Minggu, 24 April 2011

MEMAKNAI SABAR DALAM HIDUP


Oleh:
Mukhtar Alshodiq, S.Ag., MH



Kata ”sabar” biasanya terucap [berkonotasi nasihat] untuk meneguhkan hati yang sedang dirundung nestapa penderitaan atau musibah. Namun kata ini seringkali dimaknai secara keliru dan dipraktikkan secara tidak tepat dalam kehidupan sehari-hari, yang berujung pada sikap dan tindakan yang apatis, pesimis, dan skeptis ketika menghadapi kondisi hidup yang serba sulit tersebut. Oleh karena itu, istilah ”sabar” harus diluruskan kembali pemaknaannya yang selama ini berkonotasi lemah tak berdaya, menjadi suatu pembangkit semangat untuk meraih kehidupan yang lebih baik dengan berbagai pembaruan sikap dan pola pikir serta tindakan menuju insan kamil (manusia paripurna). Yakni, menjadikan kata “sabar” sebagai motivator dengan menyusun sebuah langkah strategi untuk mengubah hidup ke arah yang lebih baik, bukan menjadikan diri semakin terperosok dalam gumilan keterpurukan.
Kata sabar berasal dari bahasa Arab ”shabr”, artinya tabah menderita, yakni sanggup menunda kesenangan sementara (seperti kesenangan karena merasa “menang” dalam hal-hal sekunder) dengan berharap dan yakin akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar nan abadi. Kebahagiaan abadi itulah yang dapat kita maknai sebagai suatu kemuliaan yang hendak diberikan oleh Tuhan ketika kita tertimpa musibah, tetapi harus tabah/sabar menghadapinya. Dengan demikian, sifat sabar di kala tertimpa musibah menjadi hal penting untuk mendapatkan pengampunan sekaligus kemuliaan dari sisi Sang Khaliqullah.
Kata ”sabar” dalam Al-Quran berulang sebanyak 28 kali, baik mengandung arti perintah supaya bersabar, seperti dalam QS al-Baqarah [2]:45, Ali Imran [3]:200, larangan, seperti dalam QS al-Ahqaf [46]:35 dan al-Anfal [8]:46, Allah memuji orang yang sabar dalam QS Ali Imran [3]:17 dan al-Baqarah [2]:177), Allah mengasihi orang yang sabar dalam QS al-Baqarah [2]:45). Makna kesabaran lain yang dijelaskan dalam Al-Quran adalah Allah bersama orang yang sabar, kebaikan bagi mereka yang sabar, balasan amal yang paling baik, berita gembira kepada orang sabar, jaminan kemenangan bagi orang yang sabar, dan balasan Allah tanpa batas kepada orang yang sabar. Ke semua arti yang tercakup dalam kata sabar itu mengandung makna pembangkit dan pengungkit semangat yang tinggi dan kuat untuk melakukan renovasi diri.
Selain itu, kata ”sabar” dapat berkonotasi pada ”dorongan atau motivasi” untuk melakukan inovasi dalam struktur dan kultur hidup, baik secara individu maupun kolektif dalam masyarakat melalui pemaknaan untuk selalu melakukan pengembangan skill and knowledge menjadi manusia yang unggul dalam berbagai dimensi hidup. Sabar adalah teguh, tabah, dan tahan menghadapi pengaruh yang ditimbulkan oleh hawa nafsu (QS Luqman [31]: 24).
Paling tidak, ada dua bentuk kesabaran yang diajarkan oleh Islam, yaitu sabar dalam mengerjakan kebaikan dan sabar dalam menerima musibah atau ujian Allah Swt. Sedangkan menurut Imam al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad telah membagi sifat sabar ini kepada empat bagian, yaitu: (1) Sabar dalam melaksanakan ketaatan sewaktu beribadat kepada Allah Swt.; (2) Sabar terhadap hal-hal maksiat; (3) Sabar terhadap hal-hal yang  tidak dikehendaki; dan (4) Sabar terhadap keinginan hawa nafsu.
Dengan demikian, ketika kata “sabar” tersebut dipahami secara benar dan konsekuen, maka akan melahirkan manusia-manusia yang mampu melakukan manuver dalam setiap gejala penderitaan hidup yang dialaminya kepada posisi yang bermanfaat, baik untuk dirinya maupun bagi alam semesta (QS al-Nahl [16]:41-42). Allah Swt. berfirman: “...Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS al-Nahl [16]:96). Dalam ayat lain Allah berfirman: “...Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahala mereka tanpa batas.” (QS al-Zumar [39]:10). Dalam konteks ini, Rasulullah Saw. bersabda: “Sabar itu bagian daripada iman.” (HR. Abu Na’im dari Ibn Mas’ud). Hadis lain Rasulullah Saw. bersabda: “Sabar terhadap hal-hal yang mengandung dosa, mengandung banyak kebaikan.” (HR. al-Turmudzi dari Ibn Abbas).
Di lain waktu, Nabi Saw. bersabda: Kesabaran yang sempurna itu adalah pada awal terjadinya musibah.” (HR. al-Bazar dan Abu Ya’la dari Abu Hurairah ra.). Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya sebagaimana dikutip Imam Jalaluddin al-Suyuti, al-Syaikh Muhammad bin Umar al-Nawawi dalam kitabnya Lubab al-Hadits wa Tanqih al-Qaul, Nabi Saw. bersabda: “Tidaklah seorang Muslim ditimpa suatu musibah dan yang lebih berat dari itu, bahkan duri, melainkan karena salah satu dari dua perkara: Pertama, adakalanya supaya Allah Swt. mengampuni dosanya yang tidak bisa diampuni, kecuali dengan musibah itu; Kedua, atau untuk mencapai suatu kemuliaan yang tidak bisa dicapainya, kecuali dengan musibah seperti itu.
Jika kita mengacu pada dua hadis di atas, betapa di balik sebuah musibah selalu ada hikmah. Entah karena Tuhan ingin memberikan pengampunan atas dosa dan kesalahan kita atau Tuhan hendak meninggikan derajat kemuliaan kita sebagai manusia. Oleh sebab itu, sabar menjadi satu hal yang penting bagi orang Muslim, terutama di kala tertimpa musibah. Nurcholish Madjid berpendapat bahwa sabar merupakan salah satu bentuk kebajikan sebagaimana Allah berfirman dalam QS al-Baqarah [2]:177: ”...Mereka yang tabah/sabar dalam penderitaan, kesengsaraan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.
Sabar dalam menghadapi hidup dan tidak mudah berputus asa. Inilah yang juga merupakan prasyarat atau prakondisi bagi kemenangan seseorang dalam mengarungi bahtera perjuangan hidupnya. Seberat apapun problem hidup itu, tetapi kalau tabah/sabar, penuh disiplin (shiddiq), responsible (amanah), tidak mudah putus asa (istiqamah), maka dia mampu mengalahkannya. Hal ini terkait dengan pengalaman Nabi Daud as yang memimpin sebuah tentara berjumlah kecil bergelar Thalut, tetapi mampu mengalahkan tentara Jalut yang besar jumlahnya. Ini adalah simbolisasi seorang yang tabah tetapi memiliki sikap istiqamah (konsekuen), disiplin, karena didasari oleh visi ke depan dibarengi integritas yang tinggi sehingga dapat mengalahkan kekuatan yang besar (QS al-Baqarah [2]:249).
Namun harus ditanamkan sedini mungkin bahwa segala bentuk apapun yang dihadapi, tidak pernah lupa menyandarkan diri kepada Allah Swt., seperti halnya ketika Nabi Ya’kub diuji oleh Allah, kemudian dia berkata: “Sesungguhnya hanya kepada Allah-lah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak ketahui.” (QS Yusuf [12]:86). Oleh karena itu, kunci utama dalam menanamkan sifat sabar dalam diri adalah berserah diri kepada Allah sambil mengingat akan segala nikmat yang dikaruniakan selama ini. Dengan demikian akan terasa bahwa ujian itu bagaikan setitik air dibandingkan luasnya lautan.
Tanpa kesabaran dalam mengarungi bahtera perjalanan hidup ini, kehidupan seseorang tidak akan tenang dan damai karena jalan hidup tidak selalu mendatar, ada kalanya mendaki, bahkan di suatu saat jatuh tersungkur tak berdaya. Dari sini, maka sifat sabar mengandung arti: Pertama, maqamat, yaitu perjuangan atau usaha serta mujahadah yang kita lakukan dengan tujuan untuk mendatangkan sifat tersebut. Tidak berarti sifat ini selalu ada dalam diri kita tanpa sedikit pun perjuangan untuk meraihnya. Namun harus dipahami bahwa Allah telah memberikan bekal dengan sifat sabar dalam diri setiap hamba, seperti halnya Allah telah menyediakan atau menetapkan rezeki masing-masing hamba, tetapi perlu ada ikhtiar kuat untuk mendapatkannya. Kedua, ahwal, yaitu suatu perasaan yang timbul dengan sendirinya terhadap diri kita, seperti gembira, bahagia, senang, sedih, marah, dan sebagainya.
Dalam dimensi ke-Indonesia-an, ketika kita dilanda berbagai musibah baik berupa banjir, gempa, longsor, penyakit, pertikaian, krisis moneter, dan berbagai bentuk fenomena sosial lainnya merupakan potret bahwa kita harus lebih menanamkan sifat sabar, dalam arti mampu melakukan introspeksi diri (muhasabah) untuk melakukan penilaian terhadap kinerja dan hasil yang telah dicapai saat ini untuk melakukan manuver (hijrah) dengan lebih meningkatkan pada hal-hal yang positif dan mendatangkan manfaat yang lebih baik bagi seluruh umat manusia dan alam semesta, bukan justru semakin memperkaya diri dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ketika perangkap hukum melemah, seharusnya diperlukan adanya tindakan kongkrit masyarakat melakukan social control and social engeneering terhadap aksi-aksi yang dapat merusak kondisi dan wibawa alam Indonesia, bukan mendukung karena alasan kebutuhan ekonomi dan desakan pihak luar, sehingga melegitimasi merajalelahnya praktik korupsi, illegal logging, trafficking, Pelanggaran HAM, pendiskreditan terhadap hak-hak buruh, pendistribusian narkoba, penggunaan bahan-bahan berformalin pada makanan, dan sebagainya. Dalam kondisi demikian, diperlukan adanya sikap kepedulian yang tinggi terhadap kondisi objektif masyarakat sekitar, karena orang yang memiliki sifat yang demikian itulah yang tidak termasuk manusia-manusia yang merugi dalam pandangan Allah Swt. dengan mendasarkan diri pada apa kata ”Hati Nurani Kita”.[] (wallahu a’lam bi al-sawab)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar