Selasa, 29 April 2014

BLUSUKAN: MANAJEMEN MODERN PEMERINTAHAN JOKOWI-JK
Oleh: Mukhtar Alshodiq*[1]

Istilah “blusukan” berasal dari bahasa Jawa, dari kata “blusuk, mblusuk” artinya “masuk ke”.[2] Karena itu, kata “blusukan” bukan berasal dari bahasa Indonesia, sekalipun saat ini sudah sangat popular di seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk digunakan oleh para pewarta mancanegara.
Kata “blusukan” ini mulai memasyarakat dalam berbagai perbincangan sejak Joko Widodo (mantan Walikota Solo) menjadi Gubernur DKI Jakarta, sekalipun istilah ini bukan Jokowi (panggilan akrab) yang pertama menggunakannya. Namun istilah “blusukan” sudah identik dengan Jokowi yang sejak awal kepemimpinannya selalu ke mana-mana dan datang tiba-tiba di suatu tempat tanpa pemberitahuan sebelumnya serta turun langsung memantau kondisi riil masyarakat yang sesungguhnya tanpa penjemputan dan tanpa acara resmi, sebagaimana yang dipraktikkan oleh pejabat negara yang lainnya selama ini.
Kedatangan Jokowi secara tiba-tiba di suatu tempat, bukan sekadar datang memantau dan mendengarkan rintihan masyarakatnya, khususnya yang selama ini dipraktikkan di wilayah DKI Jakarta sebagai Gubernur, tetapi benar-benar memberikan bukti nyata dan solusi, yakni adanya tindakan “problem solving” saat itu dan di tempat itu, baik dalam skala jangka pendek maupun prioritas jangka panjang. Misalnya, datang di wilayah padat penduduk dan kumuh, Jokowi memantau kondisi masyarakat dan membuat serta mengeksekusi sistem penataan wilayah perumahan berbasis modern tanpa penggusuran, sehingga lahir model rumah deret, seperti di wilayah Tanah Tinggi-Jakarta Pusat.
Jokowi tidak turun begitu saja dengan tangan kosong, tetapi selalu mempersiapkan kebutuhan mendesak bagi warganya, seperti tas, buku, pensil, pulpen bagi anak sekolah serta kebutuhan sembako bagi masyarakat umumnya. Tindakan Jokowi seperti ini bukan satu kali atau dua kali saja dilakukan, tetapi setiap saat, sehingga sangat sulit dikatakan, bahwa itu sebuah pencitraan atau kampanye terselubung untuk menguatkan basis keterpilihannya. Melainkan terlahir dari sentuhan hati kemudian diwujudnyatakan dalam tindak riil. Cara gerak Jokowi inilah yang dibutuhkan rakyat Indonesia saat ini, ada dan hadirnya pemerintah yang begitu perhatian dengan kondisi objektif warganya, tanpa harus menunggu jeritan rakyatnya.
Istilah “blusukan” ala Jokowi ini sudah memasyarakat dan membumi dari ujung pulau Aceh hingga ke tanah Papua. Bahasa tersebut seakan mengandung makna “ndeso, kampungan”, tapi saat Jokowi mempopulerkan, itu mengetarkan seluruh urat nadi para Pejabat Negara, menjadi ikon “gerakan kepedulian pemimpin nasional” turun ke rakyat. Ramai-ramai pejabat negara ingin ikut menirunya, tapi susah dipraktikkan, karena mereka turun tapi dilatari oleh kepura-puraan dan pencitraan. Kata “blusukan” itu pula masuk dalam percakapan para politis, seakan kata “blusukan” naik kasta dan tahta, dari kampong/ndeso ke nasional bahkan menjadi ikon para pewarta di kancah internasional.
Blusukan merupakan leadership style, tidak bisa langsung dibentuk dan dipraktikkan begitu saja oleh seorang pejabat, tetapi terbentuk dari jiwa dan kepribadian seorang pemimpin atau pejabat yang memiliki karakter kebangsaan dan cinta tanah air. Misalnya, style kepemimpinan Presiden Amerika Serikat George W. Bush yang dicitrakan suka peperangan atau invasi, sangat berbeda dengan tampilan Barack Hussein Obama yang lebih humanis dan mendahulukan dialog, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dengan tampilan kesederhanaan, kebersahajaan, tetapi tegas dan teguh memegang prinsip kenegaraannya, sangat berbeda dengan Hassan Rouhani yang dicitrakan suka kemewahan, sedikit melebur dalam tekanan, demikian pula Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno yang begitu tegas dan revolusioner terutama bagi negara-negara barat, akan sangat berbeda dengan Soeharto yang berbaur dengan negara-negara barat, dan sebagainya.
Jokowi dengan style blusukannya tidak bisa diikuti oleh pejabat lainnya, kecuali kalau karakter tersebut lahir dari dalam dirinya sebagai jati diri yang sesungguhnya. Kondisi ini dituturkan oleh TB. Hasanuddin ketika mengikuti Jokowi saat kampanye Pilkada Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, TB. Hasanuddin bersama Jokowi yang berada di wilayah Pulo Gadung ingin menyantap makanan di pinggir jalan. Mantan Wakil Ketua Komisi I DPR itu mengaku ingin meniru sosok Jokowi dengan mengenakan kaos biasa serta sendal. Namun, dia malah mendapatkan penilaian berbeda saat makan di sebuah Warung Tegal (Warteg). "Warteg lebih respek kepada Jokowi. Mereka bilang Bapak (TB. Hasanuddin) tidak pantas karena kulitnya halus, tongkrongannya bos". TB. Hasanuddin kemudian memperhatikan cara Jokowi bersikap. Dia mengaku tidak bisa mengikuti mantan Walikota Solo itu. "Dari cara ngomong, duduk, menarik kursi. Saya pelajari mati-matian, enggak kena! Jokowi pantas makan di emper, (pakai) kaos seperti itu". Menurut TB. Hasanuddin, penerimaan warga terhadap Jokowi sebagai bentuk, bahwa publik menginginkan pemimpin apa adanya. "Jokowi kalau mau jujur bicaranya tidak dipahami elit tapi nyambung ke bawah".[3]
Gerakan Jokowi dengan “blusukan” itu membawa dampak perubahan yang begitu cepat, terutama dalam menangani masalah yang dihadapi masyarakat serta problem yang sesungguhnya di lapangan secara langsung dapat diketahui dan ditangani. Sehingga tercipta suatu tindakan prioritas berjangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Selain itu, “blusukan” juga sebagai alat kontrol yang efektif pada kinerja aparat dan pegawai di pemerintahan yang ada di bawah, sehingga menjadi efek jera bagi para aparat dan pegawai yang malas dan seenaknya saja dalam melayani dan mengurus kepentingan masyarakat. Lihat saja ketika Jokowi melakukan sidak mulai dari kantor kelurahan, kecamatan, hingga walikota begitu banyaknya problem yang ditemukan, seperti aparat terlambat datang, tidak tepat waktu, sistem pelayanan, pegawai berlibur di hari kerja secara beramai-ramai, dan sebagainya. Dalam kondisi demikian, Jokowi mengambil tindakan tegas, tidak ada pamrih, langsung melakukan pemecatan tanpa basa basi dan tawar menawar.
Hal yang lebih mencengangkan lagi, saat Jokowi melantik para Walikota dan Wakil Walikota di tengah kampung, di ruang terbuka yang hanya dinaungi oleh tenda, kadang di dekat TPS (Tempat Pembuangan Sampah) serta disaksikan langsung oleh masyarakat setempat, bukan di Balai Kota atau ruangan berAC dan mewah serta dijaga dengan ketatnya oleh para aparat. Tindakan Jokowi ini memberikan pembelajaran yang begitu riil kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama para pejabat, bahwa menjadi pejabat bukan tempatnya bermewah-mewahan dan bukan tahta maha raja yang harus dilayani, tetapi jabatan adalah amanah yang harus dijalankan dengan baik dan benar, harus melayani masyarakat bukan dilayani. Tindakan Jokowi yang begitu mengambil perhatian publik lainnya, ketika lelang jabatan Camat dan Lurah serta Kepala Sekolah di DKI Jakarta, sekalipun awalnya banyak ditentang, baik di kalangan aparatur sendiri maupun masyarakat lainnya, tetapi sukses dilakukan dan mendapatkan hasil yang mumpuni, karena bukan hasil “tunjuk” dan “lobby-lobby” kepentingan, tetapi lahir dari hasil penilaian integritas, kapasitas, kapabilitas, dan eksebilitas para calon dari berbagai lapisan masyarakat.
Gerakan “blusukan” ini jauh dari unsur “pencitraan”, apalagi pembohongan publik, karena sangat riil dan jelas wujudnya serta langsung dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, tanpa ada embel-embel kepentingan politik semata. Langkah “blusukan” ini langsung memberikan solusi atau jalan keluar bagi masalah yang dihadapi di lapangan, karena pengambil kebijakan dan keputusan langsung melihat dan merasakan, sehingga memudahkan untuk bertindak. Oleh karena itu, sistem blusukan memotong mata rantai jalur birokrasi yang panjang, lama, dan berbelit-belit. Lebih penting lagi, langkah pungutan liar (pungli) dan pemotongan bantuan kepada masyarakat seminimal mungkin dapat terhindarkan, yang selama ini terjadi di setiap adanya penyaluran bantuan bagi masyarakat yang membutuhkan, ramai-ramai orang berpartisipasi seakan datang membantu bagai sang tokoh perih, tetapi ujung-ujungnya penyunatan atau penggelapan bantuan social terjadi di mana-mana.
Gerakan “blusukan” ini merupakan terapan yang dikenal dalam ilmu manajemen, yaitu: planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (pelaksanaan), dan controlling (pengontrolan). Oleh karena itu, blusukan memberikan manfaat sebagai berikut:
1.   Dengan blusukan, seorang pejabat dapat memahami keadaan yang sesungguhnya, sehingga pembuatan perencanaan tepat sasaran, tidak melenceng dari kepentingan masyarakat yang sesungguhnya.
2.   Dengan blusukan, seorang pejabat dapat mengorganisir masalah secara langsung serta lebih efektif dan efisien, dengan mendengarkan masukan dan keinginan atau kebutuhan rakyat.
3.   Dengan blusukan, seorang pejabat dapat menentukan langkah dan arah kebijakan pelaksanaannya, baik dalam skala jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek.
4.   Yang lebih penting lain, dengan blusukan seorang pejabat dapat secara langsung melakukan pengawasan dan pengevaluasian atas masalah-masalah yang dihadapi di lapangan tanpa harus menunggu laporan dari bawahan yang memakan waktu lama dan berbelit-belit.
Gerakan blusukan ini membuktikan, bahwa seorang pemimpin dekat dan peduli dengan rakyatnya. Sebuah contoh telah dipraktikkan pada zaman Umar bin Khathab ra. Pada suatu masa dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun Abu. Masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tidak lagi turun. Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah tempat berpijak hampir menghitam seperti abu. Putus asa mendera di mana-mana. Saat itu, Umar sang pemimpin menampilkan kepribadian yang sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya secara saksama. Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari, dia menginstruksikan aparatnya menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat. Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu, kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tanganku ini.”
Umar menabukan makan, daging, minyak samin, dan susu untuk perutnya sendiri. Bukan apa-apa, dia khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Dia, si pemberani itu, hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya dia berkat,a “Kurangilah panas minyak itu dengan api”. Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”
Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, dia masuk keluar kampung. Ini dia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya. Malam itu pun, bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin Khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan pertolongan mendesak. Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.
Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.
Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab "Wa'alaikum salam." Tapi setelah itu, dia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
Umar berkata “Bolehkah aku mendekat?”
Ibu itu berkata “Apabila untuk tujuan baik maka tidak mengapa, apabila tidak maka menjauhlah.”
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”
Umar berkata “Mengapa mereka menangis?”
Ibu itu berkata: “Kami di sini karena cuaca sangat dingin dan kelaparan.”
Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.
Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, “Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”
Ibu itu menoleh dan menjawab, “Silahkan kau lihat sendiri!”
Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Buat apa?” sanggah Umar
Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rezeki. Namun ternyata tidak. Sesudah Maghrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan dia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar dia bangun dan menangis minta makan.”
Ibu itu diam sejenak. Kemudian dia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Dia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Umar sempat mencegah. Umar berkata “Bagaimana mungkin dia bertanggung jawab atas urusan kita tapi malah menelantarkan kita? Dia adalah pemimpin kita, dia bertanggung jawab atas urusan kita, seharusnya dia tahu.”
Dengan air mata berlinang Umar bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu. Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saja yang memikul karung itu.”
Dengan wajah merah padam, Umar menjawab, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?” Aslam tertunduk. Dia masih berdiri mematung, ketika terseok-seok Khalifah Umar bin Khattab berjuang memikul karung gandum menuju ke tempat wanita dan anak-anaknya yang sedang kelaparan. Ketika sampai di tempat wanita tersebut kemudian khalifah Umar meletakkan karung berisi gandum dan beberapa liter minyak samin ke tanah, kemudian memasaknya.
Aslam yang meriwayatkan kisah ini berkata "Aku melihat Umar bin Khatab membungkuk untuk meniup api di bawah pancinya, dan aku melihat asap menerpa jenggotnya.” Tatkala gandum tersebut sudah masak Khalifah Umar meminta sang ibu membangunkan anaknya.
“Bangunkanlah anakmu untuk makan.”
Anak yang kelaparan tersebut bangun dan makan dengan lahapnya. Umar bin Khatab dan Aslam pun tetap di sana sampai anak tersebut kembali tertidur dengan perut yang telah kenyang.
Ibu itu berkata, “Terima kasih, semoga Allah membalas perbuatanmu dengan pahala yang berlipat. Kau lebih berhak menjadi khalifah daripada Umar bin Khatab!"
“Jangan berkata kecuali yang baik, dan jika pada suatu hari kau menemui khalifah, maka kau akan menemukanku di sana.", jawab Umar. Sebelum pergi, khalifah Umar berkata kepada wanita tersebut untuk datang menemui khalifah Umar bin Khattab ra, karena khalifah akan memberikan haknya sebagai penerima santunan negara.
Esok harinya pergilah wanita tersebut ke tengah kota Madinah untuk menemui khalifah Umar bin Khattab ra, dan tatkala wanita tersebut bertemu dengan khalifah Umar, betapa terkejutnya wanita tersebut bahwa khalifah Umar adalah orang yang memanggulkan dan memasakkan gandum tadi malam.
Sistem turun langsung memantau dan mengeksekusi suatu masalah di lapangan sudah dilakukan pula oleh Jusuf Kalla, terutama ketika beliau menjabat Wakil Presiden RI tahun 2004-2009 berpasangan dengan Presiden SBY. Tindakan riil Jusuf Kalla (JK), seperti mengganti kebiasaan rakyat Indonesia yang sudah turun temurun dari penggunaan Minyak Tanah menjadi Gas LPG (Liquified Petroleum Gas). JK memprogram konversi Minyak Tanah ke Gas LPG hanya butuh waktu 1 (satu) bulan, yang seharusnya menurut Bank Dunia butuh waktu sekitar 1 (satu) tahun. Tindakan konversi ini mengurangi subsidi pemerintah untuk penggunaan minyak tanah sebesar Rp. 20 Triliun per tahun. Langkah JK ini sebagai respon cepat dan tepat dalam merespon harga minyak mentah internasional yang sudah melonjak sangat tajam. Pada awal Mei 2008, pernah menembus angka US$ 120 per barel. Apabila harga minyak tanah dalam negeri hendak dipertahankan, pemerintah harus mengeluarkan  dana APBN yang begitu besar untuk mensubsidi. Sementara itu, cadangan minyak bumi di Indonesia sudah semakin menipis. Sejak tahun 2003, Indonesia sebenarnya sudah menjadi negara net importer bahan bakar minyak. Di lain pihak, potensi cadangan elpiji (LPG) di perut bumi Indonesia masih melimpah atau setidaknya jauh lebih besar jika dibanding cadangan minyak bumi yang ada. Selain itu, penggunaan LPG sebagai bahan bakar relatif lebih bersih karena polusinya lebih ringan jika dibanding bahan-bakar minyak tanah. Oleh sebab itu, tujuan kebijakan dari konversi penggunaan bahan-bakar minyak tanah ke gas sangat jelas, yaitu menghemat pengeluaran anggaran publik dan sekaligus mengurangi tingkat polusi. Sistem konversi ini dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia hingga saat ini, sekalipun ditentang oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan lain.
Langkah lain yang dilakukan oleh JK, seperti membangun Rumah Susun (Rusun) yang bersubsidi bagi warga perkotaan, tidak melakukan penggusuran. Langkah ini bertujuan supaya akses masyarakat mudah, murah, dan terjangkau serta memberikan kemudahan bagi masyarakat luas memiliki rumah sendiri melalui program pembangunan sejuta rumah, di antaranya disubsidi oleh pemerintah. Selain itu, JK mengurangi biaya pembangunan proyek, dengan mengoptimalkan penggunaan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam dalam negeri Indonesia sendiri. Misalnya, ketika membangun Bandar Udara. Menurut konsultan asing, proyek tersebut membutuhkan dana Rp. 4 Triliun, setelah JK menghitung dengan mempertimbangkan dari berbagai aspek kemudian dikerjakan oleh anak bangsa, dengan tenaga, pikiran, uang, dan konsultan bangsa sendiri hanya menghabiskan dana sebesar Rp. 1,5 Triliun.
Gebrakan dan langkah nyata JK yang lainnya, seperti menurukan suku bunga bank bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM); mempermudah pengurusan pendirian perusahaan, dari 100 hari menjadi 25 hari; menjadikan UKM sebagai mitra pembangunan bangsa dan negara; membangun 10.000 megawatt listrik untuk mengatasi pemadaman dengan menggunakan bahan bakar dari batubara; mendukung pengembangan kreativitas dan kerajinan tangan melalui program Home Industry; menyediakan gaji ke-13 bagai PNS; serta yang takkala mengembirakan adalah JK memberikan Pupuk bersubsidi dan bibit unggul bagi petani.
Berbagai tindakan nyata dan riil JK di atas dan masih banyak lagi yang lain menampakan pasangan SBY-JK bagai dua matahari, saling berlomba memberikan sinar harapannya bagi pembangunan bangsa dan negara ini, tetapi JK selalu lebih cepat dan tepat memberikan sinar keceriaan dan kebahagiaan bagi rakyat, sehingga Prof. DR. Syafi’i Ma’arif terkenal dengan statemennya “JK is the real president”, yang membuat SBY marah. Tetapi faktanya, JK memang berani berbuat dan bertindak serta berani mengambil resiko. Itulah tipe pemimpin yang berkarakter, memiliki visi dan misi ke depan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara.
Melalui gerakan nyata dan riil kedua tokoh besar anak bangsa ini, Jokowi dan Jusuf Kalla telah membuktikan, bahwa blusukan merupakan cara terbaik bagi para pejabat dalam melayani dan menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyatnya, tetapi harus dibarengi dengan manajemen pemerintah yang baik dan kuat, supaya tidak disalahgunakan oleh oknum-oknum yang mencari sensasi untuk memenuhi kepentingan pribadinya semata.
Pasangan atau duet maut Jokowi-Jusuf Kalla ini memiliki keunggulan yang visioner, leadership, intelektualitas, ketrampilan politik, komunikasi politik, stabilitas emosi, ketegasan, kemampuan manajerial, penampilan, dan integritas moral. Keunggulan-keunggulan tersebut sudah menyatu dan mengekal dari diri Jokowi-JK, sehingga menjadi jati dirinya di mana dan kapan pun, tidak bisa diintervensi oleh siapapun, karena lahir dari dalam jiwa kediriannya. Sekalipun keduanya lahir dari budaya dan suku yang berbeda. Jokowi lahir dan besar dalam budaya dan suku Jawa, sedangkan Jusuf Kalla lahir dan besar dalam budaya dan suku Bugis, yang menjunjung tinggi sifat “siri”. Tetapi keduanya memiliki karakter pemimpin yang sederhana dan bersahaja, terlihat dan dipraktikkan dalam hidup dan kehidupannya sehari-hari.
Kepedulian pemerintah pada rakyat secara langsung adalah sumber utama dukungan rakyat atas segala kebijakan pembangunan pemerintahnya, tetapi keacuhan pemerintah pada masalah rakyatnya adalah momok dan sasaran tembak paling jitu menghancurkan kepercayaan dan masa depan pemerintahan. Oleh karena itu, dengan blusukan, turun langsung bertemu dengan rakyat sudah merupakan kepedulian dan perhatian yang luar biasa bagi rakyat, apalagi disertai dengan bantuan langsung tanpa diminta, sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang mendasar.
Aksi blusukan Jokowi-JK sangat ditunggu oleh jutaan rakyat Indonesia yang masih terbelit dengan jutaan masalah. Misalnya, data kemiskinan menurut Badan Statistik Nasional (BPS) tahun 2013 berdasarkan jumlah penduduk miskin di kota dan di desa sebanyak 28,07 juta orang, dengan pendapatan perkapita dan perbulan di kota sebesar Rp. 290.000 dan di desa sebesar Rp. 255.000,-. BPS mencatat angka kemiskinan meningkat terbesar di pulau Jawa, kemudian Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan Kalimantan. Jumlah penduduk miskin pada September 2013 sebesar 28,55 juta orang atau 11,47 persen, dibandingkan Maret 2013 meningkat 480 ribu orang.[4]
Kemiskinan ini mendera dan berdampak pada semua sektor kehidupan masyarakat, termasuk menjadi kendala utama untuk pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Oleh karena itu, program PRO RAKYAT harus menjadi agenda utama bagi Jokowi-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2014-2019, untuk memastikan seluruh rakyat Indonesia tidak ada lagi yang kelaparan, karena ketiadaan makanan, tersedianya sumber air bersih hingga setiap rumah penduduk, terpenuhinya Sembilan Bahan Pokok (Sembako) seluruh warganegara Indonesia dari Sabang sampai Merauke; teralirnya listrik ke seluruh pelosok desa; tersambungnya jalur darat dengan jalanan aspal dan jembatan beton/besi; memastikan tidak ada lagi bangunan sekolah yang roboh karena dimakan usia atau akibat korupsi konstruksi; menciptakan suasana birokrasi yang melayani seluruh kepentingan rakyat secara gratis, tanpa pungli dan calo; rakyat dapat berobat di seluruh rumah sakit pemerintah secara gratis hingga sembuh dengan pelayanan prima; mewujudkan sistem biaya pendidikan gratis dan dukungan pelengkapan sekolah yang murah dan terjangkau bagi siswa/siswi; menciptakan lapangan kerja dengan Upah Minimum Regional yang layak dan manusiawi; membangun Puskesmas di seluruh desa dengan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk penyediaan mobil ambulance; Menyediakan sanitasi (WC) di setiap rumah penduduk di seluruh Indonesia secara gratis, dan sebagainya.
Blusukan dapat memahami, mengetahui, dan mengerti kondisi objektif rakyat di bawah secara langsung dan riil, itulah yang sesungguhnya diidam-idamkan oleh seluruh rakyat Indonesia “munculnya Jokowi – Jusuf Kalla” secara tiba-tiba tapi terpola dengan baik untuk mengatasi berbagai masalah serta memberikan solusi terbaik bagi rakyat Indonesia. Para petani akan terlindungi dan terbebas dari berbagai impor kebutuhan pokok, seperti: beras, garam, tempe, tahu, daging sapi dan ayam, jagung serta kebutuhan pokok lainnya. Indonesia tidak boleh terombang-ambing oleh harga komoditas dalam negeri, akibat impor dari berbagai negara. Oleh karena itu, Indonesia harus memiliki kedaulatan pangan yang kuat, dengan membangun ribuan hektar sawah, menyediakan ladang pertanian, melanjutkan kembali penyediaan subsidi pupuk bagi petani, bibit unggul, penyediaan daging sapi dan ayam dengan pemberdayaan para peternak dalam negeri. Indonesia harus mandiri dan berdikari dengan kekayaan alam dan sumber daya manusianya yang tangguh dan unggul. Dengan langkah yang cepat dan tepat, Indonesia berwujud sebagai negara yang sejahtera (walfare state = negara madani). Kemudian seluruh rakyat Indonesia akan berucap “Inilah Indonesia Hebat!”



*Penulis, pemerhati hukum, dan Tim Sukses Jokowi – Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI masa bakti 2014-2019. S2 Ilmu Hukum pada Pascasarjana Universitas Jayabaya.
[2]Widodo, dkk. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. IX, 2011, hlm. 71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar