Rabu, 20 April 2011

Nikah Siri antara legal dan illegal dalam tata hukum perkawinan di Indonesia


Oleh:
Mukhtar Alshodiq, S.Ag., MH

Penjelasan Umum Amandemen IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Sehingga dalam menjalankan sistem pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) yang tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Kerangka dasar pembentuk negara hukum Indonesia tersebut bersumber dari budaya hukumnya (culture of law) sendiri, yang berbeda dengan budaya hukum yang berlaku di negara-negara lain. Selain karena Indonesia adalah negara yang ratusan tahun dijajah oleh kolonial Hindia Belanda (Nederlandsch-Indië), tetapi tidak seluruhnya hukum yang berlaku adalah hukum Belanda; juga Indonesia dihuni oleh mayoritas umat Islam bahkan agama Islam menempati peringkat pertama dianut terbanyak di dunia, tetapi yang berlaku bukan hukum Islam, bandingkan dengan negara Malaysia, Brunai Darussalam, dan negara Islam di Timur Tengah serta negara bekas jajahan kolonial lainnya. Namun yang terjadi adalah terciptanya kemajemukan budaya hukum dalam tubuh Indonesia yang saling memberi pengaruh dan bersinergi untuk saling menguatkan, tumbuh bersemai dan bersama.
Hal yang tak bisa dipungkiri bagi bangsa Indonesia adalah sejarah lahirnya bangsa ini, yang sejak awal pula dikawal oleh pengaruh “hukum Islam” dalam pergaulan dan pergumulan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang pada awalnya ditengarai oleh para gujarat Muslim sekitar abad VII - VIII M atau abad I H, ada pula sebagian ahli sejarah berpendapat sekitar abad VII H atau abad XIII M. Walaupun
para ahli berbeda pendapat mengenai kedatangan Islam, tetapi dapat dikatakan bahwa setelah Islam datang ke Indonesia, hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Islam di Nusantara. Hal ini dapat dilihat pada studi para pujangga yang hidup pada masa itu mengenai hukum Islam dan peranannya dalam menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat. Misalnya, Sirathal Mustaqim
oleh Nuruddin ar-Raniri, Miratul Tullab oleh Abdurrauf Singkel, Sabilal Muhtadin oleh Syaikh Arsyad Banjar, dan lain-lain.1 Artinya, jauh sebelum Hindia Belanda – VOC menginjakkan dan menancapkan kekuasaannya di tanah air, hukum Islam sudah hidup dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dalam penyebaran ajaran Islam tersebut, para gujarat melakukan cara bil hikmah dan bil hasanah (sistem Nikah Siri: Perspektif Tata Hukum Perkawinan di Indonesia damai dan toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agamaagama yang ada (Hindu dan Budha).
Penataan hukum yang lebih awal dilakukan oleh para gujarat tersebut adalah penerapan hukum perdata khususnya masalah perkawinan, bahkan salah satu taktik politik hukum yang diterapkan adalah melakukan perkawinan dengan penduduk setempat (pribumi) sesuai dengan sistem Islam. Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan antara anggota-anggotanya dengan kaidah-kaidah hukum Islam atau kaidah-kaidah lama yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.2 Dalam perkembangan penyebaran ajaran Islam selanjutnya, dengan kerelaan sikap pribumi menunduk-kan diri secara sukarela terhadap hukum Islam,
disertai dengan menyatakan dirinya memeluk agama Islam.
Penundukan diri khususnya dalam bidang ahwal al-syakhsiyah yang menunjukkan lahirnya realitas baru, yang tidak lain adalah diterimanya norma-norma sosial Islam secara damai oleh sebagian besar rakyat Nusantara.3
Pada masa permulaan Islam, ketika terjadi suatu sengketa, mereka sepakat mendatangi ustadz atau muballigh (ulama/faqih) meminta agar menyelesaikan sengketa di antara mereka, atau disebut dengan tahkim. Setelah terbentuknya masyarakat Islam dalam bentuk komunitas di berbagai wilayah, maka di antara mereka ada yang diangkat sebagai pemegang kekuasaan yang salah satu tugasnya adalah mengadili, disebut ahl alhalli wa al-‘aqdi yang berwenang menunjuk figur-figur tertentu untuk menyelenggarakan urusan peradilan agama. Kemudian setelah terbentuknya kerajaan Islam dan diperkuat dengan keberadaan struktur dan instansi yang mengurusi kepentingan beragama kaum Muslimin Nusantara, maka mulailah berlaku tauliyah dari imam yang menjadikan keberadaan peradilan agama baik secara administratif maupun produk-produk hukumnya lebih sah dan legitimated. Sejak itulah, peradilan agama di Nusantara ini mengambil peranan dalam bentuk formil dan kongkrit. Karena para raja menerima ajaran Islam sebagai agama mereka, maka secara otomatis para hakim pelaksana peradilan agama Islam dalam kerajaan diangkat oleh Sultan atau Imam atau Wali al-Amr. Pada masa itu, hampir semua Swapraja Islam, jabatan keagamaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan jabatan pemerintahan umum. Misalnya, di tingkat desa ada jabatan agama yang disebut Kaum, Kayim, Modin, Amil; di tingkat kecamatan ada yang disebut Penghulu Naib; di tingkat kabupaten ada Penghulu Seda; dan di tingkat kerajaan ada Penghulu Agung, yang berfungsi sebagai hakim atau qadhi dibantu beberapa penasihat, kemudian dikenal dengan Pengadilan Serambi.4 Ketika Belanda mulai melakukan agresinya, dengan terlebih dahulu melakukan perombakan tata hukum di Indonesia, mereka mengalami banyak kendala dan kesulitan, walau dengan berbagai monuver politik hukum yang dijalankan. Misalnya, lahirnya teori receptio in complexu bahwa orang Muslim Indonesia menerima dan memberlakukan syariat Islam secara keseluruhan, yang dipelopori oleh L.W.C. van den Berg (1845-1927).5 Kemudian ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) melalui teorinya receptie, bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat pribumi bukanlah hukum Islam, melainkan hukum adat. Dia mengakui Nikah Siri: Perspektif Tata Hukum Perkawinan di Indonesia bahwa di dalam hukum adat memang telah masuk unsurunsur hukum Islam, akan tetapi unsur-unsur itu barulah berlaku sebagai hukum yang hidup jika ia telah diterima oleh hukum adat.6
Selain memperlemah keyakinan umat Islam terhadap pelaksanaan ajaran agamanya, langkah lain yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda adalah mengubah tatanan hukum di Indonesia melalui program yang dinamakan “Politik Hukum yang Sadar” terhadap Indonesia. Maksudnya adalah politik hukum yang dengan sadar ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda, melalui kodifikasi dan unifikasi hukum yang terjadi di negeri Belanda pada tahun 1838, berdasarkan anggapan bahwa hukum Belanda jauh lebih baik dibandingkan dengan hukum rakyat pribumi.7 Karena itu, tidak berlebihan ungkapan Daniel S. Lev, yang menyatakan bahwa “negara-negara baru mewarisi banyak hal dari pendahulunya di masa kolonial, karena berbagai revolusi yang dibarengi dengan penghancuran total sekalipun, yang jarang terjadi pada negara-negara baru, tidak dapat menyapu bersih bekas-bekas masa silam.”8 Sekalipun kolonial Belanda berusaha keras menerapkan taktik dan strategi politiknya melalui devide et impera. Namun Belanda harus mengakui bahwa mereka tidak mampu mencampuri terlalu jauh urusan hukum perkawinan (ahwal al-syakhsiyah)9 khusus bagi umat Islam di Indonesia. Buktinya, para penghulu/qadhi pun diberikan keleluasaan dan kewenangan penuh untuk mengurusnya, baik secara hukum di Pengadilan/serambi masjid maupun pelaksanaannya.
Hal ini membuktikan bahwa masalah hukum perkawinan bagi umat Islam Indonesia tidak bisa diintervensi keberadaan dan sistem penerapannya, bahkan dilindungi oleh negara melalui berbagai payung hukum yang ada. Misalnya; Huwelijksordonnantie, Staatblad 1929 No. 348 (Peraturan tentang Perkawinan dan Perceraian bagi orang-orang Islam di Jawa dan Madura) dan Vorstenlandse Huwelijksordonnantie, Staatblad 1933 No. 98 jo. Staatblad 1941 No. 320 (Peraturan tentang Perkawinan dan Talak/Perceraian bagi orang-orang Islam di Gubernemen Surakarta dan Yogyakarta).
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)10 bukan negara kekuasaan belaka (machtstaat),11 dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas),12 dimana masyarakatnya merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang besar, hidup, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat (living law) yang bersumber dari adat, agama, budaya, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yang terdiri atas lima nilai dasar, yaitu: nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai kebangsaan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan yang satu sama lain merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan.
Sementara masalah penataan perkawinan bagi masyarakat Indonesia merupakan salah satu praktek agama dan budaya atau adat istiadat, yang bersumber dari berbagai latar perumusan di kalangan masyarakat dan hingga saat ini senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa mengindahkan nilai-nilai luhur bangsanya. Bahkan Nikah Siri: Perspektif Tata Hukum Perkawinan di Indonesia dipercayai sebagai perwujudan ideal untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sehingga menjadi urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai negara. Oleh karena itu, hukum perkawinan ini pula disebut sensitif, karena terkait dengan keyakinan pada ajaran agama, adat istiadat, dan budaya masyarakat.
Hal ini terjadi, karena Indonesia dihuni oleh berbagai suku, budaya, dan agama yang berbeda, sehingga sistem perkawinan yang berlaku di Indonesia memiliki ciri khas tertentu, karena di samping menggunakan peraturan perundang-undangan yang tertulis (positivisasi hukum), juga berlaku hukum adat, budaya, dan agama/kepercayaan yang diakui sebagai sumber hukum tak tertulis oleh negara, di samping hukum peninggalan Belanda yang masih dikukuhkan keberadaannya oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang belum diadakan yang baru, seperti Burgerlijk Wetboek (BW).14 Bahkan sejak awal kemerdekaannya (Orde Lama), negara ini telah mengatur masalah perkawinan melalui UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk15 yang hanya berlaku untuk Jawa dan Madura.16 Namun untuk menjangkau pemberlakuannya di seluruh penduduk nusantara, maka kemudian dikeluarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura,17 maka sejak itulah undangundang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia.
Kemudian pada era Orde Baru berturut-turut lahir hukum yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia, yaitu: UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk PP No. 9 Tahun 1975 sebagai hukum materiilnya, sedangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama junto Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai hukum formalnya. Selain itu, terdapat pula aturan pelengkap yang menjadi pedoman
bagi hakim di Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam serta peraturan lainnya yang berkaitan dengan sistem perkawinan di Indonesia.18 Zaman Reformasi saat ini, Indonesia mengalami pergeseran dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang lebih progresif, responsif, dan akomodatif, terutama setelah diamandemennya Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengukuhkan eksistensi “hak asasi manusia” sebagai bagian dari batang tubuh UUD, terutama mengakui bahwa perkawinan adalah hak asasi bagi setiap warganegara, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (1) bahwa “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah [A-2]”. Sekalipun ketentuan tersebut meneguhkan bahwa perkawinan merupakan hak asasi manusia, tidak berarti bahwa setiap orang dapat secara bebas melaksanakan suatu perkawinan. Tetapi dalam pelaksanaannya harus memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan, baik menurut ajaran agama dan kepercayaan maupun menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya bahwa perkawinan harus dicatatkan pada instansi/lembaga negara yang telah diberi kewenangan untuk melaksanakan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, sebagai bentuk perwujudan pengamalan terhadap UUD tersebut, maka pemerintah mengesahkan UU No. 23 Tahun 2008 tentang Kependudukan dan Kewarganegaraan, salah satu yang diatur adalah masalah pencatatan, baik itu perkawinan, kelahiran, kematian, perceraian, maupun pembatalan perkawinan dan perceraian. Bahkan dalam dekade terakhir ini, sedang menggodok draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) Bidang Perkawinan untuk disahkan menjadi undang-undang, sekalipun banyak menuai kontroversial dari berbagai lapisan masyarakat, terutama menyangkut masalah pemidanaan terhadap pelaksanaan “nikah siri”, yang akan diulas lebih jauh dalam buku ini.
Terangkatnya istilah “nikah siri” ke permukaan yang telah menjadi fenomena dan bentuk perkawinan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia, seiring dengan bangkitnya pemikiran progresif tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang beriringan dengan aksi perlindungan terhadap HAM dan hak-hak asasi perempuan. Alasannya, bahwa perlunya perkawinan dicatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS), karena selain asas legalitas atas pengakuan ikatan suami istri serta jaminan perlindungan anak-anak mereka, juga karena banyaknya perempuan (istri) dan anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Selain itu, karena pergaulan masyarakat saat ini yang semakin mengglobal, seakan tanpa batas, baik antar regional, nasional, maupun internasional yang sangat memungkinkan terjadinya berbagai bentuk interaksi sosial, termasuk hubungan perkawinan, sehingga memerlukan payung hukum yang lebih tegas, supaya hak dan kewajiban di antara mereka dapat terselenggara secara pasti, adil, dan bijak. Kondisi ini berbeda dengan zaman dahulu, di mana jumlah penduduk masih sedikit, hubungan antara wilayah masih sangat terbatas, serta nilai-nilai kejujuran dan i’tikad baik masih dijunjung tinggi. Berbeda dengan zaman sekarang, nilai-nilai tersebut
semakin terkikis, sehingga seringkali terjadi tindakan manipulasi dan rekayasa yang menimbulkan konflik dalam perkawinan. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan adalah tindakan preventif, refresif, dan rehabilitatif untuk mencegah terjadi manipulasi dan dapat menjadi alat bukti otentik jikalau terjadi sengketa dalam perkawinan.19 Sementara masalah “nikah siri” di sebagian masyarakat Indonesia sudah membudaya dengan berbagai alasan, terutama hanya mengaitkan keabsahan legalitas perkawinannya pada unsur ajaran agama semata, yakni terpenuhi unsur rukun dan syarat pernikahan, tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lain yang ditimbulkan dari akibat perkawinan tersebut. Alasannya bahwa perkawinan dianggap sah (legal) dalam ajaran Islam, apabila rukun dan syaratnya terpenuhi, sementara masalah pencatatan perkawinan hanya sebagai administrasi yang dibuat oleh negara. Namun pandangan negara, tindakan tersebut tidak sah (illegal), karena negara memiliki kewajiban melindungi hak dan kepentingan warganya. Selain itu, karena alasan biaya administrasi birokrasi yang mahal, tetapi alasan terakhir ini tidak terlalu signifikan, karena banyak pelaku nikah siri adalah penguasa dan pengusaha. Lebih lanjut akan diurai pada bab-bab berikut, yang terfokus pada permasalahan yang diangkat dalam buku ini, yakni menyoroti bagaimana kedudukan nikah siri dalam hukum Islam dan dalam perspektif tata hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia? Apakah terdapat kevakuman 
hukum yang mengatur tentang nikah siri, sehingga prakteknya membudaya dalam masyarakat? Bagaimana sistem penerapan hukum terhadap pelaku nikah siri di Indonesia?

Catatan Kaki:
1Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 209.
2Mohammad Daud Ali, Hukum Islam … Ibid., hlm. 210.
3Syamsulhadi Irsyad (Koordinator Tim Penyusunan), Peradilan Agama di Indonesia: sejarah perkembangan lembaga dan proses pembentukan undang-undangnya. Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam; Jakarta: 2000, Cet. II, hlm. 19.
4Syamsulhadi Irsyad (Koordinator Tim Penyusunan), Peradilan Agama di Indonesia … Ibid., hlm. 3.
5Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia; dari otoriter konservatif menuju konfigurasi demokratisresponsif, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. II, 2002, hal. 48.
6Mohammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990, hal. 219.
7Deliar Nur, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta; LP3ES, 1982, hal. 29-30.
8Daniel S. Lev., “Hukum Kolonial dan Asal-usul Pembentukan Negara Indonesia” dalam Hukum dan Politik di Indonesia-Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990, h. 438.
9Hukum perkawinan dalam hukum Islam dibahas secara terkhusus, dalam kitab fiqh al-munakahat, yaitu (rub’ul munakahat) bagian yang menata hubungan manusia dalam lingkungan keluarga. KH. Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: dari soal lingkungan hidup, asuransi hingga ukhuwah, Bandung: Mizan, 1994, hal. 132.
10Pembukaan UUD RI 1945 alinea IV berbunyi: “... untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial ...“. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: dasar-dasar dan pembentukannya, Jakarta: Kanisius; 1998, Cet. XI, hal. 1. Juga termaktub dalam Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (UUD) 1945 yang menyatakan: “(1)Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. (2)
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.“ Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002, hal. 59.
11Harun Al-Rasyid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1983, hal. 15.
12Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009, dalam Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 11. Bab 9 tentang Pembenahan Sistem dan Politik Hukum, hlm. 85.
13Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Satu Sistem, Bandung: Mandar Maju; 2003, Cet. II, hal. 191-195.
14Hanya saja setelah Indonesia merdeka, apakah masih pantas kedudukan BW sebagai undang-undang? Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963 dinyatakan bahwa Burgerlijk Wetboek (BW) dianggap sebagai hukum tidak tertulis yang berlaku di Indonesia, karena BW tidak bisa dilepaskan dari pikiran kaum penjajah, sebagian atau seluruhnya untuk kepentingan Belanda. Tetapi berdasar pada Pasal I Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945 bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
15Ditetapkan di Linggarjati pada tanggal 21 November 1946 oleh Presiden RI, Soekarno dan Menteri Agama RI, Fathurrahman.
16Berdasarkan pertimbangan bahwa peraturan tentang nikah, talak, dan rujuk sebagaimana diatur dalam Huwelijksordonantie Staatsblad 1929 No. 348 Junto Staatsblad 1931 No. 467 dan Vorszenlandsche Huwelijksordonantie Buitengewesten Staatsblad 1932 No. 482 tidak sesuai lagi dengan keadaan, maka dikeluarlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 pada tanggal 21 November 1946 yang hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Lihat, Syamsulhadi Irsyad, Peradilan Agama di Indonesia …, Op.cit., hal. 20.
17Pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura menyatakan bahwa, “ Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk berlaku untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura.” Disahkan di Jakarta tanggal 26 Oktober 1954 oleh Presiden RI, Soekarno dan Menteri Agama RI, K.H. Masjkur. Tambahan Lembaran Negara Nomor 694.
18Misalnya, Peraturan Pemerintah RI No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Peraturan Pemerintah RI No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah RI No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS),
Keputusan Menhankam/Panglima Angkata Bersenjata No. KEP/01/1/1980 tentang Peraturan Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Anggota ABRI, dan Petunjuk Teknis No. Pol.: Juknis/01/III/2981 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk bagi Anggota Polri. 19Muchsin, “Problematika Perkawinan tidak Tercatat dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”. Dalam, Makalah: Materi Rakernas Perdata Agama, pada acara Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan Jajaran Pengadilan dari Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia, tanggal 4-7 Agustus 2008, Jakarta; Mahkamah Agung RI, 2008, hal. 4.

1 komentar: