Oleh:
Mukhtar Alshodiq, S.Ag., MH
Sejak awal lahirnya tanah pertiwi nusantara ini, yang kemudian beralih nama menjadi “Indonesia” telah memiliki karakter yang bersumber dari alamnya sendiri. Karakter itu kemudian menjadi jati diri yang mewarnai, membentuk, dan mendisiplinkan serta menaungi setiap penduduk, dengan penuh keyakinan dan kegigihan yang kuat menanamkan dalam setiap sanubarinya hingga membias dalam setiap perkataan dan tingkah lakunya. Karakter jati diri tersebut kemudian menjadi warisan generasi berikutnya yang membawa “Indonesia” menjadi satu bangsa dan satu negara.
Warisan karakter jati diri bangsa Indonesia menjelma menjadi tatanan dasar dalam membangun negara ini menjadi falsafah bangsa. Berangkat dari falsafah inilah, masyarakat Indonesia bangkit meneguhkan keberadaannya di bumi pertiwi melawan segala bentuk kolonialisme dan diskriminasi dari para penjajah. Semangat dan keteguhan jiwa patriotisme yang melandasi langkah para founding father bangsa ini menjauhkan diri dari berbagai konflik ras, etis, suku, bahasa, dan agama tetapi menyatu dalam keanekaragaman menggapai kemerdekaan melalui prinsip hidup berbangsa dan bermegara, “bhinneka tunggal ika”.
Karakter jati diri bangsa Indonesia itu bersumber dari dalam dirinya sendiri yang bersemai dalam kejernihan “adat istiadat” yang membumi, diakui, diyakini, dipatuhi, dipraktekkan, dan diwariskan oleh setiap anak bangsa ini dari generasi ke generasi berikutnya tanpa batas waktu dan ruang serta menjauh dari berbagai intrik kepentingan sosial, politik, dan budaya. Adat istiadat berdiri teguh menjaga dan mengayomi masyarakatnya dengan kokohnya. Adat tumbuh dan berkembang ditegakkan dengan penuh unsur manusiawi tanpa memandang tahta, karena adat mendahulukan kepentingan masyarakat daripada pribadi dan golongan, sehingga melahirkan keadilan dan kepastian.
Ketaatan masyarakat pada komunitas adat istiadatnya itulah yang kemudian berubah menjadi hukum adat. Hukum adat teguh dengan begitu kokohnya, karena dibangun berdasarkan atas semangat jiwa spiritual yang tinggi. Yakni, bergabung dan bersenandungnya unsur keyakinan, kepatuhan, dan ketaatan pada Yang Maha Kuasa. Membangun hukum dengan landasan spiritual merupakan capaian tertinggi dalam merumuskan sebuah peraturan perundang-undangan, karena tidak semata berunsurkan kepentingan pemenuhan hak dan kewajiban warganegara apalagi kepentingan antar pribadi dan golongan, tetapi memiliki konsekuensi pertanggungjawaban.
Setelah negara Indonesia melepaskan diri dari tekanan dan intimidasi serta kungkungan penjajah melalui corong proklamasi kemerdekaan, disertai pengakuan dan pengukuhan kedaulatan Republik Indonesia dari se-antero negara di belahan dunia sebagai negara yang merdeka. Maka Indonesia mulai membuka diri dalam berbagai diplomasinya dengan negara-negara dunia, yang mau tidak mau harus berbaur dengan budaya lain.
Semangat membangun spiritualitas hukum inilah yang semakin kendur saat ini, karena lebih mengunggulkan unsur kepentingan dan intrik politik antara penguasa, politikus, pengusaha, dan penegak hukum. Sehingga untuk mencapai tujuan hukum hanya dalam bentuk serimonial drama saja.
Pertanyaan yang tiba-tiba menderai, membelenggu, serta merongrong jiwa dan pikiran saya adalah kultur hukum seperti apa yang hendak, sedang, dan telah dibangun di Indonesia? Karakter hukum Belanda sebagai bekas pejajah tanah air? Hukum agama yang sejak awal mewarnai berdirinya bangsa ini? Hukum adat yang sejak awal menjadi pondasi dan ciri khas karakter bangsa ini? Atau hukum berasaskan Pancasila yang diramu dari budaya, agama, dan politik Indonesia? Yang jelas, bukan kultur budaya hukum tirani (penindasan) penguasa/negara atas rakyatnya.
Hukum Indonesia saat ini berada dalam kegalauan, entah karena karakter pemimpinnya yang selama ini seakan tergantung pada kehendak politik yang tak menentu, atau karena ketakberanian mengambil resiko politik atas nama rakyat sehingga harus berdiam diri dalam gumulan kejahatan hukum. Lihat saja kasus Antasari – Nasaruddin Zulkarnain, benarkah atas nama keadilan hukum ataukah rekayasa politik? Susno Duadji – Polri, yang berani membongkar kedok kejahatan korupsi perpajakan, yang melibatkan intistusi Polri yang membesarkannya selama ini, tapi justru dia yang harus terjebak dalam bui? Belum lagi kejahatan kemanusiaan yang telah berlalu, misalnya kasus Munir yang tak kunjung dan tak mungkin lagi diungkap pelaku utamanya, karena rasionalnya, apa kepentingan seorang kopilot Garuda Airlines. Sebegitu jahatnya kah tindakan represif negara atas rakyatnya atau peristiwa demi peristiwa kejahatan kemanusiaan inilah yang harus diwariskan kepada pemimpin generasi berikutnya?
Di manakah pengamalan nilai-nilai sila Pancasila yang telah ditatarkan dan didiklatkan dari berbagai departemen bagi pejabat-pejabat negara ini? Konon, isinya mengutamakan sisi keagamaan, kemanusiaan, dan keadilan. Sementara para sarjana hukum dan praktisi hukum semakin meluber dari berbagai latar belakang institusi pendidikan hukum, baik dari dalam maupun luar negeri disertai pengetahuan dan pengalamannya. Entah???
Tulisan ini hanya mampu terurai lewat kumpulan huruf demi huruf hingga bermakna, semoga para pembacanya terutama para penguasa sadar dan semoga pembawa kebenaran ini diberi kekuatan yang dahsyat untuk bangkit dan jujur membongkar kejahatan dan kemunafikan selama ini. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar