Minggu, 01 Mei 2011

HUKUM ZAKAT DI INDONESIA (antara peluang dan problem)


Oleh:
Mukhtar Alshodiq, S.Ag., MH



Pendahuluan
Cita-cita luhur bangsa Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum yang merupakan salah satu tujuan nasional Negara Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, untuk mewujudkan amanah tersebut, maka pemerintah senantiasa melaksanakan pembangunan, baik bersifat fisik maupun spiritual, antara lain melalui pembinaan dan perlindungan terhadap pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pengelolaan dan pemberdayaan zakat bagi umat Islam.
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap umat Islam yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk pengentasan kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki (para wajib zakat), mustahiq (para penerima zakat), dan para amil zakat (pengelola zakat). Maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang disahkan pada tanggal 23 September 1999.
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat[1] semakin mengokohkan kekuasaan absolut Pengadilan Agama pada satu sisi, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama Pasal 49 berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syariah.
Ketika menilik lebih jauh kekuasaan Pengadilan Agama tersebut, dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama ditegaskan bahwa Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.
Namun di sisi lain, muncul masalah baru dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat tersebut, yang kontradiktif dan bersifat dualisme dengan kekuasaan Pengadilan Agama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 21 ayat (1) bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 13 dalam Undang-Undang ini diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Hal ini menarik dan perlu ditelusuri lebih dalam terhadap kedua peraturan perundang-undangan tersebut, antara kewenangan absolut dan sanksi yang dijatuhkan. Dimana zakat merupakan salah satu kewenangan Pengadilan Agama, tetapi di sisi lain ketika berbicara masalah sanksi terhadap pelanggaran pengelolaan zakat, maka secara prosedur normatif menjadi wilayah kekuasaan Pengadilan Umum. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan diulas masalah sengketa zakat di Pengadilan Agama, yakni sejauhmana aplikasi kewenangan absolut Pengadilan Agama tersebut dalam menyelesaikan kasus-kasus zakat yang terjadi di masyarakat?

Analisis dan Pembahasan
a.        Pengertian dan Ruang Lingkup Zakat
Sebagaimana dipahami bahwa zakat merupakan rukun Islam yang ketiga. Kata “zakat” itu sendiri berasal dari kata “al-zaka”, artinya: menumbuhkan dan berkembang (QS. al-Baqarah [2]: 276),[2] memberi keberkahan (QS. Saba’ [34]:39),[3] dan menyucikan (QS. al-Taubah [9]:103).[4] Dalam Al-Qur’an terdapat 32 kata “zakat” bergandengan dengan kata “shalat” dan sebanyak 82 kata dengan makna yang sinonim, yaitu shadaqah dan infaq.[5] Sedangkan zakat menurut terminologi adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah Swt. untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Selain itu, bisa juga berarti sejumlah harta tertentu dari harta tertentu yang diberikan kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu.[6]
Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Taubah [9]:103: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Kata “ambillah” dalam ayat tersebut mengandung pengertian “perintah” untuk memungut zakat secara sistematis dan profesional, yang ditujukan kepada ulil amri atau penguasa sebagaimana awalnya diperintahkan kepada Rasulullah Saw. sebagai penguasa selain nabi dan rasul. Artinya, diperlukan adalah sebuah lembaga resmi yang diberi kewenangan oleh penguasa untuk memungut dan membagikan zakat tersebut kepada yang berhak menerimanya dari para mustahiq.[7] Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS al-Taubah [9]: 90: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Karena itu, tujuan diberadakan zakat selain untuk menyucikan harta juga sebagai wahana untuk menyejahterakan umat melalui pendistribusian sebagian harta orang kaya kepada kaum miskin, baik diperuntukkan secara konsumtif, yakni untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum semata maupun secara produktif, yakni zakat dikelola melalui bentuk usaha agar para mustahiq tersebut dapat berubah menjadi muzakki di kemudian hari.
Untuk mengelola dan memberdayakan zakat tersebut, maka diperlukan adanya lembaga khusus yang kemudian dikenal dengan istilah ‘amil zakat, yakni orang atau badan hukum yang ditunjuk untuk bekerja secara profesional agar pengumpulan dan penyaluran zakat dapat berjalan secara tepat dan maksimal kepada 8 asnaf (orang yang berhak menerima), yaitu: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, hamba sahaya (riqab), gharimin, fi sabilillah, dan ibnu sabil.
Pada dasarnya, zakat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu: zakat nafs (jiwa) atau lazim disebut zakat fitri (fitrah) dan zakat mal (harta). Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan setiap Muslim sebelum hari raya Idul Fitri. Jumlah yang dikeluarkan sebanyak 2,5 kilogram atau 3,5 liter makanan pokok masyarakat setempat. Sedangkan zakat mal adalah zakat yang dikeluarkan untuk hasil-hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, ternak, harta temuan, emas dan perak, dan hasil kerja (profesi), yang masing-masing memiliki perhitungan tersendiri.[8] Zakat mal (harta) ini dikeluarkan apabila sudah mencapai haul dan nishab-nya.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bagi umat Islam diperhadapkan pada dua kewajiban, yaitu selain membayar zakat sebagai kewajiban agama juga dituntut oleh negara untuk membayar pajak. Kedua kewajiban tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menyejahterakan dan mengentaskan kefakiran dan kemiskinan. Namun perbedaannya salah satunya adalah karena zakat merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Swt., baik kadar maupun waktunya secara absolut, sedangkan pajak ditetapkan oleh pemerintah yang berbeda-beda sesuai dengan kebijakan di negara tersebut.

b.        Zakat dalam Perspektif Undang-Undang No. 38 Tahun 1999
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa untuk melegitimasi zakat tersebut agar penerimaan dan pendistribusian zakat dikelola secara profesional dan bertanggung jawab, maka pemerintah terlibat secara langsung yang diatur melalui Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang ini bahwa yang menjadi wajib zakat adalah setiap warganegara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat. Dalam menjalankan kewajiban tersebut, maka pemerintah turut langsung terlibat memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat (Pasal 3).
Adapun asas daan tujuan pengelolaan zakat ini adalah berasaskan iman dan takwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 4), yang bertujuan untuk: (1) meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama; (2) meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial; dan (3) meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat serta dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 5).
Dalam perkembangannya, posisi amil zakat di Indonesia diambil alih oleh penguasa melalui organisasi pengelolaan zakat yang dikelompokkan menjadi dua lembaga, yaitu Badan Amil Zakat (Baznas) yang dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atas prakarsa masyarakat. Kedua lembaga tersebut terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas, dan pelaksana yang dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah yang mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Hal ini tercakup dalam Pasal 6, 7, dan 8.
Dalam menjalankan tugas tersebut Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatnya (Pasal 9) dan sekaligus sebagai pengawas (Pasal 18), yaitu:
1.      Badan amil zakat nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
2.      Badan amil zakat provinsi oleh gubernur atas usul kepala wilayah depatemen agama provinsi;
3.      Badan amil zakat kabupaten/kota oleh bupati/walikota atas usul kepala kantor departemen agama kabupaten/kota;
4.      Badan amil zakat kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecamatan (Pasal 6 ayat [2]).
Dalam melaksanakan tugasnya, tingkat badan amil zakat tersebut memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif (Pasal 6 ayat [3]).
Pengumpulan zakat yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah zakat mal dan zakat fitrah. Adapun harta yang dikenai zakat adalah; emas, perak, dan uang; perdagangan dan perusahaan; hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan; hasil pertambangan; hasil peternakan; hasil pendapatan dan jasa; dan rikaz (Pasal 11 ayat [1 dan 2]).
Sedangkan pendayagunaan zakat tersebut adalah untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama, pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif, dan persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat ini  diatur dengan keputusan menteri (Pasal 16 ayat [1, 2, dan 3]).
Badan amil zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatannya (Pasal 19).

c.         Penyelesaian Sengketa Zakat di Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan khusus yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama dengan badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer di Indonesia. Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan dalam hal perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Oleh karena itu, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata, sebagaimana disebutkan dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama Pasal 54.
Pasal 56 ayat (1) mengatakan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.
Hal yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana penyelesaian kasus sengketa zakat di Pengadilan Agama sebagai salah satu kewenangan absolut yang diberikan oleh Undang-Undang. Karena pengelolaan zakat dan sejenisnya sangat potensial dan rawan menimbulkan konflik. Embrio sumber konfliknya dapat berasal dari internal/pengurus zakat yang dipicu oleh daya kritis masyarakat yang menghendaki transparansi dan akuntabel.[9]
Adapun predikasi yang kemungkinan akan terjadi konflik yang menjelma menjadi perkara di Pengadilan Agama adalah:
1.      Badan amil zakat yang diberi amanah oleh umat untuk menerima, mengelola, dan menyalurkan zakat, tetapi ternyata menyalahgunakan untuk kepentingan pribadi dengan cara korupsi, manipulasi, dan lain-lain.
2.      Penyaluran zakat yang tidak merata dan tidak adil. Misalnya, hanya bagi orang tertentu karena didorong oleh nepotisme atau karena kolusi.
3.      Panitia atau pengurus yayasan yang menyalahgunakan dana zakat tersebut untuk kepentingan pribadi dan sebagainya.[10]

Pasal 21 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menyatakan bahwa (1) setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 13 dalam undang-undang ini diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga (3) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); (2) tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) di atas merupakan pelanggaran; (3) setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Membandingkan kekuasaan absolut Pengadilan Agama tersebut dengan sanksi yang dianut dalam Undang-Undang pengelolaan zakat ini, maka ada beberapa hal yang menarik, yaitu:
1.      Bahwa ini undang-undang pengelolaan zakat bukan undang-undang zakat.
2.      Masalah peraturan pengelolaan zakat baru dijabarkan dalam bentuk undang-undang, tidak seperti kewenangan absolut Pengadilan Agama lainnya, seperti masalah perkawinan diatur UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, demikian pula masalaah waris, hibah, wakaf diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, seperti Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Perwakafan.
3.      Dalam undang-undang pengelolaan zakat pada Pasal 21 tersebut menganut sanksi pidana yang jelas di luar dari kewenangan Pengadilan Agama, tetapi menjadi kewenangan Pengadilan Umum dan sanksi administratif yang merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dengan demikian, Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat tersebut mengandung dualisme hukum, yaitu disamping menjadi kewenangan Pengadilan Agama sebagai aspek keperdataan, juga menjadi kewenangan Pengadilan Umum dalam hal sanksi kepidanaan.
Namun menurut Abdul Manan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan khusus untuk mengadili perkara-perkara perdata tertentu, dan sengketa sedekah (baca: zakat) adalah institusi hukum keperdataan khusus yang hanya terdapat dalam sistem hukum Islam, tidak ditemukan pada sistem hukum lain. Dalam konteks penyelesaian sengketa sedekah tersebut, persoalan-persoalan mendasar yang perlu dipecahkan antara lain: ke Pengadilan Agama mana gugatan sedekah harus diajukan, siapa pihak-pihak yang berkualitas sebagai penggugat/para penggugat. Oleh karena itu, yang dapat mengajukan gugatan sedekah adalah: 1. Delapan asnaf, yaitu fuqara’, masaakin, dan seterusnya; 2. Mustahiq atau orang-orang yang bersedekah atau ahli warisnya; 3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan zakat, infaq, sedekah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 4. Pihak-pihak yang berkepentingan yang mengetahui adaanya penyalahgunaan benda-benda sedekah. Jika masyarakat mengajukan gugatan sedekah, maka dapat ditempuh dengan cara class action, karena kegunaan sedekah untuk kepentingan publik.[11]
Dengan demikian, undang-undang pengelolaan zakat ini masih terdapat berbagai kelemahan mendasar, karena hanya sebatas mengatur pengelolaan zakat semata, padahal masalah esensial yang terkait dengan masalah zakat tidak diungkap, misalnya kepastian hukum bagi para muzakki belum secara tegas dinyatakan bahwa zakat merupakan suatu kewajiban, bahkan dalam Pasal 12 undang-undang hanya menyatakan kalau petugas akan mengambil zakat bila diberitahu oleh muzakki. Ini berarti bahwa undang-undang ini tidak memiliki kekuatan memaksa untuk mengambil zakat, tetapi lebih pada factor keikhlasan dan kesadaran yang tinggi dari muzakki serta menciptakan peluang untuk tidak berzakat bagi mereka yang tidak memiliki komitmen moral yang tinggi terhadap ajaran agamanya. Begitu pula masalah nishab dan batasan haul tidak dibahas secara terinci, belum lagi masalah-masalah khilafiyah yang terus bermunculan dalam konteks perkembangan zaman saat ini, seperti zakat profesi, masalah bagaimana posisi para wajib zakat dan wajib pajak, apakah keduanya harus dibayar atau hanya membayar salah satunya, dsb.

Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Zakat merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki kecukupan harta yang diperuntukkan bagi kaum fakir dan miskin serta golongan mustahiq lainnya.
2.      Tujuan disyariatkannya masalah zakat merupakan konsep pemerataan ekonomi bagi masyarakat demi terwujudnya suatu negara yang sejahtera dalam kemakmuran dan keadilan. Karena itu, ruang lingkup zakat telah terlegalisasi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.      Penyelesaian sengketa zakat dapat diajukan ke Pengadilan Agama menurut ketentuan hukum acara perdata yang berlaku, sedangkan masalah kepidanaan berada dalam wewenang Pengadilan Umum.
4.      Adapun penggugat atau para penggugat dalam sengketa zakat adalah: delapan asnaf yang ada, mustahiq atau ahli warisnya, pejabat yang berwenang, dan pihak-pihak yang berkepentingan.



Daftar Pustaka
1.        Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafiondo Persada, Cet. XIII, 2006.
2.        Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Diponegoro, Cet. X, 2003.
3.        Doa, M. Djamal, Menggagas Pengelolaan Zakat Oleh Negara, Jakarta: Nuansa Madani, Cet. I, 2005.
4.        Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: RajaGrafiondo Persada, Cet. I, 2007.
5.        Hidayatullah, Syarif, Ensiklopedia Rukun Islam: Ibadah Tanpa Khilafiah Zakat, Jakarta: Al-Kautsar Prima Indocomp, Cet. I, 2008.
6.        http://www.e-syariah.net.
7.        Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
8.        Kurnia, Hikmat dkk., Panduan Pintar Zakat, Jakarta, QultumMedia, Cet. I, 2008.
9.        Mahmudi, Sistem Akuntasi Organisasi Pengelola Zakat, Yogyakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia, Cet. I, 2009.
10.    Manaf, Abdul, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Bandung, Mandar Maju, Cet. I, 2008.
11.    Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta; Kencana Prenada Group, Cet. II, 2008.
12.    Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta; Yayasan Al-Hikmah, Cet. I, 2000.
13.    Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, Yogyakarta, Graha Ilmu, Cet. I, 2007.
14.    Prihatin, Farida, dkk., Hukum Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta, Papas Sinar Sinanti dan Universitas Indonesia, Cet. I, 2005.
15.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
16.    Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
17.    Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Perwakafan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama



[1]Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 164 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3885,
[2]Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
[3]Artinya: “Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". Barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya”.
[4]Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Lihat Muhammad Shiddiq al-Jawi, Definisi Zakat, Infaq dan Shadaqah, lihat: http://www.e-syariah.net.
[5]Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Rukun Islam: Ibadah Tanpa Khilafiah Zakat, Jakarta: Al-Kautsar Prima Indocamp, Cet. I, 2008, hlm. 1-2. M. Ali Hasan, Tuntunan Puasa dan Zakat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 92.
[6]H. Hikmat Kurnia dkk., Panduan Pintar Zakat. Jakarta: QultumMedia, Cet. I, 2008, hlm. 3
[7]Syarat-syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah: a. milik sempurna, adanya kebebasan pemiliknya untuk mendayagunakan barang tersebut tanpa campur tangan pihak lain; b. berkembang secara riil atau estimasi, adanya pertumbuhan dan pertambahan nilai terhadap barang tersebut; c. sampai nishab, yakni mencapai ukuran dan jumlah tertentu yang ditentukan oleh hukum Islam; d. melebihi kebutuhan pokok, harta yang dizakatkan merupakan kelebihan dari bafkah asasi muzakki dan orang yang berada dalam tanggungannya; e. tidak terjadi zakat ganda, karena berubahnya atau bertambahnya nilai harta tersebut, maka tidak wajib lagi dikeluarkan zakatnya; f. cukup haul, yakni perputaran harta 1 nishab dalam 1 tahun Hijriyah. Lihat, H. Hikmat Kurnia dkk., Ibid, hlm. 11-16.
[8]Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Rukun Islam, Op.cit., hlm. 10.
[9]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta; Kencana Prenada Group, Cet. II, 2008, hlm. 287.
[10]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum …, Ibid.
[11]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum … Ibid., hlm. 288-289.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar