Selasa, 15 November 2022

LEMBAGA NEGARA PENYELENGGARA HAJI DAN UMRAH INDONESIA

Mukhtar Alshodiq

 

Pendahuluan

Ibadah haji sebagai rangkaian dari rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan bagi setiap Muslim, sekali seumur hidup, yang telah memenuhi istiṭa’ah, baik fisik, mental (terutama kesehatan) maupun finansial (biaya BPIH) menuju Baitullah (Makkah al-Mukarramah).

Dalam proses menuju ke Baitullah untuk memenuhi panggilan Allah SWT. itu, maka setiap calon jemaah haji harus melewati berbagai prosedur administrasi dan pelatihan yang telah ditetapkan pemerintah.

 Ibadah haji merupakan ritual sakral bagi umat Islam di seluruh dunia, tak terkecuali umat Islam Indonesia. Sebagai penduduk penganut Islam terbanyak dunia, membuat animo masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci begitu tinggi.

Dalam perkembangannya, penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia bukan semata menjadi kewenangan Kementerian Agama cq. Ditjen Penyelenggaraan Ibadah Haji semata, tetapi melibatkan kementerian/lembaga negara dan stakeholders, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen Imigrasi), Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, TNI, dan organisasi kemasyarakatan secara keseluruhan. Oleh karena itu, penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional, karena jumlah jemaah haji Indonesia yang sangat besar, melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan berkaitan dengan berbagai aspek, antara lain bimbingan, transportasi, kesehatan, akomodasi, dan keamanan. Di samping itu, penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan di negara lain dalam waktu yang sangat terbatas yang menyangkut nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri, khususnya di Arab Saudi. Di sisi lain, adanya upaya untuk melakukan peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji merupakan tuntutan reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, penyelenggaraan ibadah haji perlu dikelola secara profesional dan akuntabel dengan mengedepankan kepentingan jemaah haji dengan prinsip nirlaba.[1]

 

Sejarah Pelaksanaan Ibadah Haji

Berikut rekam jejak singkat perjalanan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dari masa ke masa sebagai berikut:

1.       Kolonial

a.       Tahun 1825

Besarnya keterlibatan para haji dalam melakukan perlawanan di Nusantara pada akhir abad 19, maka pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1825, 1827, 1831, dan 1859 mengeluarkan berbagai resolusi (ordonnatie) ditujukan untuk pembatasan ibadah haji dan memantau aktivitas jemaah haji setelah kembali di Tanah Air.

b.       Tahun 1912

Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan membuat Bagian Penolong Haji yang diketuai KH. M. Sudjak. Perintis munculnya Direktorat Urusan Haji.

c.       Tahun 1922

Volksraad (semacam Dewan Perwakilan Rakyat Hindia-Belanda) mengadakan perubahan dalam ordonansi haji, yang dikenal dengan Pilgrim Ordonansi 1922 yang menyebutkan, bahwa bangsa pribumi dapat mengusahakan pengangkutan calon haji.

d.       Tahun 1930

Kongres Muhammadiyah ke-17 di Minangkabau merekomendasikan untuk membangun pelayaran sendiri bagi jemaah haji Indonesia.

 

2.       Orde Lama

a.       Tahun 1947

Masyumi yang dipimpin oleh KH. Hasjim Asj'ari mengeluarkan fatwa dalam Maklumat Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1947, yang menyatakan bahwa ibadah haji dihentikan selama dalam keadaan genting.

b.       Tahun 1948

Indonesia mengirimkan misi haji ke Makkah dan mendapat sambutan hangat dari Raja Arab Saudi. Tahun itu, Bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di Arafah.

c.       Tahun 1951

Keppres Nomor 53 Tahun 1951 tentang , menghentikan keterlibatan pihak swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji dan mengambil alih seluruh penyelenggaraan haji oleh pemerintah.

d.       Tahun 1952

Dibentuk perusahaan pelayaran PT. Pelayaran Muslim sebagai satu-satunya Panitia Haji dan diberlakukan sistem quotum (kuota) serta pertama kali diberlakukan transportasi haji udara.

e.       Tahun 1959

Menteri Agama mengeluarkan SK Menteri Agama Nomor 3170 tanggal 6 Februari 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama di Yogyakarta Nomor A.III/648 tanggal 9 Februari 1959 yang menyatakan, bahwa satu-satunya badan yang ditunjuk secara resmi untuk menyelenggarakan perjalanan haji adalah Yayasan Penyelenggaraan Haji Indonesia (YPHI).

f.        Tahun 1960

Keluarnya perturan pertama tentang penyelenggaraan ibadah haji melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1960 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji. Ini pertama sekali terbentuk Panitia Negara Urusan Haji, yang selanjutnya disebutkan PANUHAD yang sekarang disebut PPIH (Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji). Selanjutnya menjadi PPPH (Panitia Pemberangkatan dan Pemulngan Haji) tahun 1962 dan selanjutnya dibubarkan pada tahun 1964 dan kewenangan penyelenggaraan haji diambil alih oleh pemerintah melalui Dirjen Urusan Haji (DUHA).

g.       Tahun 1965

Dikeluarkan Kepres Nomor 122 Tahun 1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji yang PT. Arafat pada tanggal 1 Desember 1964 yang bergerak di bidang pelayaran dan khusus melayani perjalanan haji (laut). Hanya mampu memberangkatkan 15.000 jemaah melalui laut.

3.       Orde Baru

Sejarah mencatat, bahwa sejak tahun 1960, pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji menyatakan, bahwa setiap penyelenggaraan urusan haji ditangani oleh pemerintah. Ini yang kemudian terus berlangsung hingga sekarang.

Berikut rentetan catatan penting penyelenggaraan haji di era Orde Baru,[2] sebagai berikut:

a.       Tahun 1969

Dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969. Pemerintah  mengambil alih semua proses penyelenggaraan perjalanan haji. Hal ini disebabkan banyaknya calon jamaah haji yang gagal diberangkatkan oleh orang-orang atau badan-badan swasta, bahkan calon-calon yang mengadakan kegiatan usaha penyelenggaraan perjalanan haji.

b.       Tahun 1975

PT. Arafah mengalami kesulitan keuangan dan pada tahun 1976 gagal memberangkatkan haji karena pailit.

c.       Tahun 1979

Keputusan Menteri Perhubungan No. SK-72/OT.001/Phb-79, memutuskan untuk meniadakan pengangkutan jemaah haji dengan kapal laut dan menetapkan penyelenggaraan angkutan haji dilaksanakan dengan pesawat udara.

d.       Tahun 1985

Pemerintah kembali mengikutsertakan pihak swasta dalam penyelenggaraan haji.

4.       Reformasi

a.       Tahun 1999

Pertama kali adanya dasar hukum tentang penyelenggaraan haji dalam produk hukum Undang-Undang yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan memandatkan pelayanan, pembinaan dan perlindungan bagi jemaah haji. Kuota terbagi menjadi 2, yakni Haji Reguler dan Haji Khusus. 
Pendaftaran haji regular melalui Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu. Perkembangan lanjutan dengan diberlakukannya pertama sekali setoran awal sebesar Rp5.000.000 yang disimpan dalam tabungan atas nama jemaah haji.

b.       Tahun 2001

Setoran awal bagi jemaah haji regular naik menjadi Rp20.000.000 yang disimpan dalam tabungan atas nama jemaah haji. Terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Badan Pengelola Dana Abadi Umat sebagai salah satu mandat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999.

c.       Tahun 2004

Setoran awal bagi jemaah haji reguler sebesar Rp20.000.000 yang disimpan dalam rekening atas nama Menteri Agama.

d.       Tahun 2008

Penyempurnaan kembali Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pendaftaran dilakukan sepanjang tahun melalui SISKOHAT dengan prinsip first come first served.

e.       Tahun 2010

Setoran awal bagi jemaah haji reguler naik menjadi Rp25.000.000 yang disimpan dalam rekening atas nama Menteri Agama.

f.        Tahun 2013

Peluncuran Siskohat Generasi Kedua; Pemotongan Kuota Haji Indonesia sebesar 20% dari kuota dasar sebagai dampak proyek perluasan Masjidil Haram; Migrasi Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dari Bank Konvensional ke Bank Syariah/Unit Usaha Syariah.

g.       Tahun 2014

-          Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang salah satu mandatnya adalah membentuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dengan target terbentuknya pada bulan September 2015.

Lahirnya undang-undang ini merupakan tekad dan semangat baru dalam pengelolaan keuangan haji dalam menghadirkan negara dalam keberpihakannya kepada calon/jemaah haji dan masyarakat; Penyerapan kuota jemaah haji secara transparan dan akuntable sesuai dengan urutan porsi; Pelayanan akomodasi setara hotel berbintang 3, upgrade bus shalawat dan operasional 24 jam Pemondokan-Masjidil Haram; Penghematan biaya operasional penyelenggaraan haji dengan tidak mengurangi layanan kepada jemaah haji; Revitalisasi Asrama Haji.

-          Pemerintah membentuk Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) berdasarkan ketentuan Peraturan Presiden No. 50 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pengawas Haji Indonesia. Terbentuknya KPHI ini sesuai amanah UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. KPHI diberi tugas sebagai berikut:

Pertama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Perpres tersebut, mengawasi dan memantau penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan setiap tahun. Kedua, memberikan pertimbangan kepada pemerintah untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji.
Selain tugas tersebut, dalam Pasal 4 perpres tersebut, komisi tersebut juga diberikan empat tugas lainnya, yaitu: (1) memantau dan menganalisis kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji. (2) menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dari masyarakat.
Ketiga, menerima masukan dan saran masyarakat mengenai penyelenggaraan ibadah haji. Dan yang keempat, merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji.

Dalam Pasal 7, anggota KPHI terdiri dari sembilan orang yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah. Sementara itu, dalam Pasal 12 Perpres No. 50 Tahun 2014, KPHI melaporkan dan mempertanggungjawabkan tugas mereka ke Presiden dan DPR paling sedikit sekali dalam setahun.

Dengan terbentuknya KPHI ini, proses penyelenggaraan ibadah haji bisa diperbaiki. Pelaksanaan dan penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama, khususnya dalam kaitannya dengan pengelolaan dana haji terdapat adanya dugaan bermasalah. Berdasarkan hasil audit Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk pengelolaan dana haji periode 2004-2012 misalnya, ditemukan adanya transaksi mencurigakan sebesar Rp 230 miliar. Selain itu, selama periode tersebut dana haji sebesar Rp 80 triliun dan dana imbal hasil haji sebesar Rp 2,3 triliun juga tidak jelas pengelolaannya.

Hal saja, awal pembentukan KPIH terdapat “catat hukum”, karena bagaimana mungkin susunan kepengurusan KPIH berdasarkan Keppres mendahului PP No. 50 Tahun 2014 yang secara khusus mengatur organisasi dan sistem kerjanya? Bukan kah dalam struktur perundang-undangan Peraturan Pemerintah (PP) lebih tinggi daripada Keppres? Bahkan berdasarkan UU No. 11 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Keppres RI tidak menjadi bagian lagi dalam struktur/hirarki perundang-undangan di Indonesia. Hal ini terlihat jelas sejarah KPIH, bahwa “sembilan anggota KPHI resmi menjadi anggota KPHI setelah menerima Keppres No. 13 P Tahun 2013 tanggal 13 Februari 2013. Selanjutnya, Menteri Agama melantik sembilan anggota KPHI pada 26 Maret 2013 di Aula Kantor Kemenag Jalan M.H. Thamrin". Sementara Peraturan Pemerintah (PP) baru ditetapkan pada tanggal 30 Mei 2014 melalui PP No. 50 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pengawasan Ibadah Haji.

h.       Tahun 2015

Implementasi total pelaksanaan pilot project e-hajj yang ditetapkan otoritas Arab Saudi; Pengendalian daftar tunggu jemaah haji dengan memprioritaskan calon jemaah haji yang belum pernah melaksanakan ibadah haji dan menghimbau yang sudah melaksanakan ibadah haji untuk memberikan kesempatan kepada saudara muslim lainnya yang belum pernah haji karena haji wajib hanya sekali seumur hidup; Reformasi penyelenggaraan umrah; Transformasi Asrama Haji menjadi Unit Pelaksanaan Teknis; Keterbukaan dalam sistem sewa pemondokan, transportasi, katering dan pendukung lainnya dengan tidak mengurangi layanan kepada jemaah haji.

Penetapan Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). Penerapan jalur baru keberangkatan dan pemulangan jemaah haji. Gelombang I: Tanah Air-Madinah-Jeddah, Gelombang I: Tanah Air-Jeddah-Madinah, makan di Makkah dan menggagas penguatan untuk mempermanen pemondokan jemaah haji di Makkah.

 

Kewenangan Ditjen PHU – Kementerian Agama RI

 

 

Badan Pengawas Ibadah Haji (BPIH)

 

 

Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)

Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang kemudian disingkat menjadi BPIH, awalnya dikenal dengan sebutan ONH (Ongkos Naik Haji) sebagai. Ketentuan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 1972

 

 

Otoritas Pendayagunaan Dana Abadi Umat

Pasal 1 angka (17) UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menyatakan, bahwa Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut DAU, adalah sejumlah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan Dana Abadi Umat dan/atau sisa biaya operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji serta sumber lain yang halal dan tidak mengikat. Kemudian angka (18) menegaskan pula, bahwa Badan Pengelola Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut BP DAU, adalah badan untuk menghimpun, mengelola, dan mengembangkan Dana Abadi Umat.

Lahir Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) …

 

Penyelenggaraan Ibadah Haji yang Efektif dan Independen

Terbentuk berbagai lembaga di luar struktur organisasi Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, baik sebagai pengawas maupun pengelola keuangan haji seperti lahir KPIH dan BPKH di atas, semakin menguatkan, bahwa untuk mengoptimalkan “kemandirian haji Indonesia” sudah saatnya lahir sebuah lembaga atau badan penyelenggaraan haji dan umrah, yang secara khusus mengelola sistem perhajian Indonesia secara independen dan komprehensif yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden di bawah koordinasi Menteri Agama.

Hal ini penting didorong oleh setiap stakeholder, agar optimalisasi pembinaan, pelayanan, perlindungan jemaah haji serta pengembangan Dana Abadi Umat atau sisa biaya operasional penyelenggaraan haji dapat diberdayagunakan secara maksimal sebagaimana yang diamanatkan UU No. 13 Tahun 2008.

Lalu, bagaimana dengan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU)? Ditjen PHU selama ini telah menjalankan amanah UU No. 13 Tahun 2008 dan seluruh peraturan terkait lainnya sesuai dengan kewenangannya sebagai pengelola dan pelayanan jemaah haji bekerja sama dengan kementerian/lembaga lainnya dengan baik, tanpa mengindahkan manajemen pengelolaan dan pelayanan terstandar (ISO) serta pengembangan sistem informasi modern melalui Siskohat.

Hanya saja ada kewenangan lebih lanjut diatur dalam UU No. 13 Tahun 2008, yaitu pengembangan DAU, yang notabene diserahkan kepada BPKH yang telah diatur dalam UU No. 34 Tahun 2014, walaupun lembaga tersebut hingga kini belum terbentuk juga, padahal DAU semakin tahun semakin meningkat.

Data menunjukkan, bahwa DAU tahun …

Sementara Dirjen PHU tidak memiliki kewenangan untuk menggunakan DAU tersebut.

Untuk mengefektifkan penyelenggaraan ibadah haji di atas, baik dari segi pengawasan, penyelenggaraan, pembinaan, pelayanan, maupun pengelolaan dan pengembangan keuangan haji, maka penting didorong terbentuknya sebuah manajemen dan sistem satu atap, sehingga kontrol, planning, dan pendayagunaanya dapat berjalan secara optimal dan mandiri.

 

 

Penutup

 

Daftar Pustaka

 

Website

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/615296-ini-riwayat-penyelenggaraan-ibadah-haji-di-indonesia, diakses tanggal 6 Agustus 2016.

http://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-bentuk-komisi-pengawas-haji, diakses tanggal 6 Agustus 2016.



[1]Dr. Ir. Pudji Muljono, MSi (Anggota Tim Independen Pemantau Haji Indonesia 2008). Makalah “Menyongsong Terbentuknya Komisi Independen Pengawas Haji”.

[2]Kemenag.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar