H.
Hamdan dalam Pandangan H. Muhammad Jusuf Kalla sebagai Kawan Bermain Sejak
Kecil dan Teman Belajar
Tim Penulis buku “Otobiografi DR. H.
Hamdan, SH., MH” diterima oleh Bapak H. Muhammad Jusuf Kalla untuk melakukan
wawancara di rumah kediaman beliau tanggal 28 April 2014, pukul 10.30-12.30 di
Jalan Briwijaya No. 6 Jakarta Selatan terkait dengan sosok Dr. H. Hamdan dalam
pandangan Dr. (HC) Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI tahun 2004-2009.
Di dalam pandangan Pak JK, Pak H. Hamdan
adalah kawan bermain waktu kecil dulu di kampung (Bone), juga sebagai teman
belajar. Karena saya (JK), Pak Husain, dan Pak Hamdan sama-sama belajar mengaji
dan membaca kitab pada Bapaknya Pak Hamdan (Pak H. Kudaeda) dan kakaknya (H.
Dahlan).
H. Dahlan mengajari kami cara membaca
Al-Qur’an dengan baik, sedangkan pak H. Kudaeda mengajari kami membaca kitab,
terutama Kitab Safinatun Najah (karya: Syaikh
Salim bin Samir Hadrami bermazhab Syafi’iyah). Kitab ini merupakan kitab
fiqih dasar, standar bagi pemula dalam mempelajari dan memahami dasar-dasar
fiqih. Cara pengajarannya, murid harus memahami dan mengerti betul isi kitab
tersebut, sehingga memerlukan perhatian yang terfokus. Di samping itu, kami
juga belajar Tafsir Al-Qur’an yang diterjemahkan langsung oleh pak H. Kudaeda
dalam bahasa Bugis. Beliau melarang kami membeli Kitab Tafsir dan
Terjemahannya, karena khawatir salah memahami isi dan makna Al-Qur’an itu.
Padahal saat itu sudah ada Kitab Tafsir dan Terjemahannya karya Mahmud Yunus.
Jadi beliau langsung yang menerjemahkan Al-Qur’an itu ke dalam bahasa Bugis.
Di sela-sela belajar itulah kami bermain
layaknya anak-anak kebanyakan di kampung, yang paling menyenangkan program mengambil
air bersama dari sumur setelah belajar, kemudian bermain dan makan bersama di
pasar, dan berbagai aktivitas dan cara bermain anak-anak kala itu.
Sosok Pak H. Hamdan adalah ustadz (guru),
sehingga tidak sah acara Barazanji (membaca Kitab Barazanji)[1]
kalau dia belum hadir. Hal ini karena Pak H. Hamdan itu memiliki kemampuan
menghafal Al-Qur’an sejak kecil, itu memerlukan waktu dan perhatian khusus.
Kemampuan tersebut tercermin hingga saat ini sebagai Hakim Agung. Di mana
setiap harinya bergelut dengan berbagai kasus yang diajukan oleh para yang
berperkara ke Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat akhir. Kondisi demikian
memerlukan pemikiran fokus dan kemampuan khusus, karena tercakup di dalamnya
unsur penegakan hukum dan pemberian keadilan bagi pihak yang berperkara.
Pengaruh belajar Al-Qur’an dan pemahaman
pada kitab dasar fiqih seperti Kitab Safinatun Najah dan kitab fiqih
lainnya itulah yang memberikan dasar bagi saya (JK) di kemudian hari ketika
menghadapi kondisi dan masalah keumatan yang mendesak serta memerlukan
pencerahan pemikiran keagamaan masa depan. Misalnya saja, ketika kita berdoa,
di akhir doa selalu ditutup dengan kalimat “ربنا أتنا فى الدنيا
حسنة وفى الأخرة حسنة”, artinya: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat.
Doa yang setiap saat kita ucapkan pada
penutup doa di atas mengandung makna “motivasi” untuk meraih kebaikan dan
kesuksesan di masa depan. Bahwa, kita selalu disuruh untuk berpikiran dan
bertindak untuk masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, untuk mencapai
kebaikan dan keselamatan di akhirat harus bekerja keras di dunia, maka mana
mungkin pahala zakat, haji, dan amal jariyah lainnya diperoleh di akhirat kalau
kita tidak bekerja mendapatkan rezeki yang halal, kemudian kita berhaji,
mendirikan masjid, berzakat serta beramal jariyah lainnya di dunia ini.
Makanya, kunci kesuksesan di akhirat harus diraih terlebih dahulu di dunia ini.
Di lain kesempatan, di suatu acara
pengajian di daerah Jawa Tengah, saya diundang menghadiri acara tersebut.
Sebelum saya memberikan pandangan saya mengenai ajaran Islam, ada seorang
ustadz bertausiyah dengan mengutip hadis yang mengatakan, bahwa “Nabi Muhammad
Saw mencintai masjid dan membenci pasar”. Setelah ustadz tersebut turun dan
saya dipersilahkan berdiri, hal yang pertama saya koreksi ungkapan ustadz
tersebut dengan mengutip sebuah hadis. Saya mengatakan, bahwa hadis tersebut “dhaif” (lemah), karena kaidah ushul
fiqih mengatakan, bahwa apabila suatu kondisi bertentangan dengan akal sehat,
maka itu dhaif. Karena Nabi Saw
sendiri yang menyatakan, bahwa 99 rezeki itu bersumber dari perdagangan. Apalagi
Nabi Saw sendiri sebagai pedagang ulung yang terkenal dengan kejujurannya (al-amin) pada zamannya dengan melintasi
wilayah Mekkah dan Madinah hingga ke Syam. Setelah acara tersebut, saya
menelpon pak Quraish (M. Quraish Shihab), bahwa saya baru saya mengatakan,
bahwa hadis yang mengatakan Nabi Saw lebih menyukai masjid dan membenci pasar
itu dhaif, bagaimana menurut pak
Quraish. Lalu pak Quraish bilang, pak Jusuf benar, hadis itu dhaif.
Begitu pula sewaktu peristiwa bencana
Tsunami melanda Aceh tahun 2004 itu, saya mengutus pertama Menteri BUMN, pak
Sofyan Jalil ke sana. Setiba di sana tidak bisa dihubungi karena telepon dan
alat komunikasi lainnya terputus, sehingga hari besoknya saya berangkat ke
Aceh. Setiba di sana, mayat bergelimpangan di sana-sini, belum ada yang angkat.
Saya instruksikan seluruh kekuatan yang ada untuk mengumpulkan mayat-mayat itu
yang ribuan jumlahnya. Setelah terkumpul muncul masalah baru, bagaimana
memandikan dan mengkafani dalam jumlah ribuan orang itu, sedangkan kemampuan
kita sangat terbatas. Kemudian saya suruh mencari dan mendatangkan ulama untuk
dimintai fatwanya, tetapi tak satu pun yang ada, karena kemungkinan mereka juga
sudah jadi korban atau berada di luar wilayah Aceh, sehingga lahir inisiatif
saya selaku Wakil Presiden RI mengeluarkan fatwa, bahwa ribuan mayat tersebut
tidak perlu dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, karena mereka semua mati
dalam keadaan syahid. Fatwa tersebut ditulis tangan dan saya tanda tangan,
kemudian ditandatangni pula oleh pak Mar’i Muhammad dan pak Sofyan Jalil
sebagai saksi (sayang naskah tersebut hilang).
Itulah bagian-bagian penting dan pengaruh besar
atas pembelajaran saya dulu bersama pak H. Hamdan dan kawan-kawan belajar
dasar-dasar fiqih dan tafsir Al-Qur’an, kemudian saya lanjutkan di Madrasah
waktu pindah ke Makassar sekitar tahun 1950-an.
[1]Kitab Barazanji karya Ja’far bin Hasan bin Abdil Karim bin Muhammad bin
Abdur Rasul al-Barzanji al-Madani. Lahir di al-Barzanji pada bulan
Sya’ban sekitar abad 12 Hijriyah dan wafat tahun 1187 H/1764 M), seorang khatib di Masjidil Haram dan seorang mufti dari
kalangan Syafi’iyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar