BLUSUKAN: MANAJEMEN MODERN PEMERINTAHAN
JOKOWI-JK
Oleh: Mukhtar Alshodiq*[1]
Istilah
“blusukan” berasal dari bahasa Jawa, dari kata “blusuk, mblusuk” artinya “masuk ke”.[2] Karena itu, kata
“blusukan” bukan berasal dari bahasa Indonesia, sekalipun saat ini sudah sangat
popular di seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk digunakan oleh para
pewarta mancanegara.
Kata
“blusukan” ini mulai memasyarakat dalam berbagai perbincangan sejak Joko Widodo
(mantan Walikota Solo) menjadi Gubernur DKI Jakarta, sekalipun istilah ini
bukan Jokowi (panggilan akrab) yang pertama menggunakannya. Namun istilah
“blusukan” sudah identik dengan Jokowi yang sejak awal kepemimpinannya selalu
ke mana-mana dan datang tiba-tiba di suatu tempat tanpa pemberitahuan
sebelumnya serta turun langsung memantau kondisi riil masyarakat yang
sesungguhnya tanpa penjemputan dan tanpa acara resmi, sebagaimana yang
dipraktikkan oleh pejabat negara yang lainnya selama ini.
Kedatangan
Jokowi secara tiba-tiba di suatu tempat, bukan sekadar datang memantau dan
mendengarkan rintihan masyarakatnya, khususnya yang selama ini dipraktikkan di
wilayah DKI Jakarta sebagai Gubernur, tetapi benar-benar memberikan bukti nyata
dan solusi, yakni adanya tindakan “problem
solving” saat itu dan di
tempat itu, baik dalam skala jangka pendek maupun prioritas jangka panjang.
Misalnya, datang di wilayah padat penduduk dan kumuh, Jokowi memantau kondisi
masyarakat dan membuat serta mengeksekusi sistem penataan wilayah perumahan
berbasis modern tanpa penggusuran, sehingga lahir model rumah deret, seperti di
wilayah Tanah Tinggi-Jakarta Pusat.
Jokowi
tidak turun begitu saja dengan tangan kosong, tetapi selalu mempersiapkan
kebutuhan mendesak bagi warganya, seperti tas, buku, pensil, pulpen bagi anak
sekolah serta kebutuhan sembako bagi masyarakat umumnya. Tindakan Jokowi
seperti ini bukan satu kali atau dua kali saja dilakukan, tetapi setiap saat,
sehingga sangat sulit dikatakan, bahwa itu sebuah pencitraan atau kampanye
terselubung untuk menguatkan basis keterpilihannya. Melainkan terlahir dari
sentuhan hati kemudian diwujudnyatakan dalam tindak riil. Cara gerak Jokowi
inilah yang dibutuhkan rakyat Indonesia saat ini, ada dan hadirnya pemerintah
yang begitu perhatian dengan kondisi objektif warganya, tanpa harus menunggu
jeritan rakyatnya.
Istilah “blusukan”
ala Jokowi ini sudah memasyarakat dan membumi dari ujung pulau Aceh hingga ke
tanah Papua. Bahasa tersebut seakan mengandung makna “ndeso, kampungan”, tapi saat Jokowi mempopulerkan, itu mengetarkan
seluruh urat nadi para Pejabat Negara, menjadi ikon “gerakan kepedulian
pemimpin nasional” turun ke rakyat. Ramai-ramai pejabat negara ingin ikut
menirunya, tapi susah dipraktikkan, karena mereka turun tapi dilatari oleh
kepura-puraan dan pencitraan. Kata “blusukan” itu pula masuk dalam percakapan
para politis, seakan kata “blusukan” naik kasta dan tahta, dari kampong/ndeso ke nasional bahkan menjadi ikon
para pewarta di kancah internasional.
Blusukan merupakan leadership style, tidak bisa langsung
dibentuk dan dipraktikkan begitu saja oleh seorang pejabat, tetapi terbentuk
dari jiwa dan kepribadian seorang pemimpin atau pejabat yang memiliki karakter
kebangsaan dan cinta tanah air. Misalnya, style
kepemimpinan Presiden Amerika Serikat George W. Bush yang dicitrakan suka
peperangan atau invasi, sangat berbeda dengan tampilan Barack Hussein Obama
yang lebih humanis dan mendahulukan dialog, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad
dengan tampilan kesederhanaan, kebersahajaan, tetapi tegas dan teguh memegang
prinsip kenegaraannya, sangat berbeda dengan Hassan Rouhani yang dicitrakan
suka kemewahan, sedikit melebur dalam tekanan, demikian pula Presiden Republik
Indonesia Ir. Soekarno yang begitu tegas dan revolusioner terutama bagi
negara-negara barat, akan sangat berbeda dengan Soeharto yang berbaur dengan
negara-negara barat, dan sebagainya.
Jokowi dengan style
blusukannya tidak bisa diikuti oleh pejabat lainnya, kecuali kalau karakter
tersebut lahir dari dalam dirinya sebagai jati diri yang sesungguhnya. Kondisi
ini dituturkan oleh TB. Hasanuddin ketika mengikuti Jokowi saat kampanye
Pilkada Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, TB. Hasanuddin bersama Jokowi yang
berada di wilayah Pulo Gadung ingin menyantap makanan di pinggir jalan. Mantan Wakil
Ketua Komisi I DPR itu mengaku ingin meniru sosok Jokowi dengan mengenakan kaos
biasa serta sendal. Namun, dia malah mendapatkan penilaian berbeda saat makan
di sebuah Warung Tegal (Warteg). "Warteg lebih respek kepada Jokowi.
Mereka bilang Bapak (TB. Hasanuddin) tidak pantas karena kulitnya halus,
tongkrongannya bos". TB. Hasanuddin kemudian memperhatikan cara Jokowi
bersikap. Dia mengaku tidak bisa mengikuti mantan Walikota Solo itu. "Dari
cara ngomong, duduk, menarik kursi. Saya pelajari mati-matian, enggak kena!
Jokowi pantas makan di emper, (pakai) kaos seperti itu". Menurut TB. Hasanuddin,
penerimaan warga terhadap Jokowi sebagai bentuk, bahwa publik menginginkan
pemimpin apa adanya. "Jokowi kalau mau jujur bicaranya tidak dipahami elit
tapi nyambung ke bawah".[3]
Gerakan
Jokowi dengan “blusukan” itu membawa dampak perubahan yang begitu cepat,
terutama dalam menangani masalah yang dihadapi masyarakat serta problem yang
sesungguhnya di lapangan secara langsung dapat diketahui dan ditangani.
Sehingga tercipta suatu tindakan prioritas berjangka panjang, jangka menengah,
dan jangka pendek. Selain itu, “blusukan” juga sebagai alat kontrol yang
efektif pada kinerja aparat dan pegawai di pemerintahan yang ada di bawah,
sehingga menjadi efek jera bagi para aparat dan pegawai yang malas dan
seenaknya saja dalam melayani dan mengurus kepentingan masyarakat. Lihat saja
ketika Jokowi melakukan sidak mulai dari kantor kelurahan, kecamatan, hingga
walikota begitu banyaknya problem yang ditemukan, seperti aparat terlambat
datang, tidak tepat waktu, sistem pelayanan, pegawai berlibur di hari kerja
secara beramai-ramai, dan sebagainya. Dalam kondisi demikian, Jokowi mengambil
tindakan tegas, tidak ada pamrih, langsung melakukan pemecatan tanpa basa basi
dan tawar menawar.
Hal
yang lebih mencengangkan lagi, saat Jokowi melantik para Walikota dan Wakil
Walikota di tengah kampung, di ruang terbuka yang hanya dinaungi oleh tenda,
kadang di dekat TPS (Tempat Pembuangan Sampah) serta disaksikan langsung oleh
masyarakat setempat, bukan di Balai Kota atau ruangan berAC dan mewah serta dijaga
dengan ketatnya oleh para aparat. Tindakan Jokowi ini memberikan pembelajaran
yang begitu riil kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama para pejabat,
bahwa menjadi pejabat bukan tempatnya bermewah-mewahan dan bukan tahta maha
raja yang harus dilayani, tetapi jabatan adalah amanah yang harus dijalankan
dengan baik dan benar, harus melayani masyarakat bukan dilayani. Tindakan
Jokowi yang begitu mengambil perhatian publik lainnya, ketika lelang jabatan
Camat dan Lurah serta Kepala Sekolah di DKI Jakarta, sekalipun awalnya banyak
ditentang, baik di kalangan aparatur sendiri maupun masyarakat lainnya, tetapi
sukses dilakukan dan mendapatkan hasil yang mumpuni, karena bukan hasil
“tunjuk” dan “lobby-lobby” kepentingan, tetapi lahir dari hasil penilaian integritas,
kapasitas, kapabilitas, dan eksebilitas para calon dari berbagai lapisan
masyarakat.
Gerakan
“blusukan” ini jauh dari unsur “pencitraan”, apalagi pembohongan publik, karena
sangat riil dan jelas wujudnya serta langsung dirasakan manfaatnya bagi masyarakat,
tanpa ada embel-embel kepentingan politik semata. Langkah “blusukan” ini
langsung memberikan solusi atau jalan keluar bagi masalah yang dihadapi di
lapangan, karena pengambil kebijakan dan keputusan langsung melihat dan
merasakan, sehingga memudahkan untuk bertindak. Oleh karena itu, sistem
blusukan memotong mata rantai jalur birokrasi yang panjang, lama, dan
berbelit-belit. Lebih penting lagi, langkah pungutan liar (pungli) dan
pemotongan bantuan kepada masyarakat seminimal mungkin dapat terhindarkan, yang
selama ini terjadi di setiap adanya penyaluran bantuan bagi masyarakat yang
membutuhkan, ramai-ramai orang berpartisipasi seakan datang membantu bagai sang
tokoh perih, tetapi ujung-ujungnya penyunatan atau penggelapan bantuan social
terjadi di mana-mana.
Gerakan
“blusukan” ini merupakan terapan yang dikenal dalam ilmu manajemen, yaitu: planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian),
actuating (pelaksanaan), dan
controlling (pengontrolan). Oleh
karena itu, blusukan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Dengan blusukan, seorang pejabat
dapat memahami keadaan yang sesungguhnya, sehingga pembuatan perencanaan tepat
sasaran, tidak melenceng dari kepentingan masyarakat yang sesungguhnya.
2. Dengan blusukan, seorang pejabat
dapat mengorganisir masalah secara langsung serta lebih efektif dan efisien,
dengan mendengarkan masukan dan keinginan atau kebutuhan rakyat.
3. Dengan blusukan, seorang pejabat
dapat menentukan langkah dan arah kebijakan pelaksanaannya, baik dalam skala
jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek.
4. Yang lebih penting lain, dengan
blusukan seorang pejabat dapat secara langsung melakukan pengawasan dan
pengevaluasian atas masalah-masalah yang dihadapi di lapangan tanpa harus
menunggu laporan dari bawahan yang memakan waktu lama dan berbelit-belit.
Gerakan
blusukan ini membuktikan, bahwa seorang pemimpin dekat dan peduli dengan
rakyatnya. Sebuah contoh telah dipraktikkan pada zaman Umar bin Khathab ra. Pada suatu masa dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun
Abu. Masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tidak lagi
turun. Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah
tempat berpijak hampir menghitam seperti abu. Putus asa mendera di mana-mana.
Saat itu, Umar sang pemimpin menampilkan kepribadian yang sebenar-benar
pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya secara saksama. Tanggung jawabnya
dijalankan sepenuh hati. Setiap hari, dia menginstruksikan aparatnya
menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat.
Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu,
kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Ya
Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tanganku ini.”
Umar menabukan makan, daging, minyak samin, dan susu untuk
perutnya sendiri. Bukan apa-apa, dia khawatir makanan untuk rakyatnya
berkurang. Dia, si pemberani itu, hanya menyantap sedikit roti dengan minyak
zaitun. Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya dia berkat,a
“Kurangilah panas minyak itu dengan api”. Minyak pun dimasak, namun perutnya
kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh
perutnya dengan jemari seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan
tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”
Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan
diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, dia masuk keluar kampung. Ini dia
lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak
mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya. Malam itu pun,
bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung itu
berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat. Dari
sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis
berkepanjangan. Umar bin Khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa
tahu penghuninya membutuhkan pertolongan mendesak. Setelah dekat, Umar melihat
seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap
mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi
panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.
“Assalamu’alaikum,”
Umar memberi salam.
Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya
menjawab "Wa'alaikum salam."
Tapi setelah itu, dia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
Umar berkata “Bolehkah aku mendekat?”
Ibu itu berkata “Apabila untuk tujuan baik maka tidak
mengapa, apabila tidak maka menjauhlah.”
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”
Umar berkata “Mengapa mereka menangis?”
Ibu itu berkata: “Kami di sini karena cuaca
sangat dingin dan kelaparan.”
Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan
kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis.
Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.
Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua
itu? Sudah begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar
berkata, “Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga
masakanmu itu?”
Ibu itu menoleh dan menjawab, “Silahkan kau lihat sendiri!”
Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut.
Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut.
Sambil masih terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Buat apa?” sanggah Umar
Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab
pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah
kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau melihat ke bawah, apakah
kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda.
Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun
kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rezeki.
Namun ternyata tidak. Sesudah Maghrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku
terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil,
memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk
membohongi anakku, dengan harapan dia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata
tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar dia bangun dan menangis minta
makan.”
Ibu itu diam sejenak. Kemudian dia melanjutkan, “Namun apa
dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Dia tidak mampu
menjamin kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur
perempuan itu. Namun Umar sempat mencegah. Umar berkata “Bagaimana mungkin dia
bertanggung jawab atas urusan kita tapi malah menelantarkan kita? Dia adalah
pemimpin kita, dia bertanggung jawab atas urusan kita, seharusnya dia tahu.”
Dengan air mata berlinang Umar bangkit dan mengajak Aslam
cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum
di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu. Karena Umar
bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah
aku saja yang memikul karung itu.”
Dengan wajah merah padam, Umar menjawab, “Aslam, jangan
jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini,
apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari
pembalasan kelak?” Aslam tertunduk. Dia masih berdiri mematung, ketika
terseok-seok Khalifah Umar bin Khattab berjuang memikul karung gandum menuju ke
tempat wanita dan anak-anaknya yang sedang kelaparan. Ketika sampai di tempat
wanita tersebut kemudian khalifah Umar meletakkan karung berisi gandum dan
beberapa liter minyak samin ke tanah, kemudian memasaknya.
Aslam yang meriwayatkan kisah ini berkata "Aku melihat
Umar bin Khatab membungkuk untuk meniup api di bawah pancinya, dan aku melihat
asap menerpa jenggotnya.” Tatkala gandum tersebut sudah masak Khalifah Umar
meminta sang ibu membangunkan anaknya.
“Bangunkanlah anakmu untuk makan.”
Anak yang kelaparan tersebut bangun dan makan dengan
lahapnya. Umar bin Khatab dan Aslam pun tetap di sana sampai anak tersebut
kembali tertidur dengan perut yang telah kenyang.
Ibu itu berkata, “Terima kasih, semoga Allah membalas
perbuatanmu dengan pahala yang berlipat. Kau lebih berhak menjadi khalifah
daripada Umar bin Khatab!"
“Jangan berkata kecuali yang baik, dan jika pada suatu hari
kau menemui khalifah, maka kau akan menemukanku di sana.", jawab Umar. Sebelum
pergi, khalifah Umar berkata kepada wanita tersebut untuk datang menemui
khalifah Umar bin Khattab ra, karena khalifah akan memberikan haknya sebagai
penerima santunan negara.
Esok harinya pergilah wanita tersebut ke tengah kota Madinah
untuk menemui khalifah Umar bin Khattab ra, dan tatkala wanita tersebut bertemu
dengan khalifah Umar, betapa terkejutnya wanita tersebut bahwa khalifah Umar
adalah orang yang memanggulkan dan memasakkan gandum tadi malam.
Sistem
turun langsung memantau dan mengeksekusi suatu masalah di lapangan sudah
dilakukan pula oleh Jusuf Kalla, terutama ketika beliau menjabat Wakil Presiden
RI tahun 2004-2009 berpasangan dengan Presiden SBY. Tindakan riil Jusuf Kalla
(JK), seperti mengganti kebiasaan rakyat Indonesia yang sudah turun temurun
dari penggunaan Minyak Tanah menjadi Gas LPG (Liquified
Petroleum Gas). JK memprogram konversi Minyak Tanah ke Gas LPG hanya butuh
waktu 1 (satu) bulan, yang seharusnya menurut Bank Dunia butuh waktu sekitar 1
(satu) tahun. Tindakan konversi ini mengurangi subsidi pemerintah untuk
penggunaan minyak tanah sebesar Rp. 20 Triliun per tahun. Langkah JK ini
sebagai respon cepat dan tepat dalam merespon harga minyak mentah internasional yang
sudah melonjak sangat tajam. Pada awal Mei 2008, pernah menembus angka US$ 120
per barel. Apabila harga minyak tanah dalam negeri hendak dipertahankan,
pemerintah harus mengeluarkan dana APBN yang begitu besar untuk
mensubsidi. Sementara itu, cadangan minyak bumi di Indonesia sudah semakin
menipis. Sejak tahun 2003, Indonesia sebenarnya sudah menjadi negara net
importer bahan bakar minyak. Di lain pihak, potensi cadangan elpiji (LPG) di
perut bumi Indonesia masih melimpah atau setidaknya jauh lebih besar jika
dibanding cadangan minyak bumi yang ada. Selain itu, penggunaan LPG sebagai
bahan bakar relatif lebih bersih karena polusinya lebih ringan jika dibanding
bahan-bakar minyak tanah. Oleh sebab itu, tujuan kebijakan dari konversi
penggunaan bahan-bakar minyak tanah ke gas sangat jelas, yaitu menghemat
pengeluaran anggaran publik dan sekaligus mengurangi tingkat polusi. Sistem
konversi ini dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia hingga saat ini, sekalipun
ditentang oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan lain.
Langkah lain yang
dilakukan oleh JK, seperti membangun Rumah Susun (Rusun) yang bersubsidi bagi
warga perkotaan, tidak melakukan penggusuran. Langkah ini bertujuan supaya
akses masyarakat mudah, murah, dan terjangkau serta memberikan kemudahan bagi
masyarakat luas memiliki rumah sendiri melalui program pembangunan sejuta
rumah, di antaranya disubsidi oleh pemerintah. Selain itu, JK mengurangi biaya
pembangunan proyek, dengan mengoptimalkan penggunaan potensi sumber daya
manusia dan sumber daya alam dalam negeri Indonesia sendiri. Misalnya, ketika
membangun Bandar Udara. Menurut konsultan asing, proyek tersebut membutuhkan
dana Rp. 4 Triliun, setelah JK menghitung dengan mempertimbangkan dari berbagai
aspek kemudian dikerjakan oleh anak bangsa, dengan tenaga, pikiran, uang, dan
konsultan bangsa sendiri hanya menghabiskan dana sebesar Rp. 1,5 Triliun.
Gebrakan dan langkah
nyata JK yang lainnya, seperti menurukan suku bunga bank bagi Usaha Kecil dan
Menengah (UKM); mempermudah pengurusan pendirian perusahaan, dari 100 hari
menjadi 25 hari; menjadikan UKM sebagai mitra pembangunan bangsa dan negara;
membangun 10.000 megawatt listrik untuk mengatasi pemadaman dengan menggunakan
bahan bakar dari batubara; mendukung pengembangan kreativitas dan kerajinan
tangan melalui program Home Industry;
menyediakan gaji ke-13 bagai PNS; serta yang takkala mengembirakan adalah JK
memberikan Pupuk bersubsidi dan bibit unggul bagi petani.
Berbagai tindakan
nyata dan riil JK di atas dan masih banyak lagi yang lain menampakan pasangan
SBY-JK bagai dua matahari, saling berlomba memberikan sinar harapannya bagi
pembangunan bangsa dan negara ini, tetapi JK selalu lebih cepat dan tepat
memberikan sinar keceriaan dan kebahagiaan bagi rakyat, sehingga Prof. DR.
Syafi’i Ma’arif terkenal dengan statemennya “JK is the real president”, yang
membuat SBY marah. Tetapi faktanya, JK memang berani berbuat dan bertindak
serta berani mengambil resiko. Itulah tipe pemimpin yang berkarakter, memiliki
visi dan misi ke depan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara.
Melalui
gerakan nyata dan riil kedua tokoh besar anak bangsa ini, Jokowi dan Jusuf
Kalla telah membuktikan, bahwa blusukan merupakan cara terbaik bagi para
pejabat dalam melayani dan menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyatnya,
tetapi harus dibarengi dengan manajemen pemerintah yang baik dan kuat, supaya
tidak disalahgunakan oleh oknum-oknum yang mencari sensasi untuk memenuhi
kepentingan pribadinya semata.
Pasangan
atau duet maut Jokowi-Jusuf Kalla ini memiliki keunggulan yang visioner,
leadership, intelektualitas,
ketrampilan politik, komunikasi politik, stabilitas emosi, ketegasan, kemampuan
manajerial, penampilan, dan integritas moral. Keunggulan-keunggulan tersebut
sudah menyatu dan mengekal dari diri Jokowi-JK, sehingga menjadi jati dirinya
di mana dan kapan pun, tidak bisa diintervensi oleh siapapun, karena lahir dari
dalam jiwa kediriannya. Sekalipun keduanya lahir dari budaya dan suku yang
berbeda. Jokowi lahir dan besar dalam budaya dan suku Jawa, sedangkan Jusuf
Kalla lahir dan besar dalam budaya dan suku Bugis, yang menjunjung tinggi sifat
“siri”. Tetapi keduanya memiliki
karakter pemimpin yang sederhana dan bersahaja, terlihat dan dipraktikkan dalam
hidup dan kehidupannya sehari-hari.
Kepedulian
pemerintah pada rakyat secara langsung adalah sumber utama dukungan rakyat atas
segala kebijakan pembangunan pemerintahnya, tetapi keacuhan pemerintah pada
masalah rakyatnya adalah momok dan sasaran tembak paling jitu menghancurkan
kepercayaan dan masa depan pemerintahan. Oleh karena itu, dengan blusukan,
turun langsung bertemu dengan rakyat sudah merupakan kepedulian dan perhatian
yang luar biasa bagi rakyat, apalagi disertai dengan bantuan langsung tanpa
diminta, sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang mendasar.
Aksi
blusukan Jokowi-JK sangat ditunggu oleh jutaan rakyat Indonesia yang masih
terbelit dengan jutaan masalah. Misalnya, data kemiskinan menurut Badan
Statistik Nasional (BPS) tahun 2013 berdasarkan jumlah penduduk miskin di kota
dan di desa sebanyak 28,07 juta orang, dengan pendapatan perkapita dan perbulan
di kota sebesar Rp. 290.000 dan di desa sebesar Rp. 255.000,-. BPS mencatat
angka kemiskinan meningkat terbesar di pulau Jawa, kemudian Sumatera, Sulawesi,
Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan Kalimantan. Jumlah penduduk miskin pada
September 2013 sebesar 28,55 juta orang atau 11,47 persen, dibandingkan Maret
2013 meningkat 480 ribu orang.[4]
Kemiskinan
ini mendera dan berdampak pada semua sektor kehidupan masyarakat, termasuk
menjadi kendala utama untuk pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Oleh
karena itu, program PRO RAKYAT harus menjadi agenda utama bagi Jokowi-Jusuf
Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2014-2019, untuk
memastikan seluruh rakyat Indonesia tidak ada lagi yang kelaparan, karena
ketiadaan makanan, tersedianya sumber air bersih hingga setiap rumah penduduk,
terpenuhinya Sembilan Bahan Pokok (Sembako) seluruh warganegara Indonesia dari
Sabang sampai Merauke; teralirnya listrik ke seluruh pelosok desa; tersambungnya
jalur darat dengan jalanan aspal dan jembatan beton/besi; memastikan tidak ada
lagi bangunan sekolah yang roboh karena dimakan usia atau akibat korupsi
konstruksi; menciptakan suasana birokrasi yang melayani seluruh kepentingan
rakyat secara gratis, tanpa pungli dan calo; rakyat dapat berobat di seluruh
rumah sakit pemerintah secara gratis hingga sembuh dengan pelayanan prima;
mewujudkan sistem biaya pendidikan gratis dan dukungan pelengkapan sekolah yang
murah dan terjangkau bagi siswa/siswi; menciptakan lapangan kerja dengan Upah
Minimum Regional yang layak dan manusiawi; membangun Puskesmas di seluruh desa
dengan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk penyediaan mobil ambulance;
Menyediakan sanitasi (WC) di setiap rumah penduduk di seluruh Indonesia secara
gratis, dan sebagainya.
Blusukan
dapat memahami, mengetahui, dan mengerti kondisi objektif rakyat di bawah
secara langsung dan riil, itulah yang sesungguhnya diidam-idamkan oleh seluruh
rakyat Indonesia “munculnya Jokowi – Jusuf Kalla” secara tiba-tiba tapi terpola
dengan baik untuk mengatasi berbagai masalah serta memberikan solusi terbaik
bagi rakyat Indonesia. Para petani akan terlindungi dan terbebas dari berbagai
impor kebutuhan pokok, seperti: beras, garam, tempe, tahu, daging sapi dan
ayam, jagung serta kebutuhan pokok lainnya. Indonesia tidak boleh
terombang-ambing oleh harga komoditas dalam negeri, akibat impor dari berbagai
negara. Oleh karena itu, Indonesia harus memiliki kedaulatan pangan yang kuat,
dengan membangun ribuan hektar sawah, menyediakan ladang pertanian, melanjutkan
kembali penyediaan subsidi pupuk bagi petani, bibit unggul, penyediaan daging
sapi dan ayam dengan pemberdayaan para peternak dalam negeri. Indonesia harus
mandiri dan berdikari dengan kekayaan alam dan sumber daya manusianya yang
tangguh dan unggul. Dengan langkah yang cepat dan tepat, Indonesia berwujud
sebagai negara yang sejahtera (walfare state = negara madani). Kemudian
seluruh rakyat Indonesia akan berucap “Inilah Indonesia Hebat!”
[2]Widodo,
dkk. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. IX,
2011, hlm. 71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar