluncurkan Ekspedisi Pamalayu untuk menjalin persatuan dan persekutuan politik dengan kerajaan Malayu Dharmasraya di Jambi. Pada awalnya, ekspedisi ini dianggap penaklukan militer, akan tetapi belakangan diduga ekspedisi ini lebih bersifat upaya diplomatik berupa unjuk kekuatan dan kewibawaan menjalin persahabatan dan persekutuan dengan kerajaan Malayu Dharmasraya. Buktinya, Kertanegara justru mempersembahkan Arca Amoghapasa sebagai hadiah untuk menyenangkan hati penguasa dan rakyat Malayu. Sebagai balasannya, raja Melayu mengirimkan putrinya; Dara Jingga dan Dara Petak ke Jawa untuk dinikahkan dengan penguasa Jawa.[5]
Pada tahun 1920-an, Ki Hajar Dewantara memperkenalkan nama "Nusantara" untuk menyebut wilayah Hindia Belanda. Nama ini dipakai sebagai salah satu alternatif karena tidak memiliki unsur bahasa asing (India). Alasan ini dikemukakan, karena Belanda, sebagai penjajah, lebih suka menggunakan istilah Indie (Hindia), yang menimbulkan banyak kerancuan dengan literatur berbahasa lain. Definisi ini jelas berbeda dengan definisi pada abad ke-14. Pada tahap pengusulan ini, istilah itu "bersaing" dengan alternatif lainnya, seperti "Indonesië" (Indonesia) dan "Insulinde" (berarti: Hindia Kepulauan). Istilah yang terakhir ini diperkenalkan oleh Eduard Douwes Dekker (lihat, Justus M. van der Kroef (1951). “The Term Indonesia: Its Origin and Usage". Journal of the American Oriental Society 71 (3), page 166–171).[6]
Literatur-literatur Eropa berbahasa Inggris (lalu diikuti oleh literatur bahasa lain, kecuali Belanda) pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 menyebut wilayah kepulauan mulai dari Sumatera hingga kepulauan rempah-rempah (Maluku) sebagai Malay Archipelago (Kepulauan Melayu). Istilah ini populer sebagai nama geografis, setelah Alfred Russel Wallace menggunakan istilah ini untuk karya monumentalnya, namun pulau Papua (New Guinea) dan sekitarnya tidak dimasukkan dalam konsep "Malay Archipelago", karena penduduk aslinya tidak dihuni oleh cabang ras Mongoloid sebagaimana kepulauan Melayu dan secara kultural juga berbeda. Jelas bahwa konsep "Kepulauan Melayu bersifat antropo-geografis (geografi budaya). Belanda, sebagai pemilik koloni terbesar, lebih suka menggunakan istilah "Kepulauan Hindia Timur" (Oost-Indische Archipel) atau tanpa embel-embel timur.
Ketika "Nusantara" yang dipopulerkan kembali tidak dipakai sebagai nama politis sebagai nama suatu bangsa baru, istilah ini tetap dipakai oleh orang Indonesia untuk mengacu pada wilayah Indonesia. Dinamika politik menjelang berakhirnya Perang Pasifik (berakhir 1945) memunculkan wacana wilayah Indonesia Raya yang juga mencakup Britania Malaya (kini Malaysia Barat) dan Kalimantan Utara. Istilah "Nusantara" pun menjadi populer di kalangan warga Semenanjung Malaya, berikut semangat kesamaan latar belakang asal-usul (Melayu) di antara penghuni Kepulauan dan Semenanjung.
Pada waktu negara Malaysia (1957) berdiri, semangat kebersamaan di bawah istilah "Nusantara" tergantikan di Indonesia dengan permusuhan yang dibalut politik konfrontasi oleh Soekarno. Ketika permusuhan berakhir, pengertian Nusantara di Malaysia tetap membawa semangat kesamaan rumpun. Sejak itu, pengertian "Nusantara" bertumpang tindih dengan "Kepulauan Melayu".[7]
Indonesia Raya atau Melayu Raya adalah gagasan atau konsep politik yang bertujuan mempersatukan rumpun bangsa Melayu dalam kesatuan negara kebangsaan dengan menggabungkan wilayah koloni Britania Raya di Semenanjung Malaya dan Borneo Utara (wilayah yang kini membentuk negara Malaysia, Singapura, dan Brunei), dengan Hindia Belanda (kini Indonesia). Gagasan “Melayu Raya” diajukan oleh para pelajar dan alumni Universitas Pendidikan Sultan Idris, Malaya Britania pada tahun 1920-an, dan kemudian gagasan yang sama disebut “Indonesia Raya” diajukan oleh para tokoh politik Indonesia dari Sumatera dan Jawa, seperti Muhammad Yamin dan Soekarno pada tahun 1950-an.[8]
Gagasan Melayu Raya ini diajukan oleh seorang guru sejarah dari Universitas Pendidikan Sultan Idris, Abdul Hadi Hassan, Malaya Britania. Selain karena persamaan suku bangsa, bahasa, agama, dan budaya kebanyakan rakyatnya sebagai bangsa serumpun dan serantau di Nusantara. Gagasan ini didasari kesadaran sejarah, bahwa wilayah Malaya Britania, Borneo Utara, dan Hindia Belanda dulu pernah dipersatukan dalam sebuah kemaharajaan raya, seperti Sriwijaya, Majapahit, Kesultanan Malaka, dan Kesultanan Johor-Riau, hingga akhirnya dipisahkan oleh kolonialisme Inggris dan Belanda.
Pada akhir dekade 1920-an, gagasan membentuk negara kebangsaan yang merdeka dan berdaulat tumbuh di antara rakyat koloni Hindia Belanda. Sementara di Semenanjung Malaya, gagasan untuk membentuk Melayu Raya diajukan, sementara di Hindia Belanda tokoh pemuda pergerakan nasional lebih memusatkan perhatian pada gagasan untuk menyusun negara kebangsaan Indonesia sebagai pewaris Hindia Belanda jika kelak menjadi negara merdeka. Pada tahun 1928, dicetuskanlah Sumpah Pemuda yang bertujuan mempersatukan bangsa Indonesia dalam satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan.
Kelompok nasionalis Melayu; Kesatuan Melayu Muda yang didirikan oleh Ibrahim Yaakob pada tahun 1938, adalah salah satu organisasi yang secara tegas menganut gagasan ini sebagai cita-cita perjuangannya.[9]
Pada saat Perang Dunia II, para pendukung gagasan Indonesia Raya atau Melayu Raya bekerja sama dengan kekuatan tentara pendudukan Jepang untuk melawan Inggris dan Belanda. Sikap bekerja sama ini didasari dengan harapan, bahwa Jepang akan mempersatukan Hindia Belanda, Malaya, dan Borneo, kemudian memberikan kemerdekaan. Dapat dipahami, bahwa dengan bersatunya wilayah koloni Eropa ini dalam suatu wilayah pendudukan Jepang, maka pembentukan sebuah kesatuan negara Indonesia Raya atau Melayu Raya dimungkinkan. Pada Juli 1945 dibentuk organisasi bernama KRIS (Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung), yang kelak diubah menjadi "Kekuatan Rakyat Indonesia Istimewa" di bawah pimpinan Datuk Ibrahim Yaakob dan Dr. Burhanuddin Al-Hemy, dengan tujuan mencapai kemerdekaan dari Inggris, dan persatuan dengan Indonesia. Rencana ini sudah dirundingkan dengan Soekarno dan Hatta.
Pada 12 Agustus 1945, Ibrahim Yaakob bertemu dengan Soekarno, Hatta, dan Dr. Radjiman di Taiping – Perak. Soekarno dan rombongan mampir di Bandar Udara Taiping dalam perjalanan pulang dari Saigon, Vietnam, menuju Jakarta setelah sebelumnya bertemu dengan Marsekal Terauchi di Dalat untuk membicarakan mengenai percepatan rencana kemerdekaan Indonesia dan menerima pernyataan Terauchi secara langsung, bahwa Jepang mengizinkan Indonesia merdeka. Pada pertemuan ini, Yaakob menyatakan niatnya untuk menggabungkan Semenanjung Malaya ke dalam Indonesia merdeka. Pada pertemuan singkat itu, Soekarno yang didampingi Hatta menjabat tangan Yaakob dan berujar, "Marilah kita membentuk satu tanah air untuk seluruh putra-putri Indonesia".
Soekarno dan Muhammad Yamin adalah tokoh politik Indonesia yang sepakat dengan gagasan persatuan raya ini. Akan tetapi, mereka enggan untuk menyebut gagasan ini sebagai "Melayu Raya" dan menawarkan nama lain, yaitu "Indonesia Raya". Pada hakikatnya, baik Melayu Raya maupun Indonesia Raya adalah gagasan politik yang sama persis. Keengganan untuk menamai Melayu Raya karena berbeda dengan di Malaya, di Indonesia istilah Melayu lebih merujuk kepada suku Melayu yang dianggap hanyalah sebagai salah satu dari berbagai suku bangsa di Nusantara, yang memiliki kedudukan yang setara dengan suku Minangkabau, Aceh, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Dayak, Bugis, Makassar, Minahasa, Ambon, dan lain sebagainya. Penghimpunan berdasarkan ras atau suku bangsa "Melayu" dikhawatirkan rawan dan kontra-produktif dengan persatuan Indonesia yang mencakup berbagai suku bangsa, agama, budaya, dan ras. Karena banyak suku bangsa di Indonesia Timur, seperti Papua, Ambon, dan Nusa Tenggara Timur, bukanlah termasuk rumpun Melayu Austronesia,[10] melainkan rumpun bangsa Melanesia.[11]
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito tiba-tiba mengumumkan lewat siaran radio, bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada kekuatan Sekutu. Republik Indonesia secara mandiri memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena dituding sebagai kolaborator Jepang, pada tanggal 19 Agustus 1945 Ibrahim Yaakob dengan menumpang pesawat terbang militer Jepang terbang ke Jakarta. Ibrahim Yaakob mengungsi ke Jakarta bersama istrinya Mariatun Haji Siraj, iparnya Onan Haji Siraj dan Hassan Manan. Ibrahim Yaakob yang memperjuangkan gagasan bersatunya Semenanjung Malaya dengan Indonesia kemudian bermukim di Jakarta hingga akhir hayatnya. Dengan jatuhnya Jepang pada bulan Agustus 1945, semua cita-cita persatuan itu praktis mati dan tidak berkembang lagi di Semenanjung Malaya sejak saat itu.
Selepas kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan melalui perjuangan bersenjata dalam Revolusi Nasional Indonesia dalam kurun tahun 1945-1949, Republik Indonesia akhirnya mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Sementara itu, selepas pendudukan Jepang, Semenanjung Malaya dan Borneo Utara praktis berada di bawah kekuasaan dan kendali Britania Raya.
Pada akhir dasawarsa 1950-an, Soekarno secara tegas menolak pembentukan negara Malaysia oleh Britania Raya yang mencakup Semenanjung Malaya dan Borneo Utara. Sikap politik ini mengarah kepada Konfrontasi Indonesia-Malaysia pada awal dasawarsa 1960-an berupa peperangan skala kecil yang tidak diumumkan secara resmi. Soekarno menuding, bahwa negara Malaysia adalah negara boneka bentukan Inggris yang ingin membentuk kolonialisme dan imperialisme baru di Asia Tenggara dan mengepung Indonesia. Akan tetapi, analisis lain menduga bahwa peperangan ini sesungguhnya merupakan ambisi Soekarno yang hendak mempersatukan Semenanjung Malaya dan seluruh pulau Kalimantan ke dalam wilayah Indonesia untuk menggenapi wilayah kebangsaan yang lebih luas, yaitu "Indonesia Raya".
Menjelang akhir 1965, kekuasaan Soekarno runtuh dan Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnyaG30S/PKI. Karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda. Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian. Dengan perjanjian damai ini, maka Indonesia dan Malaysia resmi menjadi dua entitas negara bangsa yang terpisah dengan saling mengakui keberadaan dan kedaulatan masing-masing.
Selepas perjanjian perdamaian dengan Malaysia, Indonesia disibukkan dengan masalah dalam negerinya, yakni berusaha membangun ekonomi sambil menjaga persatuan negara yang sangat majemuk, akibatnya pada era pemerintahan Soeharto untuk menjamin stabilitas dan demi persatuan dan kesatuan, maka kebebasan dan demokrasi dikorbankan. Indonesia pada tahun 1975 sempat menguasai bekas koloni Portugal Timor Timur hingga akhirnya merdeka tahun 2002 sebagai Timor Leste, dan kemudian didera berbagai masalah seperti krisis ekonomi, separatisme di Aceh dan Papua, hingga masalah terorisme. Indonesia akhirnya lebih tertarik dan memusatkan perhatiannya untuk "menjadi Indonesia" dengan membangun karakter bangsa dan berupaya mendefinisikan dirinya sebagai negara-bangsa yang majemuk ber-Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila dan bersatu dengan wilayah membentang dari Sabang sampai Merauke. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia cenderung cukup puas menyalurkan hasrat, kekuatan, dan ambisi politik regionalnya dalam bentuk sikap kepemimpinan di antara negara ASEAN.
Sementara Malaysia tengah bergulat dalam upaya pembentukan negaranya dan menghadapi masalah dalam hubungan antar-ras, terutama antara mayoritas etnis Melayu dengan minoritas etnis Tionghoa dan India Hindu hingga kini. Masalah hubungan antar-ras inilah yang telah mengakibatkan berpisahnya Malaysia dengan Singapura pada dasawarsa 1960-an. Sementara Brunei tidak menghendaki bergabung dengan Malaysia dan memilih di bawah kekuasaan Britania Raya hingga tahun 1984. Dengan masing-masing pihak sibuk dalam urusannya sendiri, maka gagasan pembentukan kesatuan politik raya yang mempersatukan bangsa Melayu serumpun dan serantau dalam satu negara besar, yaitu Melayu Raya atau Indonesia Raya punahlah sudah.
Ketika akhirnya "Indonesia" ditetapkan sebagai nama kebangsaan bagi negara independen pelanjut Hindia-Belanda pada Kongres Pemuda II (1928), istilah Nusantara tidak serta-merta surut penggunaannya. Di Indonesia dipakai sebagai sinonim bagi "Indonesia", baik dalam pengertian antropo-geografik (beberapa iklan menggunakan makna ini) maupun politik (misalnya dalam konsep Wawasan Nusantara).
Istilah “Indonesia” dalam pengertian geografis dan bangsa. Secara geogiafis, Indonesia berarti bagian bumi yang membentang dari 95°-141° Bujur Timur, dan 6° Lintang Utara sampai 11 Lintang Selatan, sedangkan Indonesia dalam arti bangsa yang secara politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam wilayah tersebut. Istilah “Indonesia” pertama kalinya ditemukan oleh seorang ahli etnologi Inggris bernama James Richardson Logan pada tahun 1850 dalam ilmu bumi. Istilah Indonesia digunakan juga oleh G.W. Earl dalam bidang etnologi ketika menyebut Indonesians dan Melayunesians bagi penduduk Kepulauan Melayu.
Pada tahun 1862, istilah Indonesia digunakan oleh orang Inggris bemama Maxwell dalam karangannya berjudul The Island of Indonesia (Kepulauan Indonesia) dalam hubungannya dengan ilmu bumi. Istilah Indonesia semakin populer ketika seorang ahli etnologi Jerman bernama Adolf Bastian menggunakan istilah Indonesia pada tahun 1884 dalam hubungannya dengan etnologi.
Kata Indonesia berasal dari kata Latin “Indus” yang berarti Hindia, dan kata Yunani “nesos” yang berarti pulau, nesioi (jamak) berarti pulau-pulau. Dengan demikian, kata “Indonesia” berarti pulau-pulau Hindia.
Bangsa Indonesia pertama kali menggunakan nama “Indonesia” secara politik, ketika organisasi Perhimpunan Indonesia berdiri, yaitu organisasi yang didirikan oleh pelajar-pelajar Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1908. Organisasi tersebut pertama kali bemama Indische Vereeniging. Kemudian nama itu diganti menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922. Selanjutnya, pada tahun 1922 juga namanya diganti menjadi Perhimpunan Indonesia.[12]
Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II di Jakarta menggunakan istilah “Indonesia” dalam hubungan dengan persatuan bangsa. Kongres Pemuda tersebut pada  tanggal 28 Oktober 1928 menghasilkan Sumpah Pemuda yang di dalamnya tercantum nama “Indonesia”. Istilah Indonesia secara resmi digunakan sebagai nama negara pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan  proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan alur sejarah lahirnya istilah “nusantara” dan “Indonesia” tampak, bahwa istilah tersebut tidak lahir secara alamiah dan disepakati penggunaannya begitu saja, tetapi didasari oleh basis kekuatan alamiah (alam) yang dimiliki pulau ini, yakni rempah-rempah[13] yang banyak tumbuh di wilayah kepulauan Melayu (Malaya Archipelago) selain penguatan atau kehendak politik kolonial Hindia Belanda saat itu. Karena kekayaan rempah yang dimiliki wilayah nusantara itulah yang memikat dan menjadi salah satu alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan Maluku. Rempah-rempah ini pula yang menyebabkan Belanda kemudian menyusul ke Maluku, kemudian bangsa Spanyol di bawah pimpinan Magellan telah lebih dahulu mencari jalan ke Timur melalui jalan lain, yakni melewati samudera Pasifik dan akhirnya mendarat di pulau Luzon Filipina.

REMPAH-REMPAH DAN POLITIK KOLONIAL
Kenapa rempah-rempah yang tidak tumbuh di Eropa tetapi begitu dibutuhkan dan didambakan, bahkan mereka ‘terpaksa’ melakukan penemuan-penemuan dan riset bercampur nekat membuat kapal-kapal besar yang bisa berlayar di samudera luas yang penuh bahaya menuju pulau rempah-rempah itu?[14]
Rempah-rempah zaman dulu bukan hanya sebagai bahan pengawet makanan, sedangkan orang Eropa sudah mengawetkan daging dengan cara penggaraman atau pengasapan. Namun kecintaan orang Eropa dengan rempah-rempah dipengaruhi oleh persepsi dan hal lain yang ada di luar indra perasa.
Perdagangan antara orient (timur/Arab) dan occident (barat/Eropa) sudah terjalin sejak dulu dan tidak pernah berhenti sampai zaman Yunani-Roma, tapi pada awal abad pertengahan, perdagangan ini sangat kecil jumlahnya. Ketika perang Salib dimulai pada abad ke 11, bangsa Eropa mulai bersinggungan langsung dengan orang-orang Arab dan ‘orient’ menjadi kenyataan bagi orang Eropa, dari sini dimulailah gegar budaya yang dialami bangsa Eropa.
Bangsa Eropa mulai menggunakan angka Arab yang akibatnya sangat fenomenal bagi ilmu pembukuan dan organisasi kapitalis mereka, juga ilmu astronomi dan kelautan. Tapi yang paling mempengaruhi mereka adalah kemewahan yang ada di istana-istana Arab, seperti: karpet, sofa, tirai-tirai, mahligai di atas singgasana (baldachin), kain sutera, beludru, damask, taffeta, serta tidak ketinggalan wewangian dan rempah-rempah. Secara keseluruhan, kehidupan sosial masyarakat kelas atas Eropa mulai berubah sama sekali, tidak ada lagi ruangan kosong melompong, sekarang kastil-kastil bangsawan dihias dengan bahan-bahan dan gaya yang baru, begitu pula dengan makanan mereka diberi bumbu ‘oriental’.
Orang Eropa mengenal rempah-rempah dari orang Arab yang sebagai broker, berusaha menjaga sumber rempah-rempahnya supaya tidak diketahui asal muasalnya. Orang Eropa mengasosiasikan rempah-rempah dengan negara antah berantah yang berhubungan dengan surga. Tidak ada penulis abad pertengahan yang mengasosiasikan surga tanpa bau atau rasa rempah-rempah. Taman bagi para Santo maupun kekasih digambarkan berbau kayumanis, pala, jahe, dan cengkeh.
Dominasi Islam sebelah selatan dan timur laut Tengah yang terus ke timur hingga Persia menjadikan pedagang Arab sebagai pemain terbesar rempah-rempah di abad pertengahan. Para pedagang Arab membeli rempah-rempah dari India hingga pelabuhan-pelabuhan di selat Malaka, bahkan ke kepulauan satu-satunya di dunia tempat asal dari pala, kemiri, dan cengkeh di Maluku.
Rempah-rempah ini dari pelabuhan Alexandria dan Gaza diangkut ke Venesia dan Genoa, yang sejak abad ke 8 memegang monopoli perdagangan merica, kayumanis, pala, dan cengkeh untuk Eropa. Venesia menjadi sangat kaya akibat perdagangan ini.
Trend ini terus berlangsung hingga abad ke 16, di mana rempah-rempah menjadi simbol status. Semakin kaya seseorang, maka makanan pestanya semakin mahal karena rempah-rempahnya semakin banyak. Dalam sebuah catatan banquet abad pertengahan dicatat bahan makanan yang diperlukan untuk pesta dengan 40 orang tamu: 1 pon bubuk colombine, 1/2 pon bubuk kayumanis, 2 pon gula, 1 ons safron, 1/4 pon cengkeh, 1/8 pon merica, 1/8 pon lengkuas, 1/8 pon pala, 1/8 pon daun bay. Ketika Raja Skotland berkunjung ke raja Inggris Richard I pada tahun 1194, setiap hari dia diberi 2 pon merica dan 4 pon kayumanis sebagai tanda keramahtamahan.
Rempah-rempah menjadi simbol status dan untuk menikmatinya harus dipamerkan daripada dikonsumsi sendiri. Rempah-rempah akan diedarkan kepada para tamu dengan baki perak dan emas untuk dibawa pulang. Rempah-rempah disimpan sebagaimana permata berharga. Merica seringkali digunakan untuk pembayaran karena harganya sama dengan emas. Rempah-rempah juga diasosiasikan dengan pengobatan dan kesehatan. Cengkeh dikunyah untuk menghilangkan bau mulut dan mengobati sakit gigi.
Ketergantungan occident terhadap orient tidak bisa dibendung, ketika jalur perdagangan rempah ini ditutup pada zaman kekhalifahan Ottoman yang menguasai Turki dan Mesir dan menaikkan harga rempah-rempah dengan semena-mena, Eropa mengalami kelangkaan rempah-rempah yang parah. Ini menjadi peristiwa terpenting bagi sejarah dunia ketika Portugal dan Spanyol di abad ke 16 mulai menjalankan misi mencari pulau rempah-rempah dengan armada lautnya untuk mengakhiri dominasi Arab dalam perdagangan rempah-rempah.
Selama ribuan tahun perdagangan rempah-rempah merupakan perdagangan tidak langsung dengan banyak penghubung sehingga masyarakat Eropa tidak mengetahui dari mana asal rempah-rempah tersebut.  Rempah-rempah permintaannya sangat tinggi, sedangkan pasokannya dikontrol.  Ketika Islam menguasai area Syiria, Persia, dan Jazirah Arab perdagangan rempah-rempah berada dalam kekuasaan pedagang Arab/Islam.
Pedagang Arab sebagai perantara rempah-rempah ini berusaha agar orang Eropa tidak mengetahui asal muasal rempah-rempah. Pada abad ke 5 SM, Herodotus tertipu oleh kisah pedagang Arab yang mengatakan, bahwa kayu manis berasal dari pegunungan di Arabia, dijaga oleh burung buas yang sarangnya terbuat dari kayu manis ditebing yang curam. Burung itu diberi umpan keledai segar dan ketika burung ini berusaha mengambil daging keledai dia terhempas ke tanah, sehingga pedagang Arab itu bisa naik mengambil sarang burung itu.
Sejak 2600 SM, Mesir sudah mengimpor rempah-rempah untuk memberi makan para pekerja Asia yang sedang membangun piramida agar punya lebih banyak tenaga. Cengkeh juga sudah agak populer di Syiria sekitar waktu itu, tanaman yang hanya terdapat di satu pulau di Nusantara. Sementara di Eropa, rempah-rempah terutama digunakan untuk pengawetan makanan, karena pada saat panen yang gagal, makanan mulai rusak, hanya bisa dimakan jika diberi garam dan merica yang banyak. Pada tahun 408, kaum Visigoth meminta tebusan emas, perak dan merica agar mereka menghentikan mengepung Roma. Sebuah daftar harga abad ke 14 memperlihatkan harga satu pon pala adalah senilai tujuh ekor lembu gemuk. Waktu itu juga dikenal istilah ‘peppercorn rent’ yaitu membayar sewa kamar dengan merica saking harganya mahal.
Ketika Turki jatuh ke Ottoman pada 1453, mereka menutup jalur rempah-rempah yang biasa dilalui Arab ke Venesia, sehingga perdagangan harus melalui Mesir yang menaikkan pajak rempah-rempah sampai 30%.
Kelaparan akan rempah-rempah yang dimonopoli pedagang Mesir dan Venesia ini memaksa para raja-raja Eropa untuk mendanai kapal-kapal untuk berburu rempah-rempah langsung ke India. Sebetulnya, secara khusus perjalanan diarahkan ke Selat Malaka, sebuah pusat perdagangan rempah-rempah dan konon gerbang menuju sebuah pulau rempah-rempah. Pembiayaan perjalanan ini sangat beresiko karena hanya setengah dari kapal-kapal tersebut yang bisa kembali. Mereka meyakini, bahwa siapapun yang menguasai Malaka akan memegang tenggorokan Venesia.
Ketika penjelajah Portugis datang ke Lisbon dari India dengan membawa banyak rempah-rempah, Venesia dan Mesir tertegun, harga lada di Lisbon turun sampai seperlima harga di Venesia.
Petualangan mencari rempah-rempah juga dilakukan Spanyol. Alih-alih melewati jalur selatan memutari benua Afrika, Christopher Columbus melewati jalur barat dan malah terdampar di benua baru Amerika. Untuk meyakinkan, bahwa dia tidak gagal, maka dia menamakan rakyat pribumi sebagai ‘orang India’/Indian dan menamakan cabe sebagai ‘merica merah’ (red pepper) istilah yang membuat bingung sampai saat ini.
Paus Alexander IV membuat perjanjian Tordesillas yang membagi wilayah penjelajahan supaya tidak berebutan: Spanyol ke arah barat, Portugis ke timur. Tapi Spanyol tetap ingin menemukan pulau rempah itu dan mengira-gira, bahwa berlayar terus ke barat pun bisa menuju ke pulau rempah, lalu mengutus Ferdinand Magellan berlayar terus ke barat yang menjadikannya orang pertama yang berlayar mengitari bumi. Magellan terbunuh di Filipina dan perjalanan dilanjutkan oleh sahabatnya Sebastian del Cano yang berhasil sampai di kepulauan rempah. Kapal Victoria kembali pada tahun 1522 dengan berton-ton rempah. Del Cano diberi penghargaan oleh raja berupa lambang berhiaskan dua batang kayumanis, tiga pala, dan dua belas cengkeh.

Pada tahun 1511, Portugis merebut Malaka. Dari sinilah Portugis mengetahui pulau rempah kecil yang merupakan satu-satunya tempat sumber dari pala dan kemiri, pulau kecil bernama Banda. Sampai sekarang pala merupakan bahan penting dalam resep rahasia minuman Coca Cola.
Sepanjang abad ke 16, Spanyol dan Portugis berebut untuk bisa memperoleh pengaruh di wilayah ini. Buktinya, kerajaan-kerajaan di Maluku ada yang bersaudara dan juga saling berperang, ketika itu Portugis berhasil mengadu domba kerajaan keluarga ini, mengangkat Sultan untuk keuntungan mereka. Portugis akhirnya menjadi pemain utama dalam perdagangan cengkeh. Belanda yang gelisah ingin turut serta berhasil menjadi distributor Portugal untuk Eropa bagian utara dan barat. Ketika Potugal jatuh ke Spanyol pada 1580, Belanda tidak lagi menjadi distributor mereka dan perdagangan dikuasai Spanyol dan menaikkan harga di semua benua.
Belanda tidak mau tinggal diam, dengan pengalaman mengetahui seluk beluk perdagangan rempah, maka pada tahun 1602 Belanda membentuk The Vereenigde Oost-Indische Compagnie, kemudian dikenal dengan nama VOC, artinya Perusahaan Belanda India Timur - asosiasi pedagang untuk mengurangi kompetisi, mengurangi resiko, dan memperbesar skala ekonomi. Negara-negara Eropa yang lain juga membentuk East India Company yang anggotanya mulai dari Portugis, Swedia sampai Austria. Tapi tidak ada yang bisa menandingi kesuksesan VOC. Pada tahun 1670, perusahaan ini merupakan perusahaan terkaya di dunia dengan dividen kepada pemegang sahamnya mencapai 40%. Pegawainya 50.000 orang, 30.000 ‘centeng’ dan 200 kapal yang sebagiannya bersenjata. Adapun rahasia suksesnya adalah “Mereka tidak punya keberatan terhadap apapun”.
Tujuan pertama VOC adalah Banda. Banda tidak pernah mengizinkan Portugis atau Spanyol mendirikan benteng. Sultannya sangat netral dan ingin berdagang dengan siapapun. Jan Pieterszoon Coen berhasil meyakinkan Sultan Banda, bahwa dia diutus Tuhan untuk memonopoli perdagangan pala dengan cara memenggal setiap pria berusia lima belas tahun ke atas.  Coen membawa tentara bayaran Jepang untuk menyiksa pemimpin desa dan kepalanya ditusuk di tiang. Populasi di pulau itu sebelumnya 15.000 orang dan 15 tahun setelah kedatangan VOC tinggal 600 orang, dari berlayar menjadi memenggal demi rempah-rempah.

MEMBANGUN EKONOMI INDONESIA BERASASKAN PANCASILA
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah dijajah ± 3 ½ abad lamanya oleh Belanda dan negara yang bersekutu dengannya, dimana tujuan awal kedatangannya di bumi nusantara ini adalah untuk berdagang rempah-rempah, tetapi lambat laun emosi keserakahan untuk menguasai dan memonopoli kekayaan alam nusantara itu semakin tertanam dalam pikiran orang Eropa tersebut, maka salah satu upaya yang paling strategi adalah “penjajahan”, selain dengan politik adu domba juga memperdaya kerajaan-kerajaan yang ada. Melalui penjajahan itulah, bangsa Eropa dengan bebas dan leluasa tanpa adanya kesepakatan secara ekonomi untuk menguasai dan meraup sebanyak mungkin rempah-rempah yang ada, kemudian dibawa ke negara tujuan mereka.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia merdeka, dengan suatu tekad sebagaimana termaktub dalam Preambule UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Maka sejak itulah jiwa dan semangat kebangsaan tertanam untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan bermartabat setara dengan negara-negara lainnya di dunia internasional. Adapun tujuan negara yang diidam-idamkan adalah negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Untuk mewujudkan konsep negara yang berdaulat, adil, dan makmur tersebut, kemudian dibentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima asas di atas itulah menjadi falsafah bangsa dan negara Indonesia, yang kemudian dikenal dengan nama PANCASILA. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan kepentingan bangsa, negara, dan seluruh warganegara Indonesia, baik kepentingan lokal, regional, nasional, maupun internasional harus berasaskan pada jiwa dan semangat falsafah dasar negara tersebut, tak terkecuali dalam membangun perekonomian Indonesia.
Asas Pancasila itulah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lainnya di dunia dalam kancah internasional, di mana negara Indonesia berasaskan pada ajaran “ketuhanan”, tetapi tidak hanya mengakui satu ajaran agama dan kepercayaan melainkan keberadaan agama dan kepercayaan itu hidup rukun dan damai. Oleh karena itu, Indonesia bukan negara ateis tetapi bukan pula negara agamis yang berideologikan hukum-hukum agama tertentu. Hal ini semata-mata Indonesia menjunjung tinggi harkat dan martabat “kemanusiaan yang adil dan beradab”, yakni menempatkan manusia bukan sebagai obyek eksploitasi kekuasaan, tetapi memposisikan manusia seimbang dan setara dengan manusia lainnya serta mengakui keberadaannya berdasarkan suku, ras, agama, dan sosial-politik yang berbeda-beda. Keberpihakan Indonesia melalui falsafah Pancasila tersebut adalah untuk mempersatukan jiwa, raga, dan semangat bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harmonis, adil, dan makmur dari Sabang sampai Mauroke.
Untuk mewujudkan “persatuan Indonesia” itulah, maka sistem kekuasaan negara dibentuk berdasarkan sistem pembagian kekuasaan negara (distribute/divicion of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power), bahwa kekuasaan negara hanya fungsi pokoknya yang dibedakan menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi kerjasama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi. Bentuk negara Indonesia ini menerapkan teori “Trias Politica” yang dilahirkan oleh pemikir Inggris Jhon Locke dan oleh pemikir Perancis de Montesquieu dijabarkan dalam bukunya L’Espris des Lois, yang mengandung maksud, bahwa kekuasaan masing-masing alat perlengkapan negara atau lembaga negara adalah: badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk undang-undang; badan eksekutif, yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang; serta badan judikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan undang-undang, memeriksa dan mengadilinya. Akan tetapi, sekalipun ketiga kekuasaan terpisah satu sama lain, namun masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya melalui sistem “checks and balances” (pengawasan dan keseimbangan), di mana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya. Sistem checks and balances ini terbentuk di antara lembaga kekuasaan negara melalui kesepakatan yang dihasilkan oleh rakyat secara demokratis. Yakni, prinsip “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Tujuan utama yang diinginkan dalam pembangunan dan kemajuan Indonesia adalah terwujudnya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Keadilan sosial mencakup seluruh dimensi dan sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, karena itu konsep keadilan sosial yang menjadi barometer Indonesia adalah berasaskan pada ajaran ketuhanan, bukan keadilan berdasarkan sosialis-komunis, liberalis, kapitalis, maupun imperalis. Keadilan sosial berdasarkan “ketuhanan” minimal memiliki dua aspek, yaitu: masyarakat yang berkeadilan, yaitu kondisi masyarakat yang menunjukkan pada tata kehidupan yang terpenuhi kebutuhan hidup manusianya dalam aspek rohani serta masyarakat yang berkemakmuran, yaitu kondisi masyarakat yang menunjukkan pada tata kehidupan yang terpenuhi berbagai kebutuhan hidup dari segi material atau jasmani. Secara rinci, nilai-nilai yang terkandung dalam keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah: mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan; mengembangkan sikap adil terhadap sesame; menjaga keseimbangan hak dan kewajiban; menghormati hak orang lain; suka memberi pertolongan kepada orang lain; tidak menggunakan hak milik perorangan untuk memeras orang lain; tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah; tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum; suka bekerja keras; suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama; suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.
Konsep Pancasila itulah yang menjadi asas utama dalam pembangunan dan kemajuan ekonomi Indonesia, yakni ekonomi yang berasaskan pada prinsip-prinsip keadilan dan kemakmuran demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia berdasarkan ajaran ketuhanan. Oleh karena itu, sistem ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam sistem ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat, sehingga terwujud pemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratais, melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya dinikmati oleh semua warga masyarakat.

MEMBANGUN ENTERPRENEUR PETANI
Sebagian besar kalangan masih menempatkan “Petani Indonesia” adalah kalangan tak berpendidikan, miskin, pengangguran, tak berdaya, dan masih banyak identitas negatif yang dilekatkan pada diri petani itu. Dalam kondisi stigma kualitas negatif tersebut, petani semakin tak berdaya dari hasil pertaniannya, karena permainan harga di tingkat penguasa dan pengusaha. Selain itu, jumlah komoditas yang dihasilkan petani semakin menurun dan kualitas yang tidak memadai, karena pupuk dan bahan pertanian lainnya mahal, sedangkan barang/komoditas impor semakin banyak dengan harga terjangkau serta kualitas yang bagus, sehingga semakin terpinggirkan petani dalam arena pembangunan dan kemajuan ekonomi bangsa. Kondisi tersebut semakin diperparah lagi dengan tingkat kemiskinan dan keterjangkauan pengetahuan rata-rata para petani yang belum tersentuh kebijakan pemerintah. Hal ini terjadi, akibat kurangnya perhatian dan keberpihakan penguasa dan pengusaha untuk memberdayakan para petani, sehingga tingkat pengetahuan petani terhadap hasil pertaniannya hanya berputar pada tanam, panen, makan, dan jual (TPMJ) saja.
Pemerintah perlu membuat terobosan kebijakan yang benar-benar memikirkan nasib petani ke depan. Jangan sampai keadaan petani semakin miskin dan tidak menentu, sehingga generasi penerus petani akan habis karena menganggap menjadi petani tidak ada yang bisa diharapkan, karena sektor minim penghasilan dan berada di kelas bawah untuk golongan pekerjaan, bahkan tidak jarang masyarakat Indonesia menganggap bahwa seorang petani atau petani hanyalah untuk golongan yang tidak ambil bagian di bidang pendidikan yang sebagian besar berasal dari masyarakat miskin.
Selain itu, petani harus dibangun sifat dan sikap mentalnya, karena budaya sosial yang dimanjakan oleh sumber daya alam yang melimpah, sehingga lahir sikap mental: “tidak mandiri” – malas bekerja – mau penghasilan banyak, sehingga seringkali terjadi manipulasi.
Merespon persaingan global, manusia ditantang membenahi diri dengan meningkatkan dan memajukan kualitas dirinya, baik secara materi maupun spiritual, yakni terbinanya sikap mental atau kejujuran yang kokoh serta terbangunnya kondisi ekonomi yang sehat. Ketika kedua hal ini terjawantahkan secara bersinergi, maka dengan sendiri akan terwujud masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan negara di atas.

POTENSI MINYAK ATSIRI INDONESIA DI DUNIA GLOBAL
Kekuatan minyak atsiri Indonesia sudah dikenal sejak era tahun 60-an sebagai negara penghasil minyak atsiri terbesar di dunia. Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang bahan bakunya berasal dari berbagai jenis tanaman perkebunan di Indonesia. Minyak atsiri dari kelompok tanaman tahunan perkebunan antara lain berasal dari cengkeh, pala, lada, kayu manis, sementara yang berasal dari kelompok tanaman semusim perkebunan berasal dari tanaman nilam, sereh wangi, akar wangi dan jahe. Hingga kini minyak atsiri yang berasal dari tanaman nilam memiliki pangsa pasar ekspor paling besar andilnya dalam perdagangan Indonesia yaitu mencapai 60 persen. Minyak Atsiri Nilam digunakan di industri parfum sebagai zat pengikat aroma dan perannya belum mampu digantikan oleh zat sintetis, sehingga kebutuhan Minyak Atsiri Nilam besar sekali.
Data ekspor BPS menunjukkan, bahwa kontribusi minyak nilam (Patchouli Oil) terhadap pendapatan ekspor minyak atsiri sekitar 60%, minyak akar wangi (Vetiner Oil) sekitar 12,47%, minyak serai wangi (Citronella Oil) sekitar 6,89%, dan minyak jahe (Ginger Oil) sekitar 2,74%. Rata-rata nilai devisa yang diperoleh dari ekspor minyak atsiri selama sepuluh tahun terakhir cenderung meningkat dari US$ 10 juta pada tahun 1991 menjadi sekitar US$ 50-70 dalam tahun 2001, 2002 dan 2003, dengan nilai rata-rata/kg sebesar US$ 13,13. Walaupun secara makro nilai ekspor ini kelihatannya kecil namun secara mikro mampu meningkatkan kesejahteraan petani di pedesaan yang pada gilirannya diharapkan dapat mengurangi gejolak sosial.
Minyak atsiri sebagai bahan baku penambah aroma, parfum dan farmasi memang banyak diminta. Menurut Data Badan Pengembangan Ekspor Nasional pada tahun 2002 rata-rata ekspor minyak atsiri untuk 5 (lima) tahun terakhir mencapai US$ 51,9 juta dengan 77 negara tujuan ekspor. Singapura dan Amerika Serikat adalah penyerap tersebar ekspor minyak atsiri Indonesia masing-masing adalah penyumbang devisa negara US$ 20 per tahun dan US$ 10 juta per tahun. Dari ekspor tersebut minyak nilam mempunyai permintaan sebesar 60% nilam, termasuk komoditas unggulan nasional dengan luas 9.600 ha dan produksi sebesar 2.100 ton minyak. Berdasarkan data yang diberikan oleh seorang eksportir minyak nilam, kebutuhan minyak nilam dunia berkisar antara 1.100-1.200 ton/tahun, sedangkan pasokan ini dapat dihasilkan minyak nilam melalui penyulingan daun dan tangkai daun.
Kendala-kendala dalam agribisnis nilam antara lain budidaya yang belum sempurna, bahan tanaman yang kurang sesuai, panen, penanganan bahan dan penyulingan yang kurang baik mengakibatkan produktivitasnya rendah. Faktor lain adalah kekeringan (iklim) dan fluktuasi harga. Kekeringan selain karena kemarau panjang juga disebabkan fenomena alam yaitu dikenal dengan El Nino. Nilam sangat peka terhadap kekeringan, kemarau panjang setelah pemangkasan dapat menyebabkan tanaman mati. Suhu yang dikehendaki sekitar 24-28° (dengan kelembaban relatif lebih dari 75% dan intensitas radiasi surya 75-100%.

PERAN DEWAN ATSIRI INDONESIA
Keberadaan Dewan Atsiri Indonesia (DAI) sebagai penyeimbang antara petani, penyuling, dan pengusaha


PENUTUP




[1]Di dalam konsep kenegaraan Jawa di abad ke-13 hingga ke-15, raja adalah "Raja-Dewa": raja yang memerintah adalah juga penjelmaan dewa. Karena itu, daerah kekuasaannya memancarkan konsep kekuasaan seorang dewa. Kerajaan Majapahit dapat dipakai sebagai teladan. Negara dibagi menjadi tiga bagian wilayah, yaitu: (1) Negara Agung merupakan daerah sekeliling ibu kota kerajaan tempat raja memerintah; (2) Mancanegara adalah daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitar yang budayanya masih mirip dengan Negara Agung, tetapi sudah berada di "daerah perbatasan". Dilihat dari sudut pandang ini, Madura dan Bali adalah daerah "mancanegara". Lampung dan jugaPalembang juga dianggap daerah "mancanegara"; dan (3) Nusantara adalah daerah di luar pengaruh budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai daerah taklukan: para penguasanya harus membayar upeti. (lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Nusantara, diakses 5/12/2012)
[3]Artinya: Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Gajah Mada bertitah, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]McIntyre, Angus (1973). "The 'Greater Indonesia' Idea of Nationalism in Malaysia and Indonesia". Modern Asian Studies 7 (1): 75–83. Dalam, http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia_Raya_ (gagasan_ politik), diakses 5/12/2012.
[10]Istilah Austronesia mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa-bahasa Austronesia. Wilayah tersebut mencakup Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara (termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Secara harafiah, Austronesia berarti "Kepulauan Selatan" dan berasal dari bahasa Latin austrālis yang berarti "selatan" dan bahasa Yunani nêsos (jamak: nesia) yang berarti "pulau". Jika bahasa Jawa di Suriname dimasukkan, maka cakupan geografi juga mencakup daerah tersebut. Studi juga menunjukkan adanya masyarakat penutur bahasa Melayu di pesisir Sri Langka.
[11]Istilah Melanesia berasal dari bahasa Yunani "pulau hitam", yaitu sebuah wilayah yang memanjang dari Pasifik barat sampai ke laut Arafura, utara dan timur laut Australia. Istilah ini pertama kali digunakan oleh penjelajah Prancis Jules Dumont d'Urville pada tahun 1832 untuk menunjuk sebuah kelompok etnis dan pengelompokan pulau-pulau yang berbeda dari Polinesia dan Mikronesia. Sekarang ini, klasifikasi "rasial" Dumont d'Urville dianggap tidak tepat, sebab dia menutupi keragaman budaya, linguistik, dan genetik Melanesia dan sekarang ini hanya digunakan untuk penamaan geografis saja.
[13]Rempah-rempah adalah bagian tumbuhan yang beraroma atau berasa kuat yang digunakan dalam jumlah kecil di makanan sebagai pengawet atau perisa dalam masakan. Rempah-rempah biasanya dibedakan dengan tanaman lain yang digunakan untuk tujuan yang mirip, seperti tanaman obat, sayuran beraroma, dan buah kering.