NOMENKLATUR AGAMA “KONGHUCU” DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Perspektif Sosiologi dan Politik Hukum Indonesia)
Mukhtar Alshodiq
(Penerbit, Penulis, dan Editor Buku)
Pendahuluan
Jauh sebelum negara Republik Indonesia[1]
merdeka, agama-agama sudah bercokol lebih awal di nusantara[2]
ini. Dalam catatan sejarah terungkap bahwa agama Hindu dan Buddha sudah ada di
Indonesia pada awal abad kedua dan keempat Masehi yang dibawa oleh para
pedagang dari India. Kemudian disusul oleh agama Islam, ada 3 (tiga) teori yang
menyatakan Islam masuk di nusantara: Pertama, teori Makkah, bahwa Islam
tiba di nusantara pada abad ke-7 melalui
pedagang dari Timur Tengah. Kedua, teori Persia bahwa Islam masuk ke
nusantara pada abad ke-13 melalui para pedagang Persia yang singgah terlebih
dahulu di Gujarat-India. Ketiga, teori India menyatakan bahwa Islam
masuk di nusantara melalui para Gujarat India pada abad ke-14 M.[3]
Agama Katolik masuk ke Indonesia, ada yang menyatakan sekitar abad ke-7 di
Sumatera Utara, kemudian datang kembali sekitar tahun 1520 M di kepulauan
Maluku, kemudian Kristen Protestan datang kemudian sekitar abad ke-16 bersamaan
kedatangan VOC pada tahun 1619-1799 M.[4]
Adapun agama Khonghucu sudah ada di Indonesia sejak tahun 1883 dibuktikan dengan
berdirinya Boen
Tjhiang Soe dan kemudian menjadi Boen
Bio Jl.Kapasan No. 131 Surabaya. Oleh pihak Belanda disebut “Gredja Boen Bio
atau Geredja Khonghoetjoe (de kerk van Confucius). Dewasa ini sebagai tempat
ibadah umat Agama Khonghucu Indonesia. Dibina oleh MAKIN – Majelis Agama
Khonghucu Indonesia Surabaya. Kemudian tahun 1886 diterbitkan kitab Hikayat
Khonghucu, disusun oleh Lie Kim Hok. Agama Khonghucu semakin meneguhkan
kehadirannya dengan melibatkan diri mendirikan organisasi-organisasi keagamaan
di nusantara dari zaman penjajahan Jepang hingga setelah kemerdekaan, misalnya
tahun 1955 (masa Orde Lama) dibentuk PKCHI (Perserikatan Khung Chiao Hui
Indonesia /Perserikatan Kong Jiao Hui Indonesia) sebagai penjelmaan kembali
Khong Kauw Tjong Hwee dengan kedudukan pusat di Solo dengan Ketua umum:
Dr. Kwik
Tjie Tiok. Sekretaris: Oei
Kok Dhan.[5]
Beranjak
dari biografi historikal hadirnya agama-agama di nusantara di atas semakin
mengukuhkan bahwa negara Indonesia sejatinya tidak akan lahir dan tidak akan
berdiri tegak tanpa kehadiran agama-agama yang sudah ada sejak ribuan tahun
sebelumnya sebagai pilar utamanya. Oleh karena itu, ruh ajaran agama sudah
sejak awal menjadi bagian yang tak terpisahkan dan mengejawantah ke dalam tubuh
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, lima sila yang termaktub
dalam Pancasila merupakan satu kesatuan dari seluruh rangkaian ajaran agama
dipadu dan dirangkum dalam satu simbol falsafah dan ideologi bangsa. Apabila
salah satu sila Pancasila terkhianati, maka sesungguhnya mengkhianati ajaran
agama yang dianut dan diyakini oleh penganutnya itu sendiri. Apalagi kalau ada
yang berupaya untuk melenyapkan atau mengasingkan ritual-ritual ajaran agama
itu sendiri, padahal baik secara langsung maupun tidak langsung telah ikut
serta berpartisipasi menghadiri negara ini, sejatinya telah merongrong keutuhan
pilar bangsa dan negara ini sendiri.
Dalam
sejarah perkembangannya, setelah kemerdekaan Indonesia, agama-agama di atas
tidak semuanya berjalan secara ideal sesuai misi ajaran suci dan mulia yang
diembannya. Seiring dengan pergantian kekuasaan, kehadiran agama seringkali diberi
stigma sebagai batu sandungan penguasa dalam menjalankan misi kekuasaannya. Agama
Khonghucu misalnya, sebagai salah satu dari agama yang disebutkan di atas
“pernah” mengalami sejarah kelam nan pahit di Indonesia, bahkan kehadirannya
dikebiri oleh kekuasaan politik (the political power), dibatasi
pergerakan ritualnya dalam ruang terbatas dan sangat individu. Di mana pada
zaman Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas
berbau kebudayaaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia. Ini menyebabkan
banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa (tidak mau menyebut Khonghucu) menjadi
tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 (lima) agama yang diakui.
Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai ateis dan komunis), pemeluk kepercayaan Tionghoa kemudian
diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi
pemeluk agama Hindu, Buddha, Islam, Katolik, atau Kristen. Klenteng yang merupakan tempat ibadah
kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan
diri menjadi Vihara, yang
merupakan tempat ibadah agama Buddha.
Berangkat
dari sekelumit perjalanan sejarah kelam agama Khonghucu dalam pusaran kekuasaan
di atas itu yang menarik perhatian penulis untuk menelaah, dengan menfokuskan
diri pada telaah persfektif sosiologi dan politik hukum yang berlaku di
Indonesia, dengan pertanyaan awal, bagaimana nomenklatur agama Khonghucu di
Indonesia? Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui nomenklatur agama Khonghucu
di Indonesia.
Penulis
memandang penting mengkaji agama Khonghucu ini, karena dalam sejarahnya
menyatakan, bahwa Khonghucu atau dalam bahasa Tionghoa disebut Kong Fu Tze
atau Konfusius, yang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati,
terpelajar, dan berbudi luhur. Inti ajarannya adalah mengakui 8 (delapan) iman,
yaitu: (1) sepenuh iman kepada
Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian); (2) sepenuh iman menjunjung kebajikan
(Cheng Juen Jie De); (3) sepenuh iman menegakkan firman gemilang (Cheng Li Ming Ming); (4) sepenuh iman
adanya nyawa dan roh (Cheng Zhi Gui Shen); (5) sepenuh iman memupuk cita
berbakti (Cheng Yang Xiao Shi); (6) sepenuh iman mengikuti genta rohani
Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu Duo); (7) sepenuh iman memuliakan Kitab Si
Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing Shu); (8) sepenuh iman menempuh jalan suci
(Cheng Xing Da Dao).
Berdasarkan
kedelapan inti ajaran keimanan agama Khonghucu di atas, maka dapat dipastikan
bahwa penganut agama Khonghucu mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan penggunaan istilahnya dari bahasa Tionghoa sebagai asal muasal lahirnya
agama tersebut. Namun setelah lama bercokol di Indonesia, eksistensinya pun
kemudian dipertanyakan, sebagai agama atau kepercayaan, bahkan penganutnya
digiring hanya sebagai pelaku tradisi Tionghoa semata. Bentuk awal Khonghucu
sebagai agama kemudian bermetamorfosis menjadi kepercayaan tradisional
Tionghoa, bahkan lebih menyudutkan lagi, penganut agama Khonghucu diberi lama
sebagai antek-antek komunis. Artinya, Khonghucu yang lahir sejak 2952-2836 SM
dan secara turun temurun membawa ajaran ketuhanan, secara gampang mengubah
persepsi setiap orang “Indonesia”, bahkan penganutnya sekalipun menjadi
penganut agama tak mempercayai adanya Tuhan alias “ateis”. Oleh karena itu,
kebijakan penguasa Orde Baru yang diambil atas nama kekuasaan negara perlu
dicermati lebih jauh, kenapa Khonghucu diberi label “komunis dan ateis”? Padahal
inti ajarannya mengimani adanya Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian), memiliki kitab
suci (Sishu Wujing) sebagai pedoman
dalam menjalankan seluruh rangkaian ritual keagamaannya, memiliki Klenteng atau
Litang sebagai tempat ibadah, menetapkan tahun baru imlek sebagai hari raya
resmi keagamaannya. Seluruh identitas agama dan keagamaannya lengkap seperti
halnya elemen agama-agama lainnya yang diakui oleh negara.
Setelah
rezim Orde Baru berakhir, kemudian agama Khonghucu diakui kembali sebagai agama
resmi di antara 6 (enam) agama yang dianut masyarakat Indonesia, yang kemudian
melahirkan “nomenklatur” dalam tata administrasi kelembagaan negara di
Indonesia. Istilah nomenklatur atau nomenclature (bahasa Inggris) yang
berasal dari bahasa Latin, nomen untuk penamaan atau Calare bagi
sebuah penyebutan dalam bahasa Yunani, yang sama artinya dalam bahasa Inggris
kuno, yaitu nama atau dalam bahasa Jerman kuno disebut namo,
yaitu merujuk pada persyaratan, sistem prinsip-prinsip dasar, prosedur dan
persyaratan yang berkaitan dengan penamaan, yang dapat merupakan pembakuan kata
atau frase penugasan untuk objek tertentu.[6] Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata “nomenklatur”, yaitu: Pertama,
penamaan yang dipakai dalam bidang atau ilmu tertentu; tata nama. Kedua,
pembentukan (seringkali atas dasar kesepakatan internasional) tata susunan dan
aturan pemberian nama objek studi bagi cabang ilmu pengetahuan.[7] Berdasarkan
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa nomenklatur adalah sistem penamaan
pada objek tertentu, namun istilah nomenklatur ini lebih familiar
penggunaannya di kalangan birokrasi pemerintahan sebagai istilah lain dari
pemberian tata nama atau penyebutan nama instansi dalam setiap lembaga
pemerintah. Nomenklatur agama Khonghucu tersebut diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Metamorfosis
Legalitas Peng-aku-an Negara Terhadap Agama Khonghucu
Sesungguhnya agama Khonghucu tidak bisa dipisahkan
sebagai bagian dari keyakinan yang dianut oleh sebagian masyarakat Tionghoa,
bahkan menjadi salah satu agama besar dari 3 (tiga) agama yang diakui oleh
negara pada zaman Dinasti Han abad 136 SM. Nama Khonghucu sendiri dalam
sejarahnya terambil dari nama Sang Nabi, “Khongcu”, yang lahir pada tanggal 27
bulan 8 tahun 551 SM di negeri Lu. Agama Khonghucu sendiri awalnya bernama
“Rujiao”, artinya: ajaran/agama untuk menjadikan manusia berperilaku berbakti
dan lembut budi pekertinya, yang mengutamakan perbuatan baik, selaras dan
berkebajikan. Rujiao ini sudah ada jauh sebelum lahirnya “Khongcu”, yang
diyakini sudah ada sejak zaman nabi-nabi suci, seperti Fuxi (2952-2836 SM),
Shen Nong (2838-2698 SM), Huang-di (2698-2596 SM), Tang Yao (2357-2255 SM), Yu
Shun (2255-2205 SM), Da-yu (2205-2197 SM), Shang Tang (1766-1122 SM), tiga Nabi
Wen Wang, Wu Wang, dan Zhou-gong pada Era Dinasti Zhou (1122-255 SM), sampai
Nabi Agung Kongzi (551-479 SM) dan Mengzi (371-289 SM). Para nabi inilah
peletak awal Rujiao, sedangkan Nabi Kongzi adalah penerus, pembaru, dan
penyempurna. Oleh sebab itu, Rujiao disebut juga Kongjiao.[8]
Sementara kehadiran agama Khonghucu di Nusantara sendiri
telah ada sejak berabad-abad lalu bersamaan datangnya para pedagang Tionghoa,
hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya lembaga-lembaga Khonghucu, seperti Boen
Bio di Surabaya (1883), yang oleh orang Belanda disebutnya “Gredja Boen Bio atau Geredja Khonghoetjoe (de kerk
van Confucius)”, saat ini menjadi tempat ibadah agama Khonghucu di
bawah binaan MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia) Surabaya. Kemudian
tahun 1886 terbit “Kitab Hikayat Khonghucu” yang disusun oleh Lie Kim Hok serta berbagai bukti sejarah
lainnya yang meneguhkan akan eksistensi “Khonghucu” sudah ada sejak zaman
bercokolnya kolonialis di Indonesia.[9]
Tahun 1650 untuk pertama kalinya dibangun “Klenteng” oleh Letnan Kwee Hoen
sebagai pusat peribadatan umat Khonghucu di Tanah Air, yang dipersembahkan
kepada “Kwan
Im Teng” (Dewa Pewelas Asih), kemudian lebih popular dilafadz dengan dengan kata
“Klenteng”, yang awalnya dijadikan sebagai tempat penghormatan kepada leluhur
(rumah abuh/dewa). Kehadiran Klenteng ini semata-mata untuk mewadahi
kepentingan ibadah dan sosial bagi pemeluk agama Khonghucu yang ada di
Indonesia. Kondisi keberagamaan Khonghucu hingga era Soekarno (Orde Lama)
berjalan secara normal, pemerintah tidak mengintervensi kelangsungan agama di
Indonesia, bahkan Konghucu diakui secara salah satu agama resmi di Indonesia
selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Misalnya, dalam merayakan
hari besar agama bagi penganut Khonghucu berjalan lancar, penuh khidmat, dan
tenang seperti perayaan keagamaan agama-agama lainnya. Termasuk diadakannya
hari libur pada hari-hari raya agama Khonghucu secara fakultatif, seperti: tahun baru Imlek, hari lahir Nabi Khonghucu,
hari wafat Nabi Khonghucu, dan hari raya
Ching Bing; penyelenggaraan pendidikan agama atau ajaran Khong Fu Tze kepada siswa Tripusaka sebagai yayasan yang bergerak
di bidang pendidikan; penyelenggaraan seni dan budaya Khonghucu, seperti Liong
dan Barongsai ketika memperingati kelahiran Nabi Khong Fu Tze dengan
memakai busana khas Cina berwarna merah. Hal serupa pula terjadi pada pelayanan
pernikahan sesuai ajaran agama Khonghucu bagi umat yang diadakan di Litang.[10]
Suasana
harmoni keagamaan Khonghucu yang sudah berlangsung lama ini tiba-tiba berubah
drastis dan berada dalam tekanan fisik dan psikis para penganutnya, misalnya
saja penyebutan “Klenteng” menjadi samar-samar karena adanya pembauran, kalau
tidak mau disebut “perbenturan” dengan “Vihara” (tempat ibadah umat Buddha)
pada dekade 1965, saat gembong PKI (Partai Komunis Indonesia) dan seluruh
antek-anteknya dihancurleburkan akibat G30S/PKI itu, yang dinakhodai oleh rezim
Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto (Presiden ke-2 RI). Imbas dari peristiwa
mengerikan itu, seluruh kebudayaan Tionghoa yang ada di Nusantara terancam
ditutup secara paksa, sehingga banyak Klenteng bermetamorfosis menjadi “Vihara”
dan mencatatkan Surat Izin Pendiriannya di bawah naungan agama Buddha, demi
kelangsungan peribadatan dan kepemilikan, sehingga terjadi kerancuan dalam
membedakan Klenteng dengan Vihara.[11]
Tindak agresif penguasa Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa yang mayoritas beragama Khonghucu pada saat itu, karena diindikasikan
bahwa negara RRC sebagai tempat asal dan lahir agama Khonghucu yang mayoritas
etnis Cina menganut ajaran komunis, sehingga Presiden Soeharto memutuskan
hubungan diplomatik dengan Tiongkok, kemudian mengimplementasikan sistem
asimilasi yang mengakibatkan terjadi erosi bahasa dan budaya Tionghoa.[12]
Seluruh organisasi Tionghoa yang berafiliasi dan bersimpati pada PKI ditutup,
termasuk kegiatan belajar mengajar yang selama itu dikelola oleh BAPERKI dan
diubah menjadi sekolah negeri, surat kabar Cina ditutup, seluruh kegiatan
organisasi massa Tionghoa dilarang, kegiatan keagamaan Khonghucu yang dilakukan
secara massal wajib mendapatkan izin dari pemerintah setempat, tempatnya pun
wajib dalam kondisi yang tertutup supaya tidak terlihat oleh publik. Demikian
pula pelayanan pernikahan umat Khonghucu yang selama ini dilaksanakan di Litang
harus dilaksanakan menggunakan tempat ibadah agama lain dan sesuai agama tempat
ibadah tersebut. Padahal dalam ajaran Khonghucu, prosesi pernikahan bagi calon
pengantin wajib disumpah di hadapan altar (tempat ibadah) Nabi Khonghucu atau
altar leluhur.[13]
Setelah Orde Baru berganti Orde
Reformasi, banyak Vihara yang kemudian berganti nama semula, sebagai
Klenteng daripada Vihara atau menamakan diri sebagai Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD).
Di era Reformasi inilah menutup kran sistem ketatanegaraan “sentralistik”, yang
kemudian berubah menjadi sistem desentralistik-demokratis, sehingga dinamika
sosial kehidupan masyarakat Nusantara pun ikut-turut mengalami proses perubahan
itu, termasuk dalam kehidupan umat beragama, yang tidak semata menjamin
kemerdekaan umat beragama dalam “menjalankan ibadah dan kepercayaannya
masing-masing”, tetapi juga menjamin kebebasan “memeluk” agama dan kepercayaan
yang diyakini (Pasal 28E dan Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945).
Ketika amanah konstitusi sebagai dasar bernegara di
atas memberikan jaminan akan kebebasan “memeluk dan melaksanakan ibadah” sesuai
keyakinan masing-masing bagi setiap anak bangsa, maka secara mutlak dan
otomatis menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara pula dalam menyelenggarakan
sistem kehidupan umat beragama yang harmonis, toleran, rukun, dan damai serta
jauh dari unsur-unsur diskriminatif.
Salah satu upaya negara menghadirkan sistem kehidupan
umat beragama yang ramah dan tidak diskriminasi adalah dengan lahirnya berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi kondisi dan dinamika riil
kehidupan sosial beragama bagi setiap warga negara, yang selama dekade
sebelumnya diposisikan sebagai ajaran yang terlarang. Misalnya, di awal-awal
Reformasi lahir Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000 tentang
Pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam Inpres tersebut memuat 5 (lima)
instruksi yang penjabarannya diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama disertakan
Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung dalam posisinya sebagai pengamanan dan
penertiban. Poin pertama misalnya, secara tegas menyatakan bahwa “tata-cara
ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas kulturil yang berpusat pada negeri
leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan
keluarga atau perorangan”.
Inpres di atas tidak menyebut agama “Khonghucu”
sebagai nama agama yang diyakini oleh masyarakat Cina-Tionghoa sebagai asal
lahirnya agama tersebut. Sekalipun awalnya menjadi bagian dari nama agama-agama
yang diakui secara sah dan berlaku dalam konstitusi di Indonesia. Penjelasan
Pasal 1 UU
No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama[14] secara
tegas dan tersurat menyatakan bahwa “agama-agama yang dipeluk oleh
penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu
(Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di
Indonesia”.[15]
Bahkan dalam UU
No. 1/PNPS Tahun 1965 mengakui bahwa kegiatan keagamaan merupakan bagian dari
Hak Asasi Manusia, sehingga negara hadir memberikan perlindungan hukum terhadap
pihak-pihak yang dengan sengaja mengganggu keberlangsungan kehidupan umat
beragama dan/atau melakukan penodaan terhadap ajaran agama yang diakui, maka
Presiden dapat membubarkan organisasi atau aliran yang mengganggu ketertiban
umat beragama setelah Presiden mendapatkan pertimbangan dari Menteri Agama,
Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung. Ketika pembubaran organisasi tersebut
tidak membuahkan hasil, maka pengurus organisasi dan anggota-anggotanya dapat
dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Akibat
kebijakan yang termaktub dalam Inpres No. 14 Tahun 1967 di atas, maka secara
inheren berimbas pada seluruh aktivitas keagamaan Cina-Khonghucu di Indonesia,
termasuk perayaan hari-hari besar agama, sistem peribadatan, dan adat istiadatnya,
yang diselenggarakan dalam ruang gerak-aktivitas komunitas yang terbatas, hanya
dalam lingkup keluarga dan lebih bersifat individu semata. Apabila terjadi
pelanggaran atas kebijakan tersebut, maka Menteri Dalam Negeri bersama Jaksa
Agung diberi kewenangan untuk dapat menertibkan dan mengamankan. Bahkan
kebijakan pembatasan kegiatan umat Khonghucu bukan saja dalam hal pelaksanaan
ritual keagamaannya semata, tetapi juga berimbas hingga pada sektor-sektor
lainnya, di mana penganut Khonghucu tidak diperbolehkan menggunakan identitas
agamanya, misalnya lahirnya Keputusan Presidium Kabinet
Nomor 127 Tahun 1966 tentang Peraturan Ganti Nama bagi WNI yang Menggunakan Nama
Tionghoa dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978
tentang Larangan Mengimpor, Memperdagangkan, dan Mengedarkan Segala Jenis Barang
Cetakan dalam Huruf, Aksara dan Bahasa Tionghoa.
Berangkat dari ketentuan Inpres No. 14 Tahun 1967, sebagai
tindaklanjutnya, lahirlah secara berturut-turut aturan turunannya, seperti lahir Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor 67 Tahun 1980; Nomor 224 Tahun 1980; Nomor Kep-III/J.A./10/1980,
yang pada intinya mengatur keseragaman tindak di daerah-daerah dalam menangani
masalah-masalah yang menyangkut kegiatan tata ibadat Cina yang memiliki aspek
aktifitas kultural yang bersumber dari negeri-negeri leluhurnya. Hal ini
berarti, ajaran Khonghucu yang dianggap memiliki kaitan erat dengan budaya
leluhur Cina dibatasi dalam pelaksanaan perayaan agama maupun adat istiadatnya.
Disusul
kembali dengan terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1470 Tahun 1978 yang kemudian
dipertegas dalam Surat Edaran Mendagri No. 477/1978, yang intinya pemerintah hanya
mengakui 5 (lima) agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan
Buddha. Selanjutnya, dalam TAP MPR No. II/MPR/1998 juga menegaskan bahwa
penganut kepercayaan tak boleh mengarah pada pembentukan agama baru dan sedapat
mungkin diarahkan bergabung dengan salah satu agama yang diakui negara.
Berdasarkan
sensus tahun 1976, Khonghucu dianut sejuta orang tapi bukan agama yang diakui
oleh pemerintah, membuat hak-hak sipil penganut Khonghucu dibatasi, perayaan
keagamaan di gedung dan fasilitas publik dilarang, hari raya Imlek tidak
dimasukkan dalam hari besar di Indonesia. Dari segi pendidikan, sekolah di
bawah yayasan Khonghucu tidak boleh mengajarkan pelajaran agama Khonghucu, pernikahan
di antara umat Khonghucu tidak dicatat oleh Kantor Catatan Sipil. Selain itu, hak kependudukan penganut agama Khonghucu juga dilarang,
maka penganut agama Khonghucu tidak boleh membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP)
dengan agama Khonghucu, sehingga mereka secara terpaksa mencantumkan agama lain
yang sama sekali tidak diyakini sebagai agama kepercayaannya.
Beranjak dari semangat dan ruh “reformasi” yang
awalnya mengusung isu-isu perubahan dengan mengedepankan penegakan hukum dan
HAM, yang kemudian melahirkan berbagai perubahan, salah satunya dalam bentuk
restorasi kebijakan dengan mengedepankan pengakuan negara atas hak-hak warga
negara, yang selama ini termarjinalisasi dalam -otoritarisme kekuasaan-
berlindung atas nama stabilitas pembangunan nasional. Salah satu upaya awal
negara mengembalikan hak-hak keagamaan warganya adalah dengan lahirnya Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan
Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat
Istiadat Cina.
Dalam diktum pertimbangan Keppres No. 6 Tahun 2000 menyatakan
secara tegas, bahwa penyelenggaraan
kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakekatnya merupakan
bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Lebih lanjut menegaskan bahwa
pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina, dirasakan oleh warga negara Indonesia
keturunan Cina telah membatasi ruang-geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan
keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya.
Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 di atas mempunyai
dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan kebebasan beragama,
khususnya bagi penganut agama Khonghucu. Oleh karena itu, agama Khonghucu
diakui dan dijamin oleh negara, sehingga bebas untuk dianut oleh Warga Negara
Indonesia. Dalam perkembangan berikutnya, lahir berbagai kebijakan yang
mengakomodasi eksistensi ajaran dan umat Khonghucu untuk dapat diselenggarakan
secara bebas dan terbuka, termasuk perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari besar
Cina, bahkan ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek, kemudian diikuti
peraturan pelaksanaannya melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 331 Tahun
2002 tentang Penetapan Hari Raya Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional.
Lebih lanjut, kartu identitas penganut agama Khonghucu
pun dipulihkan melalui Surat Mendagri RI Nomor 470/336/SJ tanggal 24 Januari
2006 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu serta
perkawinan dan pendidikan menurut ajaran Khonghucu pun diperbolehkan
berdasarkan Surat Edaran Menteri Agama RI No. MA/12/2006 tanggal 24 Januari
2006 tentang Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khonghucu dan
Pendidikan Agama Khonghucu. Selain itu, pembangunan Klenteng diperbolehkan,
termasuk pendirian Klenteng Kong Miao di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Berdasarkan Surat Departemen Agama RI No. SJ/B.VII/1/BA.01.2/623/06 tanggal 21
Maret 2006 prihal pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu.
Seputar
Nomenklatur Bimas Khonghucu
Di Indonesia, nomenklatur (tata nama) bidang agama
berada di bawah kendali Kementerian Agama yang memiliki tugas menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agama untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara (Pasal 2 Peraturan Presiden [Perpres] No.
83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama).[16]
Karena itu, salah satu fungsi Kementerian Agama dalam penyelenggaraan bidang
agama adalah merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan di bidang bimbingan
masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, sebagaimana
diatur pada Pasal 3 huruf a Perpres No. 83 Tahun 2015, yang kemudian dijabarkan
lebih lanjut pada Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 42 Tahun
2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama Republik Indonesia.[17]
Jadi, legitimasi Bimbingan Masyarakat (Bimas)
Khonghucu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari nomenklatur organisasi Kementerian
Agama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Bimas Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha yang sudah terlebih dahulu menjalankan tugas dan fungsinya
dalam penyelenggaraan agama dan keagamaan di Indonesia. Hanya saja, pada Pasal
4 ayat (1) PMA No. 42 Tahun 2016 hanya menyebut 11 (sebelas) unit kerja yang
ada dalam susunan organisasi Kementerian Agama, yaitu: Sekretariat Jenderal
(Sekjen), Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam, Ditjen Penyelenggaraan
Haji dan Umrah, Ditjen Bimas Islam, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Bimas Katolik,
Ditjen Bimas Hindu, Ditjen Bimas Buddha, dan Inspektorat Jenderal (Itjen),
Badan Litbang dan Diklat, serta Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH). Adapun Konghucu diletakkan pada bagian “Pusat” sebagai pembantu
Menteri Agama, yaitu Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu (Pasal 4 ayat [2]
dan ayat [4].
Pertanyaannya kemudian, di mana letak nomenklatur Bimbingan
Masyarakat (Bimas) Khonghucu itu dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi
keagamaannya? Hal ini menjadi “simpangsiur”, karena tidak ada diktum lebih
lanjut yang menjelaskan kedudukan, tugas, dan fungsi Bimas Konghucu tersebut,
baik dalam Perpres No. 83 Tahun 2015 maupun dalam PMA No. 42 Tahun 2016.
Padahal Pasal 3 huruf a Perpres No. 83 Tahun 2015 secara tersurat menyebut
“bimbingan masyarakat”, yang kemudian disingkat menjadi “Bimas” Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Adapun Pasal 890 hanya mengatur Pusat
Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu sebagai “unsur pendukung” pelaksanaan tugas
Kementerian Agama yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri
Agama melalui Sekretaris Jenderal yang dipimpin oleh seorang Kepala (setingkat
eselon II). Padahal dalam ketentuan Pasal 3 menegaskan fungsi Bimas Khonghucu
sebagai bagian dari penyelenggara Kementerian Agama, yang dipimpin oleh Menteri
Agama (Pasal 1). Dalam kedudukannya sebagai unsur pendukung, maka fungsi Bimas Khonghucu
sama dengan lembaga Pusat Kerukunan Umat Beragama, hal ini terlihat jelas dalam
Lampiran Struktur Organisasi Kementerian Agama.[18]
Padahal secara tegas diatur pada Pasal 475 Peraturan
Presiden No. 135 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketujuh Atas Peraturan Presiden
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara[19]
menyatakan bahwa:
“Susunan organisasi eselon I
Kementerian Agama terdiri atas: a. Sekretariat Jenderal; b. Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam; c. Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah; d. Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam; e. Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Kristen; f. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik; g.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu; h. Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Buddha; i. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Khonghucu; j. Inspektorat Jenderal; k. Badan Penelitian dan Pengembangan
serta Pendidikan dan Pelatihan; l. Staf Ahli Bidang Kehidupan Beragama; m. Staf
Ahli Bidang Kerukunan Umat Beragama; n. Staf Ahli Bidang Lembaga Sosial
Keagamaan; o. Staf Ahli Bidang Pendidikan; dan p. Staf Ahli Bidang Hukum dan
Hak Asasi Manusia”.
Lebih lanjut dirumuskan tugas dan fungsi Direktorat
Jenderal Khonghucu pada Pasal 491A dan Pasal 491B Peraturan Presiden No. 135
Tahun 2014 sebagai berikut:
Pasal 491A:
“Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Khonghucu mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan
kebijakan dan standardisasi teknis di bidang bimbingan masyarakat Khonghucu”.
Pasal 491B:
“Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 491A, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Khonghucu menyelenggarakan fungsi: a. perumusan kebijakan di
bidang bimbingan masyarakat Khonghucu; b. pelaksanaan kebijakan di bidang
bimbingan masyarakat Khonghucu; c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan
kriteria di bidang bimbingan masyarakat Khonghucu; d. pemberian bimbingan
teknis dan evaluasi di bidang bimbingan masyarakat Khonghucu; dan e.
pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Khonghucu”.
Dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia, dikenal adanya “jenis dan hirarki” peraturan perundang-undangan,
sebagaimana diatur melalui UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, yang mengatur bahwa dalam penyusunan Peraturan Presiden
berlaku secara “mutatis mutandis” (Pasal 31). Menurut Black
Dictionary (Edisi VII) bahwa mutatis mutandis adalah “All necessary
changes having been made; with the necessary changes what was said regarding
the first contract applies mutatis mutandis to all the later ones”. Charles Augustus Maude Fennell dalam The Stanford Dictionary of Anglicised Words and
Phrases menyatakan, bahwa mutatis mutandis adalah perubahan yang penting telah dilakukan.[20]
Artinya, Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 yang telah diubah
sebanyak 7 (tujuh) kali dan terakhir dengan Peraturan Presiden No. 135 Tahun
2014, salah satu hal yang telah diubah dengan perubahan yang penting (mutatis
mutandis) adalah perubahan dengan menambahkan isi Pasal 475: “Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Konghucu pada poin (i), dengan menggeser posisi
“Inspektorat Jenderal” ke poin (j) serta terdapat penyisipan 2 (dua) pasal di
antara Pasal 491 dan Pasal 492, yaitu Pasal 491A dan Pasal 491B, yang
menguraikan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Konghucu,
di mana ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut belum
pernah termaktub, sekalipun telah dilakukan perubahan sebanyak 6 (enam) kali pada
perubahan-perubahan sebelumnya.
Perubahan ketentuan Pasal 475 serta penambahan Pasal
491A dan Pasal 491B pada Peraturan Presiden No. 135 Tahun 2014 di atas,
seharusnya secara otomatis berubah pula ketentuan yang terdapat dalam PMA No.
10 Tahun 2010, sebagai “peraturan pelaksanaan” dari Perpres tersebut, namun
tidak ditemukan adanya diktum penyesuaian perubahan, baik pada PMA Nomor 21
Tahun 2014[21]
sebagai perubahan ketiga maupun PMA Nomor 16 Tahun 2015[22]
sebagai perubahan keempat.
Adapun terbitnya PMA No. 42 Tahun 2016 secara hirarkis
merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2015. Namun
PMA No. 42 Tahun 2016 tetap mengakomodir keberlakuan PMA No. 10 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, sebagaimana telah beberapa
kali diubah dan terakhir dengan PMA No. 16 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat
Atas PMA No. 10 Tahun 2010.[23]
Di mana dalam PMA No. 10 Tahun 2010 tersebut menempatkan Konghucu sebagai
bagian dari Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) dalam menyelenggarakan tugas
dan fungsinya, sebagaimana diatur pada Pasal 769. Sekalipun harus diakui bahwa
PMA No. 42 Tahun 2016 sudah lebih maju, karena Kementerian Agama secara tegas
menyatakan bahwa Khonghucu merupakan salah satu bagian dalam penyelenggaraan
fungsi Kementerian Agama (Pasal 3 PMA No. 42 Tahun 2016) serta menjadikan
Khonghucu sebagai bagian tersendiri dari susunan organisasi Kementerian Agama
yang dipimpin oleh seorang Kepala, setingkat dengan PKUB.
Khonghucu dalam posisinya sebagai Pusat Bimbingan dan
Pendidikan Khonghucu dipimpin oleh seorang kepala, dengan susunan organisasi
terdiri atas: (a) Subbagian Tata Usaha; (b) Bidang Bimbingan dan Kelembagaan
Agama Khonghucu, yang terbagi menjadi 2 (dua) subbagian, yaitu: (1) Bimbingan
dan Penyuluhan, (2) Kelembagaan dan Pemberdayaan Umat; (c) Bidang pendidikan
Khonghucu, yang terbagi menjadi 2 (dua) subbagian, yaitu: (1) Pendidikan Agama
dan (2) Pendidikan Keagamaan; serta (d) Kelompok Jabatan Fungsional.
Data
Penganut Agama Khonghucu di Indonesia
Menjawab dilematisasi penempatan bimbingan masyarakat
Khonghucu dalam nomenklatur di Kementerian Agama dengan bertitik tolak pada
ketentuan Pasal 3 huruf a UU No. 83 Tahun 2015 dan di sisi lain dalam
undang-undang ini pula secara tegas menyatakan bahwa Perpres No. 24 Tahun 2010
dan seluruh perubahannya serta Perpres No. 165 Tahun 2014 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. Demikian pula dalam ketentuan PMA No. 42 Tahun 2016
telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan PMA No. 10 Tahun
2010 beserta seluruh diktum perubahannya. Artinya, diktum ketentuan tentang
keberadaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Khonghucu sudah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam politik hukum (rechtpolitiek) dikenal
adanya “legal policy” (kebijakan otoritas). Mahfud MD mengatakan, bahwa legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan,
baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam
rangka mencapai tujuan Negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan
pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang
hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan, yang kesemuanya dimaksud
untuk mencapai tujuan negara, seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD
1945.[24]
Satjipto
Rahardjo berpendapat, bahwa dalam menjalankan politik hukum itu muncul
pertanyaan-pertanyaan, yaitu: (1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem
hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa
dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan
melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah
dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu memutuskan proses
pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.[25] Oleh
karena itu, Hikmahanto menegaskan, bahwa dalam memberadakan sebuah peraturan
perundang-undangan harus ada konstelasi dan korelasi dengan apa yang ditetapkan
sebagai politik hukum dan apa yang ingin dicapai sebagai tujuan. Karena itu,
menurut Hikmahanto harus ada basic policy (kebijakan dasar) dan
kebijakan pemberlakuan (enactment policy).[26]
Semangat
menghadirkan Perpres
No. 24 Tahun 2010 dan seluruh perubahannya (terakhir dengan Perpres No. 135
Tahun 2014) merupakan kehendak politik pemerintah dalam menunaikan amanah falsafah
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 beserta peraturan perundang-undangan yang
telah ada sebelumnya, namun langkah positif tersebut tidak berbarengan dan
seiring dengan database pendukung lainnya. Misalnya, data BPS tahun 2017
menunjukkan bahwa jumlah penganut agama Khonghucu di Indonesia sebanyak 117.091
orang (0.05%) dari total penduduk di Indonesia, yaitu 236.728.379 orang
berdasarkan sensus tahun 2010.[27]
Bahkan Kabid Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu, Emma Nurmawati Hadian
mengatakan bahwa Kementerian Agama RI membutuhkan akurasi data agar penentuan
program dan penganggaran bimbingan yang dilakukan kepada pemeluk agama
Khonghucu dapat dilaksanakan dengan tepat.[28]
Berdasarkan data statistik di atas menunjukkan bahwa jumlah
penganut agama Khonghucu di Indonesia masih dalam skala terbatas beriringan
dengan pelayanan untuk pemenuhan hak-hak sipilnya, sehingga kehadiran lembaga
Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu masih terjangkau. Oleh karena itu,
semangat Perpres No. 135 Tahun 2014 membentuk Direktorat Jenderal (Ditjen)
Bimbingan Masyarakat Khonghucu sebagai bagian dari nomenklatur di Kementerian
Agama masih sulit untuk diwujudkan, karena selain faktor pertimbangan optimalisasi
pelayanan organisasi yang prima, juga karena keterbatasan sumber daya umat Khonghucu
itu sendiri sebagai pegawai di Kementerian Agama, bahkan hingga saat ini
jabatan Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu masih dijabat dari
kalangan Islam.[29]
Kondisi keterbatasan umat Khonghucu di atas dapat
dipahami, mengingat selama rezim sentralistik agama Khonghucu berada dalam
kondisi termarginalisasi dari aktivitas keagamaannya, termasuk dalam pembatasan
terhadap perlakuan sosialnya. Dalam komunitas sosial, selama penerapan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 misalnya, umat
Khonghucu dalam menjalankan ritual keagamaan sangat terbatas (kalau tidak mau
disebut dilarang), hanya boleh dalam lingkup keluarga terbatas dan lebih pada
penekanan atas kehendak individu semata, itu pun di rumah bukan di Klenteng,
sebagai tempat resmi yang disucikan oleh umatnya dalam melaksanakan ibadah dan
ritual lainnya. Bahkan lebih anehnya lagi, pencantuman agama Khonghucu sebagai
agama yang dianut, dilarang secara terang-terangan ditampilkan dalam kolom
Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penganutnya. Jadi, secara terpaksa penganut
Khonghucu mengakui agama yang tidak diyakininya sebagai agama resminya
sebagaimana tercantum dalam KTP miliknya. Boleh jadi, dalam proses pernikahan pun
juga berlaku demikian, seorang penganut Khonghucu secara terpaksa mengakui dan
meyakini agama lain yang sejujurnya tidak diyakini sebagai agama baginya (perlu
penelitian lebih lanjut), karena proses administrasi pernikahan bagi non-Muslim
berada di bawah Kantor Catatan Sipil (KCS), yang mensyaratkan sahnya sebuah perkawinan
di Indonesia apabila sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut serta
wajib dicatat. Dalam hal pencatatan perkawinan inilah unsur administrasi bagi
calon pengantin wajib disertakan sebagai bukti riil identitasnya, salah satunya
adalah KTP. Sehingga dalam proses pernikahan yang dianggap sakral itu pun, para
penganut Khonghucu menjalankan seluruh ritual keagamaan yang tidak diyakininya,
kalau pun mereka menjalankan ritual keagamaan yang diyakininya harus secara
sembunyi-sembunyi dan dalam ruang yang terbatas.
Dalam hal pendidikan pun demikian, umat Khonghucu
dipaksa mengambil salah satu mata pelajaran agama dari 5 (lima) agama yang
diakui di Indonesia, akibatnya banyak siswa penganut Khonghucu berpindah agama,
karena tidak tersedianya guru yang dapat mengajarkan pendidikan agama Khonghucu
di sekolah.
Pengkerdilan agama Khonghucu belum selesai, masih
berlanjut pada pelarangan pencantuman nama Tionghoa pada seluruh identitas
pribadinya, sehingga memaksa penggunanya mengganti nama resminya dengan nama
yang mayoritas berlaku dalam komunitas sosial atau suku di mana mereka
bertempat tinggal, termasuk pelarangan bahasa atau aksara Tionghoa sebagai
komoditas bisnis. Kitab Khonghucu misalnya tidak boleh menggunakan huruf
Tionghoa, sehingga harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Apabila
terdapat penggunaan bahasa Tionghoa, maka bisa ditangkap, disita, dan
diintimidasi. Termasuk pengover-alihan fungsi Klenteng, yang awalnya sebagai
tempat suci bagi umat Khonghucu menjadi tempat ibadah bagi umat Buddha, bahkan
ada yang diubah namanya menjadi Vihara, sehingga lambat laun nama dan fungsi
Klenteng semakin kabur peruntukannya.
Setelah bertahun-tahun hidup dalam keyakinan yang
terombang-ambing, terbit Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang
Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan,
dan Adat Istiadat Cina, legal policy ini menjadi babak baru bagi umat
Khonghucu untuk kembali menyegarkan pikiran dan menata kembali seluruh pranata
sosial dan sendi-sendi keberagamaannya, yang selama ± 3 dasawarsa lamanya
berada dalam ketidakpastian. Namun tidak berarti bahwa setelah pengakuan
kembali Khonghucu sebagai agama resmi di Indonesia kendala dan rintangan yang
dihadapi sudah selesai. Kendala utama yang dihadapi adalah, apakah agama ini
masih memiliki penganut? Karena selama rezim sentralistik memang sengaja dibuat
sebagai agama yang samar-samar (abu-abu) dan dalam tekanan psikis bagi para penganutnya,
sehingga untuk mengakui kembali sebagai agama resminya membutuhkan waktu
pemulihan dari kondisi traumatik tersebut. Selain itu, mengembalikan fungsi
Klenteng atau Liteng sebagai tempat ibadah bagi umat Khonghucu pun tak luput
dari berbagai pertentangan di antara agama-agama lain yang selama ini sudah nyaman
menjadikan sebagai tempat ibadahnya.
Kini saatnya bagi umat Khonghucu bangkit menata
kembali pranata sosial keberagamaannya bersejajar secara harmoni dalam damai
dengan agama-agama resmi lainnya memupuk tali persaudaraan, baik dalam batas
komunitas sekeyakinan maupun antarumat beragama sebagai warga negara, yang memiliki
hak dan kewajiban yang sama dan dilindungi oleh undang-undang.
Secara perlahan dan berkelanjutan, pemenuhan hak-hak
umat Khonghucu terus diupayakan. Dalam menjalankan perannya, Kementerian Agama
misalnya memberikan sosialisasi tentang pemulihan status dan hak-hak umat
Khonghucu. Hal tersebut didasarkan pada Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun
2006 tentang Sosialisasi Status Perkawinan, Pendidikan dan Pelayanan terhadap
Penganut Agama Khonghucu, sebagai upaya pemulihan atas eksistensinya sebagai
agama resmi di Indonesia. Dalam bidang pendidikan agama dan keagamaan Khonghucu
sudah diakomodir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan,[30]
bahwa shuyuan adalah satuan
pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada semua jalur dan
jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing. Jalur pendidikan
keagamaan Khonghucu ini diselenggarakan oleh
masyarakat pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal berbentuk
program Sekolah Minggu, Diskusi Pendalaman Kitab Suci, Pendidikan Guru dan
Rohaniwan Agama Khonghucu, atau bentuk lain yang sejenis. Sekalipun pada
nomenklatur Khonghucu di Kementerian Agama, awalnya berbentuk Direktoral
Jenderal (eselon 1), kemudian direduksi menjadi kepala pusat (eselon II).
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menarik
kesimpulan bahwa: Pertama, negara telah mengakui Khonghucu sebagai salah
satu agama resmi dari 6 (enam) agama yang dianut warga negara Indonesia melalui
peraturan perundang-undangan, karena itu negara wajib memberikan ruang yang adil
dan proporsional tanpa diskriminasi, untuk mengeskpresikan seluruh sistem
keagamaan yang diyakini dalam agama Khonghucu kepada seluruh penganutnya; Kedua,
mengingat sumber daya umat Khonghucu masih sangat terbatas, maka ketentuan
awalnya dalam kedudukannya sebagai Ditjen Bimas Konghucu (eselon I) direduksi
oleh peraturan yang datang kemudian, dengan memosisikan nomenklatur bimbingan
masyarakat Khonghucu pada eselon II sebagai Pusat Bimbingan dan Pendidikan
Khonghucu di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama RI.
Rekomendasi
Dalam kondisi demikian, maka pemerintah (dalam hal ini
Kementerian Agama) penting: Pertama, menghadirkan pengarusutamaan sikap
toleransi kepada seluruh umat beragama, termasuk menghindarkan masyarakat dari
diskriminasi terhadap keberadaan umat Khonghucu serta pentingnya mengembalikan
fungsi Klenteng sebagai pusat peribadatan umat Khonghucu di tengah-tengah
masyarakat. Kedua, pentingnya database jumlah penganut agama Khonghucu
yang valid dan akurat, mengingat pernah terjadi mobilisasi pengisian kolom
agama pada KTP untuk penganut agama Khonghucu memilih agama yang diakui
pemerintah, karena itu penting menghadirkan pendataan secara menyeluruh tentang
jumlah umat Khonghucu di seluruh Indonesia, pendataaan siswa, dan guru agama
Khonghucu. Ketiga, pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya umat
Khonghucu terutama pada bidang pelayanan bimbingan dan pendidikan, maka
Kementerian Agama penting pula mengadakan penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
serta penyediaan tenaga-tenaga penyuluh keagamaan dari kalangan umat Khonghucu
sendiri. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka
penting dilakukan penelitian lebih lanjut, terutama pendataan jumlah umat
Khonghucu dan Klenteng di Indonesia.
Daftar
Pustaka
Buku
Badan
Pusat Statistik. 2017. Statistik Politik 2017. Jakarta: Badan Pusat
Statistik, Jakarta – Indonesia.
Fennell, Charles
Augustus Maude, Ed. (1891). The
Stanford Dictionary of Anglicised Words and Phrases. Cambridge: University
Press.
Kementerian Agama RI.
2016. Peraturan
Menteri Agama No. 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama Republik Indonesia. Jakarta: Biro Organisasi dan Tata
Laksana, Sekretariat Jenderal Kementerian Agama Tahun 2016.
MD Mahfud. 2014. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, Cet. VI.
Peraturan
Perundang-Undang
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang
Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2726).
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor II/MPRS/1960
tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan
Pertama 1961-1969.
Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 124 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4769)
Instruksi
Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Instruksi Presiden Nomor
1470 Tahun 1978 tentang Pengakuan Lima Agama di Indonesia.
Keputusan
Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14
Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Peraturan
Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian
Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara.
Peraturan
Presiden No. 135 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketujuh Atas Peraturan Presiden
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 273).
Peraturan
Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 168).
Keputusan Presidium Kabinet
Nomor 127 Tahun 1966 tentang Peraturan Ganti Nama bagi WNI yang Menggunakan Nama
Tionghoa.
Keputusan Menteri Perdagangan
dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978 tentang Larangan Mengimpor, Memperdagangkan,
dan Mengedarkan Segala Jenis Barang Cetakan dalam Huruf, Aksara dan Bahasa
Tionghoa.
Keputusan Bersama
Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor
67 Tahun 1980; Nomor 224 Tahun 1980; Nomor Kep-III/J.A./10/1980 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.
Instruksi
Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2006 tentang Sosialisasi Status Perkawinan,
Pendidikan dan Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu.
Peraturan
Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 592)
Peraturan
Menteri Agama Nomor 33 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama
Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 692)
Peraturan
Menteri Agama Nomor 80 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1202)
Peraturan
Menteri Agama Nomor 21 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1114)
Peraturan
Menteri Agama No. 16 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan
Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 348).
Peraturan
Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
1495).
Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/ BA.01.2/ 4683/95 tanggal 18 November
1978.
Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Klenteng
(27/7/2018).
https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Tinggi_Agama_Konghucu_Indonesia
(27/7/2018).
https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Tinggi_Agama_Konghucu_Indonesia
(27/7/2018).
https://id.wikipedia.org/wiki/Mutatis_mutandis (28/7/2018).
Tyokronisilicus.
2010. “Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Studies
Passions, (online), di https://tyokronisilicus.wordpress.com/2010/05/04/peranan-politik-hukum-dalam-pembentukan-peraturan-perundang-undangan/. Diunduh tanggal
31/7/2018.
[1]Kata “Indonesia” pada
awalnya diusulkan oleh George Samuel
Windsor Earl (1813-1865), seorang ahli etnologi berkebangsaan Inggris dalam tulisannya
di Majalah JIAEA (Journal
of the Indian Archipelago and Eastern Asia) Vol. IV Tahun 1850, hlm.
66-74 terbit di Singapura tahun 1847 sebagai majalah tahunan. Earl menegaskan
bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu
untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia
tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl
mengusulkan 2 (dua) pilihan, yaitu Indunesia atau Malayunesia (nesia = nenos
dalam bahasa Latin, artinya kepulauan). Namun bagi Earl lebih memilih
“Malayunesia” karena sangat tepat dengan ras Melayu, karena Indunesia bisa
digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Pandangan yang sama
diutarakan oleh James Richarson Lagon (1819-1869) dalam majalah tersebut pada
halaman 252-347, bahwa perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal
sebagai Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan
Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama
Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan
huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah
istilah Indonesia. istilah tersebut dipopuler kemudian oleh Adolf
Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des
Malayischen Archipe l(Indonesia atau Pulau-Pulau di Kepulauan Melayu)
sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan
itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah
"Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul
anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang
tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van
Nederlandsch-Indiƫ tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah
"Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. Kemudian tahun 1920-an
oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan mengambil alih nama Indonesia yang
setiap gerakan politiknya. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia.
Diakses tanggal 20-10-2018.
[2]Istilah “nusantara”
merupakan konsep kenegaraan Jawa pada abad XIII – XV, artinya pulau lain di
luar Jawa, yang dipopulerkan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa tahun 1336.
Namun pandangan tersebut ada yang menyanggah, bahwa kata “nusantara” sudah
dicetuskan lebih setengah abad lebih awal dari Kertanegara pada tahun 1275
dengan istilah “dwipantara” oleh raja Singhasari, di mana dwipa sinonim dengan
“nusa”, artinya pulau. Jadi, nusantara adalah kepulauan antara. Kemudian tahun
1920-an kata “Nusantara” dipopulerkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara untuk
menyebut wilayah “Hindia Belanda”. Lihat,
https://id.wikipedia.org/wiki/Nusantara. Diakses tanggal 20-10-2018.
[3]Menurut Hamka, bahwa pada tahun 625 M
sebuah naskah Tiongkok mengabarkan
bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatera (Barus). Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk ke
wilayah kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 30
Hijriyah atau 651 M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan (644-656 M) memerintahkan
mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sofyan) ke tanah Jawa, yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini
adalah raja Jay
Sima, putra Ratu Sima dari
Kalingga, masuk Islam. Namun menurut Hamka sendiri, itu terjadi
tahun 42 Hijriah atau 672 Masehi.
[4]https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia;
https://www.globalpulsemagazine.com/sejarah-pertama-kali-agama-katolik-di-indonesia/;
dan https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Gereja_Katolik_di_Indonesia.
Diakses 20/10/2018.
[5]https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Tinggi_Agama_Konghucu_Indonesia.
Diakses 20/10/2018.
[6]https://id.wikipedia.org/wiki/Tata_nama
(20/10/2018).
[7]https://kbbi.web.id/nomenklatur
(20/10/2018).
[10]Bab III: Agama Khonghucu pada Masa Orde Lama dan Orde Baru
di Surakarta, hlm. 40-44. Lihat,
https://anzdoc.com/bab-iii-agama-khonghucu-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru-di.html
[11]https://id.wikipedia.org/wiki/Klenteng
(27/7/2018).
[12]I Wibowo dan Thung Ju
Lan (ed). Setelah Air Mata Mengering: Masyarakat
Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Media Nusantara, hlm. 58.
Dalam, https://anzdoc.com/bab-iii-agama-khonghucu-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru-di.html
[13]https://anzdoc.com/bab-iii-agama-khonghucu-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru-di.html
[14]Bunyi Pasal 1 UU No.
1/PNPS Tahun 1965: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari
agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama itu. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3).
[15]Penjelasan Lengkap Pasal
1 UU No. 1/PNPS Tahun 1965 bahwa dengan kata-kata "Dimuka Umum"
dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia
ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini
dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia.
Karena
6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk
Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan
perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.
Ini
tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto,
Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang
diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan
perundangan lain.
Terhadap
badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan
yang sehat dan ke arah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan
ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.
Dengan
kata-kata "Kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam kegiatan yang
bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama,
mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran
kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran
agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai
alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2726).
[16]Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 168.
[17]Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 1495.
[18]Peraturan Menteri Agama
No. 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama Republik
Indonesia. Jakarta: Biro Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Jenderal
Kementerian Agama Tahun 2016, hlm. 308 dan 367.
[19]Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 273.
[20]Fennell, Charles Augustus Maude, Ed. (1891). The Stanford Dictionary of Anglicised Words and
Phrases. Cambridge: University Press, hlm. 563. Lihat juga di: https://id.wikipedia.org/wiki/Mutatis_mutandis
(28/7/2018).
[21]Perubahannya
menyangkut masalah “Susunan organisasi Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kehidupan Keagamaan” dan masalah “Bidang Perencanaan, Evaluasi, dan Pelaporan
Bidang Perencanaan, Evaluasi, dan Pelaporan”.
[22]Perubahan
masalah Susunan organisasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur dan
Khazanah Keagamaan.
[23]Peraturan Menteri Agama
Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 592) sudah 4 (empat) kali diubah
dengan Peraturan Menteri Agama, yaitu: (1) PMA Nomor 33 Tahun 2013 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 692); (2) PMA Nomor 80 Tahun 2013
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1202); (3) PMA Nomor 21 Tahun
2014 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1114); dan (4) PMA No.
16 Tahun 2015 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 348).
[24]MD Mahfud. 2014. Politik
Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, Cet. VI,
hlm. 1.
[25]Ibid., hlm. 2.
[26]Tyokronisilicus. 2010. “Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Studies Passions, (online), di https://tyokronisilicus.wordpress.com/2010/05/04/peranan-politik-hukum-dalam-pembentukan-peraturan-perundang-undangan/. Diunduh tanggal
31/7/2018.
[27]Sesuai sensus BPS 2010, agama yang paling banyak
dianut oleh penduduk Indonesia adalah agama Islam sebanyak 207.176.162 juta jiwa (87,18
persen), agama Kristen 16.528.513 juta jiwa (6,96 persen), agama Katolik 6.907.873 juta jiwa (2,91
persen), agama Hindu 4.012.116 jiwa (1,69 persen), agama Budha sebanyak
1.703.254 jiwa (0,72 persen). Kemudian agama termuda yang diakui pemerintah
Indonesia adalah Khonghucu dianut sekitar 117,091 jiwa (0,05 persen). Lihat, Badan
Pusat Statistik. 2017. Statistik Politik 2017. Jakarta: Badan Pusat
Statistik, Jakarta – Indonesia, hlm. 156.
[28]https://www.antaranews.com/berita/570299/kemenag-minta-verifikasi-ulang-jumlah-pemeluk-konghucu. Diunduh tanggal
31/7/2018.
[29]Hj. Emma Numawati
Hadian, MM adalah Kepala Bidang Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu Kementerian
Agama.
[30]Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 124 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4769.