Minggu, 14 Agustus 2011


DAKWAH BERWAWASAN MULTIKULTURAL

Mukhtar Alshodiq, S.Ag., MH

Dakwah adalah menyampaikan, menjelaskan, dan mengajak manusia untuk kembali pada jati dirinya melalui pesan-pesan suci serta berupaya menghindarkan atau mencegah dari berbagai hal yang terkait dengan pengingkaran dari esensi ketuhanan dan kemanusiaan. Dakwah tak terbatas oleh ruang dan waktu, tetapi dapat menyentuh dan menggupas seluruh lini kehidupan, demi kemaslahatan hidup umat manusia (amar ma’ruf nahiy munkar). Oleh karena itu, penyampaian dakwah membutuhkan metode pendekatan yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi objektif yang dihadapi. Dakwah tidak bisa kakuh dan rigid dalam podium saja, melainkan merambah seluruh dimensi secara fleksibel dengan cara bil hikmah, yaitu melalui perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil, dapat memberikan pelajaran dan stressing yang baik. Dakwah tidak semata dalam bentuk wacana (bil lisan) tetapi juga mampu diaplikasikan dalam praktik sosial (bil hal).
Karena dakwah tidak terbatas dalam komunitas sosial tertentu, melainkan menyentuh seluruh strata sosial, maka konsep pendekatan dakwah yang “berwawasan multikultural” yang diusung penulisnya dalam buku ini perlu dikedepankan, mengingat bahwa saat ini masyarakat modern berada dalam komunitas yang tak terbatas (global), sehingga interaksi sosial tak terbendung lagi (borderless) akibat the high technology. Oleh karena itu, masyarakat modern semakin disadarkan sebagai sebuah masyarakat yang “multikultural”, yakni suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan atau – mengacu pada istilah Geertz – bahwa bangsa seharusnya lebih dilihat sebagai civic nation daripada ethnic nation.
Kondisi kehidupan masyarakat yang multikultural di atas kemudian berubah menjadi “multiculturalism”, yaitu mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan, dan tindakan oleh masyarakat suatu negara yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama, dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut. Perlunya paham multikultural adalah untuk menjaga kehidupan agar tetap lestari dan berupaya menghindarkan dari konflik, sebagaimana  yang telah diramalkan oleh Samuel P. Huntuington bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah-masalah suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an, yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia, pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman, yang di satu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser.
Paham multikultural dalam Islam termaktub dalam secara tegas, misalnya dalam QS al-Baqarah [2]:213, Yunus [10]:19, al-Hujurat [49]13. Pada intinya menegaskan bahwa hakikat Allah menciptakan komunitas sosial yang berbeda-beda, selain menjadi alat ukur untuk mengetahui tingkat kepatuhan dan ketaatan melalui agama dan kepercayaan yang dianutnya, juga untuk memahamkan bahwa manusia itu berada dalam bentuk suku, bangsa, budaya, etnis yang berbeda-beda, tetapi tujuan dari komunitas sosial yang berbeda-beda itu adalah untuk saling berinteraksi, mewujudkan kehidupan yang aman dan damai berasaskan pada konsep ketuhanan.
Konsep dakwah yang berwawasan multikultural sebagaimana yang diusung dalam buku ini, yang bersumber dari hasil penelitian penulisnya pada salah satu organisasi otonomi Muhammadiyah, yaitu Aisyiyah, yang menggambarkan bahwa betapa pentingnya “metode dakwah” yang strategis dalam menghadapi komunitas sosial yang berbeda-beda, agar penyebaran dakwah harus tercapai dengan lebih mengedepankan konsep ukhuwah (persaudaraan), toleransi, pemberdayaan, humanisme, bukan radikalisme (pemaksaan), karena Indonesia dihuni berbagai latar belakang etnis, suku, ras, budaya, bahasa, dan agama yang berbeda-beda, sehingga memerlukan suatu pendekatan yang lebih harmonis dan humanis. Konsep dakwah kultural merupakan suatu bentuk manifestasi kesadaran Muhammadiyah terhadap realitas objektif masyarakat Indonesia yang majemuk, baik dalam konteks etnik, agama, seni maupun sub kultur. Oleh karena itu, upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebagai ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri, terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Melainkan multikulturalisme membutuhkan seperangkat pengetahuan untuk dijadikan acuan memahami dan mengembangkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Kaitannya dengan konsep “dakwah yang berwawasan multikultural” yang diulas dalam buku ini oleh penulisnya dengan pendekatan sosio- religius, maka para da’i (pendakwah) harus mampu mengejawantahkan bahwa Islam sebagai ajaran yang rahmatan lil ‘alamiin, menjelmakan esensi ajarannya bagi keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi seluruh alam tanpa mewujudkan dirinya hanya dalam lingkup komunitas dan warna tertentu. Al-Qur’an pun mengamini konsep multikultural tersebut, sebagaimana terungkap dalam QS. al-Hujurat [49]:13 bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Karena manusia berada dalam ruang yang berbeda-beda, maka dibutuhkan suatu pendekatan atau metode dakwah yang alami dan realistis sesuai dengan kondisi masyarakatnya, yakni konsep dakwah bil hikmah, yaitu perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil serta bil hasanah, yakni memberikan pelajaran yang baik dan bantahan dengan cara yang baik (QS al-Nahl [16]:125). Oleh karena itu, konsep dakwah yang dibangun dalam ajaran Islam tidak semata berbentuk wacana tetapi juga dalam wujud aksi yang toleran dan arif, bukan pemaksaan dan kekerasan, karena semata-mata bertujuan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi kemaslahatan setiap makhluk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar