Minggu, 01 Mei 2011

HUBUNGAN ANTARA FAKTA, NORMA, MORAL, DAN DOKTRIN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM

Oleh:
Mukhtar Alshodiq, S.Ag., MH

Pendahuluan
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat). Konsekuensi dari ketentuan tersebut adalah segala bentuk yang berkaitan dengan menjalankan tujuan negara Indonesia harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai negara hukum, maka dalam mencapai sasarannya dibentuklah sebuah lembaga peradilan yang memikul tugas dan kewenangan untuk menegakkan hukum. Oleh karena iti, sejak awal berdirinya, Negara Republik Indonesia telah meletakkan asas dasar sebagai landasan riil dan idiilnya, sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Asas tersebut menjadi sokoguru yang harus tercermin dalam segala gerak langkah yang hendak dilakukan bagi bangsa ini demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat seluruhnya.
Asas negara tersebut menempatkan unsur “moralitas”, yakni “atas berkat rahmat Allah” dan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai guidence utama. Tak terkecuali lembaga kehakiman sebagai salah satu lembaga negara yang senantiasa dituntut untuk menegakkan hukum yang seadil-adilnya, demi kepastian dan ketertiban hukum bagi masyarakat. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang dicita-citakan itu, maka hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara dilindungi dan diberi kekuasaan yang merdeka dan bebas oleh negara dari berbagai intervensi dari pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sebagai jaminan ketidakberpihakan hakim kecuali terhadap hukum dan keadilan, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Karena itu, dalam mewujudkan suatu kepastian dan ketertiban hukum bagi masyarakat, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[1]
Atas dasar itu, maka hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus dituntut harus berdasarkan atas fakta hukum di persidangan, norma/kaidah-kaidah hukum, moral hukum, dan doktrin hukum sebagai pertimbangan putusannya terhadap suatu perkara, demi tegaknya keadilan, kepastian, dan ketertiban hukum, yang merupakan tujuan utama hukum itu sendiri.
Para penganut teori hukum positif menyatakan bahwa kepastian hukum sebagai tujuan hukum. Karena ketertiban atau keteraturan tidak mungkin terwujud tanpa adanya garis-garis perilaku kehidupan yang pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat dalam bentuk yang pasti pula (tertulis).[2] Sedangkan menurut para penganut aliran hukum alam, tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan yang merupakan tujuan utama hukum. Karena hukum ada atau diadakan adalah untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan atau harmonisasi kepentingan manusia.[3]
Dalam perkembangan hukum dan kenyataannya, tujuan hukum tidak hanya berasaskan pada keadilan dan kepastian, tetapi juga untuk mewujudkan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat negara. Sebagaimana diungkapkan oleh penganut aliran utilitarian dengan teori welfare state-nya.[4] Karena itu, menurut Gustav Radbruch bahwa hukum itu bertumpu pada tiga nilai dasar, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.[5]
Penganut aliran sosiologis selalu menempatkan hukum dari segi kemanfaatannya bagi kehidupan masyarakat. Alasannya, hukum dibuat adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, hukum bersumber dari masyarakat dan untuk masyarakat. Oleh karena itu, setiap masyarakat mempunyai pandangan moralnya masing-masing, maka dalam konteks inilah sebenarnya hukum harus dikesampingkan ketika ia bertentangan dengan pandangan moral masyarakat yang melingkupinya. Setidaknya pandangan seperti itu pernah dikemukakan oleh Henry David Thoreau: “The public disobedience of law is justifiable on the basic of moral and ethical principles that are conflict with the law and are more important than law, even when it is made democratically” (Ketidaktaatan publik pada hukum adalah dibenarkan atas dasar moral dan asas etika yang berkonflik dengan hukum yang lebih penting daripada hukum, sekalipun hukum itu dibuat secara demokratis).[6]
Terciptanya masyarakat yang harmonis, adil, dan makmur merupakan salah satu wujud pengejawantahan hakim yang menjunjung tinggi asas dasar negara, dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, hakim dalam memberikan putusan hukum dituntut senantiasa mensinergikan berdasarkan atas fakta hukum, norma hukum, moral hukum, dan doktrin hukum yang yang hidup, demi tegaknya keadilan, kepastian, dan ketertiban hukum dalam masyarakat.

Pembahasan
Menarik ungkapan Taverne yang menyatakan, “berikanlah kepadaku seorang hakim yang jujur dan seorang jaksa yang cerdas, maka dengan undang-undang yang paling buruk sekalipun, aku akan menghasilkan putusan yang adil”.[7]
Sebagai upaya menjaga dan melindungi kemandirian hakim, maka melalui The Bangalore Principles of Judicial Conduct (Konferensi Peradilan Internasional di Bangalore, India pada tahun 2001) menyepakati dibuatnya kode etika dan perilaku hakim sedunia, yaitu: (1) independensi hakim (independence principle) yang merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum; (2) ketidakberpihakan hakim (impartiality principle) merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya; (3) integritas hakim (integrity principle) merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya; (4) kepantasan dan sopan santun hakim (propriety principle) merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antarpribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan; (5) kesetaraan (equality principle) merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membedakan satu dengan yang lain atas dasar agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik, atau alasan-alasan lain yang serupa; serta (6) kecakapan dan kesaksamaan (competence and diligence principle) merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya.[8]
Bagir Manan menegaskan bahwa dengan mengatasnamakan kebebasan, hakim dapat menyalahgunakan kekuasaannya dan bertindak sewenang-wenang. Untuk itu harus diciptakan batasan-batasan tertentu tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan kehakiman, yaitu: Pertama, hakim memutus menurut hukum. Setiap putusan, hakim harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang diterapkan dalam suatu perkara kongkrit. Kedua, hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengesampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Ketiga, dalam melaksanakan penafsiran, konstruksi, atau menemukan hukum, hakim harus tetap berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan yang umum (the general principle of natural justice). Keempat, harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kebebasannya.[9]
Berdasarkan kode etik terhadap kebebasan dan kemandirian hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara merupakan salah satu upaya untuk menjaga integritas para hakim, agar dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara hukum mampu menggali, menjabarkan, dan mensinergikan antara fakta, norma, moral, dan doktrin hukum dalam pengambilan putusan hakim. Oleh karena itu, hakimlah yang paling bertanggung jawab memasukkan atau menggabungkan unsur-unsur tersebut melalui putusan-putusan yang dibuatnya. Karena putusan hakim selain harus mempertimbangkan asas keadilan hukum (legal justice) berdasarkan atas norma atau kaidah hukum dan asas keadilan sosial (social justice) yang merupakan fakta hukum yang terjadi dalam masyarakat, juga harus mempertimbangkan asas keadilan moral (moral justice). Hal senada diungkapan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum dan penegakannya tidak hanya mengutamakan keadilan hukum (legal justice), melainkan penegakan hukum yang mampu menangkap rasa keadilan masyarakat (social justice), sehingga pada gilirannya hukum betul-betul memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people).[10]
Ditambah doktrin hukum sebagai salah satu sumber pertimbangan hakim dalam menemukan hukum. Kalau perundang-undangan tidak memberi jawaban dan tidak pula ada keputusan pengadilan mengenai perkara sejenis yang akan diputuskan, maka hakim akan mencari jawabannya pada pendapat para sarjana hukum.[11] Karena ilmu pengetahuan bersifat objektif dan berwibawa, maka keputusan hakim harus bersifat objektif dan berwibawa pula. Maka ilmu pengetahuan merupakan sumber untuk mendukung atau mempertanggungjawabkan putusan hakim.[12]
Keempat area hukum tersebut harus dijadikan sebagai patron para hakim dalam menjalankan tugasnya, yaitu mengambil atau menjatuhkan keputusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain yang seadil-adilnya. Karena itu, hakim harus progresif, karena hakim sebagai makhluk sosial yang harus menempatkan dirinya dalam masyarakat dan hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya.[13] Dengan demikian, menurut Lawrence M. Friedman, hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem yang tidak bisa terpisahkan, yaitu: (1) struktur hukum (legal structure), yakni menyangkut sarana dan prasarana hukum, termasuk sumber daya aparatur hukum; (2) substansi hukum (legal substance), yakni menyangkut isi dari norma/aturan hukum; dan (3) kultur hukum (legal culture), yakni menyangkut perilaku budaya sadar dan taat hukum, baik pembuat hukum, penegak hukum maupun masyarakat. Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu.[14]
Masyarakat memahami bahwa hakim mengetahui hukumnya, karena itu hakim dituntut melakukan upaya dalam menyelesaikan suatu perkara melalui rechtsvinding (penemuan hukum) sebagai salah satu substansi tugas hakim yang esensial. Hakim karena jabatannya (ambtshalve), bukan sekadar mulut atau corong undang-undang (bouche de la loi), tetapi menjadi penerjemah atau pemberi makna (penafsir) melalui penemuan hukum, atau konstruksi hukum dalam bentuk penafsiran, bahkan menciptakan hukum baru (rechtsschepping) melalui putusan yang dijatuhkannya.[15]
Substansi penemuan hukum bagi hakim itu sendiri adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk menemukan hukum in concreto, dan oleh karenanya seorang hakim telah terlebih dahulu memiliki koleksi yang menyeluruh dari pengetahuan tentang hukum (legal knowledge) in abstracto. Dalam proses tersebut, norma-norma hukum yang in abstracto mutlak diperlukan untuk berfungsi sebagai premis mayor, sedangkan fakta yang relevan dalam perkara (legal facts) dijadikan sebagai premis minor. Melalui proses silogisme akan diperoleh sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto yang dimaksud.[16] Urgensi perkembangan tentang penemuan hukum dalam praktek peradilan, bukan hanya berkisar pada proses pengolahan premis menjadi konklusi melalui alur silogisme, tetapi terkadang menjadi persoalan, yaitu sejauhmana bobot suatu premis dapat diperpegangi untuk membangun suatu konklusi dalam kaitannya dengan; kepastian hukum (rechtsscherheit), kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit), dan keadilan hukum (gerechtigkeit).[17]
Hakim juga dituntut untuk melakukan penciptaan hukum (rechtsschepping), yaitu melalui daya cipta hakim dengan perantara putusan yang dijatuhkannya untuk membentuk hukum (judge made law). Maka disamping pembentuk undang-undang sebagai pembentuk hukum yang objektif abstrak, hakim adalah pembentuk hukum yang objektif kongkrit.[18] Undang-undang atau peraturan lainnya tidak akan mungkin mengatur akselerasi, perkembangan, dan perubahan kehidupan masyarakat secara terperinci, maka dalam aspek ini diperlukan suatu pembentukan hukum yang oleh sebagian kalangan menyebutkan bahwa “hakim memenuhi ruangan kekosongan dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku”. Berarti hakim dapat, bahkan harus memenuhi kekosongan yang ada dalam sistem hukum (rechtsvacuum).
Pembentukan hukum merupakan suatu perwujudan kreasi hakim yang tidak sekadar menemukan apa yang telah ada dalam sumber-sumber hukum, tetapi juga menciptakan sesuatu dari tidak ada. Di sinilah letak pentingnya fungsi dan peran seorang hakim menjawab dan mengayomi persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat atas kewenangan yang diletakkan oleh undang-undang.[19]
Hakim harus menguasai teori-teori hukum yang bersifat teknis, seperti interpretasi dan konstruksi hukum, yang pada prinsipnya di satu sisi adalah memberikan ruang gerak kepada para hakim untuk menemukan hukum suatu kasus yang diperiksa. Di sisi lain, memberikan motivasi kepada hakim untuk tidak terpaku kepada bunyi ketentuan pasal-pasal suatu aturan hukum. Bahkan, dalam konteks memutus suatu perkara, hakim dikenal pula contra legem, yaitu mekanisme yang membolehkan hakim menyimpangi suatu ketentuan yang nyata-nyata bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Tindakan seperti itu, secara yuridis mendapat legitimasi (Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman), yang pada prinsipnya mengamanatkan kepada hakim untuk menggali nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat agar putusan yang dibuat dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat yang ada.
Bustanul Arifin mengatakan bahwa, seorang hakim haruslah learned in law (ahli dalam ilmu hukum), hakim selain harus memahami substansi dan arti hukum, juga harus skilled in law (terampil dalam melaksanakan atau menerapkan hukum). Di tangan hakim, ilmu hukum menjadi pengetahuan yang praktis (applie science). Para hakimlah yang memberi nyawa dan hidup kepada pasal-pasal undang-undang dan peraturan yang terdiri dari huruf-huruf mati itu.[20]
Mewujudkan perilaku hakim tersebut, selain mengubah mental para hakim, juga diperlukan adanya penataan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa melalui good governance, seperti pengadilan harus bersih dari bentuk KKN, pengadilan khususnya majelis hakim harus bebas dari segala bentuk campur tangan dari suatu kekuasaan atau kekuatan sosial atau politik yang meresahkan dan menggiring majelis hakim pada arah tertentu. Membangun sikap hormat dan patuh pada pengadilan dan putusan majelis hakim, sebagai suatu bentuk keikutsertaan membangun pengadilan yang berwibawa, dan kehadiran sistem pengelolaan (manajemen) yang menjamin efisiensi, efektifitas, dan produktifitas putusan-putusan yang bermutu.[21]
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa hakim dalam menentukan sikapnya siapa yang benar dan siapa yang tidak benar, maka hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara objektif duduk perkara sebenarnya sebagai dasar putusan melalui pembuktian-pembuktian bukan berdasarkan a priori menemukan keputusan, sedangkan pertimbangan pembuktiannya kemudian dikonstruir (dikonstruksi). Setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa, maka hakim telah dapat mengkonstatir (menyatakan terbukti) peristiwa yang menjadi sengketa itu, kemudian hakim harus menemukan hukumnya terhadap sengketa kedua belah pihak, dimana hakim harus mengkualifisir (mengkualifikasi) peristiwa yang dianggapnya terbukti.[22] Oleh karena itu, hakim dituntut harus menguasai hukumnya, bahkan hakim dianggap mengetahui hukumnya. Karena tanpa dengan pengetahuan dan penguasaan hakim terhadap peraturan-peraturan hukum, tidak mungkin dapat mengklasifikasi peristiwa hukumnya. Setelah dikualifikasi, langkah selanjutnya hakim harus menemukan peraturan hukumnya yang dapat diterapkan terhadap peristiwa hukum yang telah ditemukan. Untuk itu harus diseleksi peraturan-peraturan hukum yang relevan bagi peristiwa hukum yang bersangkutan melalui sumber atau tempat menemukan hukumnya, yang meliputi: peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, putusan hakim (yurisprudensi), dan doktrin.[23]
Keputusan hakim yang berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar tersebut, dengan menjunjung tinggi moralitas dan norma hukum, maka kebebasan dan kemandirian hakim dalam memberikan keputusan atas suatu peristiwa hukum akan selalu memberikan dampak positif bagi pembangunan bangsa dan negara Republik Indonesia yang tercinta ini.

Penutup dan Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk mewujudkan keputusan hakim yang seadil-adilnya bagi masyarakat, maka hakim harus mampu menggali dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena itu, hakim dituntut untuk menjaga kebebasan dan kemandirianya dengan menerapkan norma-norma hukum yang ada, yang dilandasi oleh moralitas yang tinggi.
Hakim dituntut memiliki pemahaman yang mendalam terhadap ilmu hukum dan kecakapan dalam menerapkan hukum, dengan mengedepankan objektivitas dan profesionalitasnya yang berwibawa. Oleh karena, hakim tidak serta merta hanya menerapkan atau menemukan hukumnya dari hukum yang telah ada, tetapi juga mampu mengesampingkan hukum yang ada dengan menciptakan hukum, demi menegakkan keadilan, kepastian, dan ketertiban bagi masyarakat.
Jabatan hakim merupakan suatu amanah yang memiliki tanggung jawab yang besar terhadap penegakan hukum. Dalam artian, hakim merupakan benteng terakhir dari penegakan hukum. Oleh karena itu, apabila hakim di suatu negara memilik integritas yang tinggi, kapasitas keilmuan yang memadai, moralitas, jujur, dan berani akan sangat memungkinkan terwujudnya sebuah keadilan dan ketertiban hukum. Namun kalau sebaliknya, maka wibawa hukum di negara tersebut akan lemah dan rapuh sehingga keadilan dan ketertiban hukum sebagai buah dari penegakan hukum jauh panggang dari api.
Wallahu a’lam bi al-sawab.


Daftar Bacaan
Achmad Ali, Mengembara di Belantara Hukum. Jakarta: PT Yasrif Watampone, 1996.
Bagir Manan, “Organisasi Peradilan di Indonesia”. Dalam Makalah Penataran Hukum Administrasi Tahun 1978/1998, Pelaksana Program Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda Fakultas Hukum Airlangga, Surabaya, 12 Februari 1998.
-------, Sistem Peradilan Berwibawa: suatu pencarian, Pusdiklat Teknis Peradilan, Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2008.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta; RajaGrafindo, 2002.
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2004.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA/094/SK/X/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim.
Lawrence M. Friedman, The Legal System: a social science perspective. New York; Russel Sage Foundation, 1975
Lili Rasjidi, Hukum sebagai suatu Sistem. Bandung: Mandar Maju, 2003.
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilnu Hukum: suatu pengenalan pertama ruang lingkup berlakunya ilmu hukum. Bandung: Alumini; 2000.
Satjipto Rahardjo, “Pengadilan Progresif dan Kasasi”, dalam Harian Kompas, 12 Februari 2004.
-------, Biarkan Hukum Mengalir: catatan kritis tentang pergulatan manusia dan hukum. Jakarta: Penerbit Kompas, 2008, hal. 80.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pito, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung; Citra Aditya Bakti, Cet. I, 1993.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta; Liberty, Cet. II, 1979.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV Tahun 2004.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1985 junto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1985 junto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.



[1]Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 2004 No. 8 dan TLNRI No. 4358).
[2]Lili Rasjidi, Hukum sebagai suatu Sistem. Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 184.
[3]Ibid.
[4]Ibid., hal. 185.
[5]Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: catatan kritis tentang pergulatan manusia dan hukum. Jakarta: Penerbit Kompas, 2008, hal. 80.
[6]Achmad Ali, Mengembara di Belantara Hukum. Jakarta: PT Yasrif Watampone, 1996, hal. 107-108.
[8]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2004,, hal. 531-534.
[9]Bagir Manan, “Organisasi Peradilan di Indonesia”. Dalam Makalah Penataran Hukum Administrasi Tahun 1978/1998, Pelaksana Program Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Fakultas Hukum Airlangga, Surabaya, 12 Februari 1998, hal. 12. Lihat pula Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA/094/SK/X/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim.
[10]Satjipto Rahardjo, Bersatulah Kekuatan Hukum Progresif; dalam Kompas, Senin, 6 September 2004.
[11]Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: PT. Citra Aditya Bakti bekerjasama dengan Konsorsium Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia Foundation, 1993, hal. 40.
[12]Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: suatu pengenalan pertama ruang lingkup berlakunya ilmu hukum, Bandung; Alumni, Cet. 1999, hal. 72.
[13]Satjipto Rahardjo, “Pengadilan Progresif dan Kasasi”, dalam Harian Kompas, 12 Februari 2004.
[14]Lawrence M. Friedman, The Legal System: a social science perspective. New York; Russel Sage Foundation, 1975, hal. 15. Bisa juga diakses di: http://www.harian-aceh.com/opini/85-opini/3586-paradigma-hukum-dari-positivisme-hukum-ke-hukum-responsif.html
[15]Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta; RajaGrafindo, 2002, hlm. 94.
[16]Ibid.
[17]Sudikno Mertokusumo dan A. Pito, … Op.cit., hlm. 1.
[18]Ibid., hlm. 86.
[19]Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 junto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (LNRI Tahun 2004 No. 9 dan TLNRI No. 4359)
[20]Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 113.
[21]Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa: suatu pencarian, Pusdiklat Teknis Peradilan, Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2008, hal. 78.
[22]Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta; Liberty, Cet. II, 1979, hal. 199-200. Lihat juga, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: sebuah pengantar, Yogyakarta: Liberty, Cet. II, 2001, hal. 80.
[23]Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum ... Ibid., hal. 83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar