LEMBAGA NEGARA PENYELENGGARA HAJI DAN UMRAH INDONESIA
Mukhtar Alshodiq
Pendahuluan
Ibadah haji sebagai rangkaian dari rukun Islam kelima
yang wajib ditunaikan bagi setiap Muslim, sekali seumur hidup, yang telah
memenuhi istiṭa’ah, baik fisik, mental (terutama kesehatan) maupun finansial
(biaya BPIH) menuju Baitullah (Makkah al-Mukarramah).
Dalam proses menuju ke Baitullah untuk memenuhi
panggilan Allah SWT. itu, maka setiap calon jemaah haji harus melewati berbagai
prosedur administrasi dan pelatihan yang telah ditetapkan pemerintah.
Ibadah haji
merupakan ritual sakral bagi umat Islam di seluruh dunia, tak terkecuali umat
Islam Indonesia. Sebagai penduduk penganut Islam terbanyak dunia, membuat animo
masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci begitu tinggi.
Dalam perkembangannya, penyelenggaraan ibadah haji di
Indonesia bukan semata menjadi kewenangan Kementerian Agama cq. Ditjen
Penyelenggaraan Ibadah Haji semata, tetapi melibatkan kementerian/lembaga
negara dan stakeholders, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen Imigrasi), Kementerian Luar
Negeri, Kepolisian, TNI, dan organisasi kemasyarakatan secara keseluruhan. Oleh
karena itu, penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional, karena jumlah
jemaah haji Indonesia yang sangat besar, melibatkan berbagai instansi dan
lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan berkaitan dengan berbagai
aspek, antara lain bimbingan, transportasi, kesehatan, akomodasi, dan keamanan.
Di samping itu, penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan di negara lain dalam
waktu yang sangat terbatas yang menyangkut nama baik dan martabat bangsa
Indonesia di luar negeri, khususnya di Arab Saudi. Di sisi lain, adanya upaya
untuk melakukan peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji merupakan
tuntutan reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan tata
kelola pemerintahan yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, penyelenggaraan
ibadah haji perlu dikelola secara profesional dan akuntabel dengan
mengedepankan kepentingan jemaah haji dengan prinsip nirlaba.[1]
Sejarah
Pelaksanaan Ibadah Haji
Berikut rekam jejak singkat perjalanan pelaksanaan
ibadah haji di Indonesia dari masa ke masa sebagai berikut:
1. Kolonial
a.
Tahun 1825
Besarnya
keterlibatan para haji dalam melakukan perlawanan di Nusantara pada akhir abad
19, maka pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1825, 1827, 1831, dan 1859
mengeluarkan berbagai resolusi (ordonnatie) ditujukan untuk pembatasan
ibadah haji dan memantau aktivitas jemaah haji setelah kembali di Tanah Air.
b.
Tahun 1912
Muhammadiyah yang
didirikan KH. Ahmad Dahlan membuat Bagian Penolong Haji yang diketuai KH. M.
Sudjak. Perintis munculnya Direktorat Urusan Haji.
c.
Tahun 1922
Volksraad
(semacam Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda) mengadakan perubahan dalam ordonansi
haji, yang dikenal dengan Pilgrim Ordonansi 1922 yang menyebutkan, bahwa bangsa
pribumi dapat mengusahakan pengangkutan calon haji.
d.
Tahun 1930
Kongres
Muhammadiyah ke-17 di Minangkabau merekomendasikan untuk membangun pelayaran
sendiri bagi jemaah haji Indonesia.
2. Orde
Lama
a.
Tahun 1947
Masyumi yang
dipimpin oleh KH. Hasjim Asj'ari mengeluarkan fatwa dalam Maklumat Menteri
Agama Nomor 4 Tahun 1947, yang menyatakan bahwa ibadah haji dihentikan selama
dalam keadaan genting.
b.
Tahun 1948
Indonesia mengirimkan
misi haji ke Makkah dan mendapat sambutan hangat dari Raja Arab Saudi. Tahun
itu, Bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di Arafah.
c.
Tahun 1951
Keppres Nomor 53
Tahun 1951 tentang , menghentikan keterlibatan pihak swasta dalam
penyelenggaraan ibadah haji dan mengambil alih seluruh penyelenggaraan haji
oleh pemerintah.
d.
Tahun 1952
Dibentuk
perusahaan pelayaran PT. Pelayaran Muslim sebagai satu-satunya Panitia Haji dan
diberlakukan sistem quotum (kuota) serta pertama kali diberlakukan transportasi
haji udara.
e.
Tahun 1959
Menteri Agama
mengeluarkan SK Menteri Agama Nomor 3170 tanggal 6 Februari 1950 dan Surat
Edaran Menteri Agama di Yogyakarta Nomor A.III/648 tanggal 9 Februari 1959 yang
menyatakan, bahwa satu-satunya badan yang ditunjuk secara resmi untuk
menyelenggarakan perjalanan haji adalah Yayasan Penyelenggaraan Haji Indonesia
(YPHI).
f.
Tahun 1960
Keluarnya perturan
pertama tentang penyelenggaraan ibadah haji melalui Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1960 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji. Ini pertama
sekali terbentuk Panitia Negara Urusan Haji, yang selanjutnya disebutkan
PANUHAD yang sekarang disebut PPIH (Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji).
Selanjutnya menjadi PPPH (Panitia Pemberangkatan dan Pemulngan Haji) tahun 1962
dan selanjutnya dibubarkan pada tahun 1964 dan kewenangan penyelenggaraan haji
diambil alih oleh pemerintah melalui Dirjen Urusan Haji (DUHA).
g.
Tahun 1965
Dikeluarkan Kepres
Nomor 122 Tahun 1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji yang PT. Arafat pada
tanggal 1 Desember 1964 yang bergerak di bidang pelayaran dan khusus melayani
perjalanan haji (laut). Hanya mampu memberangkatkan 15.000 jemaah melalui laut.
3. Orde
Baru
Sejarah
mencatat, bahwa sejak tahun 1960, pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 22 Tahun 1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji menyatakan, bahwa
setiap penyelenggaraan urusan haji ditangani oleh pemerintah. Ini yang kemudian
terus berlangsung hingga sekarang.
Berikut
rentetan catatan penting penyelenggaraan haji di era Orde Baru,[2]
sebagai berikut:
a.
Tahun 1969
Dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22
Tahun 1969. Pemerintah mengambil alih semua proses penyelenggaraan
perjalanan haji. Hal ini disebabkan banyaknya calon jamaah haji yang gagal
diberangkatkan oleh orang-orang atau badan-badan swasta, bahkan calon-calon
yang mengadakan kegiatan usaha penyelenggaraan perjalanan haji.
b.
Tahun 1975
PT. Arafah mengalami kesulitan keuangan
dan pada tahun 1976 gagal memberangkatkan haji karena pailit.
c.
Tahun 1979
Keputusan Menteri Perhubungan No. SK-72/OT.001/Phb-79,
memutuskan untuk meniadakan pengangkutan jemaah haji dengan kapal laut dan
menetapkan penyelenggaraan angkutan haji dilaksanakan dengan pesawat udara.
d.
Tahun 1985
Pemerintah kembali mengikutsertakan pihak
swasta dalam penyelenggaraan haji.
4. Reformasi
a.
Tahun 1999
Pertama kali
adanya dasar hukum tentang penyelenggaraan haji dalam produk hukum
Undang-Undang yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan memandatkan pelayanan, pembinaan dan perlindungan
bagi jemaah haji. Kuota terbagi menjadi 2, yakni Haji Reguler dan Haji Khusus.
Pendaftaran haji regular melalui Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji
Terpadu. Perkembangan lanjutan dengan diberlakukannya pertama sekali setoran
awal sebesar Rp5.000.000 yang disimpan dalam tabungan atas nama jemaah haji.
b.
Tahun 2001
Setoran awal bagi
jemaah haji regular naik menjadi Rp20.000.000 yang disimpan dalam tabungan atas
nama jemaah haji. Terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2001 tentang Badan Pengelola Dana Abadi Umat sebagai salah satu mandat
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999.
c.
Tahun 2004
Setoran awal bagi
jemaah haji reguler sebesar Rp20.000.000 yang disimpan dalam rekening atas nama
Menteri Agama.
d.
Tahun 2008
Penyempurnaan kembali
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pendaftaran dilakukan sepanjang
tahun melalui SISKOHAT dengan prinsip first come first served.
e.
Tahun 2010
Setoran awal bagi
jemaah haji reguler naik menjadi Rp25.000.000 yang disimpan dalam rekening atas
nama Menteri Agama.
f.
Tahun 2013
Peluncuran
Siskohat Generasi Kedua; Pemotongan Kuota Haji Indonesia sebesar 20% dari kuota
dasar sebagai dampak proyek perluasan Masjidil Haram; Migrasi Bank Penerima
Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dari Bank Konvensional ke Bank
Syariah/Unit Usaha Syariah.
g.
Tahun 2014
-
Ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang salah
satu mandatnya adalah membentuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dengan
target terbentuknya pada bulan September 2015.
Lahirnya undang-undang
ini merupakan tekad dan semangat baru dalam pengelolaan keuangan haji dalam
menghadirkan negara dalam keberpihakannya kepada calon/jemaah haji dan
masyarakat; Penyerapan kuota jemaah haji secara transparan dan akuntable sesuai
dengan urutan porsi; Pelayanan akomodasi setara hotel berbintang 3, upgrade bus
shalawat dan operasional 24 jam Pemondokan-Masjidil Haram; Penghematan biaya
operasional penyelenggaraan haji dengan tidak mengurangi layanan kepada jemaah
haji; Revitalisasi Asrama Haji.
-
Pemerintah membentuk Komisi Pengawas
Haji Indonesia (KPHI) berdasarkan ketentuan Peraturan Presiden No. 50 Tahun
2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pengawas Haji Indonesia.
Terbentuknya KPHI ini sesuai amanah UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji. KPHI diberi tugas sebagai berikut:
Pertama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Perpres tersebut,
mengawasi dan memantau penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan setiap
tahun. Kedua, memberikan pertimbangan kepada pemerintah untuk
penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji.
Selain
tugas tersebut, dalam Pasal 4 perpres tersebut, komisi tersebut juga diberikan
empat tugas lainnya, yaitu: (1) memantau dan menganalisis kebijakan operasional
penyelenggaraan ibadah haji. (2) menganalisis hasil pengawasan dari berbagai
lembaga pengawas dari masyarakat.
Ketiga, menerima
masukan dan saran masyarakat mengenai penyelenggaraan ibadah haji. Dan yang keempat,
merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional
penyelenggaraan ibadah haji.
Dalam Pasal 7, anggota
KPHI terdiri dari sembilan orang yang terdiri dari unsur masyarakat dan
pemerintah. Sementara itu, dalam Pasal 12 Perpres No. 50 Tahun 2014, KPHI
melaporkan dan mempertanggungjawabkan tugas mereka ke Presiden dan DPR paling
sedikit sekali dalam setahun.
Dengan terbentuknya KPHI
ini, proses penyelenggaraan ibadah haji bisa diperbaiki. Pelaksanaan dan
penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama, khususnya
dalam kaitannya dengan pengelolaan dana haji terdapat adanya dugaan bermasalah.
Berdasarkan hasil audit Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
untuk pengelolaan dana haji periode 2004-2012 misalnya, ditemukan adanya
transaksi mencurigakan sebesar Rp 230 miliar. Selain itu, selama periode
tersebut dana haji sebesar Rp 80 triliun dan dana imbal hasil haji sebesar Rp
2,3 triliun juga tidak jelas pengelolaannya.
Hal saja, awal
pembentukan KPIH terdapat “catat hukum”, karena bagaimana mungkin susunan
kepengurusan KPIH berdasarkan Keppres mendahului PP No. 50 Tahun 2014 yang
secara khusus mengatur organisasi dan sistem kerjanya? Bukan kah dalam struktur
perundang-undangan Peraturan Pemerintah (PP) lebih tinggi daripada Keppres?
Bahkan berdasarkan UU No. 11 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Keppres RI tidak menjadi bagian lagi dalam struktur/hirarki
perundang-undangan di Indonesia. Hal ini terlihat jelas sejarah KPIH, bahwa
“sembilan anggota KPHI resmi menjadi anggota KPHI setelah menerima Keppres No.
13 P Tahun 2013 tanggal 13 Februari 2013. Selanjutnya, Menteri Agama melantik sembilan
anggota KPHI pada 26 Maret 2013 di Aula Kantor Kemenag Jalan M.H.
Thamrin". Sementara Peraturan Pemerintah (PP) baru ditetapkan pada tanggal
30 Mei 2014 melalui PP No. 50 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Komisi Pengawasan Ibadah Haji.
h.
Tahun 2015
Implementasi total
pelaksanaan pilot project e-hajj yang ditetapkan otoritas Arab Saudi;
Pengendalian daftar tunggu jemaah haji dengan memprioritaskan calon jemaah haji
yang belum pernah melaksanakan ibadah haji dan menghimbau yang sudah
melaksanakan ibadah haji untuk memberikan kesempatan kepada saudara muslim
lainnya yang belum pernah haji karena haji wajib hanya sekali seumur hidup;
Reformasi penyelenggaraan umrah; Transformasi Asrama Haji menjadi Unit
Pelaksanaan Teknis; Keterbukaan dalam sistem sewa pemondokan, transportasi,
katering dan pendukung lainnya dengan tidak mengurangi layanan kepada jemaah
haji.
Penetapan Zona
Integritas Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani
(WBBM). Penerapan jalur baru keberangkatan dan pemulangan jemaah haji.
Gelombang I: Tanah Air-Madinah-Jeddah, Gelombang I: Tanah Air-Jeddah-Madinah,
makan di Makkah dan menggagas penguatan untuk mempermanen pemondokan jemaah
haji di Makkah.
Kewenangan
Ditjen PHU – Kementerian Agama RI
Badan
Pengawas Ibadah Haji (BPIH)
Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)
Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang kemudian
disingkat menjadi BPIH, awalnya dikenal dengan sebutan ONH (Ongkos Naik Haji)
sebagai. Ketentuan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 1972
Otoritas
Pendayagunaan Dana Abadi Umat
Pasal 1 angka (17) UU No. 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji menyatakan, bahwa Dana Abadi Umat, yang selanjutnya
disebut DAU, adalah sejumlah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan Dana
Abadi Umat dan/atau sisa biaya operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji serta
sumber lain yang halal dan tidak mengikat. Kemudian angka (18) menegaskan pula,
bahwa Badan Pengelola Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut BP DAU, adalah
badan untuk menghimpun, mengelola, dan mengembangkan Dana Abadi Umat.
Lahir Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) …
Penyelenggaraan
Ibadah Haji yang Efektif dan Independen
Terbentuk berbagai lembaga di luar struktur organisasi
Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, baik sebagai pengawas maupun pengelola
keuangan haji seperti lahir KPIH dan BPKH di atas, semakin menguatkan, bahwa
untuk mengoptimalkan “kemandirian haji Indonesia” sudah saatnya lahir sebuah
lembaga atau badan penyelenggaraan haji dan umrah, yang secara khusus mengelola
sistem perhajian Indonesia secara independen dan komprehensif yang bertanggung
jawab langsung kepada Presiden di bawah koordinasi Menteri Agama.
Hal ini penting didorong oleh setiap stakeholder,
agar optimalisasi pembinaan, pelayanan, perlindungan jemaah haji serta
pengembangan Dana Abadi Umat atau sisa biaya operasional penyelenggaraan haji
dapat diberdayagunakan secara maksimal sebagaimana yang diamanatkan UU No. 13
Tahun 2008.
Lalu, bagaimana dengan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan
Umrah (PHU)? Ditjen PHU selama ini telah menjalankan amanah UU No. 13 Tahun
2008 dan seluruh peraturan terkait lainnya sesuai dengan kewenangannya sebagai
pengelola dan pelayanan jemaah haji bekerja sama dengan kementerian/lembaga
lainnya dengan baik, tanpa mengindahkan manajemen pengelolaan dan pelayanan
terstandar (ISO) serta pengembangan sistem informasi modern melalui Siskohat.
Hanya saja ada kewenangan lebih lanjut diatur dalam UU
No. 13 Tahun 2008, yaitu pengembangan DAU, yang notabene diserahkan kepada BPKH
yang telah diatur dalam UU No. 34 Tahun 2014, walaupun lembaga tersebut hingga
kini belum terbentuk juga, padahal DAU semakin tahun semakin meningkat.
Data menunjukkan, bahwa DAU tahun …
Sementara Dirjen PHU tidak memiliki kewenangan untuk
menggunakan DAU tersebut.
Untuk mengefektifkan penyelenggaraan ibadah haji di
atas, baik dari segi pengawasan, penyelenggaraan, pembinaan, pelayanan, maupun
pengelolaan dan pengembangan keuangan haji, maka penting didorong terbentuknya
sebuah manajemen dan sistem satu atap, sehingga kontrol, planning, dan
pendayagunaanya dapat berjalan secara optimal dan mandiri.
Penutup
Daftar
Pustaka
Website
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/615296-ini-riwayat-penyelenggaraan-ibadah-haji-di-indonesia,
diakses tanggal 6 Agustus 2016.
http://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-bentuk-komisi-pengawas-haji,
diakses tanggal 6 Agustus 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar