TELAAH YURIDIS ATAS UU NO. 22 TAHUN 1946
TENTANG PENCATATAN NIKAH, TALAK, DAN RUJUK
TERHADAP PENERAPAN HUKUM PIDANA DALAM
HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Penelitian
Pasal 2 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan[1]
menyatakan, bahwa perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Kemudian ayat (2) mengatur,
bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan
ketentuan tersebut, dapat dikategorikan bahwa sistem perkawinan yang sah di
Indonesia, apabila taat asas dengan memenuhi segala unsur yang diatur dalam
hukum agama dan kepercayaan yang dianut serta harus tunduk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Ketika perkawinan tidak memenuhi
asas-asas yang telah ditentukan dalam hukum agama, kepercayaan, dan
undang-undang, maka perkawinan tersebut tidak sah, dengan sendirinya batal demi
hukum.
Perkawinan merupakan masalah yang paling lengkap
dan detail diatur mekanisme dan keabsahannya dalam hukum agama, kepercayaan,
dan undang-undang, karena erat hubungannya dengan penyatuan keluarga dari
berbagai latar budaya, emosi, dan sosial yang berbeda-beda, pengelolaan harta
bersama, serta tanggung jawab sosial dalam lingkup keluarga. Dari berbagai
lingkup itulah, sehingga negara wajib turut serta melindungi dan menjaga
keutuhan dan kelestarian perkawinan melalui peraturan perundang-undangan.
Ketentuan di atas, secara tersirat mengakui
bahwa sistem perkawinan di Indonesia telah dipengaruhi oleh berbagai unsur adat
(local wisdom/al-adah al-mahkamah=kearifan lokal), agama, dan
kepercayaan, sehingga unsur-unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dan
dikesampingkan dalam membangun sistem perkawinan di Indonesia. Di sinilah letak
perbedaan antara sistem perkawinan yang dianut oleh Indonesia dengan KUH
Perdata. KUH Perdata memandang, bahwa lembaga
perkawinan adalah lembaga hukum yang mengatur hubungan hukum keperdataan antara
individu dengan individu lainnya. Pasal 26 KUH
Perdata menyebutkan batasan tersebut, bahwa undang-undang memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Artinya, unsur agama tidak dilibatkan
dalam menyatakan sebuah perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan yang hanya
melihat dari sisi keperdataan bersifat sekuler.
Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia telah mengatur
masalah perkawinan secara ketat melalui UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk sebagaimana diubah dengan UU No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946
No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura, tidak saja mengatur mekanisme dan keabsahan sebuah
perkawinan dalam lingkup keperdataan semata, tetapi juga dilengkapi aturan
pidana yang dapat dijatuhkan kepada para pihak dengan ancaman denda hingga
penjara, apabila melanggar ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Namun semangat dan roh undang-undang tersebut tidak dijawantahkan
secara menyeluruh dalam UU No. 1 Tahun 1974 sebagai undang-undang perkawinan
yang berlaku bagi seluruh warganegara, karena tidak satu pasal pun di dalamnya yang
memuat adanya sanksi pidana bagi pelanggarnya. Padahal,
lahirnya sebuah undang-undang merupakan produk dari wakil rakyat, apabila
di dalamnya diatur tentang pemberian sanksi pidana, berarti rakyat
menghendakinya. Sekalipun sanksi pidana dimuat pada Pasal 45
PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
namun posisi Peraturan Pemerintah (PP)
merupakan produk pemerintah, bukan produk wakil rakyat.[2] Padahal UU No. 22 Tahun 1946 tersebut belum pernah
dihapus atau diamandemen muatan yang termaktub di dalamnya, bahkan
keberlakuannya diperluas di luar Jawa dan Madura melalui UU No. 32 Tahun 1954.
Penjelasan UU No. 22 Tahun 1946 menyatakan bahwa
peraturan pencatatan nikah, talak, dan rujuk yang selama ini diatur dalam
berbagai staatblaad Hindia-Belanda tidak sesuai lagi dengan keadaan masa
sekarang, sehingga perlu diadakan peraturan yang selaras dengan negara yang
modern. Oleh karena itu, Huwelijksordonnantie Staatblad 1929 No. 348 juncto Staatblad 1931 No. 467,
Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie Staatblad 1933 No. 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten Staatblad 1932 No. 482 dicabut dan diganti dengan peraturan yang baru yang dapat memenuhi
keperluan-keperluan pada masa kini.
Ancaman hukuman yang dimuat dalam UU No. 22
Tahun 1946 adalah denda dan pidana. Mulyatno menyatakan, bahwa ….
B. Identifikasi
Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan
dalam latar belakang penelitian di atas, maka peneliti dapat merumuskan
beberapa pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.
Bagaimana bentuk hukum pidana dalam UU No. 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk?
2.
Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap UU No. 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dalam Sistem Perkawinan di Indonesia?
3.
Bagaimana akibat hukum terhadap pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dalam sistem perkawinan di Indonesia?
C. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1.
Untuk menemukan dan merumuskan
bentuk hukum pidana dalam UU
No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
2.
Untuk menemukan dan merumuskan
penerapan hukum pidana
terhadap UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dalam
Sistem Perkawinan di Indonesia.
3.
Untuk menemukan dan merumuskan
akibat hukum terhadap
pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
dalam sistem perkawinan di Indonesia.
D. Kegunaan
Penelitian
Kegunaan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran atau masukan, baik secara teoritis maupun secara praktis.
1.
Secara teoritis,
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dan memberi
sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya
hukum pidana dengan segala aspeknya serta melengkapi hasil penelitian yang
pernah dilaksanakan oleh pihak lain dalam bidang yang sama. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran bagi perkembangan hukum keluarga
nasional.
2.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran
dan masukan yang bermanfaat bagi: pemerintah, para praktisi hukum, hakim,
advokat, dan instansi terkait lainnya serta bagi masyarakat luas.
E. Kerangka
Pemikiran
F.
Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan peneliti
dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu
menelusuri, mengkaji, dan meneliti serta menganalisa berbagai data sekunder yang berkaitan dengan materi
penelitian ini, berupa bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan
di bidang hukum perkawinan yang terkait dengan hukum pidana, seperti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UU No. 1 Tahun 1974, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dengan mengacu pada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta doktrin hukum. Dengan
demikian, penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau
konsep baru dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.[3]
Pendekatan yuridis normatif yang digunakan dalam penelitian
ini dilakukan dengan mengacu pada tiga pendekatan, yaitu: (a) statutory approach
dilakukan dengan menelusuri dan mengkaji ketentuan-ketentuan hukum yang relevan, yang berada dalam rumusan Pasal-Pasal
yang berisi norma. Dipahami bahwa dalam logika norma merupakan suatu proposisi
(normatif);[4]
(b) conseptual approach dilakukan dengan merujuk pada prinsip-prinsip
hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana hukum atau
doktrin-doktrin hukum;[5]
dan (c) comparative approach merupakan studi perbandingan hukum suatu
negara tertentu dengan negara-negara lain, baik dalam hal persamaan hukum
maupun perbedaan pengaturan harta bersama tersebut, baik di negara yang
menganut sistem hukum civil law maupun common law.[6]
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan historis, yang dimaksudkan untuk membantu
peneliti memahami perubahan dan perkembangan filosofi hukum yang melandasi penerapan
hukum pidana dalam hukum perkawinan.[7]
Selain itu, juga menggunakan pendekatan metode perbandingan hukum, yakni dengan menelusuri struktur
hukum yang mencakup lembaga-lembaga hukum, substansi hukum yang mencakup
perangkat kaidah atau perilaku teratur, dan budaya hukum yang mencakup
perangkat nilai-nilai yang dianut.[8]
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu berusaha
menggambarkan dan menganalisa data yang diperoleh melalui data sekunder, yaitu
berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier serta
didukung oleh data primer mengenai berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan
hukum pidana dalam hukum perkawinan di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh mengenai
bentuk hukum ideal yang dapat diterapkan di Indonesia,
kaitannya dengan penerapan hukum pidana dalam hukum perkawinan di Indonesia.
Tiga jenis pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer, sekunder, dan terier. Data
primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: norma atau
kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang
tidak dikodifikasi, yurisprudensi, traktat, dan bahan hukum dari zaman
penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Sedangkan data sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti; rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
hukum, dan sebagainya. Adapun sumber data terier merupakan bahan yang
memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder, seperti
kamus, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedi, dan sebagainya.[9]
Metode pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah; melalui studi
pustaka (library research), studi ini ditujukan kepada obyek teoritis,
yakni asas-asas, konsepsi-konsepsi, dan teori-teori serta isi kaidah hukum yang
berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Data-data teoritis ini diperoleh
dari dua macam referensi utama, yakni: (1) referensi umum, meliputi buku-buku
teks, dokumen-dokumen peraturan perundang-undangan, dan lain-lain, (2)
referensi khusus, meliputi; kamus, ensiklopedi, laporan penelitian, review, dan
lain-lain. Data-data semacam ini dikumpulkan dengan cara penelusuran literatur.[10] Studi pustaka ini dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh
data dokumenter mengenai kasus sita harta bersama dalam perkawinan tanpa adanya
perceraian. Di samping itu juga yang
tidak kalah pentingnya adalah sumber data dari media massa, baik cetak maupun
elektronik berupa jurnal, majalah, koran (surat kabar), dan website.
Data laporan diperinci melalui wawancara mendalam (indept
interview) terhadap informan kunci
(key informan) yang terkait dengan masalah tersebut serta
elemen-elemen lain yang dapat memperkaya penelitian ini. Serta melalui
observasi atau pengamatan di lapangan melalui peristiwa atau gejala sosial yang
terjadi dengan mengidentifikasi pokok masalahnya, kemudian dihubungkan dengan
sistem peraturan perundang-undangan yang ada selama ini. Adapun lokasi penelitian adalah
di wilayah Propinsi DKI Jakarta dengan melibatkan lembaga peradilan dan
instansi terkait serta elemen masyarakat lainnya.
Metode analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis data yuridis kualitatif, karena
metode kualitatif ini memungkinkan peneliti untuk dapat memahami secara benar
data yang diperoleh.[11] Keseluruhan data yang diperoleh dalam penelitian ini
disusun secara sistematis, kemudian ditarik kesimpulan untuk mendapatkan jawaban sesuai dengan identifikasi masalah dan tujuan penelitian, sehingga topik utama yang
menjadi dasar pembahasan penelitian ini terjawab tuntas.
G.
Sistematika Penulisan
BAB II : SISTEM PERKAWINAN DI INDONESIA
A.
Mekanisme
dan Keabsahan Perkawinan
a.
Pengertian Hukum Perkawinan
Sistem perkawinan di Indonesia sejak
awal telah dipengaruhi oleh unsur
adat dan agama, kemudian diunifikasi dan dikodifikasi pengaruh tersebut ke
dalam suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, istilah yang populer
digunakan dalam membangun keluarga adalah “kawin” dan “nikah”. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kawin adalah membangun keluarga dengan lawan jenis;
bersuami atau beristri.[12]
Sedangkan nikah adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum dan ajaran agama.[13]
Kata “nikah” sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu al-nikah, artinya “mengawini”,
“menguasai”, “bergabung”, “hubungan kelamin”, dan “akad”.[14] Selain itu, terdapat pula kata “al-zawaj” atau “al-tazwij”
yang semakna dengan kata “nikah”, artinya “mengawinkan”, “mencampuri”,
“menggauli”, “memperistri”.[15] Ali Yusuf al-Subky mengatakan, bahwa lafad “al-zawaaj” atau “al-tazwiij”
digunakan dalam hubungan yang terbina di antara seorang laki-laki (suami) dan
seorang perempuan (istri) dengan satu ikatan akad syar’i, juga digunakan untuk
segala sesuatu yang timbul dari hubungan itu. Sedangkan lafad “al-nikaah”
lebih banyak digunakan dalam hukum-hukum fiqih yang berhubungan dengan
pernikahan.[16] Dari
pengertian bahasa tersebut, maka dapat dipahami bahwa nikah adalah menghimpun
atau mengumpulkan, yaitu salah satu upaya menyalurkan naluri seksual suami
istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan
yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi.[17]
Perkawinan menurut hukum adat, adalah suatu usaha yang menyebabkan terlahirnya angkatan
baru yang meneruskan golongannya itu.[18] Dengan demikian, perkawinan dalam
masyarakat adat dipandang sebagai satu peristiwa yang sangat penting. Karena
itu, masalah perkawinan bukan saja merupakan urusan mereka yang bersangkutan
(calon suami istri), tetapi juga urusan orang tua, kerabat, keluarga,
masyarakat, dan urusan kelas (derajat/sosial).[19]
Di dalam hukum Islam, ada beberapa
definisi nikah yang dikemukakan oleh ulama fiqih, tetapi seluruh definisi
tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya yang berbeda.
Mazhab Syafi’i mendefinisikan dengan akad yang mengandung kebolehan melakukan
hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengannya.
Ulama Hanafi mendefiniskannya dengan akad yang memfaedahkan halalnya melakukan
hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan selama
tidak ada halangan syara’.[20]
Perkawinan atau nikah adalah, akad yang
sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) yang dilakukan secara sadar oleh
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang
pelaksanaannya didasarkan atas kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.[21]
Oleh karena itu, perkawinan bukanlah ibadah dalam arti kewajiban, melainkan
hanya hubungan sosial kemanusiaan semata. Perkawinan akan bernilai ibadah, jika
diniatkan untuk mencari keridhaan Allah Swt.[22]
Allah berfirman dalam QS Ali Imran [3]:14:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga).”
Pernikahan adalah,
melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah
pihak, dengan dasar suka rela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan
suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman dengan cara yang diridhai oleh Allah.[23]
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS al-Nisa’ [5]:24:
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M, ahli hukum Islam
dari Universitas al-Azhar) berpendapat, bahwa nikah adalah akad yang menjadikan halalnya
hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong
menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan
kewajiban di antara keduanya menurut ketentuan syari’ (Allah Swt. dan Rasul-Nya).[24]
Islam menganjurkan pasangan suami istri untuk membina dengan langgeng suatu
rumah tangga melalui akad nikah yang sah. Terjalin
keharmonisan di antara suami istri dengan saling mengasihi
dan menyayangi, sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah
tangganya. Rumah tangga seperti inilah yang menjadi tujuan dalam Islam, yakni
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sebagaimana disyaratkan oleh
Allah Swt. dalam QS al-Rum [30]:21.
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir.”
Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh
Allah dalam ayat di atas, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga
yang ideal menurut Islam, yaitu sakinah (al-sakinah),
mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (al-rahmah). Ulama tafsir
menyatakan, bahwa al-sakinah adalah suasana
damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak
menjalankan perintah Allah Swt. dengan tekun, saling menghormati, dan saling
toleransi. Dari suasana al-sakinah tersebut akan muncul rasa saling
mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab
kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan, bahwa dari al-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul al-rahmah,
yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah Swt., sekaligus sebagai
pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka.[25]
Pasal 1 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[26]
menyatakan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Pasal 2 menyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sebagai perwujudan dari
Pasal 29 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan, bahwa negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.[27]
Unsur-unsur yang dibangun dalam perkawinan menurut Pasal
1 dan 2 UU No. 1 Tahun 1974 di
atas adalah: Pertama, ikatan
lahir batin, bahwa perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan tidak hanya merupakan suatu perjanjian menyangkut penyaluran
hasrat seksual secara sah semata, tetapi juga terkait hak dan kewajiban yang
harus saling terpenuhi, karena terkait asas tanggung jawab dan keadilan. Kedua,
perkawinan dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Artinya,
hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan beda jenis
kelamin, yaitu antara jenis kelamin laki-laki dengan jenis kelamin perempuan,
bukan perkawinan sesama jenis. Ketiga, membentuk keluarga bahagia dan
kekal ini adalah tujuan utama perkawinan. Karena itu, perkawinan harus
disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa
ada paksaan dari pihak manapun. Keempat, perkawinan sah apabila
didasarkan pada hukum agama yang dianut. Menurut Penjelasan UU No. 1 Tahun 1974
menyatakan, bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana
sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sepanjang tidak bertentangan
atau tidak ditemukan ketentuan lain dalam undang-undang ini.
Unsur-unsur dalam perkawinan di atas
dapat dipahami, bahwa begitu kuat dan kokohnya pengaruh ajaran agama
merasuk ke dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Menurut
R. Wirjono Prodjodikoro, bahwa begitu kuatnya pengaruh ajaran agama terhadap
perkawinan di Indonesia tersebut karena perkawinan dan kekeluargaan adalah
mengenai hubungan antara manusia yang paling mendekati pada unsur kerohaniaan
dan kepribadian, sedangkan keyakinan sebuah ajaran agama bersumber dari
kerohaniaan, adapun perjanjian-perjanjian dalam perdagangan dan sebagainya itu
semua bersumber dari kepribadian seseorang.[28]
M. Yahya Harahap memahami Pasal 1 dan 2 UU No. 1 Tahun
1974 di atas, bahwa tidak ada perkawinan yang dilakukan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Oleh karena itu, sah-tidaknya
suatu perkawinan semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan
mereka yang hendak melaksanakan perkawinan. Berarti, setiap perkawinan yang
dilakukan bertentangan dengan ketentuan hukum agama dengan sendirinya
perkawinannya belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan
perkawinan.[29] Oleh
karena itu, salah satu upaya unifikasi sistem peraturan perkawinan yang berlaku
di Indonesia melalui UU No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah menghindari terjadinya
konflik, baik konflik berdasarkan hukum adat antar suku karena perbedaan hukum
yang dianut maupun konflik hukum agama antar penganut agama yang berbeda.
Sehingga apabila seseorang laki-laki atau perempuan yang hendak menikah tetapi
berbeda agama atau kepercayaan, maka kedua mempelai diberi suatu kebebasan untuk
memilih agama atau kepercayaan yang hendak dianut atau diikuti.
Berdasarkan
pengertian perkawinan pada Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 di atas, maka perkawinan
di Indonesia bukan semata hubungan keperdataan saja (lahiriyah), sebagaimana dianut dalam konsepsi perkawinan menurut
KUHPerdata dan Ordonansi Perkawinan Kristen Bumiputera (Huwelijks
Ordonnantie Christen Inlanders), tetapi perkawinan juga mengandung unsur
kerohanian (bathiniyah). Hal ini sebagai konsekuensi logis sebagai negara yang
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan
erat dengan agama (kerohaniaan), sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
jasmani, tetapi unsur batin juga mempunyai peranan penting.[30]
Bagi masyarakat
Indonesia, perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sakral, mengandung unsur
perbuatan sosial, perbuatan hukum, dan sekaligus ibadat kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Untuk menampung pandangan masyarakat tersebut, maka
disusunlah undang-undang perkawinan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[31]
Hartono Mardjono mengatakan, bahwa pada
dasarnya Pasal 29 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 mengandung tiga makna,
yaitu: pertama, negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan
atau melakukan kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Esa; Kedua, negara berkewajiban membuat peraturan
perundang-undangan atau melakukan kebijakan bagi pelaksanaan wujud keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan ketiga, negara berkewajiban membuat
peraturan perundang-undangan yang melarang siapapun melakukan pelecehan
terhadap agama.[32]
Hazairin menjelaskan kata “beribadat
menurut agama dan kepercayaannya” pada Pasal 29 ayat (2) mengandung arti, bahwa
menjalankan syariat (hukum) agama. Artinya, negara berkewajiban menjalankan
syariat agama Islam sebagai hukum dunia untuk umat Islam, syariat agama Kristen
untuk umat Kristen, dan seterusnya sesuai dengan syariat agama yang dianut oleh
bangsa Indonesia.[33]
Sangat beralasan kalau dasar negara
Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut menjadi asas dalam undang-undang perkawinan di
Indonesia, sehingga ajaran agama dan kepercayaan bagi pemeluknya menjadi unsur
utama yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Artinya, bagi mereka
yang memeluk agama Islam ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum Islam, demikian pula
yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu serta aliran
kepercayaan, hukum agama dan kepercayaan merekalah yang menjadi dasar
pelaksanaan yang menentukan sah-tidaknya perkawinan. Oleh karena itu,
perkawinan yang tidak berasaskan agama dan kepercayaan dilarang, lalu bagaimana
dengan perkawinan antar agama atau lintas agama?
Masalah perkawinan beda agama atau
lintas agama pada dekade terakhir ini telah menjadi perkembangan pemikiran di
kalangan kaum intelektual (terutama dimotori oleh kalangan modernis-liberal).
Misalnya, pendapat yang menyatakan bahwa “perkawinan campuran” sebagai salah
satu masalah kompleks dalam isu perkawinan, bukan isu baru dalam khasanah hukum
di Indonesia. Dalam sejarahnya, perkawinan campuran yang berbeda berdasarkan
hukum agama, adat, maupun kewarganegaraan telah diatur secara khusus sejak
zaman kolonial hingga pasca kemerdekaan (sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun
1974), pengaturan kawin campur meliputi perkawinan dari dua belah pihak yang
berbeda agama, adat, maupun kewarganegaraan. Namun sejak diberlakukannya UU No.
1 Tahun 1974, definisi perkawinan campuran mengarah kepada orang yang akan
menikah karena perbedaan kewarganegaraan.[34]
Pasal 57 menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia. Hal ini terjadi karena: pertama, pengaturan perkawinan
campuran dari sejak zaman kolonial hingga undang-undang perkawinan
dilatarbelakangi oleh situasi politik dan kelompok kepentingan tertentu yang
sangat berperan dalam dinamika politik tersebut. Situasi hukum yang demikian
itulah yang kemudian memunculkan pengaturan yang berbeda antara aturan
perkawinan campuran dan UU No. 1 Tahun 1974; Kedua, pengaturan yang
berbeda pada zaman kolonial dan pengaturan melalui undang-undang perkawinan
memberikan dinamika yang berbeda pula dalam pelaksanaannya, meskipun ada
berbagai hal yang relatif sama.[35]
Proses lahirnya UU No. 1 Tahun 1974
merupakan hasil kompromi politik antara negara dengan agama, yang
mengindikasikan memberi kemenangan terhadap kelompok Islam, meskipun tetap
mengakomodasi kepentingan pemerintah. Tetapi bagi kelompok sekuler, hal ini
merupakan suatu kemunduran, sehingga yang terjadi adalah “penyelundupan hukum”
dalam masyarakat, yakni melakukan pemindahan agama hanya sebagai syarat untuk
sahnya perkawinan dan kemudian kembali ke ajaran agama masing-masing pihak.
Kalau hukum dipahami hanya sebagai hukum substantif, maka seringkali memiliki
jarak dengan realitas dalam pelaksanaannya, karena: pertama, hukum
sebagai produk politik tidak dapat mengakomodasi segala kepentingan yang ada; kedua,
kelompok mayoritas adalah mayoritas pikiran para pembentuk hukum, bukan nilai
kepentingan mayoritas yang sebenarnya; ketiga, hukumnya yang
mencerminkan kepentingan tertentu, dalam pelaksanaannya pun dipengaruhi dengan
cara pikir para pelaksana hukum yang juga memegang nilai mayoritas.[36]
Sejarah awal lahirnya UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang berawal dari Rancangan Undang-Undang tentang
Perkawinan yang disampaikan Presiden kepada pimpinan DPR-RI pada tanggal 31
Juli 1973. Menurut pemerintah, RUU tersebut dibuat dalam rangka menuju
unifikasi, uniformitas, dan homogenitas hukum yang merupakan pelaksanaan UUD
1945. Pada awalnya, RUU ini mendapat protes dari kalangan umat Islam karena
mengandung ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam. Salah satu
ketentuan yang kontroversial dalam RUU perkawinan adalah mengenai perkawinan
antara orang-orang yang berbeda agama, pertunangan, dan pembatasan perkawinan
(monogami), serta adanya upaya menjauhkan nilai-nilai ajaran agama.[37]
Namun pemerintah menanggapi melalui Menteri Agama (H.A. Mukti Ali) yang
menyatakan, bahwa pemerintah tidak bermaksud membentuk undang-undang perkawinan
yang melanggar nilai, cita, dan norma-norma agama, dan bahwa pemerintah tidak
berpikir untuk memaksakan kehendak tanpa peluang bagi perbaikan dan
penyempurnaan RUU yang diajukan oleh
DPR-RI.[38]
Meskipun pada akhirnya RUU perkawinan
disetujui setelah mengalami perbaikan dan penyempurnaan, pengajuan RUU yang
kontroversial tersebut memiliki makna tersendiri. Pengajuan RUU perkawinan yang
banyak memuat ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam dan mengandung
nilai-nilai yang bertentangan dengan kesadaran hukum umat Islam merupakan salah
satu contoh yang paling mengesankan dalam sejarah Orde Baru dalam menyingkirkan
hukum Islam. Kalau pun pada akhirnya hukum Islam dan aspirasi umat Islam bisa
diselamatkan, itu lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa umat Islam masih
memiliki daya juang, bahkan kesiapan memberontak demi mempertahankam
keyakinannya.[39]
M. Yahya Harahap mengatakan, bahwa dengan
diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974, selain sebagai upaya unifikasi hukum
perkawinan juga menghapuskan terjadinya konflik hukum antar lokal, antar suku,
dan antar hukum adat serta antar hukum agama. Artinya, jika terjadi perkawinan
antara dua calon suami istri yang berlainan agama dan kepercayaan, maka kedua
belah pihak yang akan mengikat perkawinan harus terlebih dahulu memilih agama
dan kepercayaan yang akan mereka peluk bersama-sama. Tanpa menentukan sikap
atas agama dan kepercayaan lebih dahulu, sesuai ketentuan Pasal 1 dan 2 di atas
tidak mungkin dapat dilakukan perkawinan. Sebab tidak mungkin sekaligus
dipergunakan dua ketentuan hukum agama dan kepercayaan. Karena bagaimana pun
sifat universalnya aturan agama, antara satu dengan yang lainnya sudah dapat
dipastikan terdapat perbedaan-perbedaan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata
cara, persyaratan, dan rukun yang melandasi upaya ibadah keagamaan dan
kepercayaan di antara agama-agama, sedangkan penentuan sah atau tidaknya
perkawinan ditentukan oleh agama dan kepercayaan masing-masing.[40]
Menarik pula dicermati teori receptio
incomplexu oleh LWC. van den Berg dan Salmon Keyzer bahwa receptio in
complexu oleh suatu bangsa Hindu dari hukum Hindu, oleh kaum Islam dari
hukum Islam, oleh kaum Kristen dari hukum Kristen. Selama bukan sebaliknya
dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika
memeluk suatu agama, harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia.[41]
Namun teori tersebut kemudian dibantah oleh C. Snouck Hurgronje melalui teori receptie
yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum adat. Teori resepsi ini kemudian mendapatkan tantangan kuat dari
para pemimpin Islam dengan munculnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945
yang ketentuannya dijabarkan dalam UUD 1945, dalam aturan peralihan menyatakan,
bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan
UUD 1945. Karena itu, menurut Hazairin bahwa seluruh peraturan pemerintahan
Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena
jiwanya bertentangan dengan UUD 1945 dan harus keluar (teori receptie exit)
karena bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul.[42]
Teori tersebut kemudian diperkuat dengan munculnya teori receptie a contrario
oleh Sajuti Thalib, bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan
dengan hukum Islam.[43]
Perkembangan wawasan kenegaraan yang
mengakui eksistensi hukum Islam dan hukum nasional, maka lahir pula teori eksistensi,
yang menyatakan bahwa keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional menjadi
suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya, bahkan merupakan
bahan utama hukum nasional.[44]
Menanggapi tentang teori eksistensi tersebut, maka Muchsin berpendapat
bahwa tetap eksisnya hukum Islam di Indonesia sampai saat ini bahkan semakin
kokoh, karena menganut teori eksistensi komprehensif, yaitu keberadaan
hukum Islam memiliki kekuatan sendiri yang wujudnya bisa dilakukan dengan
legislasi, yurisprudensi (hakim), dan kesadaran hukum masyarakat.[45]
Sekalipun teori receptie di atas
mendapatkan tantangan keras dari berbagai elemen masyarakat, namun dalam
kenyataan yuridisnya masih saja mempengaruhi pembentuk peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Buktinya, hukum perkawinan yang telah
dikodifikasi dan diunifikasi melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu
tidak luput dari proses politisasi. Penjelasan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pada Penjelasan Umum angka 2a menyatakan, bahwa “bagi orang-orang
Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresiplir
dalam hukum adat.”[46]
Sudarsono mengatakan, bahwa hukum Islam
yang dimaksud dalam Penjelasan Umum 2a adalah hukum Islam yang berlaku sebelum UU
No. 1 Tahun 1974, yaitu hukum Islam yang dibatasi oleh ajaran resepsi, sedangkan
hukum Islam yang dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 adalah hukum Islam
menurut Pasal 29 UUD 1945, yang memuat kewajiban negara RI untuk menjalankan
hukum setiap agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kecuali unsur-unsur
hukum agama yang bertentangan dengan Pancasila. Karena itu, teori resepsi baik
sebagai teori maupun sebagai ketetapan dalam Pasal 134 ayat (2) Indische
Staatregeling sebagai konstitusi Hindia Belanda sudah terhapus dengan
berlakunya UUD 1945.[47]
Hazairin berpendapat, bahwa Undang-Undang
Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) adalah unifikasi yang unik, yang menghormati
secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berketuhanan
Yang Maha Esa.[48] Dari
kuatnya kedudukan hukum agama dalam hukum perkawinan, Mahadi menyatakan, bahwa
penelitian terhadap undang-undang perkawinan membawa kita kepada pendapat bahwa
sejak berlakunya undang-undang ini sampailah ajal teori resepsi, seperti yang
telah diajarkan di zaman Hindia Belanda. Apabila dulu diteorikan bahwa hukum
Islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu
hukum Islam telah nyata-nyata diresepsi oleh dan dalam hukum adat, maka dengan
misalnya Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum agama, maka jelas hukum Islam telah … menjadi sumber
hukum.[49]
Berdasarkan uraian di atas, maka menurut
peneliti, pengaturan sistem perkawinan di Indonesia tidak menutup jalan bagi
perkembangan pemikiran dan realitas sosial yang ada, selama itu tidak
bertentangan dengan ajaran agama, asas dasar, dan kaidah hukum yang berlaku.
Maka selama itu pula dapat diakomodasi sebagai bagian dari realitas sosial,
yang kemudian dapat dijadikan sebagai hukum yang hidup (living law)
dalam masyarakat.
b.
Peminangan
Sebelum melangsungkan
suatu perkawinan, terlebih dahulu diadakan acara “peminangan”, “pertunangan”
atau “lamaran”, yaitu bersepakat (biasanya diumumkan secara resmi atau
dinyatakan di hadapan orang banyak) akan menjadi suami istri atau meminta
seorang perempuan untuk dijadikan istri.[50] Ketentuan “peminangan” ini berlaku dalam hukum
perkawinan adat di Indonesia, yang hingga kini masih terus terjadi tanpa
membedakan tingkat sosialnya.
Awalnya, peristiwa
peminangan alam hukum adat di Indonesia dilakukan dengan menghidangkan sirih
kemudian mengajak pihak lain mengadakan perkawinan. Dalam acara peminangan ini
dijalankan oleh seorang utusan atau wakil, biasanya menggunakan banyak
pribahasa untuk menyatakan maksud kedatangan dan kehendaknya itu.[51] Peminangan ini mengakibatkan adanya pertunangan, yaitu
persetujuan antara kedua belah pihak, di mana mereka satu sama lain berjanji
untuk mengadakan perkawinan.[52] Sebagai tanda pertunangan tersebut, maka pihak laki-laki
atau perempuan atau masing-masing pihak memberikan barang atau uang sebagai
bukti kuat yang mengikat adanya persetujuan itu. Tetapi pengikat tersebut bukan
harga mati bagi pihak perempuan, sehingga mau tidak mau wajib melangsungkan
atau menerima perkawinan itu. Jadi paksaan untuk kawin tidak ada akibat
pertunangan itu.[53]
Istilah tanda
pertunangan itu berbeda-beda di setiap daerah, misalnya, di Aceh disebut tanda
kong narit, yaitu tanda bahwa perjanjian telah mengikat; Nias menyebutnya bobo
mibu, yaitu pengikat rambut; di Sulawesi Selatan disebut passikkoq,
berasal dari kata sikkoq artinya mengikat; di Halmahera disebut tapu,
artinya jangkar. Biasanya dalam pertunangan ini pula ditentukan pembayaran
[biaya] perkawinan dan dibuat perjanjian mengenai pembayaran denda pelanggaran
apabila pertunangan dibatalkan.[54]
Di Inggris, masalah
pertunangan berada di bawah naungan common law. Walaupun sifatnya yang
sangat “… personal and non-commercial nature …” serta mempunyai
sifat-sifat yang khas jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk perjanjian yang
lain, pertunangan atau perjanjian untuk kawin ini juga merupakan perbuatan
hukum di bawah prinsip-prinsip umum hukum kontrak. Akibatnya, jika salah satu
pihak memutuskan perjanjian tersebut tanpa persetujuan pihak yang lain, maka
pihak yang merasa dirugikan dapat menuntutnya di hadapan mahkamah.[55]
Masyarakat Indonesia yang masih kental
tradisinya, memandang bahwa peminangan ini sebagai langkah awal yang sangat
menentukan perkawinan itu dapat dilangsungkan atau tidak. Acara peminangan ini
biasanya dilakukan secara khusus, di mana pihak keluarga atau perwakilan calon
mempelai laki-laki datang ke tempat pihak keluarga calon mempelai perempuan
mengutarakan maksud kedatangannya untuk meminang anak perempuan mereka. Pada
saat tunangan ini biasanya dihadiri oleh seluruh keluarga pihak perempuan,
terutama pihak garis keturunan ayah. Namun dalam masyarakat perkotaan atau
modern, acara lamaran ini hanya merupakan seremonial saja, yang diadakan baik
jauh sebelum acara perkawinan maupun pada saat sebelum perkawinan itu dimulai.
Ketika lamaran tersebut ditolak oleh pihak
keluarga perempuan karena adanya pertimbangan lain, padahal secara pribadi
pihak laki-laki dan perempuan saling mencintai, maka seringkali terjadi “kawin
lari” (wegloop atau schaakhuwelijk), yaitu suatu perkawinan yang
diselenggarakan secara bersama-sama dan bersepakat melarikan diri atau
mengambil pergi seorang gadis oleh seorang laki-laki dengan maksud kemudian
hidup selaku suami istri.[56]
Atau perkawinan lari bersama atau sama-sama melarikan diri (wegloophuwelijk
of vluchthuwelijk).[57]
Apabila pertunangan tersebut diterima
oleh pihak perempuan, maka ini merupakan bukti awal adanya kesepakatan kedua
belah pihak untuk melangsungkan suatu perkawinan. Ketentuan hukum peminangan
dan pertunangan ini tidak diatur secara jelas dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pasal 6 ayat (1) hanya mengatur bahwa perkawinan didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai. Maksudnya, oleh karena perkawinan mempunyai
maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia,
dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh
kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan
dari pihak manapun.[58]
Padahal bentuk perkawinan dengan cara peminangan (pelamaran) masih hidup dan
berkembang dalam struktur masyarakat hukum adat Indonesia.[59]
Istilah “peminangan” dikenal dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI),[60]
Pasal 1 menyatakan bahwa peminangan adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Selain itu,
ditentukan pula bahwa peminangan dapat dilakukan sendiri atau melalui pihak
perantara terhadap wanita yang masih perawan atau janda, wanita yang telah
habis masa iddah akibat talak raj’i. Namun peminangan tersebut belum
menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan
dengan cara yang baik sesuai dengan ketentuan agama dan kebiasaan setempat,
sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai (Pasal 11-13).
Istilah peminangan tersebut, dalam hukum
Islam dibahas secara khusus dalam bab al-khitbah, yaitu suatu langkah
pendahuluan untuk melangsungkan suatu perkawinan. Ulama fiqih mendefinisikan
dengan menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk
mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita pertunangan itu. Adapun
tata cara peminangan menurut Sayyid Sabiq dikembalikan kepada urf
(kebiasaan) masing-masing masyarakat. Sedangkan hukum peminangan, ulama fiqih
sepakat adalah mubah (boleh), selama tidak ada larangan syara’ untuk
meminang wanita tersebut, seperti wanita yang sudah dipinang atau sudah menjadi
istri orang lain.[61]
Masalah peminangan ini pada dasarnya
merupakan tradisi sebelum seorang mempelai melangkah pada pernikahan, karena
itu kedudukannya merupakan hal yang penting agar dapat memahami kondisi keluarga
masing-masing pihak, baik sisi kepribadian masing-masing calon mempelai, maupun
sisi kesepakatan antara dua keluarga sebelum menyatu menjadi sebuah kesatuan
keluarga besar. Selain itu, karena tujuan perkawinan adalah suci dan langgeng
sehingga hanya usia yang dapat memisahkan mereka, sebagai wujud dari keluarga
yang damai, tentram, dan sejahtera.
c.
Rukun dan Syarat
Perkawinan
d.
Usia Perkawinan
e.
Pencatatan Perkawinan
f.
Hak dan Kedudukan Suami
Istri
B.
Bentuk-Bentuk
Perkawinan
C.
Pencegahan, Pembatalan,
dan Sebab Putusnya Perkawinan
a.
Pencegahan
dan Pembatalan Perkawinan
b.
Sebab-Sebab Putusnya
Perkawinan
D.
Perkawinan yang
Dilarang
E.
Perjanjian
Perkawinan
a.
Pengertian Perjanjian
Perkawinan
b.
Bentuk dan Isi
Perjanjian Perkawinan
c.
Kekuatan Hukum
Perjanjian Perkawinan
F.
Mediasi terhadap
Perselisihan dalam Perkawinan
BAB III : HUKUM PIDANA DALAM HUKUM PERKAWINAN DI
INDONESIA
A.
Pengertian Hukum Pidana
B.
Macam-Macam Hukum Pidana
C.
Aspek Hukum Pidana dalam Hukum Perkawinan di Indonesia
1.
Tindak Pidana dalam Perkawinan Menurut KUH Pidana
Adami Chazawi mengatakan, bahwa semua tindak pidana
kesopanan dalam hal persetubuhan pada KUH Pidana termasuk jenis kejahatan.
Kejahatan dimaksud dimuat dalam 5 pasal: Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285
(perkosaan bersetubuh), Pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan istrinya
yang dalam keadaan pingsan), Pasal 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum
berumur 15 tahun yang bukan isterinya), dan Pasal 288 (bersetubuh dalam
perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan luka
atau kematian.[62]
Pasal 284 KUHP ayat (1) menyatakan, bahwa diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: (a) seorang pria yang
telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui
bahwa Pasal 27 BW[63] berlaku
baginya; (b) seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak,
padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya; (c) seorang pria
yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut
bersalah telah kawin; dan (d) seorang wanita yang telah kawin yang turut serta
melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah
telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya. Kemudian ayat (2) menyatakan,
bahwa tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang
tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang waktu
tiga bulan diikuti olehnya dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan
ranjang karena alasan itu juga. Ayat (3), bahwa terhadap
pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73, dan 75. Ayat (4) pengaduan dapat ditarik kembali
selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. Ayat (5) jika bagi suami istri berlaku
Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan
karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat
tidur menjadi tetap.
Pasal 285 KUHP berbunyi, bahwa barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
Pasal 286 KUHP menyatakan,
bahwa barangsiapa bersetubuh dengan
seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
Pasal 287 KUHP mengatur
bahwa, (1) barangsiapa
bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau
umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun; (2) penuntutan hanya dilakukan atas
pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika
salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.
Pasal 288 KUHP berbunyi: (1) barangsiapa dalam
perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun. (2) jika
perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun. (3) jika mengakibatkan mati,
dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 285 KUHP berbunyi, barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
2.
Tindak Pidana dalam Perkawinan Menurut UU No. 22 Tahun 1946 juncto
UU No. 32 Tahun 1954
3.
Tindak Pidana dalam Perkawinan Menurut PP No. 9 Tahun 1975
D.
Penerapan Hukum Pidana Atas Hukum Perkawinan di Indonesia
BAB IV : ANALISIS PENERAPAN HUKUM PIDANA DALAM SISTEM
PERKAWINAN DI INDONESIA KAITANNYA DENGAN UU NO. 22 TAHUN 1946 TENTANG
PENCATATAN NIKAH, TALAK, DAN RUJUK
A.
Bentuk Hukum Pidana dalam UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk
B.
Penerapan Hukum Pidana terhadap UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk dalam Sistem Perkawinan di Indonesia
C.
Akibat Hukum terhadap Pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dalam Sistem Perkawinan di Indonesia
BAB V : PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
[1]Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019.
[2]Secara hirarkhi, dalam susunan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, PP berada di bawah UU. Pasal 7
ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan[2] menyatakan,
bahwa jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas: (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c)
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan
Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g)
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ayat (2) menyatakan, bahwa kekuatan hukum
Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
[3]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum, Jakarta; Kencana Prenada Group, Cet. III, 2007, hlm. 35.
[4]Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri
Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta; Gajah Mada Universitas Press,
Cet. I, 2005, hlm. 38-39. Lihat juga, Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum
… Op.Cit., hlm. 96-102. Dalam metode pendekatan perundang-undangan,
peneliti perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam perundang-undangan. Selain
itu, dalam pendekatan perundang-undangan peneliti bukan saja melihat kepada
bentuk peraturan perundang-undangan saja, melainkan juga menelaah materi
muatannya, yakni mempelajari dasar ontologisnya, lahirnya undang-undang,
landasan filosofisnya.
[5]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum … Ibid., hlm. 137. Dalam membangun konsep bukan hanya melamun
dan mencari-cari dalam khayalan, melainkan pertama kali harus beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.
[6]Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri
Djatmiati, Op.Cit., hlm. 1-3. Lihat juga, Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum … Op.Cit., hlm. 96 dan 119.
[7]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum … Ibid., hlm. 126.
[8]Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1985, hlm. 88.
[9]Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, Ibid., hlm. 13. Lihat, Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, Jakarta; UI-Press, Cet. III, 1986, hlm. 52 dan Enid
Campbell, Legal Research, Materials, and Methods, Sydney; The Law Book
Co. Ltd., 1988, hlm. 8.
[11]Metode
kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang
dinyatakan oleh narasumber/informan secara tertulis atau lisan, dan juga
perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum ... Op.Cit., hlm. 250.
[12]Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga.
Jakarta; Balai Pustaka, Cet. III, 2003, hlm. 518.
[14]Ahmad Warson Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Yogyakarta, 1984, hlm. 1560.
[16]Ali Yusuf al-Subky, Nizhaam
al-Usrah fi al-Islam. Mesir; Maktabah al-Azhar, 1990. Penerjemah:
Fathurrahman, Membangun Surga dalam Keluarga. Jakarta; Senayan Abadi
Publishing, 2005, hlm. 1-2.
[17]Abdul Aziz Dahlan, et.all., Ensiklopedi
Hukum Islam, Jilid IV, Jakarta; Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. I, 1996, hlm.
1329.
[18]Mr. B. The Haar BZN, Beginselen
En Stelsel van Het Adatrecht … Op.Cit., hlm. 158.
[19]Titik Triwulan Tutik, Hukum
Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta; Kencana Prenada Media Group,
Cet. I, 2008, hlm. 106.
[20]Abdul Aziz Dahlan, et.all., Ensiklopedi
… Op.Cit, Jilid IV, hlm. 1329.
[21]Masalah nikah dalam hukum Islam
dibahas secara terkhusus dalam kitab “Fiqh al-Munakahat”, yaitu
seperangkat ilmu yang mengatur hal ihwal berkenaan dengan perkawinan yang
berlaku untuk seluruh umat yang beragama Islam berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah
Nabi Muhammad Saw., dan pendapat para fuqaha.
[22]Hal ini senada dengan pendapat
Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa nikah itu bukanlah ibadah melainkan suatu
kebutuhan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar dan seksualnya. Lihat
Ibnu ‘Abidin (w. 1252 H/1836 M), Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala al-Darr
al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Abshar, Mesir: Isa al-Baby al-Halaby, 1974, hlm.
284. Sebagaimana dikutip oleh Mukhtar Alshodiq, dkk. Membangun Keluarga
Humanis, Jakarta: Grahacipta, Cet. I, 2005, hlm. 24.
[23]Ahmad Azhar Basyir dalam Ahmad
Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, Jakarta: RajaGrafindo, 1995, hlm. 8.
[24]Abdul Aziz Dahlan, et.all., Ensiklopedi…
Op.Cit., Jilid IV, hlm. 1329.
[25]Al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam
Al-Qur’an, Jilid XIV, t.t., 1387, hlm. 16-17.
[26]Lembaran Negara RI Tahun 1974
Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3019 Tahun 1974.
[27]Tim Dahara Prize, Undang-Undang
Dasar 1945 Disertai Amandemen 1,2,3, dan 4, Semarang; Dahara Prize, Cet. I,
2009, hlm. 48.
[28]R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Perkawinan di Indonesia, Bandung; Sumur Bandung, Cet. IX, 1991, hlm.
20.
[29]M. Yahya Harahap, Hukum
Perkawinan Nasional Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, Medan, CV. Zahir Trading Co.
Medan, 1975, Cet. I, hlm. 13.
[30]Titik Triwulan Tutik, Hukum
Perdata … Op.Cit., hlm. 106.
[31]Hazairin, Tinjauan Mengenai UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Jakarta; Tintamas Indonesia, 1988, hlm 1.
Dalam, Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan,
Jakarta; Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2001, hlm. 28.
[32]Hartono Mardjono, Menegakkan
Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan, Jakarta; Mizan, Cet. I, 1997, hlm.
28.
[33]Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta; Yarsi, Cet. I, 1998, hlm. 77-78. Sebagaimana pula
dikutip oleh A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dalam
Konteks Penerapan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; Focus Grahamedia, Cet.
I, 2007, hlm. 211.
[34]Sri Wiyanti Eddyono, “Perkawinan
Campuran Antar Agama: hukum kolonial dan kekinian”. Dalam, Maria Ulfah Anshor,
dkk. (ed.), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: perspektif perempuan dan
pluralisme, Jakarta; KAPAL Perempuan, Cet. I, 2004, hlm. 92.
[37]Jazuni,
Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung; PT. Citra Aditya Bakti,
Cet. I, 2005, hlm. 359-370.
[40]M. Yahya Harahap, Hukum
Perkawinan Nasional … Op.Cit., hlm. 14.
[41]I Gede AB. Wiranata, Hukum
Adat Indonesia: perkembangan dari masa ke masa, Bandung; Citra Aditya
Bakti, Cet. I, 2005, hlm. 273.
[42]Muchsin, Masa Depan Hukum
Islam di Indonesia, Surabaya: Untag Press, Cet. I, 2010, hlm. 39.
[46]Penjelasan Atas UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pada Penjelasan Umum angka 2 poin a menyatakan bahwa
“bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang
telah diresipiir dalam Hukum Adat.”
[47]Sudarsono, Hukum Perkawinan
Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. III, 2005, hlm. 13.
[48]Jazuni,
Legislasi … Op.Cit., hlm. 375. Dalam, Hazairin, Tinjauan Mengenai
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1-1974, Jakarta; Tintamas, Cet. II, 1986,
hlm. 1.
[49]Ibid.,
hlm. 375. Dalam. Abdurrahman Wahid et.al., Kontroversi Pemikiran Islam di
Indonesia, Bandung; Remaja Rosdakarya, Cet. II, 1993, hlm. 251.
[50]Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Edisi Ketiga),
Jakarta; Balai Pustaka, Cet. III, 2003, hlm. 1223, 875, dan 629.
[51]Mr. B. Ter Haar Bzn, Beginselen
en Stelsel van Het Adatrecht … Op.Cit., hlm. 159.
[53]R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Perkawinan … Op.Cit., hlm. 31-32.
[54]Mr. B. Ter Haar Bzn, Beginselen
en Stelsel van Het Adatrecht … Op.Cit., hlm. 160.
[55]Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan
dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung; Remaja Rosdakarya
Offset, Cet. I, 1991, hlm. 33.
[56]R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Perkawinan … Op.Cit., hlm. 32.
[57]Mr. B. Ter Haar Bzn, Beginselen
en Stelsel van Het Adatrecht … Op.Cit., hlm. 163.
[58]Penjelasan Pasal 6 poin (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[59]I Gede AB. Wiranata, Hukum
Adat Indonesia: perkembangan dari masa ke masa, Bandung; Citra Aditya
Bakti, Cet. I, 2005, hlm. 277.
[60]Instruksi Presiden (Inpres) No. 1
Tahun 1991.
[61]Ulama fiqih menganjurkan agar
wanita yang akan dijadikan istri mempunyai ciri dan sifat, yaitu: wanita yang
istiqamah; bisa melahirkan anak; seorang gadis; taat pada agamanya; dari
keturunan yang baik; cantik; sebaiknya dari keluarga jauh yang tidak memiliki
hubungan kekerabatan sama sekali; dan sebaliknya beristri tidak lebih dari satu
orang karena sulitnya berlaku adil. Lihat lebih lanjut, Abdul Aziz Dahlan,
et.all., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III, Jakarta; Ichtiar Baru van
Hoeve, Cet. I, 1996, hlm. 928.
[62]Adami
Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, (Jakarta: Rajawali Pers,
2007), Edisi I, 2, hlm. 55.
[63]Pasal 27
BW berbunyi “Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat
perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan
satu orang lelaki saja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar