Selasa, 15 November 2022

 

LEMBAGA FATWA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA [TINJAUAN POLITIK HUKUM]

 

Mukhtar Alshodiq


PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Papua (Merauke) hingga Aceh (Sabang) di ujung Timur ke Barat dan dari pulau Miangas di bagian Utara hingga pulau Rote di bagian Selatan. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di dunia, yaitu 5.193.250 km² luas negara, terdiri dari 11/3 adalah daratan (1.919.440 km²) dan luas lautan 2/3 (3.273.810 km²). Oleh karena itu, Indonesia adalah negara terluas ke-7 di dunia setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, Cina, Brasil, dan Australia, tetapi berada diperingkat ke-2 di Asia setelah Cina dan terluas pertama di Asia Tenggara.[1]

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, bahwa penduduk Indonesia berjumlah sebanyak 237.641.326 atau urutan ke-4 terbanyak populasinya di dunia. Dari jumlah tersebut sebanyak 87,18% (207.176.162) beragama Islam, 6,96% (16.528.513) Protestan, 2,9% (6.907.873) Katolik, 1,69% (4.012.116) Hindu, 0,72% (1.703.254) Budha, 0,05% (117.091) Konghucu, 0,13% (299.617) agama lainnya, dan 0,38% (896.700) tidak terjawab atau tidak ditanyakan,[2] sedangkan proyeksi penduduk Indonesia tahun 2014 menurut Data Statistik Indonesia sebanyak 244.814,9.[3] Bahkan hasil penelitian The Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life tahun 2009 juga menempatkan Indonesia di urutan pertama sebagai penganut agama Islam terbanyak di dunia atau 12,7% dari total umat Islam di dunia, kemudian berturut-turut ditempati oleh Pakistan (11%), India (10,9%), Bangladesh (9,2%), Mesir (4,9%), Nigeria (4,7%), Iran (4,6%), Turki (4,6), Aljazair (2,1%), dan Maroko (2%).[4]

Posisi kawasan yang strategi, sumber daya alam yang kaya raya, dan jumlah populasi Indonesia yang banyak, menjadi bargaining penting di mata dunia, sehingga negara-negara di kawasan berkepentingan melakukan investasi dalam berbagai sektor kehidupan. Kecenderungan ini semakin terbuka luas setelah diterapkannya sistem pasar bebas (free trade system) secara global, yang diatur dalam berbagai organisasi internasional, seperti WTO, AFTA, NAFTA, ASEAN-FTA, APEC, MEA/AEC, dan sebagainya. Kehadiran globalisasi dan pasar bebas merupakan suatu yang tidak dapat dipungkiri serta beriringan pula kemajuan teknologi informasi yang tanpa batas (borderless) dan dikeluarkannya berbagai bentuk perjanjian terkait pasar bebas melalui World Trade Organization (WTO), ini membawa banyak dampak bagi sebuah kawasan. Oleh karena itu, dituntut bagaimana masyarakat penghuni di kawasan tersebut menyikapinya, karena siapa yang tidak mampu bersaing dan menyiapkan strategi dalam menghadapi arus globalisasi dan pasar bebas tersebut, akan tergerus dan terpinggirkan.

Pengaruh era globalisasi di atas selain melahirkan kemajuan peradaban, juga muncul saling ketergantungan (interdefendence) yang merangsang saling ketergantungan sosial dunia. Hal ini akan memperkokoh eratnya persahabatan antar bangsa, meningkatnya interaksi budaya, menjadikan saling memahami dan menghargai antar bangsa yang memiliki budaya berbeda. Tetapi di sisi lain, melahirkan cengkeraman yang begitu dahsyat antara negara maju dengan negara berkembang dan miskin. Artinya, dengan globalisasi ini, maka sekat-sekat keterbatasan dalam satu negara sudah “tidak ada” lagi, sehingga membawa dampak bahwa segala hal itu menjangkau sesuatu yang sangat luas, bahkan “tidak terbatas”. Hal ini menjadikan masyarakat dunia harus selalu siap dibanjiri oleh berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang berbeda, beragam, serta berasal dari budaya dan latar belakang yang berbeda pula. Di sinilah melahirkan masyarakat dunia mengalami satu ketergantungan satu sama lain yang tinggi dan juga menghadapi kompetisi yang luas.

Dengan perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi informasi (IT), maka arus ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sokoguru kemajuan dunia. Hasil research ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan berbagai macam temuan baru dan canggih untuk kemajuan peradaban umat manusia. Berbagai alat teknologi canggih dan mutakhir tercipta, rekayasa obat genetik dan spesies ditemukan, interkoneksi antar umat manusia di dunia tak terbendung, serta pengaruh budaya antar bangsa tak terelakkan. Oleh karena itu, kehadiran era globalisasi dan teknologi informasi itu menghantarkan lahirnya era modernisasi, di mana terjadi transformasi kehidupan ke arah yang lebih maju berdasar pada elemen-elemen ilmu pengetahuan dan teknologi.

Babad awal lahirnya paham kemodernan yang menggeser paham tradisional, itu bermula ketika Eropa Barat tersadar dari tidurnya yang lelap dan panjang di era dark age (zaman kegelapan). Di mana pada zaman itu, ruang-ruang pemikiran ilmiah dan rasional tenggelam dalam dogma-dogma gereja. Ajaran geraja berkuasa mutlak dan menjadi sesuatu yang tak boleh terbantahkan.[5] Kondisi sosio-relegius dan sosio-intelektual dikuasai oleh gereja, kebijakan-kebijakan gereja mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ajaran-ajaran Kristen dilembagakan dan menjadi penentu kebenaran ilmiah. Bahkan semua hasil penemuan dari penelitian ilmiah dianggap sah dan benar jika sejalan dengan doktrin-doktrin gereja. Akhirnya, temuan-temuan ilmiah yang bertentangan dengan doktrin-doktrin tersebut harus dibatalkan demi supermasi gereja. Apabila para ilmuan pada saat itu tidak mau mengikuti aturan semacam itu, maka pihak gereja akan menanganinya dengan cara kekerasan. Misalnya, kritikus potensial terhadap agama dianiaya dan sebagian besar dipaksa untuk tetap diam, kritikus terkenal seperti Giordano Bruno, yang dibakar di tiang karena tidak setuju dengan otoritas keagamaan.[6]

Pada abad ke-18, Eropa Barat bangkit dan melahirkan peradaban modern yang dikenal dengan Masa Pencerahan (Enlightenment), kemudian dikenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age of  Reason (pemujaan akal). Kebangkitan Eropa Barat tersebut diawali dengan proses sekularisasi, yaitu pemisahan agama Nasrani (gereja) dari aturan kehidupan. Dengan demikian, masyarakat Romawi dan Yunani ketika itu terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran akal. Di mana para ilmuan menentang kebijakan gereja dan tetap berpegang teguh pada temuan ilmiahnya, tetapi pada awalnya mereka menjadi korban atas tindakan keras gereja. Akibat dari tekanan tersebut, para ilmuan melakukan perlawanan atas kebijakan gereja itu. Mereka mengadakan koalisi dengan raja untuk menumbangkan dominasi kekuasaan gereja. Akhirnya, koalisi tersebut berhasil menumbangkan kediktatoran atau kekuasaan gereja. Dari sini muncullah renaissance, yang pada fase berikutnya melahirkan sekularisasi, terutama dualisme ilmu. Yakni, lahirnya dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi lain.

Para ilmuan di atas memandang, bahwa ajaran agama (Kristen) yang dilembagakan oleh gereja secara konseptual dan aplikatif sebagai hambatan yang serius bagi kreativitas para ilmuan dan juga bagi kemajuan peradaban.[7] Oleh karena itu, dengan lahirnya sekularisasi ini yang kemudian menimbulkan dikotomi ilmu sebagai upaya membebaskan ilmuan untuk berkreasi melalui penelitian, penggalian, maupun percobaan ilmiah tanpa harus dibayang-bayangi oleh ancaman gereja.[8] Pemikiran dikotomi Barat yang menganggap rendah status keilmuan dalam ilmu-ilmu keagamaan itu, karena ketika berbicara hal-hal yang gaib, ilmu agama tidak bisa dipandang ilmiah, karena sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris. Padahal, ilmu-ilmu agama tentu tidak bisa menghindar dari membicarakan hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, Malaikat, dan sebagainya sebagai pembicaraan pokok mereka.[9]

Pandangan yang berbeda, ketika Islam datang menawarkan suatu konsep khasanah “keadaban” yang mengawinkan ilmu pengetahuan dan wahyu. Islam datang sebagai agama dengan membawa benih-benih peradaban yang besar dan secara terang-terangan menghimbau untuk mempelajari ilmu dan menjadikannya sebagai jalan utama kehidupan, maka para pencinta ilmu berlomba-lomba mempelajari warisan peradaban yang ada sebelumnya. Di sinilah terjadi harmonisasi antara agama dan ilmu selama 5 abad, dimulai dari abad VII-XIII M atau dikenal dengan masa keemasan Islam dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan.[10] Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam Islam, akal sebenarnya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan posisi penting dalam Islam.

Buktinya, ketika Al-Qur’an pertama kali diturunkan sangat mengapresiasi ilmu pengetahuan. M. Quraish Shihab mengatakan, bahwa kata “iqra’” artinya “menghimpun”. Dari menghimpun, lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan objek yang harus dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Lebih lanjut, Quraish Shihab menyatakan, bahwa kata iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah maupun diri sendiri, baik yang tertulis maupun tidak.[11]

Espektasi inilah yang membuktikan, bahwa Islam sejak awal telah mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan ilmu agama lewat Al-Qur’an dan Sunnah dalam alam berpikir dan keyakinan umat Islam. Bukan suatu hal yang berbeda dan berlawanan, tetapi menjadi satu kesatuan yang utuh dalam memahami seluruh isi dan gejala-gejala jagat raya. Oleh karena itu, kekuatan ilmu pengetahuan tidak terpisahkan dengan esensi keimanan (keyakinan) kepada Tuhan, ia hadir untuk saling berkelindang dalam satu arena yang dihadirkan oleh kekuatan hati nurani. Dengan demikian, Islam bukan ajaran stagnan, kaku, dan rigid dengan perkembangan peradaban manusia, tetapi ajaran Islam itu fleksibel dan dinamis yang berkesesuaian dengan dinamika zamannya, namun tetap dalam koridor ketentuan wahyu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Mewujudkan fleksibiltas dan dinamisasi ajaran Islam sesuai dinamika zamannya di atas menjadi tugas bagi para ulama, dengan segala upaya yang dilakukan melalui pengkajian yang sungguh-sungguh dan cermat, baik oleh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, para muhaddits dalam mengungkap makna suatu hadis, maupun para mujtahid dalam mengeluarkan hasil ijtihadnya. Kesemuanya itu berselaras dengan metodologi atau alur berpikir yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan hadis, sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS an-Nisa [4]:59.[12] Demikian pula sabda Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan dari Muadz bin Jabal.[13] Cara berpikir yang demikian itu, dalam hukum Islam disebut Masâdir al-Ahkâm atau al-‘Adillah al-Syariyyah (sumber hukum Islam), yaitu dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (di-istinbath-kan) daripadanya untuk menemukan hukum.[14]

Ketentuan istinbath hokum pada ayat dan hadis di atas, juga dipraktikkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq RA. apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama dia merujuk kepada kitab Allah. Jika dia temui hukumnya, maka dia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan dia mengetahui masalah itu dari Rasulullah SAW., dia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika dia ragu mendapati dalam sunnah Rasul SAW., dia kumpulkan para shahabat dan dia lakukan musyawarah. Kemudian dia sepakat dengan pendapat mereka lalu dia berhukum memutus permasalahan.[15]

Dalam perkembangannya, terutama setelah wafatnya Rasulullah SAW., maka metodologi istinbath hukum di atas mengalami kemajuan sesuai dengan ekspansi atau perluasan wilayah kekuasaan Islam, maka para ulama menetapkan metode tersebut, yang kemudian dikenal dalam ilmu ushul fiqih, di antaranya: Al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas,  istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, dan syar’u man qablana.

Sistematika berpikir dalam menemukan suatu hukum dalam Islam di atas mampu merespon dan memenuhi kebutuhan perkembangan umat Islam. Pranata berpikir ini penting, karena Islam membatasi umatnya dalam hal: Pertama, apabila berkaitan dalam bidang ekonomi, maka harus diperhatikan apakah itu “halal atau haram”. Kedua, apabila berhubungan dengan ibadah, sosial-budaya, maka harus diperhatikan apakah itu: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Dalam mengupayakan kedudukan hukum suatu hal, baik yang berkaitan dengan “halal–haram” atau “wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram”, maka hasil ijtihad para ulama menjadi sangat penting dan utama.

Penerapan ketentuan hukum Islam melalui sistematika berpikir di atas merespon perkembangan dinamika kehidupan umat Islam secara dinamis. Oleh karena itu, ajaran Islam tidak kaku dan rigid terhadap kemajuan peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan ajaran Islam senantiasa hadir merespon kemajuan alam pikiran dan memenuhi kebutuhan zamannya.

Respon ajaran Islam terhadap perubahan dan perkembangan zaman itu sangat ditentukan oleh adanya para ulama melakukan upaya ijtihadnya sesuai dengan dinamika kehidupan yang dihadapi umat Islam. Kehadiran para ulama ini menjadi titik fokus dalam tulisan ini, karena umat Islam tidak hidup dalam sebuah wilayah kekuasaan atau kawasan tertentu, tetapi hidup dalam sebuah negara yang berdaulat, yang memiliki ideologi, budaya, adat-istiadat, dan peraturan perundang-undangan masing-masing dan berbeda-beda, sekalipun mengatasnamakan negara berasaskan Islam, serta antar negara memiliki kekuasaannya sendiri. Oleh karena itu, ketika umat Islam dalam suatu negara membutuhkan kedudukan suatu perkara yang berkaitan dengan ajaran Islam, maka ulama memiliki posisi yang sangat penting dan urgent melalui fatwa-fatwanya.

Fatwa-fatwa ulama di atas menjadi pegangan umat Islam dalam menjalankan ajaran Islam, tetapi menentukan suatu fatwa atas suatu perkara tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena membutuhkan pendapat para ulama (mujtahid) yang ada dalam negara itu. Di sinilah dibutuhkan adanya suatu wadah atau lembaga yang dapat mewadahi para ulama melakukan ijtihad, yang nantinya dapat diaplikasi kepada seluruh umat Islam yang ada dalam negara. Hasil ijtihad (fatwa) para ulama tersebut menjadi hukum yang wajib dipatuhi dan ditaati oleh seluruh umat Islam, seperti halnya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara, maka “lembaga fatwa” tersebut harus mendapatkan pengakuan atau legitimasi dari negara, berupa ketetapan dari pemegang alat kekuasaan negara, yaitu Presiden atau Raja, agar hasil ijtihad para ulama tersebut memiliki roh, daya atau kekuatan yang bersifat memaksa dalam penerapannya bagi seluruh umat Islam.

Dalam realitasnya, kehadiran lembaga fatwa atau dikenal dengan istilah mufti dapat ditemukan di berbagai negara dan menjadi salah satu bagian dari badan-badan negara, baik di negara berkonstitusi “Islam” maupun negara minoritas menganut Islam, bahkan di Negara-negara secular sekalipun. Misalnya, Arab Saudi, Mesir, Turki, Australia, Rusia, Uni Sovyet, Perancis, Singapura, Malaysia, dan sebagainya. Tetapi kondisi ini tidak ditemukan, bahkan tidak dikenal di Indonesia, yang menurut data di atas merupakan negara mayoritas berpenduduk Muslim dan terbanyak di dunia. Ketiadaan lembaga fatwa resmi dalam naungan Negara Republik Indonesia ini menimbulkan berbagai implikasi sosial, terutama bagi umat Islam, antara lain ketidakpastian suatu masalah furu’iyah dalam hukum Islam, sehingga sering membingungkan masyarakat dan negara. Misalnya, penentuan tanggal 1 Ramadhan, tanggal 1 Syawal (Idul Fitri), atau tanggal 10 Dzulhijjah (Idul Adha). Hal ini menjadi titik sentral pembahasan dalam tulisan ini, perlukah lembaga fatwa atau mufti di Indonesia dalam pembangunan hukum nasional di Indonesia? Penulis berupaya mengulas permasalahan ini dalam perspektif politik hukum Indonesia.

Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, bahwa: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial …”. Untuk mewujudkan salah satu butir cita-cita dan kewajiban Negara tersebut, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”, maka kehadiran “lembaga fatwa” yang memiliki legitimasi secara sah dari negara (pemerintah) dapat memberikan dan memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan ketentuan agama dalam ajaran Islam menjadi urgent dan mendesak.

Kehadiran lembaga fatwa di atas, selain memberikan wadah pendidikan kepada umat terhadap suatu perkara yang berkaitan dengan ketentuan ajaran agama, juga menjadi wahana pemersatu umat dan bangsa, terutama dalam hal-hal yang menyangkut “ikhtilaf” dalam ajaran Islam, yang dapat membingungkan masyarakat dan negara serta sewaktu-waktu dapat memperkeruh suasana ketertiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, negara atau pemerintah memberi tugas dan wewenang secara merdeka dan mandiri kepada lembaga fatwa dalam memutus dan menetap perkara-perkara yang berkaitan dengan ajaran Islam. Tugas dan kewenangan tersebut dapat dijadikan sebagai pertimbangan oleh eksekutif dalam menentukan kebijakan, atau oleh lembaga legislatif dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, bahkan oleh yudikatif dalam memutus suatu perkara yang menyangkut hukum Islam.

Adapun sebagai pertimbangan pembentukan LEMBAGA FATWA INDONESIA adalah:

1.   Ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Negara Indonesia adalah Negara hukum.

2.   Prinsip konstitusionalisme, yaitu gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintah yang ada dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat, sehingga menjadi suatu mekanisme atau prosedur yang tetap, sehingga hak-hak dasar warga negara semakin terjamin dan demokrasi dapat terjaga.

3.   Prinsip checks and balance (mengawasi dan mengimbangi), yang menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Untuk itu, pembentukan organ kelembagaan negara harus bertolak dari kerangka dasar ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang mengarah kepada separation of power (pemisahan kekuasaan) bukan distribution of power (pembagian kekuasaan).

4.   Prinsip integrasi, dalam arti, bahwa pembentukan lembaga negara tidak bisa dilakukan secara parsial, keberadaannya harus dikaitkan dengan lembaga lain yang telah ada dan eksis. Pembentukan lembaga negara harus disusun sedemikian rupa, sehingga menjadi satu kesatuan proses yang saling mengisi dan memperkuat serta harus jelas kepada siapa lembaga tersebut harus bertanggung jawab.

5.   Prinsip kemanfaatan (utility) bagi masyarakat, yaitu pembentukan lembaga negara bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan warganya dan menjamin hak-hak dasar yang dijamin konstitusi.

Pembentukan lembaga fatwa menjadi sangat urgen dan mendesak, mengingat permasalahan umat Islam di Indonesia semakin banyak dan kompleks, yang membutuhkan adanya lembaga yang resmi dan memiliki legitimasi yang sah dari negara serta diakui umat untuk dapat menyelesaikan perkara pelaksanaan ajaran agama Islam. Lembaga fatwa ini menjadi jalan keluar bagi umat Islam dalam menyelesaikan dan menjalankan ajaran Islam. Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahwa sejak era Reformasi bergulir dengan terbuka lebarnya kran alam demokrasi, maka kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul menjadi “identitas” baru di negara ini. Tak terkecuali dalam perkara pelaksanaan ajaran Islam, seperti penentuan 1 Syawal sebagai hari Idul Fitri. Dalam dekada terakhir, bangsa ini dapat menyaksikan umat Islam di Indonesia dapat melaksanakan beberapa kali shalat idul fitri di hari yang berbeda, sekalipun “zona waktu dan tempat” yang sama. Sekalipun pemerintah yang diwakili Menteri Agama RI mengumumkan waktu dan tanggal pelaksanaan shalat id, tetapi Ormas (organisasi kemasyarakatan) Islam dapat melaksanakan pada hari yang lain secara bebas, sesuai dengan keyakinan ijtihadnya.

Keterlibatan Kementerian Agama RI mengurusi masalah keyakinan umat menjadi perdebatan, karena tugas utama Kementerian Agama hanya mengurus permasalahan “keagamaan” bukan mencampuri urusan “ajaran agama”. Yakni, Kementerian Agama mengurus soal-soal yang berkaitan dengan: administrasi keagamaan, membina kerukunan umat beragama, menyediakan pelayanan kehidupan beragama, membina kualitas pendidikan umat beragama, menyelaraskan pemahaman keagamaan dengan wawasan kebangsaan Indonesia, memberdayakan umat beragama dan lembaga keagamaan, serta membina kualitas penyelenggaraan ibadah haji.

Di lain pihak, kehadiran Ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan organisasi Islam lainnya dalam memberikan fatwa ajaran agama masih “sektarian”, karena hanya didukung dan diikuti oleh kalangan seorganisasinya sendiri. Sementara fatwa-fatwa yang selama ini dikeluarkan oleh MUI masih dipertanyakan keabsahannya oleh banyak kalangan dari sudut legal dalam kelembagaan negara. Oleh karena itu, kehadiran LEMBAGA FATWA INDONESIA ini penting dan mendesak, mengingat:

1.   Belum adanya lembaga atau organisasi keagamaan (Islam) yang kredibilitas serta mampu merangkum dan menyatukan umat dalam satu wadah yang kuat, mengakar, dan legitimate.

2.   Belum adanya lembaga atau organisasi keagamaan (Islam) yang independen, karena satu dan lain hal masih kuatnya nilai-nilai sektarianisme, fanatisme, sinisme umat dan hanya mengakui mazhab atau aliran yang dianutnya.

3.   Semakin menjamurnya aliran-aliran Islam di Indonesia dengan berbagai macam gerakannya dapat merongrong persatuan dan kesatuan umat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4.   Di sisi lain, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas yang urgen dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN.

5.   Adanya pengaruh global serta belum adanya political will para stakeholders, dalam hal ini pemerintah, legislatif, dan alim ulama menyatukan persepsi dengan pembentukan lembaga fatwa di Indonesia.

Penulis berpandangan, bahwa Negara (Presiden) perlu membentuk LEMBAGA MUFTI INDONESIA yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia, yang bersifat otonomi dan merdeka (independen), jauh dari intervensi kepentingan pribadi dan golongan. Di mana Negara memberikan tugas dan tanggung jawab penuh dalam menetapkan dan memberikan fatwa-fatwa keagamaan berdasarkan ajaran agama Islam, yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

 

PENGERTIAN, SYARAT, DAN TINGKATAN MUFTI DALAM HUKUM ISLAM

Kata “mufti” merupakan bentuk ism fa’il dari kata iftâ’ (افـتـاء), yang terambil dari akar kata “أفـتى – يـفـتى – افـتـاء”, yang berarti memberi penjelasan, memberi jawaban atau berarti memberi fatwa. Jadi kata iftâ’  adalah usaha memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Oleh karena itu, “mufti” berarti pembuat atau pelaku, yaitu orang yang memberikan jawaban terhadap suatu persoalan atau perkara yang dikemukakan oleh seseorang kepadanya.[16]

 

Kata “fatwa berasal dari bahasa Arab, yaitu فخىي, artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian, peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.

Dalam Ensiklopedi Islam, fatwa didefinisikan sebagai pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat. Si peminta fatwa baik perorangan, lembaga maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi fatwa atau hukum yang diberikan kepadanya. Hal itu, disebabkan fatwa seorang mufti atau ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang sama. Fatwa biasanya cenderung dinamis, karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal fatwa itu responsif.[17]

Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya. Futya pada dasarnya adalah profesi independen, namun di banyak negara Muslim menjadi terkait dengan otoritas kenegaraan dalam berbagai cara. Dalam sejarah Islam, dari abad pertama hingga ketujuh Hijriyah, negaralah yang mengangkat ulama bermutu sebagai mufti. Namun, pada masa-masa selanjutnya, pos-pos resmi futya diciptakan, sehingga mufti menjadi jabatan kenegaraan yang hierarkis, namun tetap dalam fungsi keagamaan. Untuk dapat melaksanakan profesi futya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, beragama Islam. Kedua, memiliki integritas pribadi ('adil), ketiga ahli ijtihad (mujtahid) atau memiliki sesanggupan untuk memecahkan masalah melalui penalaran pribadi. Berbeda dengan seorang hakim, seorang mufti bisa saja wanita, orang buta, atau orang bisu, kecuali untuk jabatan kenegaraan. Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.[18]

Setelah Nabi wafat, pertanyaan tentang hukum dan agama secara umum ditanyakan kepada para khalifah dan sahabat Nabi. Kemudian, persoalan hukum masyarakat setelah masa tersebut ditanyakan kepada hakim pengadilan dan adapun di daerah-daerah yang jauh dari pengadilan, pertanyaan hukum dijawab oleh orang alim yang berfungsi sebagai mufti. Mufti terkenal dari kalangan tâbiîn adalah Ibrahim an-Nakh’î (wafat 96 H), Atha’ bin Abi Rabah (w. 115 H) dan Abdullah bin Abi Nujaih. Di berbagai negara, jabatan mufti menjadi jabatan resmi. Misalnya, Mufti `Utsmani, Mufti Mesir, Mufti Suria, Mufti Palestina, Mufti Malaysia, Mufti Brunei, Mufti Singapura dan lain-lain.[19]

Menurut asy-Syathibi, mufti di tengah-tengah umat berperan seperti Nabi Muhammad SAW. Pertama, mufti adalah penerus Nabi sesuai sabda beliau bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Kedua, mufti adalah wakil Nabi dalam menyampaikan ketentuan hukum agama. Mufti dari satu sisi sebenarnya pembuat hukum (syari’) yang mengutip langsung hukum dari syariah dan di sisi lain pembuat hukum dari hasil ijtihadnya sendiri yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah.[20]

Al-Qirafi melihat mufti sebagai penerjemah Allah Ta`ala dan Ibnu al-Qayyim mengumpamakan mufti sebagai penandatangan (muwaqqi’) mewakili Allah terhadap apa yang ia fatwakan. Karena itu, Ibnu al-Qayyim menamakan kitabnya sebagai A’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi al-‘Alamin (Notifikasi atau Nasehat Mewakili Tuhan Seluruh Alam).[21] Karena itu, fatwa adalah “pemberitaan tentang hukum syar’i (sah secara syariah) tanpa mengikat” (al-ikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min ghair al-ilzam).[22] Hukum Islam dalam hal ini berciri qadha’i dan diyani.

 

Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan  fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab kumpulan fatwa pertama. Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa  bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa. Di Indonesia juga ada sejumlah  buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu ada juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.[23]

Mufti adalah orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan dari orang yang meminta fatwa, atau orang yang memberikan fatwa.Mufti’ atau orang yang memberi fatwa itu sesungguhnya adalah juga mujtahidatau faqih. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan persyaratan seorang muftī pada dasarnya sama dengan seperti mujtahid atau faqih. Namun demikian, Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah menyebutkan secara khusus syarat-syarat seorang mufti, sebagai berikut ini.[24]

a.   Seorang Mufti itu hendaklah memiliki niat yang ikhlas. Sekiranya seorang mufti tidak memiliki niat yang tulus, maka ia tidak akan mendapat cahaya.

b.   Mufti hendaklah seorang yang bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, sopan, wibawa dan tenang.

c.   Mufti hendaklah seorang yang memiliki kekuatan untuk mengetahui dan menghadapi persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya

d.  Memiliki ilmu yang cukup

e.   Mengenal keadaan dan lingkungan atau kondisi sosiologis masyarakatnya.

Akan tetapi secara umum, ulama ushul fiqh mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi seorang muftiagar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan. Persyaratan tersebut adalah. (1)  baligh, berakal dan merdeka; (2) adil; dan (3) memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa. Berdasarkan persyaratan ini; seorang mufti tidak harus seorang laki-laki. Wanitapun boleh menjadi mufti asal memenuhi persyaratan di atas.

Fatwa adalah jawaban hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan. Dalam hal ini, ada dua hal penting yang berlu diperhatikan mengenai fatwa, yaitu:[25]

a.   Fatwa bersifat responsive. Ia merupakan jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand). Pada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang merupakan peristiwa atau kasus yang telah terjadi atau nyata. Seorang pemberi fatwa (mufti) boleh untuk menolak memberikan fatwa tentang peristiwa yang belum pernah terjadi. Walaupun begitu, seorang mufti tetap disunnahkan untuk menjawab pertanyaan seperti itu, sebagai langkah hati-hati agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu.

b.   Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion) tidaklah bersifat mengikat. Dengan kata lain, orang yang meminta fatwa (mustafti), baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau hukum yang di berikan kepadanya. Hal ini disebabkan bahwa fatwa tidak mengikat sebagaimana putusan pengadilan (qadha). Bisa saja fatwa seorang mufti di suatu tempat berbeda dengan fatwa mufti lain di tempat yang sama. Namun demikian, apabila fatwa ini kemudian di adopsi menjadi putusan pengadilan, maka fatwa tersebut menjadi hukum positif/regulasi suatu wilayah tertentu.

 

Macam-Macam Mufti

Imam An Nawawi mengatakan, bahwa dalam mazhab Imam Syafi’i terdapat beberapa tingkatan mufti, hal ini merujuk pada pendapat al-Hafidz Ibnu Shalah yang membagi mufti dalam mazhab menjadi beberapa kelompok, yaitu:[26]

1.   Mufti mustaqil, yaitu mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam mazhab. Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan mazhab. Bahkan mujtahid inilah perintis mazhab. Tentu dalam Mazhab Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam Syafi’i sendiri. Imam An-Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul, bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa Imam Syafi’i. Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya menciptakan metode yang dianut mazhabnya.

2.   Mujtahid madzhab, yaitu mufti yang tidak bertaklid kepada imamnya, baik dalam mazhab (pendapat) atau dalilnya, namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. Menurut Ibnu Shalah dan Imam An-Nawawi, bahwa yang berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadis shahih yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi, Imam sengaja meninggalkan hadis walau itu shahih dikarenakan manshukh atau di-takhsis. Hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkutan telah menela’ah semua karya Imam Syafi’i dan para pengikutnya, ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An-Nawawi sekalipun.

3.   Ashab al-wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan meng-qiyas-kan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. Imam An-Nawawi menyebutkan, bahwa para ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al-wujuh. Yakni mereka yang meng-qiyas-kan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam, sehingga orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak ber-taklid kepada mereka, namun ber-taklid kepada imam.

4.   Mujtahid fatwa. Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al-wujuh, namun menguasai mazhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam mazhab.

5.   Mufti muqallid. Tingkatan mufti dalam mazhab yang paling akhir ini adalah mereka yang menguasai mazhab, baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya, maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang mazhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid mazhab. Para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam mazhab.

 

PENTINGNYA LEMBAGA MUFTI INDONESIA

Mufti adalah ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat. Fungsi mufti kadang-kadang diambil oleh suatu organisasi ulama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun oleh Pengadilan Agama. Fatwa MUI hanya merupakan anjuran bagi umat sedangkan keputusan Pengadilan Agama memiliki suatu kekuatan hukum.

Lembaga Mufti sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang merupakan salah satu jabatan dalam struktur Landraad (Pengadilan Negeri) yang terdapat pada setiap afdeeling. Dalam kesultanan yang independen, mufti ditunjuk oleh sultan, namun pada masa Hindia Belanda, mufti ditunjuk dan digaji oleh pemerintah kolonial. Sebagai contoh, sebuah Landraad di Afdeeling Bandjermasin pada akhir abad ke-19 memiliki susunan sebagai berikut:[27]

·      Ketua Landraad    : E.B. Masthoff (asisten-residen)

·      Jaksa Kepala        : Kiai Bondan

·      Ajunct Jaksa         : Hairul Ali bin Kiai Bondan

·      Moefti/Mufti       : H. Djamal bin H. Abdulhamid

·      Penghulu             : H. Muhamad Junan

·      Grieffier               : E. Lewis

·      Juru Sita               : C.W. van der Linden

 

LEMBAGA MUFTI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA

1.       Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta)[28]

Lembaga Fatwa Mesir merupakan lembaga fatwa pertama yang didirikan di dunia Islam. Lembaga ini didirikan pada tahun 1895 berdasarkan surat keputusan dari Khedive Mesir Abbas Hilmi yang ditujukan kepada Nidzarah Haqqaniyah Nomor 10 tanggal 21 November 1895. Surat tersebut telah diterima oleh Nidzarah yang bersangkutan tanggal 7 Jumad al-Akhir 1313 Nomor 55.

Lembaga fatwa Mesir merupakan salah satu pilar institusi Islam di Mesir, selain al-Azhar asy-Syarif, Universitas al-Azhar dan Kementerian Wakaf. Pada mulanya, lembaga fatwa Mesir merupakan salah satu lembaga yang berada di bawah naungan Departemen Kehakiman. Mufti agung Mesir selalu diminta pendapatnya tentang vonis mati dan sebagainya. Namun, tugas dan peran lembaga fatwa Mesir tidak terbatas itu saja, bahkan jangkauannya pun tidak hanya Mesir, namun menjamah ke seluruh dunia. Hal itu dapat diketahui dengan banyaknya pertanyaan yang dilayangkan ke lembaga fatwa Mesir, di mana para penanyanya berasal dari berbagai penjuru dunia, ditambah dengan diadakannya pelatihan fatwa untuk mahasiswa asing. Terdorong dari faktor ini ditambah lagi dengan posisi lembaga fatwa Mesir yang selalu dijadikan rujukan (marji’iah) karena metodenya yang moderat (tawasuth), maka Dar al-Ifta hingga saat ini selalu mengikuti perkembangan teknologi terkini agar dapat merealisasikan tuntutan ini semua.

Secara global, tugas lembaga ini terbagi menjadi dua; tugas keagamaan dan tugas yang berkaitan dengan pengadilan. Adapun tugas keagamaan, di dalamnya terdapat beberapa poin di antaranya; menerima permohonan dan pertanyaan fatwa serta menjawabnya dengan berbagai bahasa, menentukan setiap permulaan bulan hijriyah, mengadakan pelatihan fatwa kepada mahasiswa asing, mengeluarkan pernyataan resmi berkenaan dengan masalah keagamaan, menyusun riset-riset ilmiah, menjawab kesalahpahaman terhadap Islam serta mengadakan sistem belajar jarak jauh.

Adapun tugas lembaga fatwa Mesir yang berkaitan dengan pengadilan berupa pemberian keputusan menurut syara’ terhadap vonis mati terhadap terdakwa. Dalam hal ini, Mufti agung Mesir mengecek seluruh berkas yang ada (bukti-bukti dari awal hingga akhir) serta mencari dalil dalam agama dan pendapat para ulama terhadap kasus tersebut yang pada nanti akan dikembalikan kepada pihak Kehakiman (Pengadilan) dalam pembacaan vonis terakhir.

Lembaga fatwa Mesir terus memperbaiki kinerjanya, hal ini terlihat dari bidang-bidang yang ada di dalamnya. Tak kurang dari lima bagian berada di bawah naungannya; bagian dewan fatwa, pusat riset Islam, pusat pelatihan fatwa, pusat terjemah, pusat komunikasi dan fatwa elektronik serta bidang-bidang pendukung. Selain bidang-bidang tersebut, lembaga fatwa Mesir juga memiliki tim khusus, di antarnya; tim khusus maqashid syari’ah dan tim pengawas dan sosialisasi data ilmiah.

Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, di mana setiap institusi dituntut untuk terus mengikutinya, maka lembaga fatwa Mesir mulai melebarkan sayapnya dalam menyebarkan misi dan visinya. Berbagai cara dan media di tempuh di antarnya melalui website (yang dapat dilihat di www.dar-alifta.org, facebook, twitter hingga youtube), majalah, buletin bulanan, khazanah fatwa klasik (ensiklopedia yang berisi seluruh fatwa dari mufti pertama hingga terkini, bahkan diwacanakan seluruh fatwa ini akan dikomputerisasikan).

Sejak berdirinya hingga sekarang, lembaga fatwa Mesir ini telah dipimpin oleh 19 mufti, dimulai dari Syeikh Hasunah an-Nawawi hingga mufti terkini Syeikh Syauqi Abdul Karim ‘Allam. Berikut dicantumkan secara singkat biografi mereka satu persatu, yaitu:

a.   Syeikh Hasunah an-Nawawi (1895- 1899). Tahun 1893 beliau lahir di Provinsi Asyuth. Ia juga menduduki beberapa jabatan penting, mulai guru besar di Fakultas Dar al-Ulum Universitas Kairo, Grand Syeikh al-Azhar menggantikan Syeikh Al-Inbani, mufti lembaga Fatwa Mesir pertama -sebelum Syeikh Muhammad Abduh- dari tahun 1895-1899 M. beliau pun berhasil mengumpulkan sekitar 287 fatwa selama masa jabatannya. Salah satu karya tulisnya yang terkenal adalah Sullam al-mustarsyidin fi ahkam al-fiqh wa ad-din. Beliau akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada 24 Syawwal 1343 H sekitar tahun 1924 M.

b.    Syeikh Muhammad Abduh (1899 – 1905). Beliau lahir di Delta Nil tahun 1849 M dan meninggal di Iskandariyah 11 Juli 1905 M pada umur 55 atau 56 tahun. Beliau resmi menjabat sebagai mufti Mesir dengan dikeluarkannya surat resmi dari Khedive Abbas Hilmi. Kalau masa-masa sebelumnya jabatan mufti merangkap Grand Syeikh al-Azhar namun setelah turunnya surat keputasan tersebut maka Syeikh Muhammad Abduh menjadi Mufti pertama yang independen dari jabatan Syeikh al-Azhar. Selama 6 tahun masa jabatannya beliau telah menelurkan 944 fatwa dimana sekitar 80 persen fatwanya mencakup berbagai problematika khususnya ekonomi dan harta.

c.    Syeikh Bakr Ash-Shidfi (1905- 1915). Lahir di Provinsi Asyuth. Masa hidup beliau selalu disibukkan dengan kegiatan mengajar, baik di masjid al-Azhar bahkan di rumah beliau sendiri. Hal ini juga yang membuat beliau tidak terlalu produktif menghasilkan karya tulis, bahkan karya-karya yang ada berupa beberapa pembahasan belum terbit hingga sekarang. Beliau meninggal pada bulan Maret 1919 M.

d.   Syeikh Muhammad Bukhit al-Muthi’i (1915 – 1920). Lahir di daerah Muthi’ provinsi Asyuth. Seperti ulama lainnya kesibukan beliau pun sangat fokus untuk mengajar di al-Azhar. Syeikh yang bermazhab Hanafi ini juga banyak menelurkan karya diantaranya; Irsyadu al-ummah ila ahkam ahli adz-dzimmah, Haqiqah al-Islam wa ushul al-ahkam, Al-Qoul al-mufid fi ‘ilm at-tauhid dan lain-lainnya. Beliau menemui ajalnya tahun 1354 H atau 1935 M.

e.   Syeikh Muhamad Isma’il al-Bardisi (Enam bulan 1920). Beliau dilahirkan di Bardis, daerah di Jurja. Keilmuannya sangat terpengaruh dari keluarganya yang berilmu. Beliau termasuk salah satu murid Syeikh Jamal ad-Din Al-Afghani. Selama enam bulan menjadi mufti beliau dapat melahirkan 260 fatwa. Kesibukannya dalam kehakiman di Mesir membuatnya tidak banyak membuat karya tulis, salah satu karyanya yang berjudul Al-ittihaf fi ahkam al-auqof masih berupa manuskrip di perpustakaan al-Azhar.

f.    Syeikh Abd ar-Rahman Qurra’ah (1921 – 1928). Lahir di daerah Bundar provinsi Asyuth. Selain mempelajari kitab-kitab Azhar beliau juga mendalami sastra, kamus-kamus Arab hingga menjadi seorang penyair dan salah satu pencetus kebangkitan bahasa Arab. Mufti pada masa Raja Fuad I ini telah membuat sekitar 3065 fatwa.

g.   Syeikh ‘Abd al-Majid Salim (1928 – 1946). Terlahir di daerah Mayit Syuhalah, daerah Asy-Syuhada provinsi Munufiyah 13 Oktober 1882 M. Beliau berguru para Syeikh Muhammad Abduh, Syeikh Ahmad Abi Khotwah, Syeikh Hasan Ath-Thowil dan lain-lain. Beliau sempat menjadi Grand Syeikh al-Azhar dua kali. Pertama pada 1950 namun dilengserkan karena menentang pemerintah dan diangkat kembali pada 1952 M. Selama menjabat mufti beliau telah menyumbangkan 15 ribu fatwa.

h.   Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf (1946 – 1950). Lahir di Bab al-Futuh Kairo 6 Mei 1890 M. Setelah tamat dari al-Azhar beliau sibuk menjadi hakim. Kemudian diangkat menjadi mufti pada 5 Januari 1946 M. Banyak karya tulis yang lahir dari tangan beliau diantaranya; syarh baiquniyah, hukm al-Islam fi ar-rifqi bi al-hayawan dan lain-lain. Karena kontribsinya terhadap Islam beliau mendapat penghargaan Internasional Raja Faisal (jaizah malik faishal al-‘alamiyah li khidmat al-Islam). Selama jabatannya beliau telah mengeluarkan sekitar 8588 fatwa.

i.     Syeikh ‘Allam Nashor (1950 – 1952). Di Desa Mayt al-‘Iz Provinsi Munufiyah 20 Februari 1891 M beliau terlahir. Usai menyelesaikan studinya di al-Azhar beliau berkarir sebagai qodhi hingga diangkat menjadi mufti. Beliau mencurahkan seluruh usahanya untuk mengajar dan menjadi mufti. Karya-karyanya banyak berkisar pada masalah masalah fiqh namun belum tercetak hingga kini. Adapun jumlah fatwa selama jabatannya berkisar 2189 fatwa.

j.     Syeikh Hasan Makmun (1955 – 1964). Terlahir di kampung Abidin Kairo. Usai menyelesaikan belajarnya di al-Azhar beliau melanjutkan ke sekolah Qodho Syar’i. Selain menguasai bahasa Arab beliau juga pandai bahasa Prancis. Beliau ditugaskan sebagai qodhi bahkan hingga ke Sudan. Selain menjadi mufti beliau juga pernah menjadi Grand Syeikh al-Azhar ke 39. Sekitar 12311 fatwa berhasil dikeluarkan selama masa jabatannya.

k.   Syeikh Ahmad Muhammad ‘Abd al-‘Aal Huraidi (1960 – 1970). Lahir di Provinsi Bani suwaif 15 Mei 1906 M. Masuk Kuliyah Syariah di al-Azhar dan menjadi alumni pertamanya. Karena kedalaman ilmunya beliau ditunjuk menjadi mufti dalam beberapa periode dan dapat menghasilkan sekitar 8983 fatwa. Beliau wafat bulan Maret 1984 M.

l.     Syeikh Muhammad Khotir Muhammad al-Syeikh (1970 – 1978). Lahir di daerah Manzalah Provinsi Daqhaliyah tahun 1913 M. Selain menjadi mufti beliau juga menduduki beberapa posisi penting seperti anggota Majma’ buhuts al-Islamiyah, anggota Majlis ‘ala li asy-syuun al-Islamiyah seta ketua Dewan pengawas syaria’ah Bank Faisal. Selama menjadi mufti beliau berhasil mengeluarkan sekitar 2872 fatwa. Beliau berpulang ke rahmatullah pada 20 Januari 2004 M.

m. Syeikh Jad al-Haq ‘Ali Jad al-Haq (1978 – 1982). Lahir pada 5 April 1917 di Provinsi yang sama dengan mufti sebelumnya. Beliau sangat terkenal dengan keilmuan dan kedisiplinannya. Tak heran beberapa jabatan penting di Mesir pernah beliau duduki mulai mufti Mesir, Mentri wakaf hingga Grand Syeikh al-Azhar. Beliau juga banyak membuat trobosan baru di lembaga yang dipimpinya. Di dar al-ifta beliau yang berinisiatif untuk mengumpulkan seluruh fatwa mulai dari mufti pertama hingga zaman beliau. Di kementrian wakaf beliau banyak mengadakan seminar untuk menjadikan para da’i dapat mengoptimalkan tugasnya. Di al-Azhar sendiri beliau banyak melakukan banyak inovasi di antaranya; membuka cabang-cabang al-Azhar hingga ke daerah-daerah bahkan luar negri, membuka pintu selebar-lebarnya kepada para mahasiswa asing dan menambah beasiswa mereka. Pada masanya lembaga fatwa Mesir melahirkan sekitar 1284 fatwa. Tepat 15 Maret 1996 beliau menghembuskan nafas terkhirnya.

n.   Syeikh ‘Abd al-Latif Hamzah (1982 – 1985). Dilahirkan pada permulaan bulan Mei 1923 di Provinsi Delta Nil (Buhairoh). Selama tiga tahun menjadi mufti beliau telah menelurkan sekitar 1115 fatwa. 15 September 1985 M menjadi hari terakhir beliau di dunia ini.

o.   Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi (1986 – 1996). 28 Oktober 1928 menjadi awal kali beliau menghirup udara Provinsi Suhaj. Usai menamatkan doktoralnya dengan predikat imtiyaz tahun 1966 beliau banyak melanglang buana. Hingga pada 26 Oktober 1986 beliau diangkat menjadi mufti Mesir. Sepuluh tahun beliau menduduki kursi mufti dapat membuat beliau melahirkan 7557 fatwa. Pada 27 Maret 1996 beliau pun diangkat menjadi Grand Syeikh al-Azhar hingga wafatnya pada 10 Maret 2010 M.

p.   Syeikh Nashr Farid Wasil (1996 -2002). Lahir pada 1937 M. Dilanjutkan dengan pengembaraan keilmuannya hingga dipinjamkan ke berbagai Universitas seperti Shan’a, Madinah, King Saud dan lain-lain. Tepat pada 10 November 1996 M beliau menjabat mufti. Dan menghasilkan sekitar 7378 fatwa dalam masa khidmahnya. Beliau akhirnya mundur dari jabatan ini karena sudah memasuki usia pensiun dengan berumur 65 tahun ketika itu. Hingga kini beliau masih hidup dan mengajar di pascasarana Universitas al-Azhar serta menjadi salah satu pembesar ulama di al-Azhar (Haiah kibar ulama al-Azhar).

q.   Syeikh Ahmad ath-Thayyib (2002 -2003). Lahir di ujung Provinsi Mesir (Luxor) pada 6 Januari 1946 M. Beliau berhasil menamatkan doktoralnya di Universitas al-Azhar pada 1977 dan pernah melakukan perjalanan beberapa bulan di Prancis atas undangan beberapa universitas di sana. Selama menjadi mufti beliau berhasil mengeluarkan sekitar 2835 fatwa. Beliau diangkat menjadi rektor Universitas al-Azhar kemudian Grand Syeikh al-Azhar hingga saat ini. Beliau pun yang pertama kali menggagas pembentukan Ikatan Alumni al-Azhar Internasional.

r.    Syeikh Ali Jum’ah (2003-2013). 3 Maret 1952 beliau dilahirkan di Bani Suweif. Selain menyelesaikan studinya di al-Azhar (hingga doktoral dan Profesor). Beliau juga menamatkan jenjang sarjananya (strata satu) di Fakultas Perdagangan Universitas Ain Syams. Beliau juga banyak mendapatkan sanad tertinggi dari para masyayikh. Beliau juga yang menghidupkan kembali halaqah-halaqah (talaqi) di masjid al-Azhar setelah beberapa saat fakum. Berkat usaha dan jerih payah beliau maka dar al-ifta sudah dapat go internasinal. Beberapa penghargaan juga diraih oleh beliau serta lembaga fatwa Mesir ini, baik dari kalangan muslim bahkan barat dan non-Muslim.

s.    Syeikh Syauqi Ibrahim Abd al-Karim ‘Allam (2013-sekarang). Lahir di Delta Nil pada 1961 dengan bermazhab Maliki. Pendidikannya diselesaikan di Fakultas Syariah Univerisitas al-Azhar. Jabatan terakhir yang ia pangku adalah kepala Yurisprudensi Islam dan Hukum Syariah di Universitas al-Azhar, cabang Tanta dan kepala Departemen fiqih di Fakultas ilmu Islam atas rekomendasi Kesultanan Oman. Beberapa karya tulisnya menyoroti tentang ekonomi dan wanita. Pengangkatan mufti kali ini berbeda dengan masa-masa sebelumnya, di mana kali ini sang mufti dipilih dari seleksi para pembesar ulama-ulama al-Azhar bukan penunjukkan langsung dari Presiden sebagaimana yang terjadi pada beberapa mufti sebelumnya. Setelah menyaring beberapa nama calon mufti terpilihlah beberapa kandidat yang nantinya akan disaring menjadi lima kemudian tiga dan terakhir menjadi mufti terpilih.

2.       Lembaga Fatwa Ha’itu Kibaril Ulama Arab Saudi[29]

Hai’atu Kibaril Ulama (هيئة كبار العلماء) adalah lembaga fatwa resmi milik Kerajaan Saudi Arabia. Didirikan atas surat keputusan dari Raja Saudi pada tahun 1971.

Di dalam lembaga ini berkumpul para fuqaha dan mujtahid dari berbagai perguruan tinggi di Saudi. Pimpinannya adalah Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syeikh.

Lembaga ini kemudian memiliki unit khusus untuk menjawab semua pertanyaan dari masyarakat, yang disebut dengan Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ (اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء). Lajnah ini juga bertugas mempersiapkan riset untuk diuji oleh para ulama.

Tahun 1991, Raja mengangkat Syeikh Abdul Aziz bin Baz sebagai mufti kerajaan sekaligus memimpin lembaga ini. Dan pada tahun 1995, Kerajaan mengangkat Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syeikh sebagai wakil mufti umum urusan perfatwaan, dengan kedudukan setingkat menteri.

Setelah Syeikh Abdullah bin Baz wafat, pada tahun 1999 Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syeikh diangkat menjadi mufti Kerajaan Saudi Arabia. Konon beliau masih keturunan dari Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Sejak tahun 2009, Raja Abdullah menetapkan Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syeikh sebagai pimpinan lembaga ini. Raja juga menetapkan dua puluh tokoh dari para ulama yang menjadi anggota lembaga ini. Mereka adalah:

a.   Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan

b.   Shalih bin Abdurrahman Al-Hushain

c.   Shalih bin Abdullah bin Humaid

d.  Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki

e.   Abdullah bin Abdurrahma Al-Ghadayan (w. 2010)

f.    Abdullah bin Sulaiman Al-Muni’

g.   Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

h.  Abdul Wahhab bin Ibrahim Abu Sulaiman

i.    Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syeikh

j.     Ahmad Sairul Mubaraki Asy-Syarif

k.   Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq

l.    Ya’qub bin Abdul Wahhab bin Yusuf Al-Bahisin

m.Abdul Karim bin Abdullah bin Abdurrahman Al-Hudhair

n.  Ali bin Abbas bin Utsman Hukmi

o.   Abdullah bin Muhammad Al-Khunain

p.  Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi

q.   Muhammad bin Hasan Alu Syeikh

r.    Saad Asy-Syatsari (dikeluarkan Juni 2009)[1]

s.   Qais bin Muhammad Abdullatif Alu Mubarak

t.    Muhammad bin Abdul Karim Al-Isa

3.       Lembaga Fatwa India: Majma’ Fiqih Islami fil Hind[30]

India termasuk negeri dengan jumlah umat Islam yang sangat besar meski masih di bawah Indonesia. Setidaknya ada 150-an juta umat Islam yang menjadi warga negeri ini. Seandainya dahulu Pakistan tidak memisahkan diri, mungkin boleh jadi negeri ini adalah negara muslim terbesar di dunia.

Untuk mengatasi problem masalah fatwa dan fiqih di tengah masyarakat muslim, di negeri ini didirikan lembaga fiqih yang bernama resmi Majma’ Al-Fiqihi Al-Islami fi Al-Hindi (مجمع الفقه الإسلامي في الهند). Lembaga ini berpusat di India dan didirikan tahun 1989 di bawah asuhan para ulama besar India.

4.       Lembaga Fatwa Eropa Al-Majelis Al-Urubi li Al-Ifta’ wa Al-Buhuts[31]

Lembaga ini bernama resmi Al-Majelis Al-Urubi li Al-Ifta’ wa Al-Buhuts atau European Council for Fatwa and Research (المجلس الأوروبي للإفتاء والبحوث), berkedudukan di Republik Irlandia.

Majelis ini mulai didirikan dari sebuah pertemuan yang diadakan di London di Inggris pada 29-30 Maret 1997, yang dihadiri lebih dari lima belas ulama dunia, atas prakarsa dari Ittihad Munazhzhamah fi Uruba (Persatuan Organisasi Islam di Eropa). Pertemuan ini menghasilkan rancangan konstitusi Majelis.

Tujuan lembaga ini antara lain sebagai upaya untuk mendekatkan para ulama yang berdakwa di Eropa dalam satu pandangan di bidang pendapat-pendapat pada wilayah fiqih.

Selain itu lembaga ini juga berupaya menerbitkan fatwa kolektif yang amat dibutuhkan oleh masyarakat muslim khususnya di benua Eropa. Juga menerbitkan hasil-hasil penelitian dan riset terhadap masalah-masalah hukum Islam.

Lembaga ini juga memberikan pembinaan kepada umat Islam di Eropa, khususnya kepada para pemuda, lewat penyebaran kefahaman terhadap agama yang original dan fatwa yang syar’i.

Lembaga ini sejak berdiri hingga sekarang tercatat sudah mengadakan 19 kali Daurah yang diadakan secara rutin berpindah-pindah di tiap kota di Eropa, seperti di Irlandia, Jerman, Bosnia, Perancis, Swedia, Inggris dan Turki. Lebih jauh tentang lembaga ini, dapat kita buka situs mereka : http://e-cfr.org.

5.       Lembaga Fatwa Amerika Serikat Majma’ Fuqaha As-Syariah bi Amrika[32]

Di benua Amerika juga berdiri lembaga serupa, yang bernama resmi The Assembly of Muslim Jurists in Amerika (AMJA) atau Liga Fuqaha Syariah di Amerika. Dalam bahasa Arab disebut (مجمع فقهاء الشريعة بأمريكا).

Lembaga ini didirikan sejak tanggal 2 Oktober tahun 2002 di Maryland Amerika, dengan dihadiri peresmiannya lebih dari 40 tokoh ulama besar, bukan hanya ulama syariah tetapi juga para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu.

Untuk menguatkan hubungan antara Barat dan Timur, lembaga ini juga membuka kantor di Mesir.

Lembaga ini dipimpin oleh Prof. Dr. Husain Hamid Hassan. Bertindak sebagai wakil pertama adalah Prof. Dr. Ali Ahmad As-Salus, sedangkan wakil kedua adalah Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Sedangkan Prof. Dr. Shalih Ash-Shawi bertindak sebagai Sekretaris Jenderal.

Untuk mengetahu lebih jauh tentang lembaga ini, silahkan rujuk langsung ke situsnya: www.amjaonline.com

Lembaga fatwa yang lain di Amerika bernama: The Islamic Supreme Council of America (ISCA)

 

6.       Lembaga Mufti Rusia

7.       Lembaga Mufti India (Darul Ifta India)[33]

Darul Ifta Ini adalah salah satu departemen yang paling signifikan dari Darul Uloom dari mana orang di seluruh pertanyaan dunia dalam hal keagamaan dan sosial mereka. Darul Uloom telah mengeluarkan fatwa dari awal tetapi ketika pertanyaan mulai datang bulks dan sulit bagi guru untuk membalas mereka dalam paruh waktu mereka, Darul Uloom mendirikan departemen ini pada tahun 1310 H (1892). Darul Ifta selalu pusat atraksi dan memegang rasa hormat yang besar dan kepercayaan di kalangan publik dan pengadilan. Sejauh ini lebih dari 7 Lakh fatwa telah dikeluarkan dari departemen ini. Kehadiran Darul Ifta dibangun pada 1368 H (1949) sedangkan ruang sebelah baru-baru ini ditambahkan.

Darul Ifta selalu pusat atraksi dan memegang rasa hormat yang besar dan kepercayaan di kalangan publik dan pengadilan. Darul Ifta, selain membimbing dalam hal religio-sosial juga merupakan sarana yang sangat kuat dari hubungan antara Darul Uloom Deoband, dan jangka umum Muslim. The Fatwa Darul Uloom telah sangat terhormat di dalam dan luar negeri; selain itu, massa pengadilan hukum di negara itu juga menghormati mereka dan menganggap mereka menentukan.

Darul Uloom Deoband berdiri berawal dari sejarah masuk dan diterimanya agama Islam sebagai salah satu agama resmi di India pada hari Kamis, tanggal 15 Muharram 1283 H  bertepatan dengan tanggal 30 Mei 1866, adalah bahwa hari diberkati dan menguntungkan dalam sejarah Islam India saat batu fondasi bagi kebangkitan ilmu-ilmu Islam dibaringkan di tanah Deoband. Melihat cara yang sederhana dan biasa di mana itu telah dimulai, itu sulit untuk memvisualisasikan dan memutuskan bahwa Madrasah yang diawali begitu rendah hati, dengan kurangnya mengucapkan peralatan ini, ditakdirkan untuk menjadi pusat, dalam beberapa tahun, dari ilmu-ilmu Islam di Asia.Accordingly, tak lama kemudian, mahasiswa berkeinginan mempelajari Kitab Suci dan Sunnah, syariat dan Tariqah (jalan spiritual), mulai berkumpul di sini berbondong-bondong dari sub benua ini serta dari negara-negara tetangga dan jauh seperti Afghanistan, Iran, Bukhara dan Samarqand, Burma, Indonesia, Malaysia, Turki dan jauh dari daerah benua Afrika, dan dalam waktu singkat sinar bercahaya pengetahuan dan kebijaksanaan diterangi hati dan pikiran umat Islam dari benua Asia dengan cahaya iman (iman) dan budaya Islam.

Waktu ketika Darul Uloom Deoband,[34] didirikan, yang Madaris tua di India hampir punah, dan kondisi dua atau empat yang selamat dari kerusakan waktu tidak lebih baik daripada beberapa glow-cacing di malam yang gelap. Rupanya begitu tampak pada waktu itu seolah-olah ilmu-ilmu Islam telah mengemasi kit mereka dari India. Dalam keadaan ini, beberapa orang dari Allah dan dokter ilahi, melalui cahaya batin mereka, merasakan bahaya yang sudah dekat. Mereka tahu terlalu baik bahwa negara telah mencapai status hak mereka melalui pengetahuan saja. Jadi, tanpa tergantung pada pemerintah saat itu, mereka mendirikan Darul Uloom, Deoband, dengan kontribusi publik dan kerjasama. Salah satu prinsip yang Hazrat Nanautavi (mungkin rahasianya disucikan) diusulkan untuk Darul Uloom dan Madaris agama lain juga ini bahwa Darul Ulum harus dijalankan percaya pada Allah dan dengan kontribusi masyarakat yang rakyat miskin saja harus mengandalkan atas.

Darul Ulum, Deoband, yang kini menjadi pusat keagamaan dan akademik terkenal di dunia Islam. Di sub-benua itu adalah lembaga terbesar untuk penyebaran dan penyebaran Islam dan headspring terbesar pendidikan dalam ilmu Islam. Sarjana dicapai seperti telah keluar dari Darul Uloom di setiap periode yang mereka, sesuai dengan tuntutan kebutuhan agama dari waktu, telah memberikan layanan yang berharga dalam menyebarkan dan menyebarkan keyakinan agama yang benar dan ilmu-ilmu agama. Tuan-tuan ini, selain dalam sub-benua, sibuk dalam melakukan agama dan pelayanan akademik di berbagai negara lain juga, dan di mana-mana mereka telah memperoleh status menonjol atau bimbingan agama kaum muslimin. Faktanya adalah bahwa Darul Uloom, Deoband, adalah gerakan keagamaan, pendidikan dan reformatif besar pada abad ketiga belas Hijriah. Itu adalah kebutuhan penting dan menangis seperti waktu yang indiferen ke dan diam-diam di itu dapat menyebabkan umat Islam untuk berhadapan dengan bahaya yang tak ternilai. Kafilah yang terdiri hanya dua jiwa pada tanggal 15 Muharram, AH. 1283, hari ini di kereta individu yang dari berbagai negara di Asia!

Adapun para ulama yang pernah memimpin Darul Uloom sebagai berikut:

a.     Hadhrat Maulana Mufti Azizur Rahman (1859 - 1928)

b.     Hadhrat Maulana Izaz Ali (1902 - 1955)

c.      Hadhrat Mufti Riyazuddin (1902 - 1943)

d.     Hadhrat Mufti Muhammad Shafee (1896 - 1943)

e.     Hadhrat Mufti Muhammad Sahool (1896 - 1943)

f.      Hadhrat Mufti Kifayatullah Gangohi (1292 - 1943)

g.     Hadhrat Mufti Muhammad Farooq Ahmed (1896 - 1943)

h.     Hadhrat Maulana Mufti Mahdi Hasan (1301 - 1396)

i.       Hadhrat Mufti Mahmud Hasan Gangohi (1325 - 1417)

j.       Maulana Mufti Nizamuddin (1328 - 1420)

 

8.       Lembaga Mufti Afrika Selatan (Mufti Ebrahim Desai)[35]

Mufti Ebrahim Desai menyelesaikan nya Quran Menghafal (Hifz) di Watervaal Institut Agama Islam (Mia Pertanian), Afrika Selatan. Setelah itu ia mengejar Alim Course di Jamia Islamia, Dhabel selama 7 tahun, dan lulus dengan perbedaan di setiap tahun. Mufti Ebrahim Desai menyelesaikan nya Mufti Course (IFTA) di Jamia Islamia, Dhabel, India di bawah Hazrat Mufti Ahmad Khanpuri Saheb dari Dabhel selama dua tahun. Setelah menyelesaikan kursus ini, ia menyelesaikan satu tahun lagi studi di iftaa bawah mufti akhir India, Hazrat Mufti Mahmud al-Hasan Gangohi Rahmatullah alayh, penulis multivolume Fatawa Mahmudiyya.

Mufti Saheb mengajarkan Fiqh, Prinsip Fiqh, Tafsir, hadits di Madrasah Talīmuddīn, Isipingo Beach, Afrika Selatan selama 10 tahun. Dia juga mengepalai Departemen Fatwa di Jamiatul Ulama, KZN. Dia adalah seorang Syekhul Hadits senior di Madrasah In'aamiyyah, Camperdown selama 10 tahun. Pada tahun 2011, Mufti Ebrahim Desai Saheb pindah ke Durban permanen dan meletakkan dasar untuk Darul iftaa Mahmudiyyah, Sherwood, Durban.

Saat ini, Mufti Saheb berjalan Darul iftaa Mahmudiyyah di mana ia mengajar siswa untuk menjadi Mufti. Darul iftaa melayani untuk banyak fasilitas bawah pengawasan Mufti Saheb. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di: http://daruliftaa.net/Activities/introducing-diftaa.html

Mufti Saheb juga mengajarkan Sahih Bukhari Shareef, Mishkat al Masabih dan Al Hidayah di Madrasah Numāniyyah, Chatsworth, Durban.

Mufti Ebrahim Desai telah menulis dua buku, "Pengantar hadits: Sebuah pengantar umum hadits dan ilmu yang" dan "Introduksi ke Commerce Islam". Fatwa nya telah disusun dalam sebuah buku berjudul "Al-Mahmood". Kompilasi lain dari pembicaraan di Syariah Compliant Bisnis Kampanye juga tersedia berjudul "Kampanye Syariah Compliant Bisnis". Kompilasi terbaru dari putusan kontemporer juga tersedia berjudul "Contemporary Fatwa".

Mufti Saheb telah mengeluarkan fatwa dalam berbagai bidang selama lebih dari 17 tahun. Kampanye Syariah Compliant Bisnis yang juga diprakarsai oleh Mufti Saheb pada tahun 2002 menyediakan sebuah konferensi untuk mengatasi masalah bisnis kontemporer di Commerce Islam dan Keuangan. Mufti Saheb juga merancang Wesbank Islamic Finance Ijarah Program sebagai alternatif untuk penawaran bunga. Dia terus menjadi Syariah Penasihat Wesbank dan berbagai lembaga komersial swasta lainnya.

Mufti Saheb telah mengunjungi Amerika Serikat Amerika Serikat, Kanada, Inggris, China dan negara-negara lain selama hampir 15 tahun dan disampaikan pembicaraan dan kuliah tentang berbagai topik di Masājids, Universitas dan berbagai lembaga. Beliau juga menjabat sebagai penasihat agama untuk Pangan dan Gizi Dewan Islam Amerika (IFANCA)

9.       Lembaga Mufti Australia (Darul Ifta Australia)[36]

Darul Ifta Australia (Australian Institute of Fikih Islam) Inc adalah sebuah organisasi non-profit yang berbasis di Melbourne, Australia.

Organisasi ini resmi dibuka pada 3 September 2011 di bawah instruksi dan pengawasan dari Mufti Ebrahim Desai Sahib (daamat barakaatuhum) dari Afrika Selatan (dari www.askimam.org dan www.daruliftaa.net). Pembukaan berlangsung di kediaman Mufti Faizal Riza, presiden organisasi dan mahasiswa Mufti Ebrahim Desai Sahib. Banyak Ulama dan Mufti menghadiri pertemuan untuk pembukaan.

Adapun tujuan pendirian Darul Ifta Australia ini adalah:

1.   Untuk memberikan layanan fatwa yang dapat diandalkan untuk komunitas Muslim terkait dengan semua aspek kehidupan seorang Muslim termasuk: ibadah (shalat, zakat, puasa, haji, dll), transaksi bisnis, perkawinan, perceraian, warisan, hibah, pemakaman, dll.

2.   Untuk menawarkan publikasi gratis dengan tujuan mendidik umat Islam.

3.   Untuk mempromosikan program pendidikan Islam bagi kepentingan umat Islam.

Darul Ifta Australia juga menawarkan takhassus fil fiqh wal iftaa (spesialisasi di Yurispurdence Islam dan mengeluarkan fatwa) program berafiliasi dengan Darul iftaa Mahmudiya dari Mufti Ebrahim Desai Sahib.

Darul Ifta Australia terdaftar pada Consumer Affairs Victoria sebagai organisasi nirlaba.

Adapun Susunan Keanggotaan Darul Ifta Australia sebagai berikut:

Presiden Mufti                       : Faizal Riza

Wakil Presiden Mufti           : Munib Ahmad

Anggota Eksekutif Mufti     : Qazi Anas

                                                    Ebrahim Desai (Afrika Selatan)

                                                    Vawda (Afrika Selatan)

                                                    Husain Kadodia (Afrika Selatan)

 

Mufti Faizal Riza lahir di Fiji dan dibesarkan di Australia. Dia adalah Shaikh memenuhi syarat (Alim) dan Mufti. Dia belajar mata pelajaran Islam, seperti: Arab, Fiqh, Hadis, Tafsi,r dan Ushul di berbagai lembaga di anak benua Indo-Pak, seperti Nadwatul Ulama, Lucknow, India; Darul Ulum Deoband, UP, India; dan Jamia Binoria, Karachi, Pakistan. Dia mencapai MA dalam Ilmu Islam dan Bahasa Arab dari Wafaqul Madaris Al-Arabiya, Pakistan. Dia mempelajari takhassus fil fiqh wal iftaa (spesialisasi di Yurisprudensi Islam dan mengeluarkan fatwa) program di bawah pembimbing dari Mufti Ebrahim Desai Sahib dari Afrika Selatan selama tiga tahun dan berhasil menyelesaikan kursus pada Juli 2011. Dia telah mengajar berbagai mata pelajaran Islam, seperti Fiqh, Hadis dan Tafsir selama beberapa tahun di Darul Ulum College of Victoria, Australia.

Untuk mengenal lebih detail program Darul Ifta Australia dapat diklik: http://www.fatwa.org.au/about-us.html

10.    Lembaga Mufti Singapura (Majlis Ugama Islam Singapura)[37]

 

The Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS), juga dikenal sebagai Dewan Agama Islam Singapura, didirikan sebagai badan hukum pada tahun 1968 ketika Administrasi Hukum Act Muslim (KLSLM) mulai diberlakukan. Di bawah KLSLM, MUIS adalah untuk memberikan nasihat kepada Presiden Singapura pada semua hal yang berhubungan dengan Islam di Singapura.

Peran MUIS adalah untuk melihat bahwa banyak dan beragam kepentingan komunitas Muslim Singapura tampak setelah. Dalam hal ini MUIS bertanggung jawab untuk promosi kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan, ekonomi dan budaya sesuai dengan prinsip-prinsip dan tradisi Islam seperti yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah.

Fungsi utama dari MUIS adalah sebagai berikut:

a.   Administrasi zakat, wakaf (endowment), urusan haji, sertifikasi halal dan kegiatan dakwah

b.   Konstruksi dan administrasi pembangunan masjid dan manajemen

c.   Administrasi Madrasah dan pendidikan Islam

d.  Penerbitan fatwa (fatwa)

e.   Penyediaan bantuan keuangan untuk miskin dan membutuhkan Muslim

f.    Penyediaan hibah perkembangan organisasi

Visi untuk Masyarakat

Sebuah Komunitas Muslim Gracious of Excellence yang Menginspirasi dan memancarkan Berkat untuk Semua

Prioritas strategis

Untuk mengatur agenda Islam, membentuk kehidupan beragama dan menempa Identitas Muslim Singapura

Misi Muis

Untuk bekerja dengan masyarakat dalam mengembangkan kehidupan keagamaan dan lembaga dinamis yang mendalam.

Visi Muis

 

Untuk menjadi sebuah organisasi yang sangat kredibel, spiritual dan intelektual yang kuat, didukung secara luas dan sangat efektif dalam menangani isu-isu Islam.

Prinsip Dasar

a.   Integritas

b.   Konsultatif dan Inklusif

c.   Transformasional

 

Susunan organisasi MUIS

Dewan MUIS

Direktorat MUIS

1)   Bagian Pembangunan Agama: hubungan internasional, kesekretariatan Mufti, pengembangan kebijakan, pendidikan remaja, keterlibatan remaja.

2)   Bagian Pendidikan Agama: kebijakan dan perencanaan Madrasah, pengembangan kurikulum Madrasah

3)   Bagian Kapasitas dan Keterlibatan Strategi: perguruan MUIS, pusat harmoni, keterlibatan masyarakat, komunikasi korporat, komunikasi strategi

4)   Bagian Aset: Keuangan, sertifikasi halal, pelayanan haji, zakat, dan wakaf

5)   Bagian Pengembangan Masjid dan Sosial: kantor perencanaan masjid, peningkatan masjid, pembinaan dan pemberdayaan

6)   Bagian Pengembangan Organisasi: perencanaan program, pelayanan informasi, SDM, pembinaan organisasi

Dewan MUIS adalah keseluruhan badan pembuat keputusan dan bertanggung jawab untuk perumusan kebijakan dan rencana operasional. Dewan terdiri dari Presiden MUIS, Mufti Singapura, Chief Executive, serta anggota yang direkomendasikan oleh Menteri-in-Charge Urusan Muslim dan dicalonkan oleh organisasi Muslim. Semua anggota Dewan diangkat oleh Presiden Republik Singapura. Berikut susunan MUIS saat ini:

a.   Kepala Eksekutif MUIS   : Haji Abdul Razak bin Hassan Maricar

b.   Presdien Dewan MUIS    : Haji Mohammad Alami Musa

c.    MUFTI Singapura            : Dr. Mohamed Fatris Bakaram

d.   Anggota-Anggota            : Haji Shafawi Ahmad

Haji Pasuni Maulan

Haji Mohamad Hasbi Hassan

Haji Ali Mohamed

Haji Sallim bin Abdul Kadir

Haji Zainol Abeedin Hussin

Haji Muhammed Faiz Edwin Ignatious M

Dr. Abdul Razak Chanbasha

Mr. Asaad Sameer Ahmad Bagharib

Mr. Mohammad Thahirrudin Shadat Kadarisman

Mdm. Tuminah Sapawi

Mr. Farihullah s/o Abdul Wahab Safiullah

Mr. Raja Mohamad Maiden

Dr. Rufaihah Abdul Jalil

Ms. Nora Rustham

 

11.    Lembaga Mufti Brunei Darussalam

12.    Lembaga Mufti Malaysia

 

Kewenangan Mufti dalam Negara

(analisis)

 

Kedudukan dan Kewenangan Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam di Indonesia

1.       Majelis Ulama Indonesia

2.       Muhammadiyah

3.       Nahdlatul Ulama

4.       Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

5.       Persatuan Islam

6.       Mathlaul Anwar

7.       Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI)

 

Kenapa Mufti di Indonesia Belum Terbentuk?

1.       Prof. Dr. KH. Umar Shihab, MA

2.       Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA

3.       Dr. KH. Hasyim Muzadi

4.       KH. Syuhada Bahri

5.       Prof. Dr. H. Maman Abdurrahman, MA

6.       KH. Ahmad Sadeli Karim

7.       Dr. AGH. Sanusi Baco

8.       Prof. Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc



[4]http://www.pewforum.org/2009/10/07/mapping-the-global-muslim-population/, diakses tanggal 28 Oktober 2014. Dalam artikel: Mapping the Global Muslim Population: A Report on the Size and Distribution of the World’s Muslim Population, A New Study by The Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life, 7 Oktober 2009.

[7]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995, hlm. 67-105 dan Badri Yatim, Sejarah Perabadan Islam. Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 1994, hal. 55-97.

[8]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hal. 117-233.

[9]Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy Mizan, 2005, hal. 19-20.

[10]Fase sejarah Islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (a) Periode Klasik (650-1250 M, merupakan periode kemajuan Islam dalam berbagai bidang kehidupan dan ilmu pengetahuan; (b) Periode pertengahan dimulai tahun 1250-1800 M, dengan semakin meningkatnya disintegrasi tidak hanya dalam bidang politik, tetapi juga dalam paham keagamaan dan sektarian serta dilanjutkan denga periode 3 kerajaan besar, yaitu: Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India tahun 1500-1700 M; (c) Periode modern tahun 1800 M-sekarang. Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI-Press, 1985, hal. 56-88. Lihat pula: Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 22.

[11]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2013, hal. 569-570.

[12]QS an-Nisa [4]:59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، ذَلِكَ .خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

[13]HR ath-Thabrani:

 عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ .“صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya:

“Dari Muadz ibn Jabal RA., bahwa Nabi SAW. ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Dia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi bersabda: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah”?, dia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah SAW.”. Nabi bersabda: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul SAW.” ? Dia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasulullah SAW. memukul ke dada Muadz dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah SAW.”.

[14]Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah. Al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah, t.th. Imam Taqi al-Din Abu Bakr, Kifayah al-Akhyar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1973.

[15]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami. hlm. 402.

[16]Zulkifli Mohamad al-Bakri. 2008. Fatwa & Mufti Hukum, Etika dan Sejarah. Bandar Baru Nilai: Universiti Sains Islam Malaysia, hlm. 10.

[17]… … Ensiklopedi Islam, Jilid …. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

[18]Ibid.

[19]Muhammad al-Khudhari Bek, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr, 1080), hal. 69.

[20]Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ (Damaskus: Dar al-Qalam, 1435/2994), hal. 37.

[21]Ibid., hlm. 38.

[22]Wahbah az-Zuhaili. 1984. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, hlm. 35.

[23]Ibid.

[24]Muhammad Abu Zahrah. 2011. Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. ke-14, hlm. 595.

[25]Dr. KH. Ma’ruf Amin. 2008. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Paramuda Advertising, Cet. I, hlm. 20-21.

[26]Imam An Nawawi. 1425-1426 H. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Jilid 1. Beirut-Libaon: Dar al-Fikr, hlm. 71-99. Lihat juga, https://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi%E2%80%99i/, diakses tanggal 4 November 2014.

[27]http://id.wikipedia.org/wiki/Mufti, diakses tanggal 3 November 2014.

[28]Disadur dari artikel: Faza Abdu Robbih, ”Lembaga Fatwa Mesir dari Masa ke Masa” tanggal 13 Maret 2013. Mahasiswa Jurusan Hadis Fakultas Ushuludin Universitas al-Azhar dan Mahasiswa Akademi Al-‘Asyiroh Al-Muhammadiyah Kairo. http://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2013/03/13/1342/lembaga-fatwa-mesir-dari-masa-ke-masa.html#.VE9oUfmUfIo, diakses tanggal 28 Oktober 2014.

[29]http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=111, diakses tanggal 28 Oktober 2014.

[30]http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=111, diakses tanggal 28 Oktober 2014.

[31]http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=111, diakses tanggal 28 Oktober 2014.

[32]http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=111, diakses tanggal 28 Oktober 2014.

[33]http://www.darulifta-deoband.org/, diakses tanggal 3 November 2014. Dapat juga diakses di: http://www.darulifta-deoband.org/

[34]http://www.darulifta-deoband.org/, diakses tanggal 3 November 2014.

[35]http://www.askimam.org/about, diakses tanggal 3 November 2014. Dapat juga diakses melalui: http://daruliftaa.net/Activities/introducing-diftaa.html

[36]http://www.fatwa.org.au/about-us.html, diakses tanggal 3 November 2014.

[37]http://www.muis.gov.sg/cms/aboutus/default.aspx, diakses tanggal 3 November 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar