SITA HARTA BERSAMA TANPA ADANYA SENGKETA
PERKAWINAN
DALAM HUKUM PERKAWINAN INDONESIA
MUKHTAR ALSHODIQ, S.Ag., MH
Kedudukan harta
bersama dalam hukum perkawinan Indonesia diatur pada Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan[1]
yang menyatakan,
bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan
dapat dipergunakan atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan harta bawaan,
hadiah, dan warisan tetap di bawah penguasaan masing-masing dan merupakan hak
sepenuhnya sepanjang para pihak tidak menentukan lain.[2]
Artinya, harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri
selama masa ikatan perkawinan.[3] Oleh
karena itu, harta bersama merupakan harta perkawinan yang dimiliki suami istri
secara bersama-sama. Yakni, harta baik bergerak maupun tidak bergerak yang
diperoleh sejak terjalinnya hubungan suami istri yang sah, yang dapat
dipergunakan oleh suami dan istri untuk membiayai keperluan hidup mereka
beserta anak-anaknya, sebagai satu kesatuan yang utuh dalam rumah tangga.
Karena itu, harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan
berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.[4] Awal
terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ini, karena masih adanya prinsip masing-masing
suami dan istri untuk berhak menguasai harta bendanya sendiri, sebagaimana
halnya sebelum mereka menjadi suami istri, kecuali harta bersama yang tentunya
dikuasai bersama.[5]
Berdasarkan
ketentuan Pasal 35 dan 36 di atas, maka UU No. 1 Tahun 1974 tidak menganut asas
percampuran atau penyatuan harta akibat adanya perkawinan, sehingga harta
bawaan, hadiah, dan warisan suami dan istri terpisah dan tetap di bawah
penguasaan masing-masing dan merupakan hak sepenuhnya, sepanjang para pihak
tidak menentukan lain melalui perjanjian perkawinan. Sedangkan harta bersama
yang diperoleh
selama dalam ikatan perkawinan,
menjadi milik bersama suami istri, tanpa mempersoalkan siapakah sesungguhnya
yang menguras jerih payahnya untuk memperoleh harta tersebut serta dikuasai dan
dikelola secara bersama
dan masing-masing suami istri merupakan pemilik bersama atas harta bersama
tersebut.
Semua pendapatan atau penghasilan suami
istri selama ikatan perkawinan, selain harta asal dan/atau harta pemberian yang
mengikuti harta asal adalah harta bersama.[6] Tidak dipermasalahkan apakah
istri ikut aktif bekerja atau tidak, walaupun istri hanya tinggal di rumah
mengurus rumah tangga dan anak, sedangkan yang bekerja suami sendiri.[7]
Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 7 September 1956 No.
51/K/Sip/1956,
bahwa menurut hukum adat, semua harta yang diperolehkan selama berlangsungnya
perkawinan termasuk dalam gono gini, meskipun mungkin hasil kegiatan suami
sendiri.[8]
Ketentuan di atas
berbeda dengan Pasal 119 KUH Perdata yang menyatakan, bahwa sejak saat
dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh
antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan
lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh
ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri.[9] Dengan
demikian, sejak mulai perkawinan sudah terjadi suatu percampuran antara
kekayaan suami dan kekayaan istri (algehele gemeenschap van goederen)
kalau tidak diadakan suatu perjanjian. Keadaan yang demikian itu berlangsung
seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. Kalau orang ingin menyimpan dari peraturan
tersebut, maka harus diletakkan keinginannya itu dalam suatu perjanjian
perkawinan (huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian itu, harus
diadakan sebelum perkawinan
ditutup di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan harus diletakkan dalam suatu akta
notaris. Undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu
perkawinan itu tetap, demi melindungi kepentingan-kepentingan pihak ketiga.[10]
Ketika terjadi perceraian, maka harta bersama ini dibagi dua antara suami istri
tanpa perlu memperhatikan dari pihak mana barang-barang itu dahulu diperoleh.[11]
Yahya Harahap
menjelaskan, bahwa jika ditinjau sejarah terbentuknya harta bersama, telah terjadi
perkembangan hukum adat terhadap harta bersama didasarkan pada syarat
ikutsertanya istri secara fisik dalam membantu pekerjaan suami. Jika istri
tidak ikut secara fisik dan membantu suami dalam mencari harta benda, maka
hukum adat lama menganggap tidak pernah terbentuk harta bersama dalam
perkawinan. Dalam perjalanan sejarah lebih lanjut, pendapat tersebut mendapat
kritik keras dari berbagai kalangan ahli hukum sejalan dengan berkembangnya
pandangan emansipasi wanita dan arus globalisasi di segala bidang. Menanggapi
kritik tersebut, terjadilah pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum baru,
klimaksnya pada tahun 1950 mulai lahirlah produk pengadilan yang
mengesampingkan syarat istri harus aktif secara fisik mewujudkan harta bersama.
Syarat tersebut diubah dengan nilai baru seperti yang terdapat dalam Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor: 51 K/SIP./1956 tanggal 7 November 1956.[12]
Keberadaan harta
bersama dalam perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan suami dan istri secara
bersama-sama beserta anak-anak mereka, sehingga penggunaan harta bersama harus
atas persetujuan bersama suami dan istri, tidak boleh dikuasai secara sepihak
dan semena-mena. Oleh karena itu, apabila ada persangkaan atau terindikasi adanya
tindakan penyalahgunaan oleh salah satu pihak di antara suami atau istri,
dengan memindahtangankan kepada pihak lain, memboroskan atau menggelapkan atas
harta bersama tersebut, maka undang-undang memberikan jaminan agar keutuhan harta bersama dalam perkawinan itu tetap terlindungi dan terjaga melalui upaya “penyitaan”
atas permohonan yang diajukan pihak suami atau istri serta pihak yang berkepentingan kepada pengadilan.
Di dalam hukum acara
perdata terdapat beberapa istilah penyitaan atau sita (beslag) atas
harta bersama dalam perkawinan, misalnya; sita konservatoir (conservatoir
beslag), sita revendikasi, sita marital (maritaal beslag), dan sita
harta bersama. Namun penulis perlu menegaskan, bahwa tindakan
penyitaan atas harta bersama dalam perkawinan, tidak dimaksudkan untuk
menghilangkan hak kepemilikan suami atau istri, tetapi hanya sekadar menyimpan
(arrest; beslag). Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk
menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk
kepentingan penggugat dibekukan, ini berarti bahwa barang-barang itu disimpan (diconserveer)
untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijual. Hal ini termaktub dalam
HIR Pasal 197 ayat 9 dan Pasal 199, Rbg Pasal 212, dan Pasal
214.[13] Oleh karena itu, keberadaan sita harta
bersama ini, karena pihak tergugat
akan melakukan perbuatan yang dianggap merugikan dan membahayakan keutuhan
harta bersama itu. Dengan adanya sita harta bersama ini, maka pihak tergugat kehilangan wewenangnya untuk menguasai
barangnya, dan apabila terjadi pengambilalihan barang-barang yang disita
tersebut, hal itu merupakan perbuatan pidana sesuai dengan Pasal 231 dan 232
KUHP.[14]
Pembekuan
(diconserveer) harta bersama melalui penyitaan di atas, berfungsi untuk
mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan
yang tidak bertanggung jawab dari tergugat. Oleh karena itu, titik berat
penilaian yang harus dipertimbangkan pengadilan atas permintaan sita harta
bersama adalah pengamanan atau perlindungan atas keberadaan harta bersama, dan
jangan dititikberatkan pada faktor dugaan atau persangkaan akan adanya upaya
tergugat untuk menggelapkan barang tersebut, tapi lebih diarahkan pada masalah
pengamanan dan perlindungan harta bersama.[15]
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 823 Rv berdasarkan asas kepentingan
beracara (process doelmatigheid), bahwa tindakan pengamanan meliputi:
-
Penyegelan,
-
Pencatatan harta
kekayaan,
-
Penilaian harta bersama,
Tindakan penyitaan
di atas, menurut M. Yahya Harahap merupakan tindakan hukum yang sangat
“eksepsional” atau tindakan hukum pengecualian, karena penerapannya harus
dilakukan oleh Pengadilan dengan segala pertimbangan secara hati-hati, karena
seolah-olah tergugat sudah dijatuhi hukuman sebelum putusan dijatuhkan,
sebagaimana secara tersirat dinyatakan pada Pasal 227 HIR atau Pasal 261 RBg,
bahwa sebelum putusan dijatuhkan kepada tergugat atau sebelum putusan yang
menghukumnya belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tergugat telah dihukum
dan dinyatakan bersalah dengan jalan menyita harta kekayaannya.[17]
Landasan hukum permohonan sita harta bersama adalah Pasal 24 ayat (2)
huruf c PP No. 9 Tahun 1975 yang menyatakan, bahwa selama berlangsungnya
gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat:
(c) menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang
yang menjadi hak bersama suami istri atau barang yang menjadi hak suami atau
barang yang menjadi hak istri.
Ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 di atas, tersirat makna adanya tindakan atau upaya penyitaan terhadap
harta bersama dalam perkawinan. Tindakan yang dapat menjamin terpeliharanya
harta bersama itu adalah sita harta bersama, di mana suami atau istri diberi
kewenangan untuk mengajukan sita kepada pengadilan, kemudian pengadilan
berwenang untuk mengabulkan permohonan tersebut agar terjamin pemeliharaan dan
keutuhan harta bersama dalam perkawinan itu. Sekalipun ketentuan tersebut
dianggap terlampau sempit, karena pengajuan sita harta bersama hanya sebatas
jika ada perkara perceraian, seolah-olah tanpa adanya perceraian, tidak
dimungkinkan mengajukan sita. Secara a contrario, kalau tidak ada
gugatan perceraian, suami atau istri tidak dapat mengajukan permintaan sita
harta bersama, padahal harta bersama dalam keadaan terancam eksistensi
keutuhannya dari tindakan pemborosan, penggelapan, atau penjualan kepada pihak
lain.
Penggunaan istilah
sita harta bersama dalam perkawinan lebih cocok dengan memperhatikan kedudukan
yang setara dan seimbang (equal) dalam kehidupan rumah tangga,
sebagaimana ditegaskan pada Pasal 31 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, bahwa hak
dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Selain itu, juga adanya
kesetaraan suami dan istri atas kepemilikan terhadap harta bersama dalam perkawinan
(Pasal 36 ayat [1]).
M. Yahya Harahap
menyatakan, bahwa tujuan sita harta bersama berbeda dengan tujuan sita
revindikasi yang menuntut pengembalian barang yang bersangkutan kepada
penggugat sebagai pemilik. Juga berbeda dengan sita konservatoir (conservatoir
beslag) yang bertujuan menjadikan barang yang disita sebagai pemenuhan
pembayaran utang tergugat. Adapun tujuan utama sita harta bersama adalah
membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah
kepada pihak ketiga.[18] Oleh karena itu, menurut
Sudikno Mertokusumo, bahwa dengan adanya penyitaan terhadap harta bersama, baik
penggugat maupun tergugat (suami dan istri) dilarang memindahkannya kepada
pihak lain dalam segala bentuk transaksi.[19]
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 dan 36 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 24
ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 di atas, maka kedudukan sita harta bersama
dalam hukum perkawinan Indonesia hanya tunduk sebatas pada harta bersama, yaitu
sepanjang harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Artinya, harta
bersama dapat dipergunakan oleh suami atau istri untuk kebutuhan rumah tangga
mereka atas dasar adanya persetujuan. Adapun bentuk persetujuan itu diatur pada
Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa
“supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat, yaitu: (1)
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, (2) kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, (3) suatu pokok persoalan tertentu, dan (4) suatu sebab yang tidak
terlarang”. Menurut Subekti, bahwa dua syarat pertama dinamakan syarat
subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan
perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif,
karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu.[20]
Ketika suami atau istri melanggar persetujuan di atas, dengan melakukan
suatu tindakan yang mengancam eksistensi dan keutuhan harta bersama tanpa
persetujuan pihak lain, maka upaya hukum yang dapat dilakukan untuk mencegah
tindakan sewenang-wenang tersebut adalah penyitaan terhadap harta bersama.
Tetapi, penyitaan tersebut tidak menjangkau harta pribadi suami atau istri,
yaitu harta yang telah dimiliki suami atau istri sebelum perkawinan berlangsung
maupun hadiah, warisan, atau wasiat yang diterima suami atau istri selama
perkawinan berlangsung. Undang-undang melarang meletakkan sita harta bersama
terhadap harta pribadi, karena harta tersebut berada di luar jangkauan sita
harta bersama. Apabila pengadilan terlanjur meletakkan sita terhadap harta
pribadi, harus segera diangkat untuk dipulihkan kembali kedudukan dan
penguasaannya kepada pemilik yang berhak atasnya (restoration to the
original condition), dengan jalan mengangkat sita atas barang itu.[21]
Penerapan sita harta
bersama antara suami dan istri dalam perkawinan semata-mata untuk membekukan
seluruh harta bersama, baik dalam penguasaan suami ataupun istri. Tidak
dibenarkan secara parsial, hanya diletakkan terhadap harta yang dikuasai
tergugat saja. Hal itu sesuai dengan pengertian dan tujuan sita itu sendiri,
yaitu;
·
Membekukan seluruh
harta bersama, baik yang ada di tangan penggugat atau tergugat (suami dan
istri).
·
Tujuannya untuk
menjamin keselamatan dan keutuhan seluruh harta, selama proses pemeriksaan
perkara berlangsung, bukan ditujukan untuk menjamin utang atau penyerahan
barang.
Karakter yang melekat
pada sita harta bersama adalah meliputi seluruh harta bersama yang dikuasai
para pihak. Bukan hanya yang ada di tangan tergugat saja, karena fungsi dan
tujuannya bukan untuk menjamin pembayaran utang tergugat kepada penggugat,
seperti dalam sita konservatoir. Juga bukan untuk menarik dan menyerahkan
kembali barang yang disita dari tergugat kepada penggugat, seperti dalam sita
revindikasi. Akan tetapi, semata-mata untuk menjamin keselamatan barang harta
bersama agar tidak dialihkan penguasaannya kepada pihak ketiga.
Apabila salah satu
pihak meminta kepada pengadilan agar meletakkan sita harta bersama, maka
pengadilan melaksanakan sita harta bersama itu dengan berpatokan kepada asas
bahwa penyitaan itu harus meliputi seluruh harta bersama yang ada, baik yang
dikuasai penggugat atau tergugat. Jadi tidak hanya harta yang dikuasai oleh
tergugat saja. Adapun alasan hukumnya yang mengharuskan sita harta bersama meliputi seluruh harta bersama dalam
perkawinan adalah:
·
Selama proses
perceraian berlangsung, harta bersama dalam perkawinan masih tetap merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
·
Selama proses perkara
perceraian masih berlangsung, harta bersama dalam perkawinan secara bulat
adalah hak milik bersama di antara suami dan istri.
·
Hal yang hendak
diselamatkan sita harta bersama adalah keutuhan seluruh harta bersama dalam
perkawinan.[22]
Dengan diberikannya
hak yang sama kepada suami dan istri untuk meminta sita harta bersama, maka
permintaan sita tidak hanya diberikan kepada penggugat, tetapi juga kepada
tergugat. Dengan demikian, dasar permintaan sita bukan berdasarkan faktor
kedudukan sebagai penggugat, tetapi pada faktor siapa yang menguasai harta bersama.
Misalnya, suami mengajukan gugatan perceraian, padahal semua harta bersama
berada dalam kekuasaannya, sudah barang tentu suami tidak akan mengajukan sita
harta bersama. Dalam kasus seperti ini, sangat beralasan memberikan hak kepada
istri meminta sita harta bersama meskipun dalam perkara itu kedudukannya
sebagai tergugat. Atau sebaliknya, seluruh atau sebagian harta bersama dalam
penguasaan istri, maka suami berhak mengajukan sita harta bersama.
Karakter yang
tergandung dalam sita harta bersama di atas, supaya penggugat maupun tergugat
sama-sama terikat atas larang memindahkan harta bersama yang ada pada kekuasaan
pihak ketiga. Sekiranya penyitaan hanya dijalankan dan diletakkan atas harta
bersama yang dikuasai oleh tergugat saja, padahal sebagian besar harta bersama
itu dikuasai penggugat, berarti larangan untuk memindahkan barang tersebut
kepada pihak ketiga, hanya meliputi barang yang disita, yaitu terbatas pada
barang yang dikuasai tergugat. Sedangkan larangan itu seolah-olah tidak berlaku
atas barang yang dikuasai oleh penggugat, karena tidak disita. Untuk
menghindari kepincangan itu, sangat layak dan beralasan menegakkan prinsip sita
harta bersama meliputi seluruh harta bersama, baik yang ada di tangan tergugat
maupun penggugat.
Pengajuan sita harta
bersama kepada pengadilan oleh suami atau istri semata-mata untuk menyelamatkan
harta bersama, apabila terindikasi atau adanya persangkaan yang kuat salah satu
pihak berupaya menggelapkan, memindahtangankan, atau mengalihkan kepada pihak
lain. Akibat tindakan tersebut, rumah tangga terancam bahaya penelantaran,
karena salah satu pihak tidak jujur mengurus harta bersama sehingga dapat
menimbulkan bahaya bagi kelangsungan hidup rumah tangga. Oleh karena itu, sita
harta bersama hanya bersifat menyimpan atau membekukan, sehingga sita
tersebut tidak perlu dinyatakan sah dan berharga apabila gugatan dikabulkan
oleh pengadilan seperti dalam sita konservatoir, karena sita harta bersama
bukan untuk menyerahkan atau menjual barang sitaan, tetapi tujuannya adalah untuk
menyimpan agar barang tidak jatuh kepada pihak ketiga.[23]
Rasio dari
penerapan sita harta bersama yang dikemukakan di atas, bertujuan untuk
melindungi eksistensi keutuhan harta bersama dalam perkawinan secara
keseluruhan. Sebab harta bersama adalah milik bersama suami istri yang
diperuntukkan untuk keperluan dan kesejahteraan masing-masing dalam menjaga
harmonisasi dan keutuhan rumah tangga. Selain itu, untuk menjamin keutuhan dan
keselamatan harta bersama selama proses perkara perceraian berlangsung yang
dibarengi adanya tuntutan pembagian harta bersama. Namun ketentuan
Pasal 24 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 di atas sudah tidak mampu lagi merespon dalam memahami problematika rumah tangga, bahkan tidak relevan lagi dengan dinamika perkembangan dan
perubahan kehidupan masyarakat yang
ada saat ini. Karena berdasarkan ketentuan di atas, bahwa penerapan sita harta bersama dalam
perkawinan hanya dapat dilakukan oleh suami atau istri, apabila didahului oleh adanya permohonan perceraian
sebagai pokok perkaranya. Artinya, posisi sita
harta bersama dalam perkawinan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus
mengikuti perkara pokoknya, yakni adanya gugatan perceraian. Padahal, membangun sebuah bahtera rumah tangga
tak selamanya selaras dan searah dengan tujuan perkawinan itu sendiri untuk
hidup bahagia dan kekal, karena seringkali dihinggapi oleh problematika inter-personal suami dan istri. Apalagi masih membudayanya
paham superior dalam rumah tangga, di mana pihak suami lebih dominan peranannya daripada istri. Di mana istri
pada umumnya hanya dapat melakukan aktivitasnya dalam ranah domestik (mengurus
urusan rumah tangga) saja, itu pun terbatas pada pekerjaan bukan sebagai bagian
dari pengambil keputusan, sehingga segala sesuatunya dalam urusan rumah tangga
ditentukan atas kehendak suami. Maka tak heran kalau seringkali terjadi tindak
kekerasan dalam rumah tangga, karena tidak adanya keseimbangan (equal)
pemahaman akan tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga. Istri hanya dipandang
sebagai pelaksana atas kebijakan yang diambil oleh suami, istri tidak pernah
diberi ranah untuk turut andil mengambil keputusan dalam urusan rumah tangga.
Sehingga suami dengan seenaknya dapat menggunakan superioritasnya melakukan
berbagai hal yang kadangkala dapat menyengsarakan eksistensi dan keutuhan rumah
tangganya, termasuk memboroskan harta bersama mereka dalam perkawinan. Tetapi
demi mempertahankan agar rumah tangga tetap utuh, maka istri dan anggota rumah
tangga lainnya hanya bisa pasrah.
Atas tindakan suami
yang terindikasi akan menyelewengkan harta bersama dalam perkawinan di atas,
maka Pasal 186 KUH Perdata menentukan adanya hak istri untuk melindungi harta
bersama tersebut, bahwa selama perkawinan, si istri boleh mengajukan tuntutan
akan pemisahan harta-benda kepada hakim, tetapi hanya dalam hal-hal berikut:
(1) bila suami, dengan kelakukan buruk yang nyata, memboroskan barang-barang
dari gabungan harta bersama, dan membiarkan rumah-tangga terancam bahaya
kehancuran; (2) jika karena tidak adanya ketertiban dan cara yang baik dalam
mengurus harta bersama si suami sendiri, jaminan untuk harta perkawinan istri
serta untuk apa yang menurut hukum menjadi hak istri akan hilang, atau jika
karena kelalaian besar dalam pengurusan harta perkawinan si istri, harta itu
berada dalam keadaan bahaya. Pemisahan harta-benda yang dilakukan hanya atas
persetujuan bersama, adalah batal.”
Upaya hukum yang
diberikan kepada istri pada Pasal 186 KUH Perdata di atas, menurut M. Yahya
Harahap adalah untuk mengamankan dan melindungi harta bersama dalam perkawinan
dengan mengajukan permohonan maritaal beslag kepada Pengadilan, guna
melindungi hak istri pada satu sisi dan melindungi keutuhan harta perkawinan
pada sisi yang lain.[24]
Perkataan maritaal beslag, disebut juga matrimonial beslag, yang
mengandung makna kesetaraan antara suami istri dalam perkawinan. Sedangkan sita
marital mengandung konotasi yang menempatkan istri di bawah kekuasaan suami
dalam perkawinan, sebagaimana digariskan pada Pasal 105 dan 106 KUH Perdata yang
menegaskan, bahwa setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri:
memberi bantuan kepada istri menghadap di muka pengadilan, dan mengemudikan
harta milik pribadi istri (Pasal 105). Setiap istri tunduk-patuh kepada suami
(Pasal 106 KUH Perdata).[25]
Ketentuan
Pasal 186 KUH Perdata di atas, juga memberikan ruang gerak yang
bebas bagi istri untuk mengajukan sita terhadap harta bersama di luar gugatan
perceraian dan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang masih
utuh, apabila:[26] Pertama, kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan keluarga yang bisa
mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga. Kedua, cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib, sehingga tidak
terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama.
Adapun penyitaan
yang dilakukan sehubungan telah terjadinya perceraian, dalam hukum adat disebut
sita konservatoir (conservatoir beslag),
yaitu penyitaan terhadap barang-barang milik tergugat atas dasar permohonan
penggugat kepada Pengadilan, karena dikhawatirkan barang-barang milik tergugat
tersebut akan digelapkan, dipindahtangankan, atau dihancurkan.[27] Karena itu, sita marital (maritaal beslag)
menurut Yahya Harahap merupakan salah satu bentuk (species)
dari conservatoir beslag yang bersifat khusus, yang hanya
diterapkan terhadap harta perkawinan, yakni harta bersama.[28]
Sita marital adalah
sita terhadap semua harta bersama, baik yang berada dalam penguasaan suami
ataupun penguasaan istri, tujuannya agar keutuhan semua harta terjamin
pemeliharaan dan keutuhannya dari kelicikan dan i’tikad buruk salah satu pihak,
sampai putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi sita marital
tidak hanya diletakkan atas harta bersama yang ada di tangan tergugat, tetapi
sekaligus meliputi harta bersama yang ada di tangan penggugat, karena KUH
Perdata menganut asas percampuran harta akibat adanya perkawinan. Hal inilah
yang membedakan sita marital dengan sita konservatoir (conservatoir beslag),
karena hanya ditetapkan pada barang tergugat saja.[29]
Tujuan sita marital
adalah untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai
perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga sita itu
memberi jaminan kepada pihak penggugat bahwa kelak gugatannya “tidak illusoir”
atau tidak hampa pada saat putusan dieksekusi (dilaksanakan).[30] Karena apa artinya memenangkan sebuah sengketa, tetapi
hasilnya hampa, karena barang yang hendak dibagi atau
dikuasai sudah dialihkan, digelapkan atau dipindahtangankan kepada orang lain.
Oleh karena itu, sita marital memiliki posisi yang urgent untuk menjamin
keutuhan dan kelestarian harta tersebut. Namun ketentuan
sita marital tersebut juga sudah tidak relevan lagi dengan dinamika
perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat saat ini, karena bukan saja
suami yang berpeluang untuk memindahtangankan, menggelapkan, atau
menyalahgunakan, tetapi istri juga memiliki peluang yang sama untuk memboroskan
harta bersama itu.
Berhadapan dengan dinamika perkembangan dan perubahan masyarakat yang begitu cepat,
karena
itu Sudikno Mertokusumo mengatakan, bahwa peraturan perundang-undangan kita saat ini
kebanyakan sudah ketinggalan dengan keadaan masyarakat “het recht hinkt
achter de feiten aan”, bahwa hukum dengan terpontang-panting mengikuti
peristiwanya dari belakang.[31]
Padahal, Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa undang-undang ini menentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai
perkawinan dengan menampung segala kenyataan yang hidup (living
law) dalam masyarakat, sesuai dengan perkembangan dan
tuntutan zaman. Sedangkan PP No. 9 Tahun 1975 merupakan penjabaran dari
undang-undang tersebut.
Pasal 31 UU No. 1
Tahun 1974 menyatakan, bahwa (1) hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan
hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat; (2) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum; (3) suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Ketentuan tersebut memperlihatkan adanya kedudukan yang setara dan seimbang (equal)
antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Sehubungan dengan itu, sangat
beralasan kiranya dipergunakan istilah “sita harta bersama” tersebut tanpa
mengurangi kemungkinan penggunaan sita marital.
Ketentuan
Pasal 31 di
atas telah meletakkan landasan filosofis terhadap hak dan
kedudukan suami dan istri adalah sama dan seimbang dalam rumah tangga, yaitu
suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga,
masing-masing pihak berhak melakukan tindakan hukum. Pandangan ini sangat
berbeda dengan Pasal 105 KUH Perdata, yang menetapkan kedudukan suami sebagai
kepala dan persatuan suami istri dan suami harus patuh kepada suami, suami
boleh menjual harta bersama tersebut tanpa campur tangan pihak istri.[32]
Bahkan
menurut Abdul Manan, bahwa penggunaan sita marital dalam
kerangka UU No. 1 Tahun 1974 tersebut dianggap kurang etis.
Adapun istilah yang dianggap pas dan cocok dalam pandangan filosofis UU No. 1 Tahun 1974 adalah sita harta bersama dan ini sesuai dengan
legal term sebagaimana tersebut pada Pasal
35. Oleh karena itu, penggunaan sita harta bersama perlu dibakukan agar menjadi
law standard.[33]
Landasan hukum sita harta bersama ini ditegaskan pada Pasal 24 ayat (2) huruf
(c) PP No. 9 Tahun 1975, bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat, Pengadilan dapat: menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Setiap sita
mempunyai tujuan tertentu, sita revindikasi bermaksud menuntut pengembalian
barang yang bersangkutan kepada penggugat sebagai pemilik, sedang sita
konservatoir (conservatoir beslag) bertujuan menjadikan barang yang
disita sebagai pemenuhan pembayaran hutang tergugat. Adapun tujuan sita harta
bersama adalah:
-
Bukan untuk menjamin tagihan pembayaran kepada
pengugat (suami atau istri),
-
Juga bukan untuk menuntut penyerahan hak milik
(revindikasi),
-
Tetapi tujuan utamanya membekukan harta bersama
suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama
proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung.[34]
Penekanan utama sita
harta bersama ini adalah meliputi seluruh harta bersama dalam perkawinan, baik
yang berada di tangan penggugat maupun yang dikuasai oleh tergugat. Karena
tujuan sita harta bersama adalah untuk menjaga dan melindungi keutuhan harta
bersama dalam perkawinan secara keseluruhan yang diperuntukkan untuk kebutuhan
dan kesejahteraan keluarga. Sehingga sangat rasional kalau sita harta bersama
dapat dimintakan kepada Pengadilan di luar gugatan perceraian atas alasan apabila salah satu pihak terindikasi akan melakukan tindakan yang dapat mengancam atau membahayakan
eksistensi keutuhan harta bersama tersebut.
Penulis berpendapat,
bahwa sita harta bersama dalam perkawinan di luar sengketa
perceraian, belum diatur secara detail dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia . Padahal,
Pengadilan Agama sesuai dengan kewenangannya mengangkat jurusita, sebagaimana
diatur dalam Pasal 39-42 Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989[35]
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006[36]
dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang No. 50 Tahun
2009[37]
tentang
Pengadilan Agama. Sedangkan masalah kewenangan yuridis formal terhadap masalah
perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975[38]
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketiga
peraturan tersebut tidak mengatur masalah sita harta
bersama
secara detail. Ketiga perundang-undangan tersebut hanya menetapkan bahwa hak
untuk mengajukan sita harta bersama diperkenankan apabila ada sengketa
perceraian. Bahkan dalam praktik peradilan, pengajuan gugatan pemisahan atau
pembagian harta bersama baru dapat diajukan setelah putusan perceraian
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sementara dinamika
perkembangan kehidupan masyarakat saat ini kaitannya dengan ketentuan Pasal 24
ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 di atas, telah terjadi ketidakseimbangan
perlakuan hukum, karena dapat mengakibatkan penelantaran ekonomi bagi anggota
keluarga lainnya, yang akan berhadapan dengan upaya pemiskinan. Sedangkan tindakan penelantaran keluarga menurut Pasal 9 ayat (1) UU No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan suatu tindakan
yang dilarang dalam lingkup rumah tangga. Bahkan Muchsin mengurai kategorisasi
peristiwa pidana, kaitannya dengan penelantaran keluarga tersebut, yaitu: Pertama,
komisionis, yaitu terjadinya delik karena melanggar larangan, misalnya
kasus pencurian Pasal 362 atau penggelapan Pasal 372 KUH Pidana. Kedua, komisionis
peromisionim, yaitu tindak pidana yang pada umumnya dilaksanakan dengan
perbuatan tapi mungkin terjadi pula bila tidak berbuat, misalnya Pasal 341 KUH
Pidana. Ketiga, omisionis, yaitu terjadinya delik karena seseorang
melalaikan suruhan/tidak berbuat, dan untuk mengetahui maksud kategori tersebut
dapat dicermati Pasal 164 KUH Pidana.[39]
Sedangkan Bambang Poernomo mengatakan, bahwa commissie
delicten merupakan delik karena berbuat (een doen) yang dilakukan
dengan melanggar larangan, sedangkan ommissie delicten merupakan delik
karena tidak berbuat (een nalaten) yang dilakukan melanggar keharusan.[40]
Berdasarkan
sifatnya, penelantaran keluarga dapat digolongkan pada tindak pidana omisionis,
karena memberikan kehidupan kepada orang-orang yang berada di bawah kendalinya
merupakan perintah undang-undang, sehingga bila tidak memberikan sumber
kehidupan tersebut kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya berarti ia
telah melalaikan suruhan/tidak berbuat.[41]
Oleh karena itu, upaya penyelamatan harta bersama dalam perkawinan oleh suami
atau istri dari tindakan pemborosan atau pengalihan kepada pihak lain adalah
melalui sita harta bersama di luar gugatan perceraian yang dimintakan kepada
Pengadilan, merupakan suatu upaya pencegahan dari penelantaran keluarga secara
ekonomi. Hanya saja, upaya tersebut belum diatur secara spesifik dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Lalu, bagaimana
sikap hakim di Pengadilan apabila ada pihak suami atau istri yang mengajukan
permintaan sita harta bersama di luar gugatan perceraian, karena adanya
persangkaan salah satu pihak melakukan pemborosan, seperti berjudi, mabuk, dan
sebagainya. Sementara
ketentuan yang terdapat pada Pasal 186 KUH Perdata dan Pasal 95 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam hanya merupakan hukum adat tertulis. Sedangkan Pasal 10
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, bahwa
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Sedangkan landasan hukum
bahwa sita harta bersama adalah suatu perkara berdasarkan ketentuan Pasal 86 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan UU No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama yang menyatakan, bahwa ‘gugatan’ harta bersama suami
istri dapat diajukan secara bersama-sama dengan gugatan perceraian, kemudian
pada Penjelasan Pasal tersebut dijelaskan, bahwa hal tersebut adalah demi
tercapainya prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Bahkan pada Penjelasan Pasal 49 ayat (2) angka (10) menggunakan
kata “penyelesaian harta bersama”, sedangkan tugas dan kewenangan Pengadilan
Agama adalah memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara (Pasal 49
ayat [1]).
Tugas hakim dalam
menemukan hukum terhadap suatu perkara tidaklah mudah, meskipun hakim dianggap
mengetahui hukum (ius curia novit), sebab hukum itu berbagai macam
ragamnya, ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Tetapi hakim
harus mengadili dengan benar terhadap perkara yang diajukan kepadanya, ia tidak
boleh menolak suatu perkara dengan alasan hukum tidak ada atau belum jelas,
melainkan ia wajib mengadilinya. Sebagai hakim, ia wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).[42]
Dalam proses menemukan hukumnya, hakim dapat mencari dalam kitab-kitab
perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, tokoh adat dan tokoh agama
sebagai hukum yang tidak tertulis, yurisprudensi, serta pendapat para pakar
hukum dan ilmu pengetahuan lainnya yang terkait dengan perkara yang sedang
diperiksa itu.[43]
Sumber-sumber penemuan hukum tersebut bukanlah sebagai hukum, tetapi tempat
hakim menggali hukum.
Hakim di pengadilan
harus berpegang pada asas rechtsweigering (dilarang menolak mengadili
perkara), karena hakim tidak hanya terikat pada hukum yang tertulis saja, sebab
undang-undang atau hukum yang tertulis tidak mungkin mengatur segala jenis
kegiatan orang.[44]
Oleh karena itu, Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 mempertegas, bahwa hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Berdasarkan
ketentuan pada Penjelasan Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan
UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, bahwa
apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum
dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap
untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan undang-undang
ini, Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian
suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini
peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang
disusun oleh pembentuk undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang
dimaksudkan undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara
keseluruhan. Dengan demikian, Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan
melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warganegara pada umumnya dan
tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau
pembagian beban pembuktian.
Merespon dinamika
perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat di atas, maka masalah
sita harta bersama dalam perkawinan di luar sengketa
perceraian
secara tegas termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal 95 menyatakan,
bahwa:
(1)
Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat
(2) huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami
atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas
harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu
melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi,
mabuk, boros, dan sebagainya.
(2)
Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas
harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 136 ayat 2
Kompilasi Hukum Islam menyatakan, bahwa:
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat
atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:
a.
Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh
suami.
b.
Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak
istri.”
Adapun yang dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 24 ayat (2) huruf c adalah:
“Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak istri.”
Yahya Harahap
mengatakan, bahwa kalimat “menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang” pada hakikatnya sudah tersirat makna tindakan
atau upaya penyitaan terhadap harta perkawinan. Tindakan dapat dianggap
dapat menjamin terpeliharanya harta perkawinan selama perkara perceraian
berlangsung adalah sita konservatoir (conservatoir
beslag) yang disebut “marital beslag”. Akan tetapi, ketentuan dalam
Pasal 24 ayat 2 itu membatasi sita marital, hanya apabila sudah ada gugatan
perceraian, kalau tidak ada gugatan perceraian maka para pihak tidak dapat
mengajukan sita marital.[45]
Abdul Manan
berpendapat, bahwa Pasal 93 KHI juga menentukan tentang bentuk kekayaan
bersama, yaitu; (1) harta bersama dapat berupa benda berwujud atau tidak
berwujud; (2) harta benda berwujud dapat meliputi benda yang tidak bergerak,
benda bergerak, dan surat-surat berharga; (3) harta benda tidak berwujud dapat
berupa hak maupun kewajiban; dan (4) harta bersama dapat dijadikan sebagai
barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.[46]
Ketentuan di atas
menunjukkan bahwa sudah ada nuansa modern dalam menentukan harta kekayaan
bersama dalam KHI, misalnya telah dimasukkannya surat-surat berharga, seperti
polis asuransi, bilyet giro saham, dan sejenisnya dalam kategori harta bersama.
Dalam hal tersebut, tampaknya KHI dari sejak dini telah mengantisipasi
problematika perekonomian modern dalam menyongsong abad modern ini. Hal yang
perlu dicatat lagi bahwa KHI (Pasal 95 tersebut) telah mengantisipasi apabila
salah satu pihak (suami atau istri) pemborosan; judi, mabuk,
dan lain-lain yang merugikan dan membahayakan serta dikhawatirkan memindahtangankan pihak ketiga harta bersama tersebut. Dalam hal
demikian, pihak suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk melakukan
sita harta bersama tanpa adanya permohonan cerai. Selama masa sita tersebut
dapat dilakukan penjualan harta bersama untuk kepentingan keluarga, rumah
tangga, istri dan anak-anaknya, maka hakim memiliki otoritas untuk menangani
dan menjaga agar harta tersebut dengan meletakkan sita
harta bersama.
Selain itu, otoritas yang diberikan kepada hakim adalah untuk mengendalikan
atau setidak-tidaknya mengurangi kebiasaan suami atau istri melakukan perbuatan
yang tidak disukai oleh syariat Islam.[47]
Oleh karena itu, sangat beralasan kalau sita harta bersama dapat dimohonkan oleh suami
atau istri dan pihak yang berkepentingan tanpa didahului adanya gugatan perceraian, sebagaimana diatur pada Pasal 95 ayat (1) dan
ayat (2) KHI dalam upaya pengembangan
hukum perkawinan di Indonesia berdasarkan keadilan sebagai tujuan negara
kesejahteraan.
Terobosan Kompilasi
Hukum Islam di atas merupakan semangat yang terkandung dalam Burgerlijk
Wetboek (BW), sebagaimana tercantum dalam Pasal 186.[48]
Ketentuan Pasal ini dapat dipahami bahwa: (1) memberi hak kepada istri untuk
mengajukan sita marital di luar gugatan perceraian; dan (2) memberi hak kepada
istri untuk mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan
yang masih utuh, yaitu: a) apabila kelakuan suami secara nyata memboroskan harta
kekayaan keluarga yang bisa mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga,
atau b) apabila cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib,
sehingga tidak terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama.[49]
Penerapan Pasal 186 BW
dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut dilihat dari kepentingan suami atau istri
adalah sangat positif, karena dapat memberikan perlindungan terhadap
keselamatan dan keutuhan harta bersama, yang apabila secara nyata suami atau
istri suka menghamburkan harta.[50]
Secara yuridis dogmatik,[51]
menurut penulis bahwa eksistensi
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam di atas sangat bermanfaat, tetapi pada level
implementasinya akan menghadapi beberapa kendala, di antaranya:
1.
Dengan dibukanya kesempatan bagi suami atau
istri untuk mengajukan sita harta bersama dalam kondisi perkawinan yang masih
utuh, sekecil apapun akan berdampak pada keutuhan perkawinan itu sendiri,
karena dengan penyitaan seperti itu akan memicu dan memacu munculnya
perselisihan dalam rumah tangga.
2.
Sita harta bersama itu terkesan
berdiri sendiri, padahal sita yang dipraktikkan selama ini khususnya di
lingkungan Pengadilan Agama assesoir dengan perkara pokok yang diajukan
oleh para pihak. Artinya, sita harta bersama itu ada
karena adanya perkara pokok yang lain.
3.
Kompilasi Hukum Islam secara tersurat sudah
menegaskan, bahwa sita harta bersama adalah wewenang absolut
Pengadilan Agama tetapi masih ada yang mempertanyakan. Karena kalau mengacu
pada Pasal 49[52]
dan penjelasan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, tidak ada
satu pun kalimat yang menegaskan, bahwa ketentuan sita harta
bersama
itu termasuk ke dalam wewenang absolut pada salah satu perkara. Padahal,
permohonan sita harta bersama yang berdiri sendiri itu bukan merupakan
suatu sengketa sehingga ia bukan merupakan perkara.
4.
Kesulitan dalam menerapkan cara sita harta bersama tersebut, apakah dapat dilaksanakan secara sendiri tanpa
dikaitkan dengan perkara lain, karena praktik sita selama ini tidak seperti
itu. Oleh karena itu, baik dari sisi administrasi maupun
teknis peradilan akan mengalami hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya.
Memperhatikan Pasal 95
KHI yang merupakan semangat dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 186 KUH
Perdata di atas, maka sangat memungkinkan meminta sita harta bersama di luar
sengketa perkara perceraian maupun pembagian harta bersama. Tanpa perkara pun,
suami atau istri dapat mengajukan permintaan sita tersebut kepada pengadilan,
yaitu: secara berdiri sendiri tanpa tergantung pada perkara. Dengan demikian,
permintaan itu tidak mutlak bersifat assesor kepada gugatan cerai atau
pembagian harta bersama. Sekalipun Ibrahim Husein mengatakan,
bahwa masalah harta bersama dalam perkawinan tidak terdapat dalam Al-Qur’an,
hadis, maupun kitab-kitab fiqih, sehingga diserahkan sepenuhnya kepada
perkembangan pemikiran (ijtihad) para ulama melalui hukum adat (al-adah
al-mahkamah).[53]
Ketentuan Pasal 95 ayat
(1) KHI di atas, mampu merespon secara
positif dan progresif terhadap dinamika perkembangan yang hidup dalam masyarakat
ke depan, yakni seorang istri atau suami dapat mengajukan permohonan sita
terhadap harta bersama tanpa disertai oleh sengketa perceraian, selama harta
bersama tersebut dalam keadaan membahayakan atau merugikan pihak suami atau
istri beserta anak-anaknya. Namun ditinjau dari segi
formilnya telah menimbulkan persoalan hukum yang sulit dipecahkan, karena
bertentangan dengan teori dan praktik sita harta bersama selama ini.
Persoalan-persoalan tersebut adalah: (1) sita harta bersama sebagaimana
tersebut dalam Pasal 95 KHI terkesan berdiri sendiri, padahal sita harta
bersama yang dipraktikkan selama ini assessoir dengan perkara pokok yang
diajukan oleh para pihak. (2) perkara sita harta bersama model ini bagaimana
cara dan penerapannya di Pengadilan Agama, dapatkah berdiri sendiri tanpa
dikaitkan dengan perkara lain. Pengadilan dalam hal ini Pengadilan Agama tidak
boleh menolak untuk menerima perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya
sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian, Pasal 95 KHI jika dilihat dari segi hukum
formilnya kurang jelas, namun Pengadilan Agama tetap wajib memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikannya. Namun di lain pihak, ketentuan tersebut lebih
responsif dan progresif terhadap perkembangan dan perubahan sosial di Indonesia . Karena
tak satu pun peraturan perundang-undangan yang mengatur
bolehnya meletakkan sita harta bersama sebelum
terjadinya perceraian, sementara telah dan sedang terjadi di tengah-tengah
masyarakat yang menuntut adanya kepastian hukum, sebagaimana kasus di atas. Oleh karena itu, Mahkamah
Agung diharapkan segera mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur
bagaimana sikap Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama dalam menerima, mengadili,
dan menyelesaikan perkara sita harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan
perceraian.
Penulis berharap, semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran pada semua pihak yang terlibat dalam pembaruan hukum dan sistem
peradilan di Indonesia, agar muara atau tujuan akhir hukum dapat
memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak, terutama antara
suami dan istri dalam rumah tangga. Karena itu,diperlukan adanya suatu sistem
peraturan perundang-undangan yang ideal, sehingga dapat mengakomodir adanya
sita harta bersama dalam perkawinan yang dimohonkan
oleh suami atau istri tanpa disertai adanya sengketa perceraian. Wallahu
a’lam bi al-sawab.
[1]Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 1.
[2]Lihat, Pasal
35, 36, dan 37 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 1. Melalui pasal-pasal tersebut telah meningkatkan hukum adat
mengenai pencaharian bersama suami istri menjadi hukum tertulis, sesuai dengan
GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tahun 1973 yang memerintahkan
peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain
mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang
tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat. Ismuha, Pencaharian
Bersama Suami Isteri di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta , Cet. II, 1978, hlm. 45.
[3]Sayuti Thalib,
Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta , Cet. V, 1998, hlm. 89.
[4]Abdul Manan,
“Beberapa Masalah tentang Harta Bersama”, Mimbar Hukum, No. XXX, Tahun
1997, hlm. 59. Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa konsep harta bersama yang
merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum,
walaupun kedua segi tinjauan itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain.
Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya
tinjauan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.
Lihat, Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, UI Press, Jakarta , 1986, hlm. 89.
[6]Istilah
“pencaharian bersama suami dan istri tersebut disadur dari berbagai istilah
yang berlaku dalam hukum adat, misalnya; di Aceh disebut hareuta sihareukat.
(Ismuha, Pencaharian Bersama … Ibid., hlm. 42), di Minangkabau disebut
dengan ”harta suarang”, di Kalimantan disebut ”barang perpantangan”,
di Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) disebut dengan ”barang-barang cakkara”,
di Bali disebut dengan ”druwe gabro”, di Jawa Timur dan Jawa Tengah
disebut dengan ”barang gono-gini”, dan di Jawa Barat disebut dengan ”guna
kaya”, atau ”campur kaya”. (Mr. B. Ter Haar Bzn, Beginselen en
Stelsel van Het Adatrecht. Diterjemahkan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto,
Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnja Paramita, Jakarta , 1960, hlm. 193).
[7]Hilman
Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung ,
Cet. VII, 2003, hlm. 60.
[8]Putusan
Mahkamah Agung tanggal 7 September 1956 No. 51/K/Sip/1956.
[9]Solahuddin
(Penghimpun), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata
(KUHP, KUHAP, & KUHPdt), Visimedia, Jakarta , Cet. I, 2008, hlm. 253.
[11]Ismuha, Pencaharian
Bersama … Op.Cit., hlm. 39.
[12]Yahya Harahap,
Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan Arbitrase
dan Standar Hukum Eksekusi, Bandung ;
Citra Aditya Bakti, 1993, hlm 194. Lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Agung RI
tanggal 7 November 1956, Reg. No. 51 K/SIP./1956 dinyatakan bahwa “menurut
hukum adat semua adat yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, termasuk
dalam gono gini, meskipun mungkin hasil kegiatannya suami sendiri.” Ismuha,
Pencaharian Bersama … Op.Cit., hlm. 137.
[13]Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia ,
Liberty , Yogyakarta ,
Edisi VII, Cet. I, 2006, hlm. 89.
[14]Pasal 231 (1) Barang
siapa dengan sengaja menarik suatu barang yang disita berdasarkan ketentuan
undang-undang atau yang dititipkan atas perintah hakim, atau menyembunyikan
barang itu, padahal dia tahu bahwa barang itu ditarik dari sitaan atau simpanan
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Pasal 232 (1) Barang
siapa dengan sengaja memutuskan, membuang, atau merusak penyegelan suatu barang
oleh atau atas nama penguasa umum yang berwenang, atau dengan cara lain
menggagalkan penutupan dengan segel, diancam dengan pidana penjara paling lama
2 tahun 8 bulan.
[15]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, Cet.
VII, 2008, hlm. 369.
[16]Reglemen Acara Perdata (Reglement op
de Rechtsvordering) S. 1847-52 jo. 1849-63, dalam Tim Redaksi Pustaka
Yustisia (Penyunting), Kitab Lengkap KUHPer, KUHAPer, KUHP. KUHAP, dan KUHD,
Yogyakarta ; Pustaka Yustisia, Cet. I, 2011,
hlm. 959.
[17]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan
Conservatoir Beslag (Sita Jaminan), Jakarta, Cet. I, 1987, hlm. 5-6.
[18]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang … Op.Cit., hlm.
369.
[21]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan … Op.Cit.,
hlm. 376.
[22]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan … Op.Cit.,
hlm. 151.
[23]Djazuli
Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata: segi hukum dan penegakan hukum,
Jakarta ;
Akademika Pressinda, Cet. I, 1987, hlm. 61.
[24]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan … Op.Cit.,
hlm. 147.
[25]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan … Op.Cit.,
hlm. 368.
[27]R. Soeparmono,
Masalah Sita Jaminan (C.B) dalam Hukum Acara Perdata, Mandar Maju,
Bandung, Cet. II, 2006., hlm. 4.
[28]M. Yahya
Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang No.
7 Tahun 1989), Jakarta, Pustaka Kartini, Cet. I, 1990, hlm. 284.
[30]M. Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata: permasalahan … Op.Cit., hlm. 3.
[32]Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan
Al-Hikmah, Cet. I, 2000, hlm. 62.
[34]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,… Op.Cit.,
hlm. 369.
[35]Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 1989 Nomor 49.
[36]Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 22.
[38]Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 1975 Nomor 12.
[39]Muchsin, “Menelantarkan
Keluarga Merupakan Delik Omisionis”. Dalam, Varia Peradilan, Majalah Hukum
Tahun XXVI No. 303 Februari 2011, Jakarta; IKatan Hakim Indonesia, 2011,
hlm. 21. Pasal 164 KUH Pidana menyatakan, bahwa barangsiapa mengetahui ada
sesuatu permufakatan untuk melakukan kejahatan berdasarkan Pasal-pasal 104,
106, 107, dan 108, 113, 115, 124, 187 atau 187 bis, sedang masih ada waktu
untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan
tentang hal itu kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang
terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan, dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak
tiga ratus rupiah.
[40]Bambang Poernomo,
Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta ; Ghalia Indonesia , Cet.
VII, 1994, hlm. 100.
[41]Muchsin, “Menelantarkan
Keluarga” … Op.Cit., hlm. 21. Pasal 164 KUH Pidana menyatakan, bahwa
barangsiapa mengetahui ada sesuatu permufakatan untuk melakukan kejahatan
berdasarkan Pasal-pasal 104, 106, 107, dan 108, 113, 115, 124, 187 atau 187
bis, sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja
tidak segera memberitahukan tentang hal itu kepada pejabat kehakiman atau
kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika
kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah.
[42]Pasal 16 dan
28 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[43]Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata … Op.Cit., hlm. 163.
[45]Yahya Harahap,
Hukum Acara Perdata: permasalahan … Op.Cit., hlm. 146.
[46]Abdul Manan, Aneka
Masalah Hukum … Op.Cit., hlm. 36.
[48]Pasal 186 BW
berbunyi:
1.
Jika si suami karena kelakuan yang nyata tidak
baik telah memboroskan harta kekayaan persatuan dan karena itu menghadapkan
segenap keluarga rumah kepada bahaya keruntuhan.
2.
Jika karena tak adanya ketertiban dan cara yang
baik dalam mengurus harta kekayaan si suami sendiri, jaminan guna harta kawin
si isteri dan guna segala apa yang menurut hukum menjadi hak si isteri, akan
menjadi kabur atau jika karena sesuatu kelalaian besar dalam mengurus harta
kawin si isteri kekayaan ini dalam keadaan bahaya.
[49]Yahya Harahap,
Hukum Acara Perdata: permasalahan … Op.Cit., hlm. 144.
[51]Menurut Peter
Mahmud Marzuki bahwa dogmatik hukum timbul apabila: (1) para pihak yang
berperkara atau yang terlibat dalam perdebatan mengemukakan penafsiran yang
berbeda atau bahkan saling bertentangan terhadap teks peraturan karena
ketidakjelasan peraturan itu sendiri; (2) terjadi kekosongan hukum; dan (3)
terdapat perbedaan penafsiran atas fakta. Lihat, Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum, Jakarta; Kencana Prenada Group, Cet. III, 2007, hlm. 65.
[52]Pengadilan
agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan;
(b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h)
shadaqah; dan (i) ekonomi syari'ah.
[53]Ibrahim Husein, Asas-Asas Hukum Perkawinan dalam
Kompilasi Hukum Islam (Makalah), Ciputat, tanggal 17 Oktober 1992, hlm. 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar