MEMBANGUN EKONOMI INDONESIA
MELALUI MINYAK ATSIRI
BERBASIS KERAKYATAN
Mukhtar Alshodiq
BASIS ALAMIAH NUSANTARA
“Nusantara” merupakan
istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan, yang membentang
dari Sumatera sampai Papua. Kata ini tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan
(abad ke-12 hingga ke-16), untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit.[1] Setelah sempat terlupakan,
pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara, sebagai
salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia-Belanda yang
belum terwujud. Ketika penggunaan nama "Indonesia" (berarti
Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata “Nusantara” tetap
dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai
sekarang dipakai di Indonesia. Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah
ini kemudian dipakai pula untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan
yang terletak di antara benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya, namun biasanya tidak mencakup Filipina. Dalam pengertian
terakhir, Nusantara merupakan padanan bagi Kepulauan Melayu (Malay Archipelago), suatu
istilah yang populer pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terutama
dalam literatur berbahasa Inggris.[2]
Gajah Mada menyatakan dalam Sumpah Palapa,
bahwa Sira Gajah Mada pepatih
amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara
ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun,
ring Seram, Tanjungpura, ring Haru,
ring Pahang, Dompo,
ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
samana ingsun amukti palapa.[3]
Kitab Negarakertagama mencantumkan wilayah-wilayah
"Nusantara", yang pada masa sekarang dapat dikatakan mencakup
sebagian besar wilayah modern Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara,
sebagian Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan Maluku, dan
Papua Barat) ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei, dan sebagian kecil Filipina
bagian selatan. Secara morfologi, kata ini adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa
Kuno “nusa” (pulau) dan “antara” (lain/seberang).[4]
Kini, kebanyakan
sejarawan Indonesia percaya bahwa konsep kesatuan Nusantara bukanlah pertama
kali dicetuskan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa pada tahun 1336, melainkan
dicetuskan lebih dari setengah abad lebih awal oleh Kertanegara pada
tahun 1275. Sebelumnya dikenal konsep Cakrawala
Mandala Dwipantara yang
dicetuskan oleh Kertanegara, raja Singhasari. Dwipantara adalah
kata dalam bahasa Sanskerta untuk "kepulauan
antara", yang maknanya sama persis dengan kata “Nusantara”, karena
"dwipa" adalah sinonim "nusa" yang bermakna
"pulau". Kertanegara memiliki wawasan suatu persatuan
kerajaan-kerajaan Asia Tenggara di bawah kewibawaan Singhasari dalam menghadapi
kemungkinan ancaman serangan Mongol yang membangun Dinasti Yuan di
Tiongkok. Karena alasan itulah, Kertanegara meluncurkan Ekspedisi Pamalayu untuk menjalin persatuan dan persekutuan politik
dengan kerajaan Malayu Dharmasraya di
Jambi. Pada awalnya, ekspedisi ini dianggap penaklukan militer, akan tetapi
belakangan diduga ekspedisi ini lebih bersifat upaya diplomatik berupa unjuk
kekuatan dan kewibawaan menjalin persahabatan dan persekutuan dengan kerajaan
Malayu Dharmasraya. Buktinya, Kertanegara justru mempersembahkan Arca Amoghapasa sebagai
hadiah untuk menyenangkan hati penguasa dan rakyat Malayu. Sebagai balasannya,
raja Melayu mengirimkan putrinya; Dara Jingga dan Dara Petak ke
Jawa untuk dinikahkan dengan penguasa Jawa.[5]
Pada tahun 1920-an, Ki Hajar Dewantara memperkenalkan nama
"Nusantara" untuk menyebut wilayah Hindia Belanda. Nama ini dipakai
sebagai salah satu alternatif karena tidak memiliki unsur bahasa asing (India).
Alasan ini dikemukakan, karena Belanda,
sebagai penjajah, lebih suka menggunakan istilah Indie (Hindia), yang menimbulkan banyak
kerancuan dengan literatur berbahasa lain. Definisi ini jelas berbeda dengan
definisi pada abad ke-14. Pada tahap pengusulan ini, istilah itu
"bersaing" dengan alternatif lainnya, seperti "Indonesië" (Indonesia)
dan "Insulinde" (berarti: Hindia Kepulauan). Istilah yang terakhir
ini diperkenalkan oleh Eduard Douwes Dekker (lihat, Justus M. van der Kroef (1951). “The Term Indonesia: Its Origin and Usage". Journal
of the American Oriental Society 71 (3), page 166–171).[6]
Literatur-literatur Eropa berbahasa Inggris
(lalu diikuti oleh literatur bahasa lain, kecuali Belanda) pada abad ke-19
hingga pertengahan abad ke-20 menyebut wilayah kepulauan mulai dari Sumatera
hingga kepulauan rempah-rempah (Maluku) sebagai Malay Archipelago (Kepulauan Melayu). Istilah ini populer
sebagai nama geografis, setelah Alfred Russel Wallace menggunakan istilah ini untuk karya
monumentalnya, namun pulau Papua (New Guinea) dan sekitarnya tidak
dimasukkan dalam konsep "Malay Archipelago", karena penduduk aslinya
tidak dihuni oleh cabang ras Mongoloid sebagaimana kepulauan Melayu dan secara
kultural juga berbeda. Jelas bahwa konsep "Kepulauan Melayu bersifat
antropo-geografis (geografi budaya). Belanda, sebagai pemilik koloni terbesar,
lebih suka menggunakan istilah "Kepulauan Hindia Timur" (Oost-Indische
Archipel) atau tanpa embel-embel timur.
Ketika "Nusantara" yang
dipopulerkan kembali tidak dipakai sebagai nama politis sebagai nama suatu
bangsa baru, istilah ini tetap dipakai oleh orang Indonesia untuk mengacu pada
wilayah Indonesia. Dinamika politik menjelang berakhirnya Perang Pasifik (berakhir 1945) memunculkan wacana
wilayah Indonesia Raya yang juga mencakup Britania Malaya (kini Malaysia
Barat) dan Kalimantan Utara. Istilah "Nusantara" pun
menjadi populer di kalangan warga Semenanjung Malaya, berikut semangat kesamaan
latar belakang asal-usul (Melayu) di antara penghuni Kepulauan dan Semenanjung.
Pada waktu negara Malaysia (1957)
berdiri, semangat kebersamaan di bawah istilah "Nusantara"
tergantikan di Indonesia dengan permusuhan yang dibalut politik konfrontasi
oleh Soekarno.
Ketika permusuhan berakhir, pengertian Nusantara di Malaysia tetap membawa
semangat kesamaan rumpun. Sejak itu, pengertian "Nusantara"
bertumpang tindih dengan "Kepulauan Melayu".[7]
Indonesia Raya atau Melayu
Raya adalah gagasan atau konsep
politik yang bertujuan mempersatukan rumpun bangsa Melayu dalam
kesatuan negara kebangsaan dengan menggabungkan wilayah koloni Britania Raya di Semenanjung Malaya dan Borneo Utara (wilayah
yang kini membentuk negara Malaysia, Singapura, dan Brunei), dengan Hindia Belanda (kini Indonesia). Gagasan “Melayu
Raya” diajukan oleh para pelajar dan alumni Universitas Pendidikan Sultan
Idris, Malaya Britania pada tahun
1920-an, dan kemudian gagasan yang sama disebut “Indonesia Raya” diajukan oleh
para tokoh politik Indonesia dari Sumatera dan Jawa, seperti Muhammad Yamin dan Soekarno pada tahun
1950-an.[8]
Gagasan Melayu Raya ini diajukan oleh
seorang guru sejarah dari Universitas Pendidikan Sultan Idris, Abdul Hadi
Hassan, Malaya Britania. Selain karena persamaan suku bangsa, bahasa, agama,
dan budaya kebanyakan rakyatnya sebagai bangsa serumpun dan serantau di Nusantara.
Gagasan ini didasari kesadaran sejarah, bahwa wilayah Malaya Britania, Borneo
Utara, dan Hindia Belanda dulu pernah dipersatukan dalam sebuah kemaharajaan
raya, seperti Sriwijaya, Majapahit, Kesultanan
Malaka, dan Kesultanan Johor-Riau, hingga akhirnya
dipisahkan oleh kolonialisme Inggris dan Belanda.
Pada akhir dekade 1920-an, gagasan
membentuk negara kebangsaan yang merdeka dan berdaulat tumbuh di antara rakyat
koloni Hindia Belanda. Sementara di Semenanjung Malaya, gagasan untuk membentuk
Melayu Raya diajukan, sementara di Hindia Belanda tokoh pemuda pergerakan
nasional lebih memusatkan perhatian pada gagasan untuk menyusun negara
kebangsaan Indonesia sebagai pewaris Hindia Belanda jika kelak menjadi negara
merdeka. Pada tahun 1928, dicetuskanlah Sumpah Pemuda yang bertujuan mempersatukan bangsa
Indonesia dalam satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan.
Kelompok nasionalis Melayu; Kesatuan Melayu Muda yang
didirikan oleh Ibrahim
Yaakob pada tahun 1938,
adalah salah satu organisasi yang secara tegas menganut gagasan ini sebagai
cita-cita perjuangannya.[9]
Pada saat Perang Dunia
II, para pendukung
gagasan Indonesia Raya atau Melayu Raya bekerja sama dengan kekuatan tentara pendudukan Jepang untuk melawan Inggris dan Belanda.
Sikap bekerja sama ini didasari dengan harapan, bahwa Jepang akan
mempersatukan Hindia Belanda, Malaya, dan Borneo, kemudian memberikan kemerdekaan.
Dapat dipahami, bahwa dengan bersatunya wilayah koloni Eropa ini dalam suatu
wilayah pendudukan Jepang, maka pembentukan sebuah kesatuan negara Indonesia Raya
atau Melayu Raya dimungkinkan. Pada Juli 1945 dibentuk organisasi bernama KRIS
(Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung), yang kelak diubah menjadi
"Kekuatan Rakyat Indonesia Istimewa" di bawah pimpinan Datuk Ibrahim
Yaakob dan Dr. Burhanuddin Al-Hemy, dengan tujuan mencapai kemerdekaan dari
Inggris, dan persatuan dengan Indonesia. Rencana ini sudah dirundingkan dengan Soekarno
dan Hatta.
Pada 12 Agustus 1945, Ibrahim Yaakob
bertemu dengan Soekarno, Hatta, dan Dr. Radjiman di Taiping – Perak. Soekarno dan rombongan mampir
di Bandar Udara Taiping dalam perjalanan pulang dari Saigon, Vietnam, menuju
Jakarta setelah sebelumnya bertemu dengan Marsekal Terauchi di Dalat untuk
membicarakan mengenai percepatan rencana kemerdekaan Indonesia dan menerima
pernyataan Terauchi secara langsung, bahwa Jepang mengizinkan Indonesia
merdeka. Pada pertemuan ini, Yaakob menyatakan niatnya untuk menggabungkan
Semenanjung Malaya ke dalam Indonesia merdeka. Pada pertemuan singkat itu, Soekarno
yang didampingi Hatta menjabat tangan Yaakob dan berujar, "Marilah kita
membentuk satu tanah air untuk seluruh putra-putri Indonesia".
Soekarno dan Muhammad Yamin adalah
tokoh politik Indonesia yang sepakat dengan gagasan persatuan raya ini. Akan
tetapi, mereka enggan untuk menyebut gagasan ini sebagai "Melayu
Raya" dan menawarkan nama lain, yaitu "Indonesia Raya". Pada
hakikatnya, baik Melayu Raya maupun Indonesia Raya adalah gagasan politik yang
sama persis. Keengganan untuk menamai Melayu Raya karena berbeda dengan di
Malaya, di Indonesia istilah Melayu lebih merujuk kepada suku Melayu yang dianggap hanyalah sebagai salah
satu dari berbagai suku bangsa di Nusantara,
yang memiliki kedudukan yang setara dengan suku Minangkabau, Aceh, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Dayak, Bugis, Makassar, Minahasa,
Ambon, dan lain sebagainya. Penghimpunan berdasarkan ras atau suku bangsa
"Melayu" dikhawatirkan rawan dan kontra-produktif dengan persatuan
Indonesia yang mencakup berbagai suku bangsa, agama, budaya, dan ras. Karena
banyak suku bangsa di Indonesia Timur, seperti Papua, Ambon, dan Nusa Tenggara
Timur, bukanlah termasuk rumpun Melayu Austronesia,[10]
melainkan rumpun bangsa Melanesia.[11]
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito tiba-tiba mengumumkan lewat siaran radio,
bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada kekuatan Sekutu. Republik
Indonesia secara mandiri memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945. Karena dituding sebagai kolaborator Jepang, pada tanggal 19 Agustus 1945
Ibrahim Yaakob dengan menumpang pesawat terbang militer Jepang terbang ke
Jakarta. Ibrahim Yaakob mengungsi ke Jakarta bersama istrinya Mariatun Haji
Siraj, iparnya Onan Haji Siraj dan Hassan Manan. Ibrahim Yaakob yang
memperjuangkan gagasan bersatunya Semenanjung Malaya dengan Indonesia kemudian
bermukim di Jakarta hingga akhir hayatnya. Dengan jatuhnya Jepang pada bulan
Agustus 1945, semua cita-cita persatuan itu praktis mati dan tidak berkembang
lagi di Semenanjung Malaya sejak saat itu.
Selepas kemerdekaan Republik Indonesia
diproklamirkan melalui perjuangan bersenjata dalam Revolusi Nasional Indonesia dalam kurun tahun 1945-1949, Republik
Indonesia akhirnya mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Sementara itu, selepas
pendudukan Jepang, Semenanjung Malaya dan Borneo Utara praktis berada di bawah
kekuasaan dan kendali Britania Raya.
Pada akhir dasawarsa 1950-an, Soekarno
secara tegas menolak pembentukan negara Malaysia oleh Britania Raya yang
mencakup Semenanjung Malaya dan Borneo Utara. Sikap politik ini mengarah kepada Konfrontasi Indonesia-Malaysia pada awal dasawarsa 1960-an berupa
peperangan skala kecil yang tidak diumumkan secara resmi. Soekarno menuding,
bahwa negara Malaysia adalah negara boneka bentukan Inggris yang ingin
membentuk kolonialisme dan imperialisme baru di Asia Tenggara dan mengepung
Indonesia. Akan tetapi, analisis lain menduga bahwa peperangan ini sesungguhnya
merupakan ambisi Soekarno yang hendak mempersatukan Semenanjung Malaya dan
seluruh pulau Kalimantan ke dalam wilayah Indonesia untuk menggenapi
wilayah kebangsaan yang lebih luas, yaitu "Indonesia Raya".
Menjelang akhir 1965, kekuasaan Soekarno
runtuh dan Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan di Indonesia
setelah berlangsungnyaG30S/PKI. Karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia
untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun
mereda. Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok,
Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik.
Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11
Agustus dan diresmikan dua hari kemudian. Dengan perjanjian damai ini, maka
Indonesia dan Malaysia resmi menjadi dua entitas negara bangsa yang terpisah
dengan saling mengakui keberadaan dan kedaulatan masing-masing.
Selepas perjanjian perdamaian dengan
Malaysia, Indonesia disibukkan dengan masalah dalam negerinya, yakni berusaha
membangun ekonomi sambil menjaga persatuan negara yang sangat majemuk,
akibatnya pada era pemerintahan Soeharto untuk menjamin stabilitas dan demi
persatuan dan kesatuan, maka kebebasan dan demokrasi dikorbankan. Indonesia
pada tahun 1975 sempat menguasai bekas koloni Portugal Timor Timur hingga akhirnya merdeka tahun 2002
sebagai Timor Leste,
dan kemudian didera berbagai masalah seperti krisis ekonomi, separatisme di Aceh dan Papua, hingga masalah terorisme.
Indonesia akhirnya lebih tertarik dan memusatkan perhatiannya untuk
"menjadi Indonesia" dengan membangun karakter bangsa dan berupaya
mendefinisikan dirinya sebagai negara-bangsa yang majemuk ber-Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila dan bersatu dengan wilayah membentang dari
Sabang sampai Merauke. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia
cenderung cukup puas menyalurkan hasrat, kekuatan, dan ambisi politik
regionalnya dalam bentuk sikap kepemimpinan di antara negara ASEAN.
Sementara Malaysia tengah bergulat
dalam upaya pembentukan negaranya dan menghadapi masalah dalam hubungan
antar-ras, terutama antara mayoritas etnis Melayu dengan minoritas etnis
Tionghoa dan India Hindu hingga kini. Masalah hubungan antar-ras inilah yang
telah mengakibatkan berpisahnya Malaysia dengan Singapura pada dasawarsa 1960-an. Sementara Brunei tidak menghendaki bergabung dengan
Malaysia dan memilih di bawah kekuasaan Britania Raya hingga tahun 1984. Dengan
masing-masing pihak sibuk dalam urusannya sendiri, maka gagasan pembentukan
kesatuan politik raya yang mempersatukan bangsa Melayu serumpun dan serantau
dalam satu negara besar, yaitu Melayu Raya atau Indonesia Raya punahlah sudah.
Ketika akhirnya
"Indonesia" ditetapkan sebagai nama kebangsaan bagi negara
independen pelanjut Hindia-Belanda pada Kongres Pemuda II (1928), istilah Nusantara
tidak serta-merta surut penggunaannya. Di Indonesia dipakai sebagai sinonim
bagi "Indonesia", baik dalam pengertian antropo-geografik (beberapa
iklan menggunakan makna ini) maupun politik (misalnya dalam konsep Wawasan
Nusantara).
Istilah
“Indonesia” dalam pengertian geografis dan bangsa. Secara geogiafis, Indonesia
berarti bagian bumi yang membentang dari 95°-141° Bujur Timur, dan 6° Lintang
Utara sampai 11 Lintang Selatan, sedangkan Indonesia dalam arti bangsa yang
secara politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam wilayah tersebut. Istilah “Indonesia”
pertama kalinya ditemukan oleh seorang ahli etnologi Inggris bernama James
Richardson Logan pada tahun 1850 dalam ilmu bumi. Istilah Indonesia digunakan
juga oleh G.W. Earl dalam bidang
etnologi ketika menyebut Indonesians dan Melayunesians bagi penduduk Kepulauan
Melayu.
Pada
tahun 1862, istilah Indonesia digunakan oleh orang Inggris bemama Maxwell dalam
karangannya berjudul The Island of
Indonesia (Kepulauan Indonesia) dalam hubungannya dengan ilmu bumi. Istilah
Indonesia semakin populer ketika seorang ahli etnologi Jerman bernama Adolf
Bastian menggunakan istilah Indonesia pada tahun 1884 dalam hubungannya dengan
etnologi.
Kata
Indonesia berasal dari kata Latin “Indus” yang berarti Hindia, dan kata Yunani “nesos”
yang berarti pulau, nesioi (jamak) berarti pulau-pulau. Dengan demikian, kata “Indonesia”
berarti pulau-pulau Hindia.
Bangsa
Indonesia pertama kali menggunakan nama “Indonesia” secara politik, ketika
organisasi Perhimpunan Indonesia berdiri, yaitu organisasi yang didirikan oleh
pelajar-pelajar Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1908. Organisasi
tersebut pertama kali bemama Indische Vereeniging. Kemudian nama itu
diganti menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922. Selanjutnya,
pada tahun 1922 juga namanya diganti menjadi Perhimpunan Indonesia.[12]
Pada
tahun 1928, Kongres Pemuda II di Jakarta menggunakan istilah “Indonesia” dalam
hubungan dengan persatuan bangsa. Kongres Pemuda tersebut pada tanggal 28
Oktober 1928 menghasilkan Sumpah Pemuda yang di dalamnya tercantum nama “Indonesia”.
Istilah Indonesia secara resmi digunakan sebagai nama negara pada tanggal 17
Agustus 1945 dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan alur sejarah
lahirnya istilah “nusantara” dan “Indonesia” tampak, bahwa istilah tersebut
tidak lahir secara alamiah dan disepakati penggunaannya begitu saja, tetapi
didasari oleh basis kekuatan alamiah (alam) yang dimiliki pulau ini, yakni
rempah-rempah[13] yang
banyak tumbuh di wilayah kepulauan Melayu (Malaya Archipelago) selain
penguatan atau kehendak politik kolonial Hindia Belanda saat itu. Karena
kekayaan rempah yang dimiliki wilayah nusantara itulah yang memikat dan menjadi
salah satu alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan Maluku. Rempah-rempah
ini pula yang menyebabkan Belanda kemudian menyusul ke Maluku, kemudian
bangsa Spanyol di bawah pimpinan Magellan telah lebih dahulu mencari jalan ke Timur
melalui jalan lain, yakni melewati samudera Pasifik dan akhirnya mendarat di pulau Luzon Filipina.
REMPAH-REMPAH DAN POLITIK KOLONIAL
Kenapa
rempah-rempah yang tidak tumbuh di Eropa tetapi begitu dibutuhkan dan
didambakan, bahkan mereka ‘terpaksa’ melakukan penemuan-penemuan dan riset
bercampur nekat membuat kapal-kapal besar yang bisa berlayar di samudera luas
yang penuh bahaya menuju pulau rempah-rempah itu?[14]
Rempah-rempah zaman dulu
bukan hanya sebagai bahan pengawet makanan, sedangkan orang Eropa sudah
mengawetkan daging dengan cara penggaraman atau pengasapan. Namun kecintaan
orang Eropa dengan rempah-rempah dipengaruhi oleh persepsi dan hal lain yang
ada di luar indra perasa.
Perdagangan antara ‘orient’ (timur/Arab) dan ‘occident’ (barat/Eropa) sudah terjalin sejak dulu dan
tidak pernah berhenti sampai zaman Yunani-Roma, tapi pada awal abad pertengahan,
perdagangan ini sangat kecil jumlahnya. Ketika perang Salib dimulai pada abad ke 11, bangsa Eropa
mulai bersinggungan langsung dengan orang-orang Arab dan ‘orient’
menjadi kenyataan bagi orang Eropa, dari sini dimulailah gegar budaya yang
dialami bangsa Eropa.
Bangsa Eropa mulai menggunakan angka Arab
yang akibatnya sangat fenomenal bagi ilmu pembukuan dan organisasi kapitalis
mereka, juga ilmu astronomi dan kelautan. Tapi yang paling mempengaruhi mereka
adalah kemewahan yang ada di istana-istana Arab, seperti: karpet, sofa,
tirai-tirai, mahligai di atas singgasana (baldachin), kain sutera,
beludru, damask, taffeta, serta tidak ketinggalan wewangian dan
rempah-rempah. Secara keseluruhan, kehidupan sosial masyarakat kelas atas
Eropa mulai berubah sama sekali, tidak ada lagi ruangan kosong melompong,
sekarang kastil-kastil bangsawan dihias dengan bahan-bahan dan gaya yang baru, begitu pula dengan makanan mereka
diberi bumbu ‘oriental’.
Orang Eropa mengenal
rempah-rempah dari orang Arab yang sebagai broker, berusaha menjaga sumber
rempah-rempahnya supaya tidak diketahui asal muasalnya. Orang Eropa
mengasosiasikan rempah-rempah dengan negara antah berantah yang berhubungan
dengan surga. Tidak ada penulis abad pertengahan yang mengasosiasikan surga
tanpa bau atau rasa rempah-rempah. Taman bagi para Santo maupun kekasih
digambarkan berbau kayumanis, pala, jahe, dan cengkeh.
Dominasi Islam sebelah
selatan dan timur laut Tengah yang terus ke timur hingga Persia menjadikan
pedagang Arab sebagai pemain terbesar rempah-rempah di abad pertengahan. Para pedagang
Arab membeli rempah-rempah dari India hingga pelabuhan-pelabuhan di selat
Malaka, bahkan ke kepulauan satu-satunya di dunia tempat asal dari pala, kemiri,
dan cengkeh di Maluku.
Rempah-rempah ini dari
pelabuhan Alexandria dan Gaza diangkut ke Venesia dan Genoa, yang sejak abad ke
8 memegang monopoli perdagangan merica, kayumanis, pala, dan cengkeh untuk
Eropa. Venesia menjadi sangat kaya akibat perdagangan ini.
Trend ini terus berlangsung
hingga abad ke 16, di mana rempah-rempah menjadi simbol status. Semakin
kaya seseorang, maka makanan pestanya semakin mahal karena rempah-rempahnya
semakin banyak. Dalam sebuah catatan banquet abad pertengahan dicatat
bahan makanan yang diperlukan untuk pesta dengan 40 orang tamu: 1 pon bubuk
colombine, 1/2 pon bubuk kayumanis, 2 pon gula, 1 ons safron, 1/4 pon cengkeh,
1/8 pon merica, 1/8 pon lengkuas, 1/8 pon pala, 1/8 pon daun bay. Ketika Raja
Skotland berkunjung ke raja Inggris Richard I pada tahun 1194, setiap hari dia
diberi 2 pon merica dan 4 pon kayumanis sebagai tanda keramahtamahan.
Rempah-rempah menjadi
simbol status dan untuk menikmatinya harus dipamerkan daripada dikonsumsi
sendiri. Rempah-rempah akan diedarkan kepada para tamu dengan baki perak dan
emas untuk dibawa pulang. Rempah-rempah disimpan sebagaimana permata berharga. Merica
seringkali digunakan untuk pembayaran karena harganya sama dengan emas. Rempah-rempah
juga diasosiasikan dengan pengobatan dan kesehatan. Cengkeh dikunyah untuk
menghilangkan bau mulut dan mengobati sakit gigi.
Ketergantungan occident
terhadap orient tidak bisa dibendung, ketika jalur perdagangan
rempah ini ditutup pada zaman kekhalifahan Ottoman yang menguasai Turki dan
Mesir dan menaikkan harga rempah-rempah dengan semena-mena, Eropa mengalami
kelangkaan rempah-rempah yang parah. Ini menjadi peristiwa terpenting bagi
sejarah dunia ketika Portugal dan Spanyol di abad ke 16 mulai menjalankan misi
mencari pulau rempah-rempah dengan armada lautnya untuk mengakhiri dominasi Arab
dalam perdagangan rempah-rempah.
Selama
ribuan tahun perdagangan rempah-rempah merupakan perdagangan tidak langsung
dengan banyak penghubung sehingga masyarakat Eropa tidak mengetahui dari mana
asal rempah-rempah tersebut. Rempah-rempah permintaannya sangat tinggi,
sedangkan pasokannya dikontrol. Ketika Islam menguasai area Syiria,
Persia, dan Jazirah Arab perdagangan rempah-rempah berada dalam kekuasaan
pedagang Arab/Islam.
Pedagang Arab sebagai
perantara rempah-rempah ini berusaha agar orang Eropa tidak mengetahui asal
muasal rempah-rempah. Pada abad ke 5 SM, Herodotus tertipu oleh kisah pedagang Arab
yang mengatakan, bahwa kayu manis berasal dari pegunungan di Arabia, dijaga
oleh burung buas yang sarangnya terbuat dari kayu manis ditebing yang curam. Burung
itu diberi umpan keledai segar dan ketika burung ini berusaha mengambil daging
keledai dia terhempas ke tanah, sehingga pedagang Arab itu bisa naik mengambil
sarang burung itu.
Sejak 2600 SM, Mesir sudah
mengimpor rempah-rempah untuk memberi makan para pekerja Asia yang sedang
membangun piramida agar punya lebih banyak tenaga. Cengkeh juga sudah agak
populer di Syiria sekitar waktu itu, tanaman yang hanya terdapat di satu pulau
di Nusantara. Sementara di Eropa, rempah-rempah terutama digunakan untuk
pengawetan makanan, karena pada saat panen yang gagal, makanan mulai rusak,
hanya bisa dimakan jika diberi garam dan merica yang banyak. Pada tahun 408,
kaum Visigoth meminta tebusan emas, perak dan merica agar mereka menghentikan
mengepung Roma. Sebuah daftar harga abad ke 14 memperlihatkan harga satu pon
pala adalah senilai tujuh ekor lembu gemuk. Waktu itu juga dikenal istilah ‘peppercorn
rent’ yaitu membayar sewa kamar dengan merica saking harganya mahal.
Ketika Turki jatuh ke
Ottoman pada 1453, mereka menutup jalur rempah-rempah yang biasa dilalui Arab
ke Venesia, sehingga perdagangan harus melalui Mesir yang menaikkan pajak
rempah-rempah sampai 30%.
Kelaparan akan
rempah-rempah yang dimonopoli pedagang Mesir dan Venesia ini memaksa para
raja-raja Eropa untuk mendanai kapal-kapal untuk berburu rempah-rempah langsung
ke India. Sebetulnya, secara khusus perjalanan diarahkan ke Selat Malaka,
sebuah pusat perdagangan rempah-rempah dan konon gerbang menuju sebuah pulau
rempah-rempah. Pembiayaan perjalanan ini sangat beresiko karena hanya setengah
dari kapal-kapal tersebut yang bisa kembali. Mereka meyakini, bahwa siapapun
yang menguasai Malaka akan memegang tenggorokan Venesia.
Ketika penjelajah Portugis
datang ke Lisbon dari India dengan membawa banyak rempah-rempah, Venesia dan
Mesir tertegun, harga lada di Lisbon turun sampai seperlima harga di Venesia.
Petualangan
mencari rempah-rempah juga dilakukan Spanyol. Alih-alih melewati jalur selatan
memutari benua Afrika, Christopher Columbus melewati jalur barat dan malah
terdampar di benua baru Amerika. Untuk meyakinkan, bahwa dia tidak gagal, maka
dia menamakan rakyat pribumi sebagai ‘orang India’/Indian dan menamakan cabe
sebagai ‘merica merah’ (red pepper) istilah yang membuat bingung sampai
saat ini.
Paus
Alexander IV membuat perjanjian Tordesillas yang membagi wilayah penjelajahan
supaya tidak berebutan: Spanyol ke arah barat, Portugis ke timur. Tapi Spanyol
tetap ingin menemukan pulau rempah itu dan mengira-gira, bahwa berlayar terus
ke barat pun bisa menuju ke pulau rempah, lalu mengutus Ferdinand Magellan
berlayar terus ke barat yang menjadikannya orang pertama yang berlayar
mengitari bumi. Magellan terbunuh di Filipina dan perjalanan dilanjutkan oleh
sahabatnya Sebastian del Cano yang berhasil sampai di kepulauan rempah. Kapal
Victoria kembali pada tahun 1522 dengan berton-ton rempah. Del Cano diberi
penghargaan oleh raja berupa lambang berhiaskan dua batang kayumanis, tiga
pala, dan dua belas cengkeh.
Pada tahun 1511, Portugis
merebut Malaka. Dari sinilah Portugis mengetahui pulau rempah kecil yang
merupakan satu-satunya tempat sumber dari pala dan kemiri, pulau kecil bernama
Banda. Sampai sekarang pala merupakan bahan penting dalam resep rahasia minuman
Coca Cola.
Sepanjang abad ke 16,
Spanyol dan Portugis berebut untuk bisa memperoleh pengaruh di wilayah ini. Buktinya,
kerajaan-kerajaan di Maluku ada yang bersaudara dan juga saling berperang,
ketika itu Portugis berhasil mengadu domba kerajaan keluarga ini, mengangkat Sultan
untuk keuntungan mereka. Portugis akhirnya menjadi pemain utama dalam
perdagangan cengkeh. Belanda yang gelisah ingin turut serta berhasil menjadi
distributor Portugal untuk Eropa bagian utara dan barat. Ketika Potugal jatuh
ke Spanyol pada 1580, Belanda tidak lagi menjadi distributor mereka dan
perdagangan dikuasai Spanyol dan menaikkan harga di semua benua.
Belanda tidak mau tinggal
diam, dengan pengalaman mengetahui seluk beluk perdagangan rempah, maka pada
tahun 1602 Belanda membentuk The Vereenigde Oost-Indische Compagnie, kemudian
dikenal dengan nama VOC, artinya Perusahaan Belanda India Timur - asosiasi
pedagang untuk mengurangi kompetisi, mengurangi resiko, dan memperbesar skala
ekonomi. Negara-negara Eropa yang lain juga membentuk East India Company yang
anggotanya mulai dari Portugis, Swedia sampai Austria. Tapi tidak ada yang bisa
menandingi kesuksesan VOC. Pada tahun 1670, perusahaan ini merupakan
perusahaan terkaya di dunia dengan dividen kepada pemegang sahamnya mencapai
40%. Pegawainya 50.000 orang, 30.000 ‘centeng’ dan 200 kapal yang sebagiannya
bersenjata. Adapun rahasia suksesnya adalah “Mereka tidak punya keberatan
terhadap apapun”.
Tujuan pertama VOC adalah
Banda. Banda tidak pernah mengizinkan Portugis atau Spanyol mendirikan benteng.
Sultannya sangat netral dan ingin berdagang dengan siapapun. Jan Pieterszoon
Coen berhasil meyakinkan Sultan Banda, bahwa dia diutus Tuhan untuk memonopoli
perdagangan pala dengan cara memenggal setiap pria berusia lima belas tahun ke atas.
Coen membawa tentara bayaran Jepang untuk menyiksa pemimpin desa dan
kepalanya ditusuk di tiang. Populasi di pulau itu sebelumnya 15.000 orang dan
15 tahun setelah kedatangan VOC tinggal 600 orang, dari berlayar menjadi
memenggal demi rempah-rempah.
MEMBANGUN EKONOMI INDONESIA BERASASKAN
PANCASILA
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah dijajah ± 3 ½ abad lamanya oleh Belanda
dan negara yang bersekutu dengannya, dimana tujuan awal kedatangannya di bumi
nusantara ini adalah untuk berdagang rempah-rempah, tetapi lambat laun emosi
keserakahan untuk menguasai dan memonopoli kekayaan alam nusantara itu semakin
tertanam dalam pikiran orang Eropa tersebut, maka salah satu upaya yang paling
strategi adalah “penjajahan”, selain dengan politik adu domba juga memperdaya
kerajaan-kerajaan yang ada. Melalui penjajahan itulah, bangsa Eropa dengan bebas
dan leluasa tanpa adanya kesepakatan secara ekonomi untuk menguasai dan meraup
sebanyak mungkin rempah-rempah yang ada, kemudian dibawa ke negara tujuan
mereka.
Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia merdeka, dengan suatu tekad sebagaimana termaktub dalam
Preambule UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Maka sejak itulah jiwa
dan semangat kebangsaan tertanam untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan
bermartabat setara dengan negara-negara lainnya di dunia internasional. Adapun
tujuan negara yang diidam-idamkan adalah negara yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur. Untuk mewujudkan konsep negara yang berdaulat,
adil, dan makmur tersebut, kemudian dibentuk suatu pemerintahan yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Kelima
asas di atas itulah menjadi falsafah bangsa dan negara Indonesia, yang kemudian
dikenal dengan nama PANCASILA. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan
kepentingan bangsa, negara, dan seluruh warganegara Indonesia, baik kepentingan
lokal, regional, nasional, maupun internasional harus berasaskan pada jiwa dan
semangat falsafah dasar negara tersebut, tak terkecuali dalam membangun
perekonomian Indonesia.
Asas
Pancasila itulah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara lainnya di
dunia dalam kancah internasional, di mana negara Indonesia berasaskan pada
ajaran “ketuhanan”, tetapi tidak hanya mengakui satu ajaran agama dan
kepercayaan melainkan keberadaan agama dan kepercayaan itu hidup rukun dan
damai. Oleh karena itu, Indonesia bukan negara ateis tetapi bukan pula negara
agamis yang berideologikan hukum-hukum agama tertentu. Hal ini semata-mata
Indonesia menjunjung tinggi harkat dan martabat “kemanusiaan yang adil dan
beradab”, yakni menempatkan manusia bukan sebagai obyek eksploitasi kekuasaan,
tetapi memposisikan manusia seimbang dan setara dengan manusia lainnya serta
mengakui keberadaannya berdasarkan suku, ras, agama, dan sosial-politik yang
berbeda-beda. Keberpihakan Indonesia melalui falsafah Pancasila tersebut adalah
untuk mempersatukan jiwa, raga, dan semangat bangsa Indonesia dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang harmonis, adil, dan makmur dari Sabang sampai
Mauroke.
Untuk
mewujudkan “persatuan Indonesia” itulah, maka sistem kekuasaan negara dibentuk
berdasarkan sistem pembagian kekuasaan negara (distribute/divicion of power)
bukan pemisahan kekuasaan (separation of power), bahwa kekuasaan negara hanya fungsi pokoknya
yang dibedakan menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct
hands), tetapi kerjasama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan
untuk kelancaran organisasi. Bentuk negara Indonesia ini menerapkan teori “Trias
Politica”
yang dilahirkan oleh pemikir Inggris Jhon Locke dan oleh pemikir Perancis de
Montesquieu dijabarkan dalam bukunya L’Espris des Lois, yang mengandung maksud,
bahwa kekuasaan masing-masing alat perlengkapan negara atau lembaga negara adalah:
badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk undang-undang; badan
eksekutif, yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang; serta badan
judikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan undang-undang,
memeriksa dan mengadilinya. Akan tetapi,
sekalipun ketiga kekuasaan terpisah satu sama lain, namun masing-masing
kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya melalui sistem “checks and
balances” (pengawasan dan keseimbangan), di mana setiap cabang kekuasaan
dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya. Sistem checks and
balances ini terbentuk di antara lembaga kekuasaan negara melalui
kesepakatan yang dihasilkan oleh rakyat secara demokratis. Yakni, prinsip “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Tujuan utama yang diinginkan dalam pembangunan dan
kemajuan Indonesia adalah terwujudnya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
Keadilan
sosial mencakup seluruh dimensi dan sektor kehidupan berbangsa dan bernegara,
karena itu konsep keadilan sosial yang menjadi barometer Indonesia adalah berasaskan
pada ajaran ketuhanan, bukan keadilan berdasarkan sosialis-komunis, liberalis,
kapitalis, maupun imperalis. Keadilan sosial berdasarkan “ketuhanan” minimal
memiliki dua aspek, yaitu: masyarakat yang berkeadilan, yaitu kondisi masyarakat yang menunjukkan pada
tata kehidupan yang terpenuhi kebutuhan hidup manusianya dalam aspek rohani
serta masyarakat yang berkemakmuran, yaitu kondisi masyarakat yang
menunjukkan pada tata kehidupan yang terpenuhi berbagai kebutuhan hidup dari
segi material atau jasmani. Secara rinci, nilai-nilai yang terkandung dalam
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah: mengembangkan perbuatan
yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan; mengembangkan sikap adil terhadap sesame; menjaga
keseimbangan hak dan kewajiban; menghormati hak orang lain; suka memberi
pertolongan kepada orang lain; tidak menggunakan hak milik perorangan untuk
memeras orang lain; tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat
pemborosan dan gaya hidup mewah; tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang
bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum; suka bekerja keras; suka
menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama; suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan
yang merata dan keadilan sosial.
Konsep Pancasila itulah yang menjadi asas utama
dalam pembangunan dan kemajuan ekonomi Indonesia, yakni ekonomi yang berasaskan
pada prinsip-prinsip keadilan dan kemakmuran demi kepentingan seluruh rakyat
Indonesia berdasarkan ajaran ketuhanan. Oleh karena itu, sistem ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi
yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam sistem ekonomi
Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat,
sehingga terwujud pemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah
sistem ekonomi kerakyatan yang demokratais, melibatkan semua orang dalam proses
produksi dan hasilnya dinikmati oleh semua warga masyarakat.
MEMBANGUN ENTERPRENEUR PETANI
Sebagian besar kalangan
masih menempatkan “Petani Indonesia” adalah kalangan tak berpendidikan, miskin,
pengangguran, tak berdaya, dan masih banyak identitas negatif yang dilekatkan
pada diri petani itu. Dalam kondisi stigma kualitas negatif tersebut, petani
semakin tak berdaya dari hasil pertaniannya, karena permainan harga di tingkat
penguasa dan pengusaha. Selain itu, jumlah komoditas yang dihasilkan petani
semakin menurun dan kualitas yang tidak memadai, karena pupuk dan bahan
pertanian lainnya mahal, sedangkan barang/komoditas impor semakin banyak dengan
harga terjangkau serta kualitas yang bagus, sehingga semakin terpinggirkan petani
dalam arena pembangunan dan kemajuan ekonomi bangsa. Kondisi tersebut semakin
diperparah lagi dengan tingkat kemiskinan dan keterjangkauan pengetahuan
rata-rata para petani yang belum tersentuh kebijakan pemerintah. Hal ini
terjadi, akibat kurangnya perhatian dan keberpihakan penguasa dan pengusaha
untuk memberdayakan para petani, sehingga tingkat pengetahuan petani terhadap
hasil pertaniannya hanya berputar pada tanam, panen, makan, dan jual (TPMJ)
saja.
Pemerintah perlu membuat terobosan kebijakan yang benar-benar memikirkan
nasib petani ke depan. Jangan sampai keadaan petani semakin miskin dan tidak
menentu, sehingga generasi penerus petani akan habis karena menganggap menjadi
petani tidak ada yang bisa diharapkan, karena sektor minim penghasilan dan berada di kelas bawah untuk
golongan pekerjaan, bahkan tidak jarang masyarakat Indonesia menganggap bahwa
seorang petani atau petani hanyalah untuk golongan yang tidak ambil bagian di
bidang pendidikan yang sebagian besar berasal dari masyarakat miskin.
Selain itu, petani harus
dibangun sifat dan sikap mentalnya, karena budaya sosial yang dimanjakan oleh
sumber daya alam yang melimpah, sehingga lahir sikap mental: “tidak mandiri” –
malas bekerja – mau penghasilan banyak, sehingga seringkali terjadi manipulasi.
Merespon persaingan global,
manusia ditantang membenahi diri dengan meningkatkan dan memajukan kualitas
dirinya, baik secara materi maupun spiritual, yakni terbinanya sikap mental
atau kejujuran yang kokoh serta terbangunnya kondisi ekonomi yang sehat. Ketika
kedua hal ini terjawantahkan secara bersinergi, maka dengan sendiri akan
terwujud masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan negara di atas.
POTENSI MINYAK ATSIRI INDONESIA DI DUNIA
GLOBAL
Kekuatan
minyak atsiri Indonesia sudah dikenal sejak era tahun 60-an sebagai
negara penghasil minyak atsiri terbesar di dunia. Minyak atsiri merupakan salah
satu komoditas ekspor Indonesia yang bahan bakunya berasal dari berbagai jenis
tanaman perkebunan di Indonesia. Minyak atsiri dari kelompok tanaman tahunan
perkebunan antara lain berasal dari cengkeh, pala, lada, kayu manis, sementara
yang berasal dari kelompok tanaman semusim perkebunan berasal dari tanaman
nilam, sereh wangi, akar wangi dan jahe. Hingga kini minyak atsiri yang berasal
dari tanaman nilam memiliki pangsa pasar ekspor paling besar andilnya dalam
perdagangan Indonesia yaitu mencapai 60 persen. Minyak Atsiri Nilam digunakan
di industri parfum sebagai zat pengikat aroma dan perannya belum mampu
digantikan oleh zat sintetis, sehingga kebutuhan Minyak Atsiri Nilam besar
sekali.
Data ekspor BPS
menunjukkan, bahwa kontribusi minyak nilam (Patchouli Oil) terhadap
pendapatan ekspor minyak atsiri sekitar 60%, minyak akar wangi (Vetiner Oil)
sekitar 12,47%, minyak serai wangi (Citronella Oil) sekitar 6,89%, dan
minyak jahe (Ginger Oil) sekitar 2,74%. Rata-rata nilai devisa yang
diperoleh dari ekspor minyak atsiri selama sepuluh tahun terakhir cenderung
meningkat dari US$ 10 juta pada tahun 1991 menjadi sekitar US$ 50-70 dalam
tahun 2001, 2002 dan 2003, dengan nilai rata-rata/kg sebesar US$ 13,13.
Walaupun secara makro nilai ekspor ini kelihatannya kecil namun secara mikro
mampu meningkatkan kesejahteraan petani di pedesaan yang pada gilirannya
diharapkan dapat mengurangi gejolak sosial.
Minyak atsiri sebagai bahan
baku penambah aroma, parfum dan farmasi memang banyak diminta. Menurut Data
Badan Pengembangan Ekspor Nasional pada tahun 2002 rata-rata ekspor minyak
atsiri untuk 5 (lima) tahun terakhir mencapai US$ 51,9 juta dengan 77 negara
tujuan ekspor. Singapura dan Amerika Serikat adalah penyerap tersebar ekspor
minyak atsiri Indonesia masing-masing adalah penyumbang devisa negara US$ 20
per tahun dan US$ 10 juta per tahun. Dari ekspor tersebut minyak nilam
mempunyai permintaan sebesar 60% nilam, termasuk komoditas unggulan nasional
dengan luas 9.600 ha dan produksi sebesar 2.100 ton minyak. Berdasarkan data
yang diberikan oleh seorang eksportir minyak nilam, kebutuhan minyak nilam
dunia berkisar antara 1.100-1.200 ton/tahun, sedangkan pasokan ini dapat
dihasilkan minyak nilam melalui penyulingan daun dan tangkai daun.
Kendala-kendala dalam
agribisnis nilam antara lain budidaya yang belum sempurna, bahan tanaman yang
kurang sesuai, panen, penanganan bahan dan penyulingan yang kurang baik
mengakibatkan produktivitasnya rendah. Faktor lain adalah kekeringan (iklim)
dan fluktuasi harga. Kekeringan selain karena kemarau panjang juga disebabkan
fenomena alam yaitu dikenal dengan El Nino. Nilam sangat peka terhadap
kekeringan, kemarau panjang setelah pemangkasan dapat menyebabkan tanaman mati.
Suhu yang dikehendaki sekitar 24-28° (dengan kelembaban relatif lebih dari 75%
dan intensitas radiasi surya 75-100%.
PERAN DEWAN ATSIRI INDONESIA
Keberadaan Dewan Atsiri
Indonesia (DAI) sebagai penyeimbang antara petani, penyuling, dan pengusaha
PENUTUP
[1]Di dalam konsep
kenegaraan Jawa di abad ke-13 hingga ke-15, raja adalah "Raja-Dewa":
raja yang memerintah adalah juga penjelmaan dewa. Karena itu, daerah
kekuasaannya memancarkan konsep kekuasaan seorang dewa. Kerajaan Majapahit
dapat dipakai sebagai teladan. Negara dibagi menjadi tiga bagian wilayah,
yaitu: (1) Negara Agung merupakan
daerah sekeliling ibu kota kerajaan tempat raja memerintah; (2) Mancanegara adalah daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitar yang budayanya masih mirip
dengan Negara Agung, tetapi sudah berada di "daerah perbatasan".
Dilihat dari sudut pandang ini, Madura dan Bali adalah daerah "mancanegara". Lampung dan jugaPalembang juga dianggap daerah
"mancanegara"; dan (3) Nusantara adalah
daerah di luar pengaruh budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai
daerah taklukan: para penguasanya harus membayar upeti. (lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Nusantara,
diakses 5/12/2012)
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Nusantara,
diakses 5/12/2012
[3]Artinya: Gajah Mada Patih
Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Gajah Mada bertitah, "Jika telah
mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan
Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
[8]McIntyre,
Angus (1973). "The 'Greater Indonesia' Idea of Nationalism in Malaysia and
Indonesia". Modern Asian Studies 7 (1):
75–83. Dalam, http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia_Raya_
(gagasan_ politik), diakses 5/12/2012.
[9]http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia_Raya_(gagasan_politik),
diakses 5/12/2012
[10]Istilah Austronesia
mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa-bahasa
Austronesia. Wilayah tersebut mencakup Pulau Formosa,
Kepulauan Nusantara (termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia,
dan Pulau Madagaskar.
Secara harafiah,
Austronesia berarti "Kepulauan Selatan" dan berasal dari bahasa Latin austrālis yang berarti "selatan" dan bahasa Yunani nêsos (jamak: nesia) yang
berarti "pulau". Jika bahasa Jawa di Suriname dimasukkan, maka cakupan geografi juga
mencakup daerah tersebut. Studi juga menunjukkan adanya masyarakat penutur bahasa Melayu di pesisir Sri Langka.
[11]Istilah
Melanesia berasal dari bahasa Yunani "pulau
hitam", yaitu sebuah wilayah yang memanjang dari Pasifik barat
sampai ke laut Arafura, utara dan timur
laut Australia. Istilah ini pertama
kali digunakan oleh penjelajah Prancis Jules Dumont d'Urville pada tahun 1832 untuk menunjuk sebuah kelompok etnis dan
pengelompokan pulau-pulau yang berbeda dari Polinesia dan Mikronesia. Sekarang ini, klasifikasi "rasial" Dumont d'Urville
dianggap tidak tepat, sebab dia menutupi keragaman budaya, linguistik, dan
genetik Melanesia dan sekarang ini hanya digunakan untuk penamaan geografis
saja.
[12]http://syadiashare.com/asal-mula-nama-indonesia.html,
diakses 5/12/2012
[13]Rempah-rempah adalah bagian tumbuhan yang beraroma
atau berasa kuat yang digunakan dalam jumlah kecil di makanan sebagai pengawet atau perisa dalam masakan.
Rempah-rempah biasanya dibedakan dengan tanaman lain yang digunakan untuk
tujuan yang mirip, seperti tanaman obat, sayuran beraroma, dan buah kering.