Sabtu, 23 April 2011

MEMBINGKAI HATI MERAJUT CINTA (Napak Tilas Tiga Tahun Usia Pernikahan: sebuah Renungan)


Oleh:
Mukhtar Alshodiq, S.Ag., MH

Napak Tilas Usia Pernikahan
Tepat pada pukul 09.25 WIB tanggal 18 Mei 2008 bertempat di Lantai Utama Masjid Istiqlal Jakarta teruntai sebuah ikrar lewat bibir, tertekadbulatkan oleh hati, dan terjewantahkan dalam prilaku dan tindak tanduk, suatu komitmen yang belum pernah terjamah kemudian termaktubkan dalam goresan tinta sebuah ikatan yang sangat kuat (mitsaaqan ghalidza) untuk merajut cinta yang selama ini terpendam dalam lamunan, melayang-layang dalam khalayan, terbawa-bawa dalam mimpi, serta tergiang-giang dalam ingatan menjadi sebuah hubungan yang sah dan halal dalam kenyataan, nikmat dalam lahir dan batin, syahdu dalam suka dan duka serta senantiasa senada dalam petikan irama yang menderai fenomena bahtera keluarga.
Sejarah mengukir bahwa Masjid Istiqlal merupakan masjid terluas di Asia Tenggara yang bermakna ‘merdeka’ sebagai monumen penting dan simbol kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang dibangun sejak zaman Presiden Soekarno atas cetusan ide KH. Wahid Hasyim (Menteri Agama RI) bersama H. Agus Salim, Anwar Cokroaminoto, dan tokoh Islam lainnya pada tahun 1950, kemudian disetujui oleh Ir. Soekarno pada 7 Desember 1954 melalui pembentukan Yayasan Masjid Istiqlal. Masjid ini kemudian diperluas pada orde Presiden Soeharto menjadi masjid negara Republik Indonesia serta diresmikan pada tanggal 22 Pebruari 1978, sehingga di setiap acara kenegaraan yang berkaitan dengan kegiatan Islam, seperti Hari Idul Fitri – Idul Adha, Maulid dan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang selalu dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia serta kegiatan keislaman lainnya diselenggarakan di masjid ini.
Masjid Istiqlal inilah selain menjadi simbol kebanggaan umat Islam dan bangsa Indonesia juga sebagai saksi ‘bisu’ pada acara pernikahan kami yang dilaksanakan secara sah menjadi suami istri, baik menurut hukum Islam maupun hukum tata negara, dicatatkan di hadapan penghulu KUA Sawah Besar, disaksikan oleh orang tua, sanak saudara, sejumlah kerabat, dan kolega yang terajut selama ini. Acara walimah al-urusy pun dilanjut sebagai bentuk tasyakkur kami kepada Allah Azza Wajalla yang dihadiri oleh para undangan, terselenggara di gedung serba guna “Sasana Amal Bakti” Kementerian Agama Pusat – tepat berada dalam area kantor Menteri Agama RI di samping Masjid Istiqlal.
Sebuah kenangan yang sangat menakjubkan dan tak pernah terlintas lebih awal dalam benak dan pikiran kami, subhanallah sebuah kenangan yang luar biasa yang mengisi kisi-kisi dan relung hidup kami, terutama bagi aku pribadi yang terlahir dari desa terpencil nan jauh dari hiruk pikuk kota, dari keluarga yang tak begitu memahami perkembangan sosial dan ilmu pengetahuan. Namun acara pernikahan kami dapat dilaksanakan di Masjid Istiqlal ini dengan khidmat dan khusyuk, karena bagi sebagian umat Islam dan masyarakat lainnya, tempat suci ini adalah dambaan yang senantiasa ingin dikunjungi, baik untuk melaksanakan ibadah atau sekadar berwisata, karena Masjid ini selain sebagai tempat ibadah bagi umat Islam juga menjadi salah satu tempat wisata yang seringkali disinggahi oleh para turis domestik maupun mancanegara.
Tak terasa hari penuh bahagia dan takjub itu telah menginjak usianya yang ketiga tahun, disambut rasa haru nan bahagia. Rasa suka cita itu bukan hanya kami berdua ‘mempelai’ yang menikmatinya, tetapi juga orang tua dan sanak saudara larut dalam kebahagiaan diiringi oleh sapaan yang mesra disertai senyuman, canda, dan tawa, tapi tak terasa pula air mata pun tak tertahan, berlinang – berderai hingga membasahi pelupuk mata sebagai rasa haru dan bangga, mendalami dan menyelami gubahan doa yang terpanjat dari Pak Penghulu yang mampu mengusik kerisauan hati, kepenakan pikiran, serta kebisingan otak terutama pada awal menjelang pernikahan kami, namun ungkapan ‘terima kasih’ tak pernah luput erucap dari bibir.
Menikah bukan perkara menghalalkan hubungan suami istri semata, tetapi menyatukan dan meleburkan diri dan hati sanubari ke dalam diri suami kepada istri dan istri terhadap suami. Istri lebih berharga dari dirimu dan lebih dekat ke hati darimu. Atau sebaliknya, suami lebih berharga dari dirimu dan lebih dekat ke hati darimu. Maka muliakan dirinya, niscaya manis pula penyebutannya, dan ketika terhinakan dirinya maka hina pula dirimu. Karena itu, “aku telah dekatkan dirimu bersamaan dengan dekatmu kepadaku, maka janganlah engkau jauhkan hatiku dari hatimu”. Sekalipun makna “nikah” adalah sebagai sarana untuk menyalurkan hasrat seksual melalui kontrak sosial, karena itu menikah bukanlah “ibadah” dalam arti kewajiban, melainkan hanya hubungan sosial kemanusiaan semata. Pernikahan akan bernilai ibadah jika diniatkan untuk menggapai keridhaan Allah Swt. sebagaimana termaktub dalam QS Ali Imran [3]:14: “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: perempuan-perempuan, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.
Ikatan suami – istri bagaikan tarikan dan hembusan satu nafas, ketika salah satu bahagia maka yang lain pun ikut berbahagia atau pun sebaliknya dengan penuh ikhlas. Ikatan yang saling butuh untuk “kepuasan” berimbang dan ingin saling “memahami” bukan hanya mampu untuk “dipahami”. Karena itu, keduanya membutuhkan “perasaan” yang sangat tinggi dan “hati” yang peka – tersentuh, bukan semata hitungan “emosi” yang tersalurkan dan “materi” yang tercukupkan. Petuah beruntai, buka mata lebar-lebar sebelum menikah, dan biarkan mata setengah terpejam sesudahnya.
Suami – istri adalah teman hidup dan mati, sedangkan teman sejati adalah yang senantiasa membuat hangat dengan kehadirannya, mempercayai akan rahasianya, dan mengingat dalam doa-doanya. Namun kita tidak akan pernah memiliki seorang teman, jika kita mengharapkan seseorang tanpa kesalahan. Karena semua manusia itu baik kalau kita bisa melihat kebaikannya dan menyenangkan kalau kita bisa melihat keunikannya tapi semua manusia itu akan buruk dan membosankan kalau kita tidak bisa melihat keduanya. Karena itu, berteman dengan orang yang suka membela kebenaran, dia adalah hiasan dikala kita senang dan perisai di waktu kita susah.
Hidup menjadi suami – istri dalam ikatan keluarga yang sah, dihiasi oleh akhlakul karimah, keteladanan, keramahan, kesederhanaan, dan kearifan berwujud shaleh dan shalehah merupakan dambaan bagi setiap rumah tangga, lalu ditambah keceriaan akan kehadiran anak bagai malaikat-malaikat kecil sebagai penyejuk mata dan permata batin merupakan wujud kesempurnaan-Nya.
Tiga tahun telah terajut hati, jiwa, dan jasad kami sebagai suami istri dalam sebuah bahtera rumah tangga. Sekalipun hati, jiwa, dan jasad telah terikat dalam sebuah ikatan yang sangat kokoh (mitsaqan ghalidza), namun tak dapat dipungkiri masih amat sulit untuk menyatukan dalam ide dan harapan untuk menjadi satu kesatuan. Ego, tak percaya diri, tidak perhatian, cuek, memendam “sesuatu” dalam benak, serta emosional senantiasa menemani di lorong-lorong waktu yang tersisa serta menyiasati pikiran dan hati yang gunda gulana. Padahal menjadi suami istri adalah amanah dipenuhi tanggung jawab yang sangat berat melebihi jabatan apapun di dunia ini, karena berhadapan oleh jabatan yang tak lekang oleh zaman dan waktu serta tak sirna oleh perubahan. Amanah tak berakhir hingga ajal pun memisahkannya, ia tetap disebut sebagai suami istri, kecuali karena ‘talak’.
Sifat dan jati diri laki-laki seringkali diidentikkan dengan “pikiran dan emosi”, sehingga apabila terjadi sesuatu maka dia akan bertindak dengan penuh pertimbangan, tetapi kadangkala dilakukan tanpa memikirkan emosional orang lain. Sedangkan perempuan senantiasa mendahulukan “perasaan emosionalnya”, sehingga dia akan mendahulukan rasa iba dan empatinya, baru kemudian dipertimbangkan, tetapi belum tentu dia mampu memahami perasaan orang di sekelilingnya.
Menyelami hidup berumah tangga, melahirkan berbagai hikmah dan hakikat hidup, sedikitnya aku [“aku” bukan bermakna kepogahan diri dengan membusungkan dada, tetapi lebih pada makna spiritual, untuk mendekatkan diri pada dirinya] dapat mengetahui secara langsung karakter akan kekurangan dan kelemahan dalam diri. Sifat emosional, ego, iri, putus asa, dan berbagai sifat buruk dalam diriku semakin hari semakin tampak di ufuk bagai matahari yang menyingkap terik panasnya. Kata “suami” adalah simbol kelaki-lakian, kejantanan, keperkasaan, karena dia adalah kepala rumah tangga, sedangkan kata “istri” bermakna keayuan, kelembutan, keibuan, kebersahajaan, kecantikan, keelokan, karena dia adalah ibu rumah tangga. Karenna itu, keduanya adalah pemimpin dalam rumah tangganya, baik terhadap dirinya sebagai suami atau istri, atau terhadap suami kepada istrinya, istri kepada suaminya, maupun kepada anak-anak mereka. Bahkan, ketika makna “akad nikah” terucap, pada hakikatnya perempuan sebagai penguasa karena dia yang “menikah”, karena itu bagi calon istri harus dimintakan izinnya terlebih dahulu, sekalipun harus diwakilkan kepada walinya bagi seorang gadis dan izin langsung bagi janda. Sedangkan pihak laki-laki yang “menerima” nikah itu sebagai amanah yang harus diemban, dipelihara dan dijaga. Jadi posisi suami bukan bermakna superioritas dan istri sebagai pelengkap dalam rumah tangga, melainkan memiliki perannya masing-masing secara seimbang dan kokoh.
Doa pun terpanjat, Ya Allah, sekiranya aku tidak mampu menunaikan tanggung jawabku sebagai suami bagi istriku dan bapak bagi anak-anakku, hingga salah satu di antara kami Engkau panggil ke hadirat-Mu. Sekiranya ada amal kebaikan aku maka untuk istriku atau anak-anakku hingga Engkau menghapuskan segala dosa dan kesalahan istri atau anak-anakku, kalau tidak cukup amal kebaikan aku, maka limpahkan segala dosa dan amal keburukan istri dan anak-anakku dan bebaskan istri dan anak-anakku dari segala macam dan bentuk siksaan-Mu termasuk mereka yang selama ini aku zalimi.
Menyatukan hati dan jiwa menjadi satu kesatuan dalam hidup berumah tangga antara; suami – istri – anak-anak memerlukan kesadaran yang tinggi, kepercayaan yang penuh, dan kesabaran yang tangguh. Apalagi menyatukan hati suami dan istri berasal dari keluarga yang berbeda watak, karakter, tata susila, lingkungan, dan adat istiadat. Lalu, menyatu dalam sebuah keluarga kecil, bagai ikan karnivora yang hidup dalam satu aquarium, kalau tidak ada makanan yang cukup memuaskan buatnya, maka sesama ikan pun menjadi santapannya. Apalagi manusia tercatat sebagai makhluk omnivora yang dapat memangsa apa saja termasuk herbavora dan karnivora, tak terkecuali istri sendiri, demi memenuhi hasrat kepuasannya.
Umamah binti Harits berkata ketika menasihati anaknya, “Wahai anakku, tidak berapa lama lagi engkau akan meninggalkan rumah yang engkau keluar darinya, dan sangkarmu yang selama ini engkau besar di dalamnya. Menuju seseorang yang tidak engkau kenal dan teman yang belum engkau dalami seluruh kondisi jiwa dan kepribadiannya. Maka, jadilah engkau dayang-dayang niscaya dia menjadi budakmu, jagalah sepuluh perkara, niscaya akan menjadi bekal bagimu. Pertama dan kedua: qana’ah dan patuh; Ketiga dan keempat: menjaga tempat-tempat pandangan dan penciumannya. Jangan sampai matanya jatuh pada yang kotor dan usahakan penciumannya membau aroma yang harum. Kelima dan keenam: memperhatikan waktu tidur dan makannya, karena lapar membakar dan kurang tidur membuat nanar. Ketujuh dan kedelapan: menjaga hartanya dan menjaga keluarga dan barang berharganya. Inti dari menjaga harta adalah ahli dalam mengatur dan menjaga keluarga pandai mendidik. Kesembilan dan kesepuluh: jangan melanggar perintahnya dan membongkar rahasianya. Karena jika engkau telah keruhkan hatinya dan jika bongkar rahasianya engkau tidak akan lepas dari tipuannya. Lalu jangan sekali-kali bergembira ketika dia berduka atau berduka ketika dia bergembira”.
Rumah tangga seringkali diikuti oleh untaian “bahtera” karena perbedaan-perbedaan tersebut selalu menjadi ombak dalam mengarungi samudra yang tak bertepi itu. Perbedaan selalu menjadi pemicu kejengkelan, amarah, dan percekcokan, sekalipun emosi di hati membuncah, terkadang “diam” adalah kunci memendam hasrat amarah itu. Berkata Abu Darda kepada istrinya, “Sekiranya aku marah maafkan aku, dan jika engkau marah, aku memaafkanmu, kalau tidak begitu kita tidak akan pernah berteman.”
Petuah bertutur “pikiran yang terbuka dan mulut yang tertutup merupakan suatu kombinasi kebahagiaan”. Ibu Arabi berkata kepada anaknya, “wahai anakku, pertama cabutlah ujung tombaknya, jika dia diam maka patahkan mata tombaknya, jika dia diam maka cincang tulang dengan pedangnya, jika dia diam maka potonglah daging di atas perisainya, jika dia diam letakkan pelana di punggungnya, sesungguhnya dia adalah keledai.
Kami sadar, setiap rumah tangga pasti punya krikil-krikil tajam yang selalu mengusik dan menusuk ketenangan dan kebahagiaan itu, tapi sejauh ini kami masih sanggup melaluinya dengan baik. Kebersamaan dan pengertian yang selalu kami bangun sebagai pondasi, dilengkapi dengan rasa saling memiliki membuat rumah tangga lebih "bernyawa". Kami selalu berusaha memberikan nilai lebih pada pernikahan kami dengan memegang kuat komitmen akan adanya kebersamaan. Semoga semua kebahagiaan yang ada terbawa ke surga-Nya. Karena jika kejahatan di balas kejahatan, maka itu adalah dendam. Jika kebaikan dibalas kebaikan itu adalah perkara biasa. Jika kebaikan dibalas kejahatan, itu adalah zalim. Tapi jika kejahatan dibalas kebaikan, itu adalah mulia dan terpuji.
Membina keluarga ternyata tidak semudah bayangan sejoli biduan dan bidara sedang mabuk cinta ditelang kasmaran yang mengusik hasrat syahwat untuk dipenuhi. Karena membangun mahlighah rumah tangga tak cukup hanya dengan ‘cinta’ semata, karena cinta itu lembut tapi angkuh. Cinta seringkali akan lari bila kita mencari, tetapi cinta jua seringkali dibiarkan pergi bila ia menghampiri. Karena itu, cinta harus diimbangi dengan keikhlasan dan tawakkal. Ikhlas akan mengokohkan hati yang dirundung nestapa akan “garis tangan”, menerima ketentuan Tuhan serta menjalani takdir itu dengan ikhlas. Sekalipun ikhlas seringkali dihampiri oleh kemulut iri hati nan putus asa akan dahsyat pengaruh dan pesona “materi” yang tak henti-hentinya memanaskan nafsu, mengusik dinginnya otak, mengarungi zig-zagnya kehidupan fana ini, tapi hanya mampu menepuk dada, maka penyerahan diri kepada-Nya adalah pondasi yang mampu menangguhkan dan meneguhkan keikhlasan itu.
Tiga tahun usia pernikahan kami, alhamdulillah telah dikaruniai tiga orang putra-putri; Evan Zahran Nurmukhtar (Evan) [19 November 2008], Naufal Khalfani Nurmukhtar (Oval) [15 November 2009], dan Shahnawaz Aulia Putri Nurmukhtar (Sahnaz/Putri) [11 Januari 2011], ketiganya lahir di Rumah Sakit Islam Jakarta, Pondok Gede. Semoga mereka menjadi penyejuk mata (qurratu a’yun) dan penentram mata hati (qalbu al-salim) bagi seluruh alam semesta terutama bagi kedua orang tua, agama, dan bangsanya, sehingga seluruh malaikat di langit memanggil dengan penyambutan mereka yang sangat hangat sebagai hamba-hamba yang memiliki jiwa yang tenang (muth’mainnah), kemudian diiringi oleh rahmat, taufik, dan hidayah Allah SWT dalam mengarungi hidup ini sebagai penghuni-penghuni alam semesta yang diridhai dan termasuk golongan hamba-hamba-Nya yang saleh dan mulia, sehingga senantiasa berada pada derajat yang terpuji (maqam mahmudah) di sisi-Nya.
Sekalipun kami tinggal di sebuah rumah kontrakan yang sempit, sesak, dan penggap, tetapi masih dapat terpancarkan riang-gembira, canda-tawa, suka-ria di antara kami untuk saling belajar, menyelami dan memahami diri masing-masing, membesarkan, mendidik, dan membina diri pribadi dan anak-anak. Keceriaan dan celotehan anak-anak bagai pelipur lara ketika hati sedang dirundung nestapa, emosi sedang menuai ujian dan tekanan. Semoga sisa dan kesempatan hidup ini semuanya bernilai ibadah di sisi-Nya, sehingga apapun yang kami lakukan demi kebaikan keluarga tidak semata bernilai baik di mata keluarga tapi pahala senantiasa mengiringinya.

Mengiringi usia pernikahan kami ini, doa pun tak pernah sirna namun senantiasa terpanjat dalam setiap relung tanpa dijadwal oleh waktu dan dibatasi oleh tempat agar menjadi keluarga idaman ‘sakinah, mawaddah, dan rahmah’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar