Selasa, 15 November 2022

 

NOMENKLATUR AGAMA “KONGHUCU” DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Perspektif Sosiologi dan Politik Hukum Indonesia)

Mukhtar Alshodiq

 (Penerbit, Penulis, dan Editor Buku)

 

Pendahuluan

Jauh sebelum negara Republik Indonesia[1] merdeka, agama-agama sudah bercokol lebih awal di nusantara[2] ini. Dalam catatan sejarah terungkap bahwa agama Hindu dan Buddha sudah ada di Indonesia pada awal abad kedua dan keempat Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari India. Kemudian disusul oleh agama Islam, ada 3 (tiga) teori yang menyatakan Islam masuk di nusantara: Pertama, teori Makkah, bahwa Islam tiba di nusantara  pada abad ke-7 melalui pedagang dari Timur Tengah. Kedua, teori Persia bahwa Islam masuk ke nusantara pada abad ke-13 melalui para pedagang Persia yang singgah terlebih dahulu di Gujarat-India. Ketiga, teori India menyatakan bahwa Islam masuk di nusantara melalui para Gujarat India pada abad ke-14 M.[3] Agama Katolik masuk ke Indonesia, ada yang menyatakan sekitar abad ke-7 di Sumatera Utara, kemudian datang kembali sekitar tahun 1520 M di kepulauan Maluku, kemudian Kristen Protestan datang kemudian sekitar abad ke-16 bersamaan kedatangan VOC pada tahun 1619-1799 M.[4] Adapun agama Khonghucu sudah ada di Indonesia sejak tahun 1883 dibuktikan dengan berdirinya Boen Tjhiang Soe dan kemudian menjadi Boen Bio Jl.Kapasan No. 131 Surabaya. Oleh pihak Belanda disebut “Gredja Boen Bio atau Geredja Khonghoetjoe (de kerk van Confucius). Dewasa ini sebagai tempat ibadah umat Agama Khonghucu Indonesia. Dibina oleh MAKIN – Majelis Agama Khonghucu Indonesia Surabaya. Kemudian tahun 1886 diterbitkan kitab Hikayat Khonghucu, disusun oleh Lie Kim Hok. Agama Khonghucu semakin meneguhkan kehadirannya dengan melibatkan diri mendirikan organisasi-organisasi keagamaan di nusantara dari zaman penjajahan Jepang hingga setelah kemerdekaan, misalnya tahun 1955 (masa Orde Lama) dibentuk PKCHI (Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia /Perserikatan Kong Jiao Hui Indonesia) sebagai penjelmaan kembali Khong Kauw Tjong Hwee dengan kedudukan pusat di Solo dengan Ketua umum: Dr. Kwik Tjie Tiok. Sekretaris: Oei Kok Dhan.[5]

Beranjak dari biografi historikal hadirnya agama-agama di nusantara di atas semakin mengukuhkan bahwa negara Indonesia sejatinya tidak akan lahir dan tidak akan berdiri tegak tanpa kehadiran agama-agama yang sudah ada sejak ribuan tahun sebelumnya sebagai pilar utamanya. Oleh karena itu, ruh ajaran agama sudah sejak awal menjadi bagian yang tak terpisahkan dan mengejawantah ke dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, lima sila yang termaktub dalam Pancasila merupakan satu kesatuan dari seluruh rangkaian ajaran agama dipadu dan dirangkum dalam satu simbol falsafah dan ideologi bangsa. Apabila salah satu sila Pancasila terkhianati, maka sesungguhnya mengkhianati ajaran agama yang dianut dan diyakini oleh penganutnya itu sendiri. Apalagi kalau ada yang berupaya untuk melenyapkan atau mengasingkan ritual-ritual ajaran agama itu sendiri, padahal baik secara langsung maupun tidak langsung telah ikut serta berpartisipasi menghadiri negara ini, sejatinya telah merongrong keutuhan pilar bangsa dan negara ini sendiri.

Dalam sejarah perkembangannya, setelah kemerdekaan Indonesia, agama-agama di atas tidak semuanya berjalan secara ideal sesuai misi ajaran suci dan mulia yang diembannya. Seiring dengan pergantian kekuasaan, kehadiran agama seringkali diberi stigma sebagai batu sandungan penguasa dalam menjalankan misi kekuasaannya. Agama Khonghucu misalnya, sebagai salah satu dari agama yang disebutkan di atas “pernah” mengalami sejarah kelam nan pahit di Indonesia, bahkan kehadirannya dikebiri oleh kekuasaan politik (the political power), dibatasi pergerakan ritualnya dalam ruang terbatas dan sangat individu. Di mana pada zaman Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas berbau kebudayaaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia. Ini menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa (tidak mau menyebut Khonghucu) menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 (lima) agama yang diakui. Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai ateis dan komunis), pemeluk kepercayaan Tionghoa kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Hindu, Buddha, Islam, Katolik, atau Kristen. Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi Vihara, yang merupakan tempat ibadah agama Buddha.

Berangkat dari sekelumit perjalanan sejarah kelam agama Khonghucu dalam pusaran kekuasaan di atas itu yang menarik perhatian penulis untuk menelaah, dengan menfokuskan diri pada telaah persfektif sosiologi dan politik hukum yang berlaku di Indonesia, dengan pertanyaan awal, bagaimana nomenklatur agama Khonghucu di Indonesia? Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui nomenklatur agama Khonghucu di Indonesia.

Penulis memandang penting mengkaji agama Khonghucu ini, karena dalam sejarahnya menyatakan, bahwa Khonghucu atau dalam bahasa Tionghoa disebut Kong Fu Tze atau Konfusius, yang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar, dan berbudi luhur. Inti ajarannya adalah mengakui 8 (delapan) iman, yaitu: (1) sepenuh iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian); (2) sepenuh iman menjunjung kebajikan (Cheng Juen Jie De); (3) sepenuh iman menegakkan firman gemilang (Cheng Li Ming Ming); (4) sepenuh iman adanya nyawa dan roh (Cheng Zhi Gui Shen); (5) sepenuh iman memupuk cita berbakti (Cheng Yang Xiao Shi); (6) sepenuh iman mengikuti genta rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu Duo); (7) sepenuh iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing Shu); (8) sepenuh iman menempuh jalan suci (Cheng Xing Da Dao).

Berdasarkan kedelapan inti ajaran keimanan agama Khonghucu di atas, maka dapat dipastikan bahwa penganut agama Khonghucu mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan penggunaan istilahnya dari bahasa Tionghoa sebagai asal muasal lahirnya agama tersebut. Namun setelah lama bercokol di Indonesia, eksistensinya pun kemudian dipertanyakan, sebagai agama atau kepercayaan, bahkan penganutnya digiring hanya sebagai pelaku tradisi Tionghoa semata. Bentuk awal Khonghucu sebagai agama kemudian bermetamorfosis menjadi kepercayaan tradisional Tionghoa, bahkan lebih menyudutkan lagi, penganut agama Khonghucu diberi lama sebagai antek-antek komunis. Artinya, Khonghucu yang lahir sejak 2952-2836 SM dan secara turun temurun membawa ajaran ketuhanan, secara gampang mengubah persepsi setiap orang “Indonesia”, bahkan penganutnya sekalipun menjadi penganut agama tak mempercayai adanya Tuhan alias “ateis”. Oleh karena itu, kebijakan penguasa Orde Baru yang diambil atas nama kekuasaan negara perlu dicermati lebih jauh, kenapa Khonghucu diberi label “komunis dan ateis”? Padahal inti ajarannya mengimani adanya Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian), memiliki kitab suci (Sishu Wujing) sebagai pedoman dalam menjalankan seluruh rangkaian ritual keagamaannya, memiliki Klenteng atau Litang sebagai tempat ibadah, menetapkan tahun baru imlek sebagai hari raya resmi keagamaannya. Seluruh identitas agama dan keagamaannya lengkap seperti halnya elemen agama-agama lainnya yang diakui oleh negara.

Setelah rezim Orde Baru berakhir, kemudian agama Khonghucu diakui kembali sebagai agama resmi di antara 6 (enam) agama yang dianut masyarakat Indonesia, yang kemudian melahirkan “nomenklatur” dalam tata administrasi kelembagaan negara di Indonesia. Istilah nomenklatur atau nomenclature (bahasa Inggris) yang berasal dari bahasa Latin, nomen untuk penamaan atau Calare bagi sebuah penyebutan dalam bahasa Yunani, yang sama artinya dalam bahasa Inggris kuno, yaitu nama atau dalam bahasa Jerman kuno disebut namo, yaitu merujuk pada persyaratan, sistem prinsip-prinsip dasar, prosedur dan persyaratan yang berkaitan dengan penamaan, yang dapat merupakan pembakuan kata atau frase penugasan untuk objek tertentu.[6] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata “nomenklatur”, yaitu: Pertama, penamaan yang dipakai dalam bidang atau ilmu tertentu; tata nama. Kedua, pembentukan (seringkali atas dasar kesepakatan internasional) tata susunan dan aturan pemberian nama objek studi bagi cabang ilmu pengetahuan.[7] Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa nomenklatur adalah sistem penamaan pada objek tertentu, namun istilah nomenklatur ini lebih familiar penggunaannya di kalangan birokrasi pemerintahan sebagai istilah lain dari pemberian tata nama atau penyebutan nama instansi dalam setiap lembaga pemerintah. Nomenklatur agama Khonghucu tersebut diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

 

Metamorfosis Legalitas Peng-aku-an Negara Terhadap Agama Khonghucu

Sesungguhnya agama Khonghucu tidak bisa dipisahkan sebagai bagian dari keyakinan yang dianut oleh sebagian masyarakat Tionghoa, bahkan menjadi salah satu agama besar dari 3 (tiga) agama yang diakui oleh negara pada zaman Dinasti Han abad 136 SM. Nama Khonghucu sendiri dalam sejarahnya terambil dari nama Sang Nabi, “Khongcu”, yang lahir pada tanggal 27 bulan 8 tahun 551 SM di negeri Lu. Agama Khonghucu sendiri awalnya bernama “Rujiao”, artinya: ajaran/agama untuk menjadikan manusia berperilaku berbakti dan lembut budi pekertinya, yang mengutamakan perbuatan baik, selaras dan berkebajikan. Rujiao ini sudah ada jauh sebelum lahirnya “Khongcu”, yang diyakini sudah ada sejak zaman nabi-nabi suci, seperti Fuxi (2952-2836 SM), Shen Nong (2838-2698 SM), Huang-di (2698-2596 SM), Tang Yao (2357-2255 SM), Yu Shun (2255-2205 SM), Da-yu (2205-2197 SM), Shang Tang (1766-1122 SM), tiga Nabi Wen Wang, Wu Wang, dan Zhou-gong pada Era Dinasti Zhou (1122-255 SM), sampai Nabi Agung Kongzi (551-479 SM) dan Mengzi (371-289 SM). Para nabi inilah peletak awal Rujiao, sedangkan Nabi Kongzi adalah penerus, pembaru, dan penyempurna. Oleh sebab itu, Rujiao disebut juga Kongjiao.[8]

Sementara kehadiran agama Khonghucu di Nusantara sendiri telah ada sejak berabad-abad lalu bersamaan datangnya para pedagang Tionghoa, hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya lembaga-lembaga Khonghucu, seperti Boen Bio di Surabaya (1883), yang oleh orang Belanda disebutnya “Gredja Boen Bio atau Geredja Khonghoetjoe (de kerk van Confucius)”, saat ini menjadi tempat ibadah agama Khonghucu di bawah binaan MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia) Surabaya. Kemudian tahun 1886 terbit “Kitab Hikayat Khonghucu” yang disusun oleh Lie Kim Hok serta berbagai bukti sejarah lainnya yang meneguhkan akan eksistensi “Khonghucu” sudah ada sejak zaman bercokolnya kolonialis di Indonesia.[9]

Tahun 1650 untuk pertama kalinya dibangun “Klenteng” oleh Letnan Kwee Hoen sebagai pusat peribadatan umat Khonghucu di Tanah Air, yang dipersembahkan kepada “Kwan Im Teng” (Dewa Pewelas Asih), kemudian lebih popular dilafadz dengan dengan kata “Klenteng”, yang awalnya dijadikan sebagai tempat penghormatan kepada leluhur (rumah abuh/dewa). Kehadiran Klenteng ini semata-mata untuk mewadahi kepentingan ibadah dan sosial bagi pemeluk agama Khonghucu yang ada di Indonesia. Kondisi keberagamaan Khonghucu hingga era Soekarno (Orde Lama) berjalan secara normal, pemerintah tidak mengintervensi kelangsungan agama di Indonesia, bahkan Konghucu diakui secara salah satu agama resmi di Indonesia selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Misalnya, dalam merayakan hari besar agama bagi penganut Khonghucu berjalan lancar, penuh khidmat, dan tenang seperti perayaan keagamaan agama-agama lainnya. Termasuk diadakannya hari libur pada hari-hari raya agama Khonghucu secara fakultatif, seperti: tahun baru Imlek, hari lahir Nabi Khonghucu, hari wafat  Nabi Khonghucu, dan hari raya Ching Bing; penyelenggaraan pendidikan agama atau ajaran Khong Fu Tze kepada siswa Tripusaka sebagai yayasan yang bergerak di bidang pendidikan; penyelenggaraan seni dan budaya Khonghucu, seperti Liong dan Barongsai ketika memperingati kelahiran Nabi Khong Fu Tze dengan memakai busana khas Cina berwarna merah. Hal serupa pula terjadi pada pelayanan pernikahan sesuai ajaran agama Khonghucu bagi umat yang diadakan di Litang.[10]

Suasana harmoni keagamaan Khonghucu yang sudah berlangsung lama ini tiba-tiba berubah drastis dan berada dalam tekanan fisik dan psikis para penganutnya, misalnya saja penyebutan “Klenteng” menjadi samar-samar karena adanya pembauran, kalau tidak mau disebut “perbenturan” dengan “Vihara” (tempat ibadah umat Buddha) pada dekade 1965, saat gembong PKI (Partai Komunis Indonesia) dan seluruh antek-anteknya dihancurleburkan akibat G30S/PKI itu, yang dinakhodai oleh rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto (Presiden ke-2 RI). Imbas dari peristiwa mengerikan itu, seluruh kebudayaan Tionghoa yang ada di Nusantara terancam ditutup secara paksa, sehingga banyak Klenteng bermetamorfosis menjadi “Vihara” dan mencatatkan Surat Izin Pendiriannya di bawah naungan agama Buddha, demi kelangsungan peribadatan dan kepemilikan, sehingga terjadi kerancuan dalam membedakan Klenteng dengan Vihara.[11]

Tindak agresif penguasa Orde Baru terhadap etnis Tionghoa yang mayoritas beragama Khonghucu pada saat itu, karena diindikasikan bahwa negara RRC sebagai tempat asal dan lahir agama Khonghucu yang mayoritas etnis Cina menganut ajaran komunis, sehingga Presiden Soeharto memutuskan hubungan diplomatik dengan Tiongkok, kemudian mengimplementasikan sistem asimilasi yang mengakibatkan terjadi erosi bahasa dan budaya Tionghoa.[12] Seluruh organisasi Tionghoa yang berafiliasi dan bersimpati pada PKI ditutup, termasuk kegiatan belajar mengajar yang selama itu dikelola oleh BAPERKI dan diubah menjadi sekolah negeri, surat kabar Cina ditutup, seluruh kegiatan organisasi massa Tionghoa dilarang, kegiatan keagamaan Khonghucu yang dilakukan secara massal wajib mendapatkan izin dari pemerintah setempat, tempatnya pun wajib dalam kondisi yang tertutup supaya tidak terlihat oleh publik. Demikian pula pelayanan pernikahan umat Khonghucu yang selama ini dilaksanakan di Litang harus dilaksanakan menggunakan tempat ibadah agama lain dan sesuai agama tempat ibadah tersebut. Padahal dalam ajaran Khonghucu, prosesi pernikahan bagi calon pengantin wajib disumpah di hadapan altar (tempat ibadah) Nabi Khonghucu atau altar leluhur.[13]

Setelah Orde Baru berganti Orde Reformasi, banyak Vihara yang kemudian berganti nama semula, sebagai Klenteng daripada Vihara atau menamakan diri sebagai Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD). Di era Reformasi inilah menutup kran sistem ketatanegaraan “sentralistik”, yang kemudian berubah menjadi sistem desentralistik-demokratis, sehingga dinamika sosial kehidupan masyarakat Nusantara pun ikut-turut mengalami proses perubahan itu, termasuk dalam kehidupan umat beragama, yang tidak semata menjamin kemerdekaan umat beragama dalam “menjalankan ibadah dan kepercayaannya masing-masing”, tetapi juga menjamin kebebasan “memeluk” agama dan kepercayaan yang diyakini (Pasal 28E dan Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945).

Ketika amanah konstitusi sebagai dasar bernegara di atas memberikan jaminan akan kebebasan “memeluk dan melaksanakan ibadah” sesuai keyakinan masing-masing bagi setiap anak bangsa, maka secara mutlak dan otomatis menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara pula dalam menyelenggarakan sistem kehidupan umat beragama yang harmonis, toleran, rukun, dan damai serta jauh dari unsur-unsur diskriminatif.

Salah satu upaya negara menghadirkan sistem kehidupan umat beragama yang ramah dan tidak diskriminasi adalah dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi kondisi dan dinamika riil kehidupan sosial beragama bagi setiap warga negara, yang selama dekade sebelumnya diposisikan sebagai ajaran yang terlarang. Misalnya, di awal-awal Reformasi lahir Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam Inpres tersebut memuat 5 (lima) instruksi yang penjabarannya diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama disertakan Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung dalam posisinya sebagai pengamanan dan penertiban. Poin pertama misalnya, secara tegas menyatakan bahwa “tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas kulturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan”.

Inpres di atas tidak menyebut agama “Khonghucu” sebagai nama agama yang diyakini oleh masyarakat Cina-Tionghoa sebagai asal lahirnya agama tersebut. Sekalipun awalnya menjadi bagian dari nama agama-agama yang diakui secara sah dan berlaku dalam konstitusi di Indonesia. Penjelasan Pasal 1 UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama[14] secara tegas dan tersurat menyatakan bahwa “agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia”.[15] Bahkan dalam UU No. 1/PNPS Tahun 1965 mengakui bahwa kegiatan keagamaan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, sehingga negara hadir memberikan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja mengganggu keberlangsungan kehidupan umat beragama dan/atau melakukan penodaan terhadap ajaran agama yang diakui, maka Presiden dapat membubarkan organisasi atau aliran yang mengganggu ketertiban umat beragama setelah Presiden mendapatkan pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung. Ketika pembubaran organisasi tersebut tidak membuahkan hasil, maka pengurus organisasi dan anggota-anggotanya dapat dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

 Akibat kebijakan yang termaktub dalam Inpres No. 14 Tahun 1967 di atas, maka secara inheren berimbas pada seluruh aktivitas keagamaan Cina-Khonghucu di Indonesia, termasuk perayaan hari-hari besar agama, sistem peribadatan, dan adat istiadatnya, yang diselenggarakan dalam ruang gerak-aktivitas komunitas yang terbatas, hanya dalam lingkup keluarga dan lebih bersifat individu semata. Apabila terjadi pelanggaran atas kebijakan tersebut, maka Menteri Dalam Negeri bersama Jaksa Agung diberi kewenangan untuk dapat menertibkan dan mengamankan. Bahkan kebijakan pembatasan kegiatan umat Khonghucu bukan saja dalam hal pelaksanaan ritual keagamaannya semata, tetapi juga berimbas hingga pada sektor-sektor lainnya, di mana penganut Khonghucu tidak diperbolehkan menggunakan identitas agamanya, misalnya lahirnya Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 tentang Peraturan Ganti Nama bagi WNI yang Menggunakan Nama Tionghoa dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978 tentang Larangan Mengimpor, Memperdagangkan, dan Mengedarkan Segala Jenis Barang Cetakan dalam Huruf, Aksara dan Bahasa Tionghoa.

Berangkat dari ketentuan Inpres No. 14 Tahun 1967, sebagai tindaklanjutnya, lahirlah secara berturut-turut aturan turunannya, seperti lahir Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1980; Nomor 224 Tahun 1980; Nomor Kep-III/J.A./10/1980, yang pada intinya mengatur keseragaman tindak di daerah-daerah dalam menangani masalah-masalah yang menyangkut kegiatan tata ibadat Cina yang memiliki aspek aktifitas kultural yang bersumber dari negeri-negeri leluhurnya. Hal ini berarti, ajaran Khonghucu yang dianggap memiliki kaitan erat dengan budaya leluhur Cina dibatasi dalam pelaksanaan perayaan agama maupun adat istiadatnya.

Disusul kembali dengan terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1470 Tahun 1978 yang kemudian dipertegas dalam Surat Edaran Mendagri No. 477/1978, yang intinya pemerintah hanya mengakui 5 (lima) agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha. Selanjutnya, dalam TAP MPR No. II/MPR/1998 juga menegaskan bahwa penganut kepercayaan tak boleh mengarah pada pembentukan agama baru dan sedapat mungkin diarahkan bergabung dengan salah satu agama yang diakui negara.

Berdasarkan sensus tahun 1976, Khonghucu dianut sejuta orang tapi bukan agama yang diakui oleh pemerintah, membuat hak-hak sipil penganut Khonghucu dibatasi, perayaan keagamaan di gedung dan fasilitas publik dilarang, hari raya Imlek tidak dimasukkan dalam hari besar di Indonesia. Dari segi pendidikan, sekolah di bawah yayasan Khonghucu tidak boleh mengajarkan pelajaran agama Khonghucu, pernikahan di antara umat Khonghucu tidak dicatat oleh Kantor Catatan Sipil. Selain itu, hak kependudukan penganut agama Khonghucu juga dilarang, maka penganut agama Khonghucu tidak boleh membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan agama Khonghucu, sehingga mereka secara terpaksa mencantumkan agama lain yang sama sekali tidak diyakini sebagai agama kepercayaannya.

Beranjak dari semangat dan ruh “reformasi” yang awalnya mengusung isu-isu perubahan dengan mengedepankan penegakan hukum dan HAM, yang kemudian melahirkan berbagai perubahan, salah satunya dalam bentuk restorasi kebijakan dengan mengedepankan pengakuan negara atas hak-hak warga negara, yang selama ini termarjinalisasi dalam -otoritarisme kekuasaan- berlindung atas nama stabilitas pembangunan nasional. Salah satu upaya awal negara mengembalikan hak-hak keagamaan warganya adalah dengan lahirnya Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.

Dalam diktum pertimbangan Keppres No. 6 Tahun 2000 menyatakan secara tegas, bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Lebih lanjut menegaskan bahwa pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina, dirasakan oleh warga negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang-geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya.

Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 di atas mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan kebebasan beragama, khususnya bagi penganut agama Khonghucu. Oleh karena itu, agama Khonghucu diakui dan dijamin oleh negara, sehingga bebas untuk dianut oleh Warga Negara Indonesia. Dalam perkembangan berikutnya, lahir berbagai kebijakan yang mengakomodasi eksistensi ajaran dan umat Khonghucu untuk dapat diselenggarakan secara bebas dan terbuka, termasuk perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari besar Cina, bahkan ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek, kemudian diikuti peraturan pelaksanaannya melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 331 Tahun 2002 tentang Penetapan Hari Raya Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional.

Lebih lanjut, kartu identitas penganut agama Khonghucu pun dipulihkan melalui Surat Mendagri RI Nomor 470/336/SJ tanggal 24 Januari 2006 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu serta perkawinan dan pendidikan menurut ajaran Khonghucu pun diperbolehkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Agama RI No. MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 tentang Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu. Selain itu, pembangunan Klenteng diperbolehkan, termasuk pendirian Klenteng Kong Miao di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Berdasarkan Surat Departemen Agama RI No. SJ/B.VII/1/BA.01.2/623/06 tanggal 21 Maret 2006 prihal pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu.

 

Seputar Nomenklatur Bimas Khonghucu

Di Indonesia, nomenklatur (tata nama) bidang agama berada di bawah kendali Kementerian Agama yang memiliki tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara (Pasal 2 Peraturan Presiden [Perpres] No. 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama).[16] Karena itu, salah satu fungsi Kementerian Agama dalam penyelenggaraan bidang agama adalah merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, sebagaimana diatur pada Pasal 3 huruf a Perpres No. 83 Tahun 2015, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama Republik Indonesia.[17]

Jadi, legitimasi Bimbingan Masyarakat (Bimas) Khonghucu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari nomenklatur organisasi Kementerian Agama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Bimas Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha yang sudah terlebih dahulu menjalankan tugas dan fungsinya dalam penyelenggaraan agama dan keagamaan di Indonesia. Hanya saja, pada Pasal 4 ayat (1) PMA No. 42 Tahun 2016 hanya menyebut 11 (sebelas) unit kerja yang ada dalam susunan organisasi Kementerian Agama, yaitu: Sekretariat Jenderal (Sekjen), Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Ditjen Bimas Islam, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas Hindu, Ditjen Bimas Buddha, dan Inspektorat Jenderal (Itjen), Badan Litbang dan Diklat, serta Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Adapun Konghucu diletakkan pada bagian “Pusat” sebagai pembantu Menteri Agama, yaitu Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu (Pasal 4 ayat [2] dan ayat [4].

Pertanyaannya kemudian, di mana letak nomenklatur Bimbingan Masyarakat (Bimas) Khonghucu itu dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi keagamaannya? Hal ini menjadi “simpangsiur”, karena tidak ada diktum lebih lanjut yang menjelaskan kedudukan, tugas, dan fungsi Bimas Konghucu tersebut, baik dalam Perpres No. 83 Tahun 2015 maupun dalam PMA No. 42 Tahun 2016. Padahal Pasal 3 huruf a Perpres No. 83 Tahun 2015 secara tersurat menyebut “bimbingan masyarakat”, yang kemudian disingkat menjadi “Bimas” Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Adapun Pasal 890 hanya mengatur Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu sebagai “unsur pendukung” pelaksanaan tugas Kementerian Agama yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama melalui Sekretaris Jenderal yang dipimpin oleh seorang Kepala (setingkat eselon II). Padahal dalam ketentuan Pasal 3 menegaskan fungsi Bimas Khonghucu sebagai bagian dari penyelenggara Kementerian Agama, yang dipimpin oleh Menteri Agama (Pasal 1). Dalam kedudukannya sebagai unsur pendukung, maka fungsi Bimas Khonghucu sama dengan lembaga Pusat Kerukunan Umat Beragama, hal ini terlihat jelas dalam Lampiran Struktur Organisasi Kementerian Agama.[18]

Padahal secara tegas diatur pada Pasal 475 Peraturan Presiden No. 135 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketujuh Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara[19] menyatakan bahwa:

“Susunan organisasi eselon I Kementerian Agama terdiri atas: a. Sekretariat Jenderal; b. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam; c. Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah; d. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam; e. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen; f. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik; g. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu; h. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha; i. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Khonghucu; j. Inspektorat Jenderal; k. Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Pelatihan; l. Staf Ahli Bidang Kehidupan Beragama; m. Staf Ahli Bidang Kerukunan Umat Beragama; n. Staf Ahli Bidang Lembaga Sosial Keagamaan; o. Staf Ahli Bidang Pendidikan; dan p. Staf Ahli Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia”.

 

Lebih lanjut dirumuskan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Khonghucu pada Pasal 491A dan Pasal 491B Peraturan Presiden No. 135 Tahun 2014 sebagai berikut:

Pasal 491A:

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Khonghucu mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang bimbingan masyarakat Khonghucu”.

Pasal 491B:

“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 491A, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Khonghucu menyelenggarakan fungsi: a. perumusan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Khonghucu; b. pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Khonghucu; c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang bimbingan masyarakat Khonghucu; d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang bimbingan masyarakat Khonghucu; dan e. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Khonghucu”.

 

Dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dikenal adanya “jenis dan hirarki” peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur melalui UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur bahwa dalam penyusunan Peraturan Presiden berlaku secara “mutatis mutandis” (Pasal 31). Menurut Black Dictionary (Edisi VII) bahwa mutatis mutandis adalah “All necessary changes having been made; with the necessary changes what was said regarding the first contract applies mutatis mutandis to all the later ones”.  Charles Augustus Maude Fennell dalam  The Stanford Dictionary of Anglicised Words and Phrases menyatakan, bahwa mutatis mutandis adalah perubahan yang penting telah dilakukan.[20] Artinya, Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 yang telah diubah sebanyak 7 (tujuh) kali dan terakhir dengan Peraturan Presiden No. 135 Tahun 2014, salah satu hal yang telah diubah dengan perubahan yang penting (mutatis mutandis) adalah perubahan dengan menambahkan isi Pasal 475: “Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Konghucu pada poin (i), dengan menggeser posisi “Inspektorat Jenderal” ke poin (j) serta terdapat penyisipan 2 (dua) pasal di antara Pasal 491 dan Pasal 492, yaitu Pasal 491A dan Pasal 491B, yang menguraikan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Konghucu, di mana ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut belum pernah termaktub, sekalipun telah dilakukan perubahan sebanyak 6 (enam) kali pada perubahan-perubahan sebelumnya.

Perubahan ketentuan Pasal 475 serta penambahan Pasal 491A dan Pasal 491B pada Peraturan Presiden No. 135 Tahun 2014 di atas, seharusnya secara otomatis berubah pula ketentuan yang terdapat dalam PMA No. 10 Tahun 2010, sebagai “peraturan pelaksanaan” dari Perpres tersebut, namun tidak ditemukan adanya diktum penyesuaian perubahan, baik pada PMA Nomor 21 Tahun 2014[21] sebagai perubahan ketiga maupun PMA Nomor 16 Tahun 2015[22] sebagai perubahan keempat.

Adapun terbitnya PMA No. 42 Tahun 2016 secara hirarkis merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2015. Namun PMA No. 42 Tahun 2016 tetap mengakomodir keberlakuan PMA No. 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan PMA No. 16 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas PMA No. 10 Tahun 2010.[23] Di mana dalam PMA No. 10 Tahun 2010 tersebut menempatkan Konghucu sebagai bagian dari Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya, sebagaimana diatur pada Pasal 769. Sekalipun harus diakui bahwa PMA No. 42 Tahun 2016 sudah lebih maju, karena Kementerian Agama secara tegas menyatakan bahwa Khonghucu merupakan salah satu bagian dalam penyelenggaraan fungsi Kementerian Agama (Pasal 3 PMA No. 42 Tahun 2016) serta menjadikan Khonghucu sebagai bagian tersendiri dari susunan organisasi Kementerian Agama yang dipimpin oleh seorang Kepala, setingkat dengan PKUB.

Khonghucu dalam posisinya sebagai Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu dipimpin oleh seorang kepala, dengan susunan organisasi terdiri atas: (a) Subbagian Tata Usaha; (b) Bidang Bimbingan dan Kelembagaan Agama Khonghucu, yang terbagi menjadi 2 (dua) subbagian, yaitu: (1) Bimbingan dan Penyuluhan, (2) Kelembagaan dan Pemberdayaan Umat; (c) Bidang pendidikan Khonghucu, yang terbagi menjadi 2 (dua) subbagian, yaitu: (1) Pendidikan Agama dan (2) Pendidikan Keagamaan; serta (d) Kelompok Jabatan Fungsional.

 

Data Penganut Agama Khonghucu di Indonesia

Menjawab dilematisasi penempatan bimbingan masyarakat Khonghucu dalam nomenklatur di Kementerian Agama dengan bertitik tolak pada ketentuan Pasal 3 huruf a UU No. 83 Tahun 2015 dan di sisi lain dalam undang-undang ini pula secara tegas menyatakan bahwa Perpres No. 24 Tahun 2010 dan seluruh perubahannya serta Perpres No. 165 Tahun 2014 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Demikian pula dalam ketentuan PMA No. 42 Tahun 2016 telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan PMA No. 10 Tahun 2010 beserta seluruh diktum perubahannya. Artinya, diktum ketentuan tentang keberadaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Khonghucu sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dalam politik hukum (rechtpolitiek) dikenal adanya “legal policy” (kebijakan otoritas). Mahfud MD mengatakan, bahwa legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan, baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan, yang kesemuanya dimaksud untuk mencapai tujuan negara, seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945.[24]

Satjipto Rahardjo berpendapat, bahwa dalam menjalankan politik hukum itu muncul pertanyaan-pertanyaan, yaitu: (1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.[25] Oleh karena itu, Hikmahanto menegaskan, bahwa dalam memberadakan sebuah peraturan perundang-undangan harus ada konstelasi dan korelasi dengan apa yang ditetapkan sebagai politik hukum dan apa yang ingin dicapai sebagai tujuan. Karena itu, menurut Hikmahanto harus ada basic policy (kebijakan dasar) dan kebijakan pemberlakuan (enactment policy).[26]

Semangat menghadirkan Perpres No. 24 Tahun 2010 dan seluruh perubahannya (terakhir dengan Perpres No. 135 Tahun 2014) merupakan kehendak politik pemerintah dalam menunaikan amanah falsafah Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 beserta peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya, namun langkah positif tersebut tidak berbarengan dan seiring dengan database pendukung lainnya. Misalnya, data BPS tahun 2017 menunjukkan bahwa jumlah penganut agama Khonghucu di Indonesia sebanyak 117.091 orang (0.05%) dari total penduduk di Indonesia, yaitu 236.728.379 orang berdasarkan sensus tahun 2010.[27] Bahkan Kabid Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu, Emma Nurmawati Hadian mengatakan bahwa Kementerian Agama RI membutuhkan akurasi data agar penentuan program dan penganggaran bimbingan yang dilakukan kepada pemeluk agama Khonghucu dapat dilaksanakan dengan tepat.[28]

Berdasarkan data statistik di atas menunjukkan bahwa jumlah penganut agama Khonghucu di Indonesia masih dalam skala terbatas beriringan dengan pelayanan untuk pemenuhan hak-hak sipilnya, sehingga kehadiran lembaga Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu masih terjangkau. Oleh karena itu, semangat Perpres No. 135 Tahun 2014 membentuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimbingan Masyarakat Khonghucu sebagai bagian dari nomenklatur di Kementerian Agama masih sulit untuk diwujudkan, karena selain faktor pertimbangan optimalisasi pelayanan organisasi yang prima, juga karena keterbatasan sumber daya umat Khonghucu itu sendiri sebagai pegawai di Kementerian Agama, bahkan hingga saat ini jabatan Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu masih dijabat dari kalangan Islam.[29]

Kondisi keterbatasan umat Khonghucu di atas dapat dipahami, mengingat selama rezim sentralistik agama Khonghucu berada dalam kondisi termarginalisasi dari aktivitas keagamaannya, termasuk dalam pembatasan terhadap perlakuan sosialnya. Dalam komunitas sosial, selama penerapan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 misalnya, umat Khonghucu dalam menjalankan ritual keagamaan sangat terbatas (kalau tidak mau disebut dilarang), hanya boleh dalam lingkup keluarga terbatas dan lebih pada penekanan atas kehendak individu semata, itu pun di rumah bukan di Klenteng, sebagai tempat resmi yang disucikan oleh umatnya dalam melaksanakan ibadah dan ritual lainnya. Bahkan lebih anehnya lagi, pencantuman agama Khonghucu sebagai agama yang dianut, dilarang secara terang-terangan ditampilkan dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penganutnya. Jadi, secara terpaksa penganut Khonghucu mengakui agama yang tidak diyakininya sebagai agama resminya sebagaimana tercantum dalam KTP miliknya. Boleh jadi, dalam proses pernikahan pun juga berlaku demikian, seorang penganut Khonghucu secara terpaksa mengakui dan meyakini agama lain yang sejujurnya tidak diyakini sebagai agama baginya (perlu penelitian lebih lanjut), karena proses administrasi pernikahan bagi non-Muslim berada di bawah Kantor Catatan Sipil (KCS), yang mensyaratkan sahnya sebuah perkawinan di Indonesia apabila sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut serta wajib dicatat. Dalam hal pencatatan perkawinan inilah unsur administrasi bagi calon pengantin wajib disertakan sebagai bukti riil identitasnya, salah satunya adalah KTP. Sehingga dalam proses pernikahan yang dianggap sakral itu pun, para penganut Khonghucu menjalankan seluruh ritual keagamaan yang tidak diyakininya, kalau pun mereka menjalankan ritual keagamaan yang diyakininya harus secara sembunyi-sembunyi dan dalam ruang yang terbatas.

Dalam hal pendidikan pun demikian, umat Khonghucu dipaksa mengambil salah satu mata pelajaran agama dari 5 (lima) agama yang diakui di Indonesia, akibatnya banyak siswa penganut Khonghucu berpindah agama, karena tidak tersedianya guru yang dapat mengajarkan pendidikan agama Khonghucu di sekolah.

Pengkerdilan agama Khonghucu belum selesai, masih berlanjut pada pelarangan pencantuman nama Tionghoa pada seluruh identitas pribadinya, sehingga memaksa penggunanya mengganti nama resminya dengan nama yang mayoritas berlaku dalam komunitas sosial atau suku di mana mereka bertempat tinggal, termasuk pelarangan bahasa atau aksara Tionghoa sebagai komoditas bisnis. Kitab Khonghucu misalnya tidak boleh menggunakan huruf Tionghoa, sehingga harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Apabila terdapat penggunaan bahasa Tionghoa, maka bisa ditangkap, disita, dan diintimidasi. Termasuk pengover-alihan fungsi Klenteng, yang awalnya sebagai tempat suci bagi umat Khonghucu menjadi tempat ibadah bagi umat Buddha, bahkan ada yang diubah namanya menjadi Vihara, sehingga lambat laun nama dan fungsi Klenteng semakin kabur peruntukannya.

Setelah bertahun-tahun hidup dalam keyakinan yang terombang-ambing, terbit Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, legal policy ini menjadi babak baru bagi umat Khonghucu untuk kembali menyegarkan pikiran dan menata kembali seluruh pranata sosial dan sendi-sendi keberagamaannya, yang selama ± 3 dasawarsa lamanya berada dalam ketidakpastian. Namun tidak berarti bahwa setelah pengakuan kembali Khonghucu sebagai agama resmi di Indonesia kendala dan rintangan yang dihadapi sudah selesai. Kendala utama yang dihadapi adalah, apakah agama ini masih memiliki penganut? Karena selama rezim sentralistik memang sengaja dibuat sebagai agama yang samar-samar (abu-abu) dan dalam tekanan psikis bagi para penganutnya, sehingga untuk mengakui kembali sebagai agama resminya membutuhkan waktu pemulihan dari kondisi traumatik tersebut. Selain itu, mengembalikan fungsi Klenteng atau Liteng sebagai tempat ibadah bagi umat Khonghucu pun tak luput dari berbagai pertentangan di antara agama-agama lain yang selama ini sudah nyaman menjadikan sebagai tempat ibadahnya.

Kini saatnya bagi umat Khonghucu bangkit menata kembali pranata sosial keberagamaannya bersejajar secara harmoni dalam damai dengan agama-agama resmi lainnya memupuk tali persaudaraan, baik dalam batas komunitas sekeyakinan maupun antarumat beragama sebagai warga negara, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dan dilindungi oleh undang-undang.

Secara perlahan dan berkelanjutan, pemenuhan hak-hak umat Khonghucu terus diupayakan. Dalam menjalankan perannya, Kementerian Agama misalnya memberikan sosialisasi tentang pemulihan status dan hak-hak umat Khonghucu. Hal tersebut didasarkan pada Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2006 tentang Sosialisasi Status Perkawinan, Pendidikan dan Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu, sebagai upaya pemulihan atas eksistensinya sebagai agama resmi di Indonesia. Dalam bidang pendidikan agama dan keagamaan Khonghucu sudah diakomodir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan,[30] bahwa shuyuan adalah satuan pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing. Jalur pendidikan keagamaan Khonghucu ini diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal berbentuk program Sekolah Minggu, Diskusi Pendalaman Kitab Suci, Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu, atau bentuk lain yang sejenis. Sekalipun pada nomenklatur Khonghucu di Kementerian Agama, awalnya berbentuk Direktoral Jenderal (eselon 1), kemudian direduksi menjadi kepala pusat (eselon II).

 

Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa: Pertama, negara telah mengakui Khonghucu sebagai salah satu agama resmi dari 6 (enam) agama yang dianut warga negara Indonesia melalui peraturan perundang-undangan, karena itu negara wajib memberikan ruang yang adil dan proporsional tanpa diskriminasi, untuk mengeskpresikan seluruh sistem keagamaan yang diyakini dalam agama Khonghucu kepada seluruh penganutnya; Kedua, mengingat sumber daya umat Khonghucu masih sangat terbatas, maka ketentuan awalnya dalam kedudukannya sebagai Ditjen Bimas Konghucu (eselon I) direduksi oleh peraturan yang datang kemudian, dengan memosisikan nomenklatur bimbingan masyarakat Khonghucu pada eselon II sebagai Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama RI.

 

Rekomendasi

Dalam kondisi demikian, maka pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama) penting: Pertama, menghadirkan pengarusutamaan sikap toleransi kepada seluruh umat beragama, termasuk menghindarkan masyarakat dari diskriminasi terhadap keberadaan umat Khonghucu serta pentingnya mengembalikan fungsi Klenteng sebagai pusat peribadatan umat Khonghucu di tengah-tengah masyarakat. Kedua, pentingnya database jumlah penganut agama Khonghucu yang valid dan akurat, mengingat pernah terjadi mobilisasi pengisian kolom agama pada KTP untuk penganut agama Khonghucu memilih agama yang diakui pemerintah, karena itu penting menghadirkan pendataan secara menyeluruh tentang jumlah umat Khonghucu di seluruh Indonesia, pendataaan siswa, dan guru agama Khonghucu. Ketiga, pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya umat Khonghucu terutama pada bidang pelayanan bimbingan dan pendidikan, maka Kementerian Agama penting pula mengadakan penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta penyediaan tenaga-tenaga penyuluh keagamaan dari kalangan umat Khonghucu sendiri. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka penting dilakukan penelitian lebih lanjut, terutama pendataan jumlah umat Khonghucu dan Klenteng di Indonesia.

 

Daftar Pustaka

Buku

Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Politik 2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia.

Fennell, Charles Augustus Maude, Ed. (1891). The Stanford Dictionary of Anglicised Words and Phrases. Cambridge: University Press.

Kementerian Agama RI. 2016. Peraturan Menteri Agama No. 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta: Biro Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Jenderal Kementerian Agama Tahun 2016.

MD Mahfud. 2014. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, Cet. VI.

 

Peraturan Perundang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2726).

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 124 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4769)

Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.

Instruksi Presiden Nomor 1470 Tahun 1978 tentang Pengakuan Lima Agama di Indonesia.

Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.

Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara.

Peraturan Presiden No. 135 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketujuh Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 273).

Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 168).

Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 tentang Peraturan Ganti Nama bagi WNI yang Menggunakan Nama Tionghoa.

Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978 tentang Larangan Mengimpor, Memperdagangkan, dan Mengedarkan Segala Jenis Barang Cetakan dalam Huruf, Aksara dan Bahasa Tionghoa.

Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1980; Nomor 224 Tahun 1980; Nomor Kep-III/J.A./10/1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.

Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2006 tentang Sosialisasi Status Perkawinan, Pendidikan dan Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu.

Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 592)

Peraturan Menteri Agama Nomor 33 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 692)

Peraturan Menteri Agama Nomor 80 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1202)

Peraturan Menteri Agama Nomor 21 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1114)

Peraturan Menteri Agama No. 16 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 348).

Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1495).

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/ BA.01.2/ 4683/95 tanggal 18 November 1978.

 

Internet

https://id.wikipedia.org/wiki/Klenteng (27/7/2018).

https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Tinggi_Agama_Konghucu_Indonesia (27/7/2018).

https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Tinggi_Agama_Konghucu_Indonesia (27/7/2018).

https://id.wikipedia.org/wiki/Mutatis_mutandis (28/7/2018).

Tyokronisilicus. 2010. “Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-UndanganStudies Passions, (online), di https://tyokronisilicus.wordpress.com/2010/05/04/peranan-politik-hukum-dalam-pembentukan-peraturan-perundang-undangan/. Diunduh tanggal 31/7/2018.



[1]Kata “Indonesia” pada awalnya diusulkan oleh George Samuel Windsor Earl (1813-1865), seorang ahli etnologi berkebangsaan Inggris dalam tulisannya di Majalah JIAEA (Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia) Vol. IV Tahun 1850, hlm. 66-74 terbit di Singapura tahun 1847 sebagai majalah tahunan. Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengusulkan 2 (dua) pilihan, yaitu Indunesia atau Malayunesia (nesia = nenos dalam bahasa Latin, artinya kepulauan). Namun bagi Earl lebih memilih “Malayunesia” karena sangat tepat dengan ras Melayu, karena Indunesia bisa digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Pandangan yang sama diutarakan oleh James Richarson Lagon (1819-1869) dalam majalah tersebut pada halaman 252-347, bahwa perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. istilah tersebut dipopuler kemudian oleh Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipe l(Indonesia atau Pulau-Pulau di Kepulauan Melayu) sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-IndiĆ« tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. Kemudian tahun 1920-an oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan mengambil alih nama Indonesia yang setiap gerakan politiknya. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia. Diakses tanggal 20-10-2018.

[2]Istilah “nusantara” merupakan konsep kenegaraan Jawa pada abad XIII – XV, artinya pulau lain di luar Jawa, yang dipopulerkan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa tahun 1336. Namun pandangan tersebut ada yang menyanggah, bahwa kata “nusantara” sudah dicetuskan lebih setengah abad lebih awal dari Kertanegara pada tahun 1275 dengan istilah “dwipantara” oleh raja Singhasari, di mana dwipa sinonim dengan “nusa”, artinya pulau. Jadi, nusantara adalah kepulauan antara. Kemudian tahun 1920-an kata “Nusantara” dipopulerkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara untuk menyebut wilayah “Hindia Belanda”. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Nusantara. Diakses tanggal 20-10-2018.

[3]Menurut Hamka, bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatera (Barus). Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk ke wilayah kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan (644-656 M) memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sofyan) ke tanah Jawa, yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam. Namun menurut Hamka sendiri, itu terjadi tahun 42 Hijriah atau 672 Masehi.

[10]Bab III: Agama Khonghucu pada Masa Orde Lama dan Orde Baru di Surakarta, hlm. 40-44. Lihat, https://anzdoc.com/bab-iii-agama-khonghucu-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru-di.html

[12]I Wibowo dan Thung Ju Lan (ed). Setelah Air Mata Mengering: Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Media Nusantara, hlm. 58. Dalam, https://anzdoc.com/bab-iii-agama-khonghucu-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru-di.html

[13]https://anzdoc.com/bab-iii-agama-khonghucu-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru-di.html

[14]Bunyi Pasal 1 UU No. 1/PNPS Tahun 1965: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3).

[15]Penjelasan Lengkap Pasal 1 UU No. 1/PNPS Tahun 1965 bahwa dengan kata-kata "Dimuka Umum" dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia.

Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.

Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.

Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.

Dengan kata-kata "Kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2726).

[16]Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 168.

[17]Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1495.

[18]Peraturan Menteri Agama No. 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta: Biro Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Jenderal Kementerian Agama Tahun 2016, hlm. 308 dan 367.

[19]Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 273.

[20]Fennell, Charles Augustus Maude, Ed. (1891). The Stanford Dictionary of Anglicised Words and Phrases. Cambridge: University Press, hlm. 563. Lihat juga di: https://id.wikipedia.org/wiki/Mutatis_mutandis (28/7/2018).

[21]Perubahannya menyangkut masalah “Susunan organisasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan” dan masalah “Bidang Perencanaan, Evaluasi, dan Pelaporan Bidang Perencanaan, Evaluasi, dan Pelaporan”.

[22]Perubahan masalah Susunan organisasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur dan Khazanah Keagamaan.

[23]Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 592) sudah 4 (empat) kali diubah dengan Peraturan Menteri Agama, yaitu: (1) PMA Nomor 33 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 692); (2) PMA Nomor 80 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1202); (3) PMA Nomor 21 Tahun 2014 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1114); dan (4) PMA No. 16 Tahun 2015 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 348).

[24]MD Mahfud. 2014. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, Cet. VI, hlm. 1.

[25]Ibid., hlm. 2.

[26]Tyokronisilicus. 2010. “Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-UndanganStudies Passions, (online), di https://tyokronisilicus.wordpress.com/2010/05/04/peranan-politik-hukum-dalam-pembentukan-peraturan-perundang-undangan/. Diunduh tanggal 31/7/2018.

[27]Sesuai sensus BPS 2010, agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Indonesia adalah agama Islam sebanyak 207.176.162 juta jiwa (87,18 persen), agama Kristen 16.528.513 juta jiwa (6,96 persen), agama Katolik 6.907.873 juta jiwa (2,91 persen), agama Hindu 4.012.116 jiwa (1,69 persen), agama Budha sebanyak 1.703.254 jiwa (0,72 persen). Kemudian agama termuda yang diakui pemerintah Indonesia adalah Khonghucu dianut sekitar 117,091 jiwa (0,05 persen). Lihat, Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Politik 2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia, hlm. 156.

[28]https://www.antaranews.com/berita/570299/kemenag-minta-verifikasi-ulang-jumlah-pemeluk-konghucu. Diunduh tanggal 31/7/2018.

[29]Hj. Emma Numawati Hadian, MM adalah Kepala Bidang Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu Kementerian Agama.

[30]Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 124 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4769.