Selasa, 29 April 2014

H. Hamdan dalam Pandangan H. Muhammad Jusuf Kalla sebagai Kawan Bermain Sejak Kecil dan Teman Belajar
Tim Penulis buku “Otobiografi DR. H. Hamdan, SH., MH” diterima oleh Bapak H. Muhammad Jusuf Kalla untuk melakukan wawancara di rumah kediaman beliau tanggal 28 April 2014, pukul 10.30-12.30 di Jalan Briwijaya No. 6 Jakarta Selatan terkait dengan sosok Dr. H. Hamdan dalam pandangan Dr. (HC) Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI tahun 2004-2009.
Di dalam pandangan Pak JK, Pak H. Hamdan adalah kawan bermain waktu kecil dulu di kampung (Bone), juga sebagai teman belajar. Karena saya (JK), Pak Husain, dan Pak Hamdan sama-sama belajar mengaji dan membaca kitab pada Bapaknya Pak Hamdan (Pak H. Kudaeda) dan kakaknya (H. Dahlan).
H. Dahlan mengajari kami cara membaca Al-Qur’an dengan baik, sedangkan pak H. Kudaeda mengajari kami membaca kitab, terutama Kitab Safinatun Najah (karya: Syaikh Salim bin Samir Hadrami bermazhab Syafi’iyah). Kitab ini merupakan kitab fiqih dasar, standar bagi pemula dalam mempelajari dan memahami dasar-dasar fiqih. Cara pengajarannya, murid harus memahami dan mengerti betul isi kitab tersebut, sehingga memerlukan perhatian yang terfokus. Di samping itu, kami juga belajar Tafsir Al-Qur’an yang diterjemahkan langsung oleh pak H. Kudaeda dalam bahasa Bugis. Beliau melarang kami membeli Kitab Tafsir dan Terjemahannya, karena khawatir salah memahami isi dan makna Al-Qur’an itu. Padahal saat itu sudah ada Kitab Tafsir dan Terjemahannya karya Mahmud Yunus. Jadi beliau langsung yang menerjemahkan Al-Qur’an itu ke dalam bahasa Bugis.
Di sela-sela belajar itulah kami bermain layaknya anak-anak kebanyakan di kampung, yang paling menyenangkan program mengambil air bersama dari sumur setelah belajar, kemudian bermain dan makan bersama di pasar, dan berbagai aktivitas dan cara bermain anak-anak kala itu.
Sosok Pak H. Hamdan adalah ustadz (guru), sehingga tidak sah acara Barazanji (membaca Kitab Barazanji)[1] kalau dia belum hadir. Hal ini karena Pak H. Hamdan itu memiliki kemampuan menghafal Al-Qur’an sejak kecil, itu memerlukan waktu dan perhatian khusus. Kemampuan tersebut tercermin hingga saat ini sebagai Hakim Agung. Di mana setiap harinya bergelut dengan berbagai kasus yang diajukan oleh para yang berperkara ke Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat akhir. Kondisi demikian memerlukan pemikiran fokus dan kemampuan khusus, karena tercakup di dalamnya unsur penegakan hukum dan pemberian keadilan bagi pihak yang berperkara.
Pengaruh belajar Al-Qur’an dan pemahaman pada kitab dasar fiqih seperti Kitab Safinatun Najah dan kitab fiqih lainnya itulah yang memberikan dasar bagi saya (JK) di kemudian hari ketika menghadapi kondisi dan masalah keumatan yang mendesak serta memerlukan pencerahan pemikiran keagamaan masa depan. Misalnya saja, ketika kita berdoa, di akhir doa selalu ditutup dengan kalimat “ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة”, artinya: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.
Doa yang setiap saat kita ucapkan pada penutup doa di atas mengandung makna “motivasi” untuk meraih kebaikan dan kesuksesan di masa depan. Bahwa, kita selalu disuruh untuk berpikiran dan bertindak untuk masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, untuk mencapai kebaikan dan keselamatan di akhirat harus bekerja keras di dunia, maka mana mungkin pahala zakat, haji, dan amal jariyah lainnya diperoleh di akhirat kalau kita tidak bekerja mendapatkan rezeki yang halal, kemudian kita berhaji, mendirikan masjid, berzakat serta beramal jariyah lainnya di dunia ini. Makanya, kunci kesuksesan di akhirat harus diraih terlebih dahulu di dunia ini.
Di lain kesempatan, di suatu acara pengajian di daerah Jawa Tengah, saya diundang menghadiri acara tersebut. Sebelum saya memberikan pandangan saya mengenai ajaran Islam, ada seorang ustadz bertausiyah dengan mengutip hadis yang mengatakan, bahwa “Nabi Muhammad Saw mencintai masjid dan membenci pasar”. Setelah ustadz tersebut turun dan saya dipersilahkan berdiri, hal yang pertama saya koreksi ungkapan ustadz tersebut dengan mengutip sebuah hadis. Saya mengatakan, bahwa hadis tersebut “dhaif” (lemah), karena kaidah ushul fiqih mengatakan, bahwa apabila suatu kondisi bertentangan dengan akal sehat, maka itu dhaif. Karena Nabi Saw sendiri yang menyatakan, bahwa 99 rezeki itu bersumber dari perdagangan. Apalagi Nabi Saw sendiri sebagai pedagang ulung yang terkenal dengan kejujurannya (al-amin) pada zamannya dengan melintasi wilayah Mekkah dan Madinah hingga ke Syam. Setelah acara tersebut, saya menelpon pak Quraish (M. Quraish Shihab), bahwa saya baru saya mengatakan, bahwa hadis yang mengatakan Nabi Saw lebih menyukai masjid dan membenci pasar itu dhaif, bagaimana menurut pak Quraish. Lalu pak Quraish bilang, pak Jusuf benar, hadis itu dhaif.
Begitu pula sewaktu peristiwa bencana Tsunami melanda Aceh tahun 2004 itu, saya mengutus pertama Menteri BUMN, pak Sofyan Jalil ke sana. Setiba di sana tidak bisa dihubungi karena telepon dan alat komunikasi lainnya terputus, sehingga hari besoknya saya berangkat ke Aceh. Setiba di sana, mayat bergelimpangan di sana-sini, belum ada yang angkat. Saya instruksikan seluruh kekuatan yang ada untuk mengumpulkan mayat-mayat itu yang ribuan jumlahnya. Setelah terkumpul muncul masalah baru, bagaimana memandikan dan mengkafani dalam jumlah ribuan orang itu, sedangkan kemampuan kita sangat terbatas. Kemudian saya suruh mencari dan mendatangkan ulama untuk dimintai fatwanya, tetapi tak satu pun yang ada, karena kemungkinan mereka juga sudah jadi korban atau berada di luar wilayah Aceh, sehingga lahir inisiatif saya selaku Wakil Presiden RI mengeluarkan fatwa, bahwa ribuan mayat tersebut tidak perlu dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, karena mereka semua mati dalam keadaan syahid. Fatwa tersebut ditulis tangan dan saya tanda tangan, kemudian ditandatangni pula oleh pak Mar’i Muhammad dan pak Sofyan Jalil sebagai saksi (sayang naskah tersebut hilang).
Itulah bagian-bagian penting dan pengaruh besar atas pembelajaran saya dulu bersama pak H. Hamdan dan kawan-kawan belajar dasar-dasar fiqih dan tafsir Al-Qur’an, kemudian saya lanjutkan di Madrasah waktu pindah ke Makassar sekitar tahun 1950-an.


[1]Kitab Barazanji karya Ja’far bin Hasan bin Abdil Karim bin Muhammad bin Abdur Rasul al-Barzanji al-Madani. Lahir di al-Barzanji pada bulan Sya’ban sekitar abad 12 Hijriyah dan wafat tahun 1187 H/1764 M), seorang khatib di Masjidil Haram dan seorang mufti dari kalangan Syafi’iyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar