LEMBAGA FATWA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA [TINJAUAN POLITIK HUKUM]
Mukhtar
Alshodiq
PENDAHULUAN
Indonesia
sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Papua (Merauke) hingga Aceh
(Sabang) di ujung Timur ke Barat dan dari pulau Miangas di bagian Utara hingga
pulau Rote di bagian Selatan. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara
kepulauan terluas di dunia, yaitu 5.193.250 km²
luas negara, terdiri dari 11/3 adalah
daratan (1.919.440 km²) dan luas lautan 2/3 (3.273.810 km²). Oleh karena itu, Indonesia adalah
negara terluas ke-7 di dunia setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, Cina, Brasil, dan Australia, tetapi
berada diperingkat ke-2 di Asia setelah Cina dan terluas pertama di Asia
Tenggara.[1]
Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, bahwa penduduk Indonesia berjumlah sebanyak 237.641.326 atau urutan
ke-4 terbanyak populasinya di dunia. Dari jumlah tersebut sebanyak 87,18% (207.176.162) beragama Islam, 6,96% (16.528.513) Protestan, 2,9% (6.907.873) Katolik, 1,69% (4.012.116) Hindu, 0,72% (1.703.254) Budha, 0,05% (117.091) Konghucu, 0,13% (299.617) agama lainnya, dan 0,38% (896.700) tidak terjawab atau
tidak ditanyakan,[2] sedangkan proyeksi penduduk Indonesia tahun 2014
menurut Data Statistik Indonesia sebanyak 244.814,9.[3] Bahkan
hasil penelitian The Pew Research Center’s Forum on
Religion & Public Life tahun
2009 juga menempatkan Indonesia di urutan pertama sebagai penganut agama Islam
terbanyak di dunia atau 12,7% dari total umat Islam di dunia, kemudian
berturut-turut ditempati oleh Pakistan (11%), India (10,9%), Bangladesh (9,2%),
Mesir (4,9%), Nigeria (4,7%), Iran (4,6%), Turki (4,6), Aljazair (2,1%), dan
Maroko (2%).[4]
Posisi
kawasan yang strategi, sumber daya alam yang kaya raya, dan jumlah populasi
Indonesia yang banyak, menjadi bargaining
penting di mata dunia, sehingga negara-negara di kawasan berkepentingan
melakukan investasi dalam berbagai sektor kehidupan. Kecenderungan ini semakin
terbuka luas setelah diterapkannya sistem pasar bebas (free trade system)
secara global, yang diatur dalam berbagai organisasi internasional, seperti
WTO, AFTA, NAFTA, ASEAN-FTA, APEC, MEA/AEC, dan sebagainya. Kehadiran globalisasi
dan pasar bebas merupakan suatu yang tidak dapat dipungkiri serta beriringan pula
kemajuan teknologi informasi yang tanpa batas (borderless) dan
dikeluarkannya berbagai bentuk perjanjian terkait pasar bebas melalui World Trade Organization (WTO), ini membawa
banyak dampak bagi sebuah kawasan. Oleh karena itu, dituntut bagaimana masyarakat
penghuni di kawasan tersebut menyikapinya, karena siapa yang tidak mampu
bersaing dan menyiapkan strategi dalam menghadapi arus globalisasi dan pasar
bebas tersebut, akan tergerus dan terpinggirkan.
Pengaruh era globalisasi di atas selain melahirkan
kemajuan peradaban, juga muncul saling ketergantungan (interdefendence)
yang merangsang saling ketergantungan sosial dunia. Hal ini akan memperkokoh
eratnya persahabatan antar bangsa, meningkatnya interaksi budaya, menjadikan saling
memahami dan menghargai antar bangsa yang memiliki budaya berbeda. Tetapi di
sisi lain, melahirkan cengkeraman yang begitu dahsyat antara negara maju dengan
negara berkembang dan miskin. Artinya, dengan globalisasi ini, maka sekat-sekat
keterbatasan dalam satu negara sudah “tidak ada” lagi, sehingga membawa dampak
bahwa segala hal itu menjangkau sesuatu yang sangat luas, bahkan “tidak
terbatas”. Hal ini menjadikan masyarakat dunia harus selalu siap dibanjiri oleh
berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang berbeda, beragam, serta berasal
dari budaya dan latar belakang yang berbeda pula. Di sinilah melahirkan
masyarakat dunia mengalami satu ketergantungan satu sama lain yang tinggi dan juga
menghadapi kompetisi yang luas.
Dengan perkembangan globalisasi dan kemajuan
teknologi informasi (IT), maka arus ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sokoguru
kemajuan dunia. Hasil research ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan
berbagai macam temuan baru dan canggih untuk kemajuan peradaban umat manusia.
Berbagai alat teknologi canggih dan mutakhir tercipta, rekayasa obat genetik
dan spesies ditemukan, interkoneksi antar umat manusia di dunia tak terbendung,
serta pengaruh budaya antar bangsa tak terelakkan. Oleh karena itu, kehadiran
era globalisasi dan teknologi informasi itu menghantarkan lahirnya era
modernisasi, di mana terjadi transformasi kehidupan ke arah yang lebih maju
berdasar pada elemen-elemen ilmu pengetahuan dan teknologi.
Babad awal lahirnya paham kemodernan yang menggeser
paham tradisional, itu bermula ketika Eropa Barat tersadar dari tidurnya yang lelap
dan panjang di era dark age (zaman kegelapan). Di mana pada zaman itu, ruang-ruang
pemikiran ilmiah dan rasional tenggelam dalam dogma-dogma gereja. Ajaran geraja berkuasa mutlak
dan menjadi sesuatu yang tak boleh terbantahkan.[5] Kondisi sosio-relegius dan
sosio-intelektual dikuasai oleh gereja, kebijakan-kebijakan gereja mendominasi
dalam berbagai aspek kehidupan. Ajaran-ajaran Kristen dilembagakan dan menjadi
penentu kebenaran ilmiah. Bahkan semua hasil penemuan dari penelitian ilmiah
dianggap sah dan benar jika sejalan dengan doktrin-doktrin gereja. Akhirnya,
temuan-temuan ilmiah yang bertentangan dengan doktrin-doktrin tersebut harus
dibatalkan demi supermasi gereja. Apabila para ilmuan pada saat itu tidak mau
mengikuti aturan semacam itu, maka pihak gereja akan menanganinya dengan cara
kekerasan. Misalnya, kritikus potensial terhadap agama dianiaya dan sebagian besar
dipaksa untuk tetap diam, kritikus terkenal seperti Giordano Bruno, yang dibakar di tiang karena tidak
setuju dengan otoritas keagamaan.[6]
Pada abad ke-18, Eropa
Barat bangkit dan melahirkan peradaban modern yang dikenal dengan Masa
Pencerahan (Enlightenment), kemudian
dikenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age of Reason (pemujaan akal). Kebangkitan
Eropa Barat tersebut diawali dengan proses sekularisasi, yaitu pemisahan agama
Nasrani (gereja) dari aturan kehidupan. Dengan demikian, masyarakat Romawi dan
Yunani ketika itu terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah
pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran akal. Di mana para ilmuan menentang kebijakan gereja dan
tetap berpegang teguh pada temuan ilmiahnya, tetapi pada awalnya mereka menjadi
korban atas tindakan keras gereja. Akibat dari tekanan tersebut, para ilmuan
melakukan perlawanan atas kebijakan gereja itu. Mereka mengadakan koalisi
dengan raja untuk menumbangkan dominasi kekuasaan gereja. Akhirnya, koalisi
tersebut berhasil menumbangkan kediktatoran atau kekuasaan gereja. Dari sini
muncullah renaissance, yang pada fase berikutnya melahirkan
sekularisasi, terutama dualisme ilmu. Yakni, lahirnya dikotomi keilmuan
antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi lain.
Para ilmuan di atas memandang, bahwa ajaran
agama (Kristen) yang dilembagakan oleh gereja secara konseptual dan aplikatif
sebagai hambatan yang serius bagi kreativitas para ilmuan dan juga bagi kemajuan
peradaban.[7] Oleh karena itu, dengan lahirnya
sekularisasi ini yang kemudian menimbulkan dikotomi ilmu sebagai upaya membebaskan
ilmuan untuk berkreasi melalui penelitian, penggalian, maupun percobaan ilmiah
tanpa harus dibayang-bayangi oleh ancaman gereja.[8]
Pemikiran dikotomi Barat yang menganggap rendah status keilmuan dalam
ilmu-ilmu keagamaan itu, karena ketika berbicara hal-hal yang gaib, ilmu agama
tidak bisa dipandang ilmiah, karena sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah
apabila objek-objeknya bersifat empiris. Padahal, ilmu-ilmu agama tentu tidak
bisa menghindar dari membicarakan hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, Malaikat,
dan sebagainya sebagai pembicaraan pokok mereka.[9]
Pandangan
yang berbeda, ketika Islam datang menawarkan suatu konsep khasanah “keadaban”
yang mengawinkan ilmu pengetahuan dan wahyu. Islam datang sebagai agama dengan
membawa benih-benih peradaban yang besar dan secara terang-terangan menghimbau
untuk mempelajari ilmu dan menjadikannya sebagai jalan utama kehidupan, maka
para pencinta ilmu berlomba-lomba mempelajari warisan peradaban yang ada
sebelumnya. Di sinilah terjadi harmonisasi antara agama dan ilmu selama 5 abad,
dimulai dari abad VII-XIII M atau dikenal dengan masa keemasan Islam dalam
bidang agama dan ilmu pengetahuan.[10]
Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam Islam, akal sebenarnya
mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan posisi penting dalam Islam.
Buktinya,
ketika Al-Qur’an pertama kali diturunkan sangat mengapresiasi ilmu pengetahuan.
M. Quraish Shihab mengatakan, bahwa kata “iqra’”
artinya “menghimpun”. Dari menghimpun, lahir aneka makna seperti menyampaikan,
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks
tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan objek yang harus
dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan
tersebut bismi Rabbik, dalam arti
bermanfaat untuk kemanusiaan. Lebih lanjut, Quraish Shihab menyatakan, bahwa
kata iqra’ berarti bacalah,
telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda
zaman, sejarah maupun diri sendiri, baik yang tertulis maupun tidak.[11]
Espektasi
inilah yang membuktikan, bahwa Islam sejak awal telah mengintegrasikan ilmu
pengetahuan dan ilmu agama lewat Al-Qur’an dan Sunnah dalam alam berpikir dan
keyakinan umat Islam. Bukan suatu hal yang berbeda dan berlawanan, tetapi
menjadi satu kesatuan yang utuh dalam memahami seluruh isi dan gejala-gejala
jagat raya. Oleh karena itu, kekuatan ilmu pengetahuan tidak terpisahkan dengan
esensi keimanan (keyakinan) kepada Tuhan, ia hadir untuk saling berkelindang
dalam satu arena yang dihadirkan oleh kekuatan hati nurani. Dengan demikian,
Islam bukan ajaran stagnan, kaku, dan rigid dengan perkembangan
peradaban manusia, tetapi ajaran Islam itu fleksibel dan dinamis yang berkesesuaian
dengan dinamika zamannya, namun tetap dalam koridor ketentuan wahyu Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Mewujudkan fleksibiltas dan dinamisasi ajaran Islam sesuai
dinamika zamannya di atas menjadi tugas bagi para ulama, dengan segala upaya
yang dilakukan melalui pengkajian yang sungguh-sungguh dan cermat, baik oleh
para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, para muhaddits
dalam mengungkap makna suatu hadis, maupun para mujtahid dalam
mengeluarkan hasil ijtihadnya. Kesemuanya itu berselaras dengan metodologi atau
alur berpikir yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan hadis, sebagaimana firman
Allah SWT. dalam QS an-Nisa [4]:59.[12]
Demikian pula sabda Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan dari Muadz bin Jabal.[13] Cara
berpikir yang demikian itu, dalam hukum Islam disebut Masâdir al-Ahkâm atau al-‘Adillah
al-Syariyyah (sumber hukum Islam), yaitu dalil-dalil hukum syara’ yang
diambil (di-istinbath-kan) daripadanya
untuk menemukan hukum.[14]
Ketentuan
istinbath hokum pada ayat dan hadis
di atas, juga dipraktikkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq RA. apabila terjadi
kepada dirinya perselisihan, pertama dia merujuk kepada kitab Allah. Jika dia
temui hukumnya, maka dia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah
dan dia mengetahui masalah itu dari Rasulullah SAW., dia pun berhukum dengan
sunnah Rasul. Jika dia ragu mendapati dalam sunnah Rasul SAW., dia kumpulkan
para shahabat dan dia lakukan musyawarah. Kemudian dia sepakat dengan pendapat
mereka lalu dia berhukum memutus permasalahan.[15]
Dalam
perkembangannya, terutama setelah wafatnya Rasulullah SAW., maka metodologi istinbath hukum di atas mengalami
kemajuan sesuai dengan ekspansi atau perluasan wilayah kekuasaan Islam, maka
para ulama menetapkan metode tersebut, yang kemudian dikenal dalam ilmu ushul
fiqih, di antaranya: Al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas, istihsân, maslahah mursalah,
istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, dan syar’u man qablana.
Sistematika
berpikir dalam menemukan suatu hukum dalam Islam di atas mampu merespon dan
memenuhi kebutuhan perkembangan umat Islam. Pranata berpikir ini penting,
karena Islam membatasi umatnya dalam hal: Pertama,
apabila berkaitan dalam bidang ekonomi, maka harus diperhatikan apakah itu
“halal atau haram”. Kedua, apabila berhubungan dengan ibadah,
sosial-budaya, maka harus diperhatikan apakah itu: wajib, sunnah, mubah,
makruh, dan haram. Dalam mengupayakan kedudukan hukum suatu hal, baik yang
berkaitan dengan “halal–haram” atau “wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram”,
maka hasil ijtihad para ulama menjadi sangat penting dan utama.
Penerapan
ketentuan hukum Islam melalui sistematika berpikir di atas merespon perkembangan
dinamika kehidupan umat Islam secara dinamis. Oleh karena itu, ajaran Islam
tidak kaku dan rigid terhadap kemajuan peradaban ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bahkan ajaran Islam senantiasa hadir merespon kemajuan alam pikiran
dan memenuhi kebutuhan zamannya.
Respon ajaran
Islam terhadap perubahan dan perkembangan zaman itu sangat ditentukan oleh
adanya para ulama melakukan upaya ijtihadnya sesuai dengan dinamika kehidupan
yang dihadapi umat Islam. Kehadiran para ulama ini menjadi titik fokus dalam
tulisan ini, karena umat Islam tidak hidup dalam sebuah wilayah kekuasaan atau
kawasan tertentu, tetapi hidup dalam sebuah negara yang berdaulat, yang
memiliki ideologi, budaya, adat-istiadat, dan peraturan perundang-undangan
masing-masing dan berbeda-beda, sekalipun mengatasnamakan negara berasaskan
Islam, serta antar negara memiliki kekuasaannya sendiri. Oleh karena itu,
ketika umat Islam dalam suatu negara membutuhkan kedudukan suatu perkara yang
berkaitan dengan ajaran Islam, maka ulama memiliki posisi yang sangat penting dan
urgent melalui fatwa-fatwanya.
Fatwa-fatwa
ulama di atas menjadi pegangan umat Islam dalam menjalankan ajaran Islam,
tetapi menentukan suatu fatwa atas suatu perkara tidak semudah membalikkan
telapak tangan, karena membutuhkan pendapat para ulama (mujtahid) yang
ada dalam negara itu. Di sinilah dibutuhkan adanya suatu wadah atau lembaga
yang dapat mewadahi para ulama melakukan ijtihad, yang nantinya dapat diaplikasi
kepada seluruh umat Islam yang ada dalam negara. Hasil ijtihad (fatwa) para
ulama tersebut menjadi hukum yang wajib dipatuhi dan ditaati oleh seluruh umat
Islam, seperti halnya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
negara, maka “lembaga fatwa” tersebut harus mendapatkan pengakuan atau
legitimasi dari negara, berupa ketetapan dari pemegang alat kekuasaan negara,
yaitu Presiden atau Raja, agar hasil ijtihad para ulama tersebut memiliki roh,
daya atau kekuatan yang bersifat memaksa dalam penerapannya bagi seluruh umat
Islam.
Dalam
realitasnya, kehadiran lembaga fatwa atau dikenal dengan istilah mufti
dapat ditemukan di berbagai negara dan menjadi salah satu bagian dari
badan-badan negara, baik di negara berkonstitusi “Islam” maupun negara
minoritas menganut Islam, bahkan di Negara-negara secular sekalipun. Misalnya,
Arab Saudi, Mesir, Turki, Australia, Rusia, Uni Sovyet, Perancis, Singapura,
Malaysia, dan sebagainya. Tetapi kondisi ini tidak ditemukan, bahkan tidak
dikenal di Indonesia, yang menurut data di atas merupakan negara mayoritas
berpenduduk Muslim dan terbanyak di dunia. Ketiadaan lembaga fatwa resmi dalam
naungan Negara Republik Indonesia ini menimbulkan berbagai implikasi sosial,
terutama bagi umat Islam, antara lain ketidakpastian suatu masalah furu’iyah dalam hukum Islam, sehingga
sering membingungkan masyarakat dan negara. Misalnya, penentuan tanggal 1
Ramadhan, tanggal 1 Syawal (Idul Fitri), atau tanggal 10 Dzulhijjah (Idul Adha).
Hal ini menjadi titik sentral pembahasan dalam tulisan ini, perlukah lembaga
fatwa atau mufti di Indonesia dalam pembangunan hukum nasional di Indonesia? Penulis
berupaya mengulas permasalahan ini dalam perspektif politik hukum Indonesia.
Tujuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana termaktub dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, bahwa: “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial …”. Untuk
mewujudkan salah satu butir cita-cita dan kewajiban Negara tersebut, yaitu
“mencerdaskan kehidupan bangsa”, maka kehadiran “lembaga fatwa” yang memiliki
legitimasi secara sah dari negara (pemerintah) dapat memberikan dan memutuskan
suatu perkara yang berkaitan dengan ketentuan agama dalam ajaran Islam menjadi urgent dan mendesak.
Kehadiran
lembaga fatwa di atas, selain memberikan wadah pendidikan kepada umat terhadap
suatu perkara yang berkaitan dengan ketentuan ajaran agama, juga menjadi wahana
pemersatu umat dan bangsa, terutama dalam hal-hal yang menyangkut “ikhtilaf”
dalam ajaran Islam, yang dapat membingungkan masyarakat dan negara serta
sewaktu-waktu dapat memperkeruh suasana ketertiban dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Oleh karena itu, negara atau pemerintah memberi tugas dan
wewenang secara merdeka dan mandiri kepada lembaga fatwa dalam memutus dan
menetap perkara-perkara yang berkaitan dengan ajaran Islam. Tugas dan
kewenangan tersebut dapat dijadikan sebagai pertimbangan oleh eksekutif dalam
menentukan kebijakan, atau oleh lembaga legislatif dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan, bahkan oleh yudikatif dalam memutus suatu perkara yang
menyangkut hukum Islam.
Adapun
sebagai pertimbangan pembentukan LEMBAGA FATWA INDONESIA adalah:
1.
Ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2), dan
(3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, bahwa Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan, yang berbentuk Republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Negara Indonesia adalah Negara hukum.
2.
Prinsip konstitusionalisme, yaitu
gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan
pemerintah yang ada dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat, sehingga
menjadi suatu mekanisme atau prosedur yang tetap, sehingga hak-hak dasar warga
negara semakin terjamin dan demokrasi dapat terjaga.
3.
Prinsip checks and balance
(mengawasi dan mengimbangi), yang menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan
demokrasi. Untuk itu, pembentukan organ kelembagaan negara harus bertolak dari
kerangka dasar ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang mengarah kepada separation
of power (pemisahan kekuasaan) bukan distribution
of power (pembagian kekuasaan).
4.
Prinsip integrasi, dalam arti, bahwa
pembentukan lembaga negara tidak bisa dilakukan secara parsial, keberadaannya
harus dikaitkan dengan lembaga lain yang telah ada dan eksis. Pembentukan
lembaga negara harus disusun sedemikian rupa, sehingga menjadi satu kesatuan
proses yang saling mengisi dan memperkuat serta harus jelas kepada siapa
lembaga tersebut harus bertanggung jawab.
5.
Prinsip kemanfaatan (utility) bagi masyarakat, yaitu
pembentukan lembaga negara bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan warganya dan
menjamin hak-hak dasar yang dijamin konstitusi.
Pembentukan lembaga fatwa menjadi
sangat urgen dan mendesak, mengingat permasalahan umat Islam di Indonesia
semakin banyak dan kompleks, yang membutuhkan adanya lembaga yang resmi dan
memiliki legitimasi yang sah dari negara serta diakui umat untuk dapat
menyelesaikan perkara pelaksanaan ajaran agama Islam. Lembaga fatwa ini menjadi
jalan keluar bagi umat Islam dalam menyelesaikan dan menjalankan ajaran Islam.
Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahwa sejak era Reformasi bergulir dengan terbuka
lebarnya kran alam demokrasi, maka kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul
menjadi “identitas” baru di negara ini. Tak terkecuali dalam perkara
pelaksanaan ajaran Islam, seperti penentuan 1 Syawal sebagai hari Idul Fitri.
Dalam dekada terakhir, bangsa ini dapat menyaksikan umat Islam di Indonesia
dapat melaksanakan beberapa kali shalat idul fitri di hari yang berbeda,
sekalipun “zona waktu dan tempat” yang sama. Sekalipun pemerintah yang diwakili
Menteri Agama RI mengumumkan waktu dan tanggal pelaksanaan shalat id, tetapi
Ormas (organisasi kemasyarakatan) Islam dapat melaksanakan pada hari yang lain
secara bebas, sesuai dengan keyakinan ijtihadnya.
Keterlibatan Kementerian Agama RI
mengurusi masalah keyakinan umat menjadi perdebatan, karena tugas utama
Kementerian Agama hanya mengurus permasalahan “keagamaan” bukan mencampuri
urusan “ajaran agama”. Yakni, Kementerian Agama mengurus soal-soal yang
berkaitan dengan: administrasi keagamaan, membina kerukunan umat beragama, menyediakan
pelayanan kehidupan beragama, membina kualitas pendidikan umat beragama, menyelaraskan pemahaman keagamaan
dengan wawasan kebangsaan Indonesia, memberdayakan umat beragama dan lembaga
keagamaan, serta membina kualitas penyelenggaraan ibadah haji.
Di lain pihak, kehadiran
Ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia
(MUI), dan organisasi Islam lainnya dalam memberikan fatwa ajaran agama masih
“sektarian”, karena hanya didukung dan diikuti oleh kalangan seorganisasinya
sendiri. Sementara fatwa-fatwa yang selama ini dikeluarkan oleh MUI masih
dipertanyakan keabsahannya oleh banyak kalangan dari sudut legal dalam kelembagaan
negara. Oleh karena itu, kehadiran LEMBAGA FATWA INDONESIA ini penting dan
mendesak, mengingat:
1.
Belum adanya lembaga atau organisasi
keagamaan (Islam) yang kredibilitas serta mampu merangkum dan menyatukan umat
dalam satu wadah yang kuat, mengakar, dan legitimate.
2.
Belum adanya lembaga atau organisasi
keagamaan (Islam) yang independen, karena satu dan lain hal masih kuatnya
nilai-nilai sektarianisme, fanatisme, sinisme umat dan hanya mengakui mazhab
atau aliran yang dianutnya.
3.
Semakin menjamurnya aliran-aliran Islam di Indonesia dengan
berbagai macam gerakannya dapat merongrong persatuan dan kesatuan umat dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4.
Di sisi lain, ketidakmampuan
lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas yang urgen dalam
masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN.
5.
Adanya pengaruh global serta belum
adanya political will para stakeholders,
dalam hal ini pemerintah, legislatif, dan alim ulama menyatukan persepsi dengan
pembentukan lembaga fatwa di Indonesia.
Penulis berpandangan, bahwa Negara
(Presiden) perlu membentuk LEMBAGA MUFTI INDONESIA yang berkedudukan di bawah
dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia, yang bersifat
otonomi dan merdeka (independen), jauh dari intervensi kepentingan pribadi dan
golongan. Di mana Negara memberikan tugas dan tanggung jawab penuh dalam
menetapkan dan memberikan fatwa-fatwa keagamaan berdasarkan ajaran agama Islam,
yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
PENGERTIAN, SYARAT, DAN TINGKATAN MUFTI
DALAM HUKUM ISLAM
Kata “mufti”
merupakan bentuk ism fa’il dari kata iftâ’ (افـتـاء),
yang terambil dari akar kata “أفـتى – يـفـتى – افـتـاء”,
yang berarti memberi penjelasan, memberi jawaban atau berarti memberi fatwa.
Jadi kata iftâ’ adalah usaha
memberikan penjelasan tentang suatu hukum syara’
oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Oleh karena itu, “mufti”
berarti pembuat atau pelaku, yaitu orang yang memberikan jawaban terhadap suatu
persoalan atau perkara yang dikemukakan oleh seseorang kepadanya.[16]
Kata “fatwa” berasal dari
bahasa Arab, yaitu فخىي, artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang
dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah
lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti
atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan
oleh peminta fatwa (mustafti)
yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian, peminta fatwa tidak harus
mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.
Dalam Ensiklopedi Islam, fatwa didefinisikan sebagai pendapat mengenai suatu
hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan
yang diajukan oleh peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat. Si peminta
fatwa baik perorangan, lembaga maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi
fatwa atau hukum yang diberikan kepadanya. Hal itu, disebabkan fatwa seorang
mufti atau ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di
tempat yang sama. Fatwa biasanya cenderung dinamis, karena merupakan tanggapan
terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa. Isi
fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal fatwa itu responsif.[17]
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu
istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa
disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti.
Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang
membutuhkannya. Futya pada dasarnya adalah profesi
independen, namun di banyak negara Muslim menjadi terkait dengan otoritas
kenegaraan dalam berbagai cara. Dalam sejarah Islam, dari abad pertama hingga
ketujuh Hijriyah, negaralah yang mengangkat ulama bermutu sebagai mufti. Namun,
pada masa-masa selanjutnya, pos-pos resmi futya diciptakan, sehingga mufti
menjadi jabatan kenegaraan yang hierarkis, namun tetap dalam fungsi keagamaan. Untuk
dapat melaksanakan profesi futya ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi. Pertama, beragama Islam. Kedua, memiliki integritas
pribadi ('adil), ketiga ahli ijtihad (mujtahid) atau memiliki
sesanggupan untuk memecahkan masalah melalui penalaran pribadi. Berbeda dengan
seorang hakim, seorang mufti bisa saja wanita, orang buta, atau orang bisu,
kecuali untuk jabatan kenegaraan. Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal
perkembangan Islam. Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap
persoalan yang muncul memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut
diperlukan bantuan dari orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam
masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.[18]
Setelah Nabi wafat,
pertanyaan tentang hukum dan agama secara umum ditanyakan kepada para khalifah
dan sahabat Nabi. Kemudian, persoalan hukum masyarakat setelah masa tersebut
ditanyakan kepada hakim pengadilan dan adapun di daerah-daerah yang jauh dari
pengadilan, pertanyaan hukum dijawab oleh orang alim yang berfungsi sebagai
mufti. Mufti terkenal dari kalangan tâbiîn adalah Ibrahim an-Nakh’î (wafat 96 H), Atha’ bin Abi
Rabah (w. 115 H) dan Abdullah bin Abi Nujaih. Di berbagai negara, jabatan mufti
menjadi jabatan resmi. Misalnya, Mufti `Utsmani, Mufti Mesir, Mufti Suria,
Mufti Palestina, Mufti Malaysia, Mufti Brunei, Mufti Singapura dan lain-lain.[19]
Menurut asy-Syathibi,
mufti di tengah-tengah umat berperan seperti Nabi Muhammad SAW. Pertama,
mufti adalah penerus Nabi sesuai sabda beliau bahwa ulama adalah pewaris para
nabi. Kedua, mufti adalah wakil Nabi dalam menyampaikan ketentuan hukum
agama. Mufti dari satu sisi sebenarnya pembuat hukum (syari’) yang mengutip langsung hukum dari syariah dan di sisi lain pembuat
hukum dari hasil ijtihadnya sendiri yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip
syariah.[20]
Al-Qirafi melihat mufti sebagai penerjemah
Allah Ta`ala dan Ibnu al-Qayyim mengumpamakan mufti sebagai penandatangan (muwaqqi’) mewakili Allah terhadap apa yang ia fatwakan. Karena itu, Ibnu
al-Qayyim menamakan kitabnya sebagai A’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi
al-‘Alamin (Notifikasi atau Nasehat
Mewakili Tuhan Seluruh Alam).[21]
Karena itu, fatwa adalah “pemberitaan tentang hukum syar’i (sah secara syariah) tanpa
mengikat” (al-ikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min ghair
al-ilzam).[22] Hukum Islam dalam hal ini berciri qadha’i dan diyani.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan
belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama
kali dikumpulkan dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki
sejumlah kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan
fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab kumpulan fatwa
pertama. Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi'yar
al-Magrib yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914
H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling
terkenal adalah Majmu al-Fatawa. Di Indonesia juga ada
sejumlah buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama dan
Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah,
selain itu ada juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
serta Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas dan
Konbes Nahdlatul Ulama.[23]
Mufti adalah orang yang memberikan jawaban atas
pertanyaan dari orang yang meminta fatwa, atau orang yang memberikan
fatwa.Mufti’ atau orang yang memberi fatwa itu sesungguhnya adalah
juga mujtahidatau faqih. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terkait
dengan persyaratan seorang muftī pada dasarnya sama dengan seperti
mujtahid atau faqih. Namun demikian, Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana
dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah menyebutkan secara khusus syarat-syarat
seorang mufti, sebagai berikut ini.[24]
a.
Seorang Mufti itu
hendaklah memiliki niat yang ikhlas. Sekiranya seorang mufti tidak
memiliki niat yang tulus, maka ia tidak akan mendapat cahaya.
b.
Mufti hendaklah
seorang yang bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, sopan, wibawa dan tenang.
c.
Mufti hendaklah
seorang yang memiliki kekuatan untuk mengetahui dan menghadapi persoalan yang
akan dikeluarkan fatwanya
d. Memiliki
ilmu yang cukup
e.
Mengenal keadaan
dan lingkungan atau kondisi sosiologis masyarakatnya.
Akan tetapi secara umum, ulama ushul fiqh
mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi seorang muftiagar fatwanya
dapat dipertanggung jawabkan. Persyaratan tersebut adalah.
(1) baligh, berakal dan merdeka; (2) adil; dan (3) memenuhi
persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan
fatwa. Berdasarkan persyaratan ini; seorang mufti tidak harus seorang
laki-laki. Wanitapun boleh menjadi mufti asal memenuhi persyaratan di
atas.
Fatwa adalah jawaban hukum atas masalah,
peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan. Dalam hal ini, ada dua hal
penting yang berlu diperhatikan mengenai fatwa, yaitu:[25]
a.
Fatwa bersifat
responsive. Ia merupakan jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah
adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand). Pada umumnya
fatwa dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang merupakan peristiwa atau
kasus yang telah terjadi atau nyata. Seorang pemberi fatwa (mufti) boleh untuk
menolak memberikan fatwa tentang peristiwa yang belum pernah terjadi. Walaupun
begitu, seorang mufti tetap disunnahkan untuk menjawab pertanyaan seperti itu,
sebagai langkah hati-hati agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu.
b.
Dari segi
kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion) tidaklah bersifat
mengikat. Dengan kata lain, orang yang meminta fatwa (mustafti), baik
perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau
hukum yang di berikan kepadanya. Hal ini disebabkan bahwa fatwa tidak mengikat
sebagaimana putusan pengadilan (qadha). Bisa saja fatwa seorang mufti di suatu
tempat berbeda dengan fatwa mufti lain di tempat yang sama. Namun demikian,
apabila fatwa ini kemudian di adopsi menjadi putusan pengadilan, maka fatwa
tersebut menjadi hukum positif/regulasi suatu wilayah tertentu.
Macam-Macam
Mufti
Imam
An Nawawi mengatakan, bahwa dalam mazhab Imam Syafi’i terdapat beberapa
tingkatan mufti, hal ini merujuk pada pendapat al-Hafidz Ibnu Shalah yang
membagi mufti dalam mazhab menjadi beberapa kelompok, yaitu:[26]
1.
Mufti mustaqil, yaitu mufti yang
berada dalam peringkat tertinggi dalam mazhab. Ibnu Shalah juga menyebutkannya
sebagai mujtahid mutlaq. Artinya,
tidak terikat dengan mazhab. Bahkan mujtahid inilah perintis mazhab. Tentu
dalam Mazhab Syafi’i, mufti mustaqil
adalah Imam Syafi’i sendiri. Imam An-Nawawi sendiri menyebutkan pendapat
beberapa ulama ushul, bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa Imam Syafi’i. Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh
tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya menciptakan metode yang dianut
mazhabnya.
2.
Mujtahid madzhab, yaitu mufti yang tidak bertaklid kepada
imamnya, baik dalam mazhab (pendapat) atau dalilnya, namun tetap menisbatkan
kepada imam karena mengikuti metode imam. Menurut Ibnu Shalah dan Imam An-Nawawi,
bahwa yang berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadis
shahih yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa
jadi, Imam sengaja meninggalkan hadis walau itu shahih dikarenakan manshukh atau di-takhsis. Hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkutan
telah menela’ah semua karya Imam Syafi’i dan para pengikutnya, ini amatlah
sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An-Nawawi sekalipun.
3.
Ashab al-wujuh, yakni mereka yang
taklid kepada imam dalam masalah syara’,
baik dalam dalil maupun ushul Imam.
Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan
imam dengan menyimpulkan dan meng-qiyas-kan
(takhrij) dari pendapat Imam,
sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka
mencukupkan diri dengan dalil imam. Imam An-Nawawi menyebutkan, bahwa para
ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al-wujuh. Yakni mereka yang meng-qiyas-kan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam, sehingga
orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak ber-taklid kepada mereka, namun ber-taklid
kepada imam.
4.
Mujtahid fatwa. Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada
derajat ashab al-wujuh,
namun menguasai mazhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam mazhab.
5.
Mufti muqallid. Tingkatan mufti dalam mazhab yang paling akhir ini adalah
mereka yang menguasai mazhab, baik untuk masalah yang sederhana maupun yang
rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya, maka
fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang mazhab
dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid mazhab. Para mufti yang berada
di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa,
yang telah menjelaskan pendapat rajih
dalam mazhab.
PENTINGNYA LEMBAGA MUFTI INDONESIA
Mufti adalah ulama yang memiliki
wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat. Fungsi mufti kadang-kadang diambil oleh suatu
organisasi ulama seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI) maupun oleh Pengadilan Agama. Fatwa MUI hanya merupakan anjuran
bagi umat sedangkan keputusan Pengadilan Agama memiliki suatu kekuatan hukum.
Lembaga Mufti sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial Hindia
Belanda yang merupakan salah satu
jabatan dalam struktur Landraad (Pengadilan Negeri) yang terdapat pada
setiap afdeeling.
Dalam kesultanan yang independen, mufti ditunjuk oleh sultan, namun pada
masa Hindia Belanda, mufti ditunjuk dan digaji oleh pemerintah kolonial. Sebagai
contoh, sebuah Landraad di Afdeeling Bandjermasin pada akhir abad
ke-19 memiliki susunan sebagai berikut:[27]
·
Ketua Landraad : E.B.
Masthoff (asisten-residen)
·
Jaksa Kepala : Kiai Bondan
·
Ajunct Jaksa : Hairul
Ali bin Kiai Bondan
·
Moefti/Mufti : H. Djamal bin H. Abdulhamid
·
Penghulu : H. Muhamad Junan
·
Grieffier : E. Lewis
·
Juru Sita : C.W. van der
Linden
LEMBAGA MUFTI DI BERBAGAI NEGARA DI
DUNIA
1.
Lembaga Fatwa Mesir (Dar
al-Ifta)[28]
Lembaga Fatwa Mesir merupakan
lembaga fatwa pertama yang didirikan di dunia Islam. Lembaga ini didirikan pada
tahun 1895 berdasarkan surat keputusan dari Khedive Mesir Abbas Hilmi yang
ditujukan kepada Nidzarah Haqqaniyah Nomor 10 tanggal 21 November 1895. Surat
tersebut telah diterima oleh Nidzarah yang bersangkutan tanggal 7 Jumad
al-Akhir 1313 Nomor 55.
Lembaga fatwa Mesir merupakan salah
satu pilar institusi Islam di Mesir, selain al-Azhar asy-Syarif, Universitas
al-Azhar dan Kementerian Wakaf. Pada mulanya, lembaga fatwa Mesir merupakan
salah satu lembaga yang berada di bawah naungan Departemen Kehakiman. Mufti
agung Mesir selalu diminta pendapatnya tentang vonis mati dan sebagainya.
Namun, tugas dan peran lembaga fatwa Mesir tidak terbatas itu saja, bahkan
jangkauannya pun tidak hanya Mesir, namun menjamah ke seluruh dunia. Hal itu
dapat diketahui dengan banyaknya pertanyaan yang dilayangkan ke lembaga fatwa
Mesir, di mana para penanyanya berasal dari berbagai penjuru dunia, ditambah
dengan diadakannya pelatihan fatwa untuk mahasiswa asing. Terdorong dari faktor
ini ditambah lagi dengan posisi lembaga fatwa Mesir yang selalu dijadikan
rujukan (marji’iah) karena metodenya
yang moderat (tawasuth), maka Dar al-Ifta hingga saat ini selalu mengikuti
perkembangan teknologi terkini agar dapat merealisasikan tuntutan ini semua.
Secara global,
tugas lembaga ini terbagi menjadi dua; tugas keagamaan dan tugas yang berkaitan
dengan pengadilan. Adapun tugas keagamaan, di dalamnya terdapat beberapa poin di
antaranya; menerima permohonan dan pertanyaan fatwa serta menjawabnya dengan
berbagai bahasa, menentukan setiap permulaan bulan hijriyah, mengadakan
pelatihan fatwa kepada mahasiswa asing, mengeluarkan pernyataan resmi berkenaan
dengan masalah keagamaan, menyusun riset-riset ilmiah, menjawab kesalahpahaman
terhadap Islam serta mengadakan sistem belajar jarak jauh.
Adapun tugas
lembaga fatwa Mesir yang berkaitan dengan pengadilan berupa pemberian keputusan
menurut syara’ terhadap vonis mati terhadap terdakwa. Dalam hal ini, Mufti
agung Mesir mengecek seluruh berkas yang ada (bukti-bukti dari awal hingga
akhir) serta mencari dalil dalam agama dan pendapat para ulama terhadap kasus
tersebut yang pada nanti akan dikembalikan kepada pihak Kehakiman (Pengadilan) dalam
pembacaan vonis terakhir.
Lembaga fatwa
Mesir terus memperbaiki kinerjanya, hal ini terlihat dari bidang-bidang yang
ada di dalamnya. Tak kurang dari lima bagian berada di bawah naungannya; bagian
dewan fatwa, pusat riset Islam, pusat pelatihan fatwa, pusat terjemah, pusat
komunikasi dan fatwa elektronik serta bidang-bidang pendukung. Selain
bidang-bidang tersebut, lembaga fatwa Mesir juga memiliki tim khusus, di antarnya;
tim khusus maqashid syari’ah dan tim pengawas dan sosialisasi data ilmiah.
Dengan
perkembangan teknologi yang semakin pesat, di mana setiap institusi dituntut
untuk terus mengikutinya, maka lembaga fatwa Mesir mulai melebarkan sayapnya
dalam menyebarkan misi dan visinya. Berbagai cara dan media di tempuh di antarnya
melalui website (yang dapat dilihat di www.dar-alifta.org, facebook, twitter
hingga youtube), majalah, buletin bulanan, khazanah fatwa klasik (ensiklopedia
yang berisi seluruh fatwa dari mufti pertama hingga terkini, bahkan diwacanakan
seluruh fatwa ini akan dikomputerisasikan).
Sejak
berdirinya hingga sekarang, lembaga fatwa Mesir ini telah dipimpin oleh 19
mufti, dimulai dari Syeikh Hasunah an-Nawawi hingga mufti terkini Syeikh Syauqi
Abdul Karim ‘Allam. Berikut dicantumkan secara singkat biografi mereka satu
persatu, yaitu:
a.
Syeikh Hasunah an-Nawawi (1895- 1899).
Tahun 1893 beliau lahir di Provinsi Asyuth. Ia juga menduduki beberapa jabatan
penting, mulai guru besar di Fakultas Dar al-Ulum Universitas Kairo, Grand
Syeikh al-Azhar menggantikan Syeikh Al-Inbani, mufti lembaga Fatwa Mesir
pertama -sebelum Syeikh Muhammad Abduh- dari tahun 1895-1899 M. beliau pun
berhasil mengumpulkan sekitar 287 fatwa selama masa jabatannya. Salah satu
karya tulisnya yang terkenal adalah Sullam al-mustarsyidin fi ahkam al-fiqh wa
ad-din. Beliau akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada 24 Syawwal 1343 H
sekitar tahun 1924 M.
b.
Syeikh
Muhammad Abduh (1899 – 1905). Beliau lahir di Delta Nil tahun 1849 M dan
meninggal di Iskandariyah 11 Juli 1905 M pada umur 55 atau 56 tahun. Beliau
resmi menjabat sebagai mufti Mesir dengan dikeluarkannya surat resmi dari
Khedive Abbas Hilmi. Kalau masa-masa sebelumnya jabatan mufti merangkap Grand
Syeikh al-Azhar namun setelah turunnya surat keputasan tersebut maka Syeikh
Muhammad Abduh menjadi Mufti pertama yang independen dari jabatan Syeikh
al-Azhar. Selama 6 tahun masa jabatannya beliau telah menelurkan 944 fatwa
dimana sekitar 80 persen fatwanya mencakup berbagai problematika khususnya
ekonomi dan harta.
c.
Syeikh Bakr Ash-Shidfi (1905- 1915).
Lahir di Provinsi Asyuth. Masa hidup beliau selalu disibukkan dengan kegiatan
mengajar, baik di masjid al-Azhar bahkan di rumah beliau sendiri. Hal ini juga
yang membuat beliau tidak terlalu produktif menghasilkan karya tulis, bahkan
karya-karya yang ada berupa beberapa pembahasan belum terbit hingga sekarang.
Beliau meninggal pada bulan Maret 1919 M.
d.
Syeikh Muhammad Bukhit al-Muthi’i (1915 –
1920). Lahir di daerah Muthi’ provinsi Asyuth. Seperti ulama lainnya kesibukan
beliau pun sangat fokus untuk mengajar di al-Azhar. Syeikh yang bermazhab
Hanafi ini juga banyak menelurkan karya diantaranya; Irsyadu al-ummah ila ahkam
ahli adz-dzimmah, Haqiqah al-Islam wa ushul al-ahkam, Al-Qoul al-mufid fi ‘ilm
at-tauhid dan lain-lainnya. Beliau menemui ajalnya tahun 1354 H atau 1935 M.
e.
Syeikh Muhamad Isma’il al-Bardisi (Enam
bulan 1920). Beliau dilahirkan di Bardis, daerah di Jurja. Keilmuannya sangat
terpengaruh dari keluarganya yang berilmu. Beliau termasuk salah satu murid
Syeikh Jamal ad-Din Al-Afghani. Selama enam bulan menjadi mufti beliau dapat
melahirkan 260 fatwa. Kesibukannya dalam kehakiman di Mesir membuatnya tidak
banyak membuat karya tulis, salah satu karyanya yang berjudul Al-ittihaf fi
ahkam al-auqof masih berupa manuskrip di perpustakaan al-Azhar.
f.
Syeikh Abd ar-Rahman Qurra’ah (1921 –
1928). Lahir di daerah Bundar provinsi Asyuth. Selain mempelajari kitab-kitab
Azhar beliau juga mendalami sastra, kamus-kamus Arab hingga menjadi seorang
penyair dan salah satu pencetus kebangkitan bahasa Arab. Mufti pada masa Raja
Fuad I ini telah membuat sekitar 3065 fatwa.
g.
Syeikh ‘Abd al-Majid Salim (1928 – 1946).
Terlahir di daerah Mayit Syuhalah, daerah Asy-Syuhada provinsi Munufiyah 13
Oktober 1882 M. Beliau berguru para Syeikh Muhammad Abduh, Syeikh Ahmad Abi
Khotwah, Syeikh Hasan Ath-Thowil dan lain-lain. Beliau sempat menjadi Grand
Syeikh al-Azhar dua kali. Pertama pada 1950 namun dilengserkan karena menentang
pemerintah dan diangkat kembali pada 1952 M. Selama menjabat mufti beliau telah
menyumbangkan 15 ribu fatwa.
h.
Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf (1946 –
1950). Lahir di Bab al-Futuh Kairo 6 Mei 1890 M. Setelah tamat dari al-Azhar
beliau sibuk menjadi hakim. Kemudian diangkat menjadi mufti pada 5 Januari 1946
M. Banyak karya tulis yang lahir dari tangan beliau diantaranya; syarh
baiquniyah, hukm al-Islam fi ar-rifqi bi al-hayawan dan lain-lain. Karena
kontribsinya terhadap Islam beliau mendapat penghargaan Internasional Raja
Faisal (jaizah malik faishal al-‘alamiyah li khidmat al-Islam). Selama
jabatannya beliau telah mengeluarkan sekitar 8588 fatwa.
i.
Syeikh ‘Allam Nashor (1950 – 1952). Di
Desa Mayt al-‘Iz Provinsi Munufiyah 20 Februari 1891 M beliau terlahir. Usai
menyelesaikan studinya di al-Azhar beliau berkarir sebagai qodhi hingga
diangkat menjadi mufti. Beliau mencurahkan seluruh usahanya untuk mengajar dan
menjadi mufti. Karya-karyanya banyak berkisar pada masalah masalah fiqh namun
belum tercetak hingga kini. Adapun jumlah fatwa selama jabatannya berkisar 2189
fatwa.
j.
Syeikh Hasan Makmun (1955 – 1964).
Terlahir di kampung Abidin Kairo. Usai menyelesaikan belajarnya di al-Azhar
beliau melanjutkan ke sekolah Qodho Syar’i. Selain menguasai bahasa Arab beliau
juga pandai bahasa Prancis. Beliau ditugaskan sebagai qodhi bahkan hingga ke
Sudan. Selain menjadi mufti beliau juga pernah menjadi Grand Syeikh al-Azhar ke
39. Sekitar 12311 fatwa berhasil dikeluarkan selama masa jabatannya.
k.
Syeikh Ahmad Muhammad ‘Abd al-‘Aal
Huraidi (1960 – 1970). Lahir di Provinsi Bani suwaif 15 Mei 1906 M. Masuk
Kuliyah Syariah di al-Azhar dan menjadi alumni pertamanya. Karena kedalaman
ilmunya beliau ditunjuk menjadi mufti dalam beberapa periode dan dapat
menghasilkan sekitar 8983 fatwa. Beliau wafat bulan Maret 1984 M.
l.
Syeikh Muhammad Khotir Muhammad al-Syeikh
(1970 – 1978). Lahir di daerah Manzalah Provinsi Daqhaliyah tahun 1913 M.
Selain menjadi mufti beliau juga menduduki beberapa posisi penting seperti
anggota Majma’ buhuts al-Islamiyah, anggota Majlis ‘ala li asy-syuun
al-Islamiyah seta ketua Dewan pengawas syaria’ah Bank Faisal. Selama menjadi
mufti beliau berhasil mengeluarkan sekitar 2872 fatwa. Beliau berpulang ke
rahmatullah pada 20 Januari 2004 M.
m. Syeikh Jad
al-Haq ‘Ali Jad al-Haq (1978 – 1982). Lahir pada 5 April 1917 di Provinsi yang
sama dengan mufti sebelumnya. Beliau sangat terkenal dengan keilmuan dan
kedisiplinannya. Tak heran beberapa jabatan penting di Mesir pernah beliau
duduki mulai mufti Mesir, Mentri wakaf hingga Grand Syeikh al-Azhar. Beliau
juga banyak membuat trobosan baru di lembaga yang dipimpinya. Di dar al-ifta
beliau yang berinisiatif untuk mengumpulkan seluruh fatwa mulai dari mufti
pertama hingga zaman beliau. Di kementrian wakaf beliau banyak mengadakan
seminar untuk menjadikan para da’i dapat mengoptimalkan tugasnya. Di al-Azhar
sendiri beliau banyak melakukan banyak inovasi di antaranya; membuka
cabang-cabang al-Azhar hingga ke daerah-daerah bahkan luar negri, membuka pintu
selebar-lebarnya kepada para mahasiswa asing dan menambah beasiswa mereka. Pada
masanya lembaga fatwa Mesir melahirkan sekitar 1284 fatwa. Tepat 15 Maret 1996
beliau menghembuskan nafas terkhirnya.
n.
Syeikh ‘Abd al-Latif Hamzah (1982 –
1985). Dilahirkan pada permulaan bulan Mei 1923 di Provinsi Delta Nil
(Buhairoh). Selama tiga tahun menjadi mufti beliau telah menelurkan sekitar
1115 fatwa. 15 September 1985 M menjadi hari terakhir beliau di dunia ini.
o.
Syeikh Muhammad Sayyid Thanthawi (1986 –
1996). 28 Oktober 1928 menjadi awal kali beliau menghirup udara Provinsi Suhaj.
Usai menamatkan doktoralnya dengan predikat imtiyaz tahun 1966 beliau banyak
melanglang buana. Hingga pada 26 Oktober 1986 beliau diangkat menjadi mufti
Mesir. Sepuluh tahun beliau menduduki kursi mufti dapat membuat beliau
melahirkan 7557 fatwa. Pada 27 Maret 1996 beliau pun diangkat menjadi Grand
Syeikh al-Azhar hingga wafatnya pada 10 Maret 2010 M.
p.
Syeikh Nashr Farid Wasil (1996 -2002).
Lahir pada 1937 M. Dilanjutkan dengan pengembaraan keilmuannya hingga
dipinjamkan ke berbagai Universitas seperti Shan’a, Madinah, King Saud dan
lain-lain. Tepat pada 10 November 1996 M beliau menjabat mufti. Dan
menghasilkan sekitar 7378 fatwa dalam masa khidmahnya. Beliau akhirnya mundur
dari jabatan ini karena sudah memasuki usia pensiun dengan berumur 65 tahun
ketika itu. Hingga kini beliau masih hidup dan mengajar di pascasarana
Universitas al-Azhar serta menjadi salah satu pembesar ulama di al-Azhar (Haiah
kibar ulama al-Azhar).
q.
Syeikh Ahmad ath-Thayyib (2002 -2003).
Lahir di ujung Provinsi Mesir (Luxor) pada 6 Januari 1946 M. Beliau berhasil
menamatkan doktoralnya di Universitas al-Azhar pada 1977 dan pernah melakukan
perjalanan beberapa bulan di Prancis atas undangan beberapa universitas di
sana. Selama menjadi mufti beliau berhasil mengeluarkan sekitar 2835 fatwa.
Beliau diangkat menjadi rektor Universitas al-Azhar kemudian Grand Syeikh
al-Azhar hingga saat ini. Beliau pun yang pertama kali menggagas pembentukan
Ikatan Alumni al-Azhar Internasional.
r.
Syeikh Ali Jum’ah (2003-2013). 3 Maret
1952 beliau dilahirkan di Bani Suweif. Selain menyelesaikan studinya di
al-Azhar (hingga doktoral dan Profesor). Beliau juga menamatkan jenjang
sarjananya (strata satu) di Fakultas Perdagangan Universitas Ain Syams. Beliau
juga banyak mendapatkan sanad tertinggi dari para masyayikh. Beliau juga yang
menghidupkan kembali halaqah-halaqah (talaqi) di masjid al-Azhar setelah
beberapa saat fakum. Berkat usaha dan jerih payah beliau maka dar al-ifta sudah
dapat go internasinal. Beberapa penghargaan juga diraih oleh beliau serta
lembaga fatwa Mesir ini, baik dari kalangan muslim bahkan barat dan non-Muslim.
s.
Syeikh Syauqi Ibrahim Abd al-Karim ‘Allam
(2013-sekarang). Lahir di Delta Nil pada 1961 dengan bermazhab Maliki.
Pendidikannya diselesaikan di Fakultas Syariah Univerisitas al-Azhar. Jabatan
terakhir yang ia pangku adalah kepala Yurisprudensi Islam dan Hukum Syariah di
Universitas al-Azhar, cabang Tanta dan kepala Departemen fiqih di Fakultas ilmu
Islam atas rekomendasi Kesultanan Oman. Beberapa karya tulisnya menyoroti
tentang ekonomi dan wanita. Pengangkatan mufti kali ini berbeda dengan masa-masa
sebelumnya, di mana kali ini sang mufti dipilih dari seleksi para pembesar
ulama-ulama al-Azhar bukan penunjukkan langsung dari Presiden sebagaimana yang
terjadi pada beberapa mufti sebelumnya. Setelah menyaring beberapa nama calon
mufti terpilihlah beberapa kandidat yang nantinya akan disaring menjadi lima
kemudian tiga dan terakhir menjadi mufti terpilih.
2.
Lembaga Fatwa Ha’itu
Kibaril Ulama Arab
Saudi[29]
Hai’atu
Kibaril Ulama
(هيئة
كبار العلماء) adalah lembaga fatwa resmi milik Kerajaan Saudi Arabia.
Didirikan atas surat keputusan dari Raja Saudi pada tahun 1971.
Di
dalam lembaga ini berkumpul para fuqaha dan mujtahid dari berbagai perguruan
tinggi di Saudi. Pimpinannya adalah Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syeikh.
Lembaga
ini kemudian memiliki unit khusus untuk menjawab semua pertanyaan dari
masyarakat, yang disebut dengan Al-Lajnah
Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’ (اللجنة الدائمة للبحوث العلمية
والإفتاء). Lajnah ini juga bertugas mempersiapkan riset untuk diuji oleh
para ulama.
Tahun
1991, Raja mengangkat Syeikh Abdul Aziz bin Baz sebagai mufti kerajaan
sekaligus memimpin lembaga ini. Dan pada tahun 1995, Kerajaan mengangkat Syeikh
Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syeikh sebagai wakil mufti umum urusan perfatwaan,
dengan kedudukan setingkat menteri.
Setelah
Syeikh Abdullah bin Baz wafat, pada tahun 1999 Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah
Alu Syeikh diangkat menjadi mufti Kerajaan Saudi Arabia. Konon beliau masih
keturunan dari Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sejak
tahun 2009, Raja Abdullah menetapkan Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syeikh sebagai
pimpinan lembaga ini. Raja juga menetapkan dua puluh tokoh dari para ulama yang
menjadi anggota lembaga ini. Mereka adalah:
a.
Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan
b.
Shalih bin Abdurrahman Al-Hushain
c.
Shalih bin Abdullah bin Humaid
d. Abdullah
bin Abdul Muhsin At-Turki
e.
Abdullah bin Abdurrahma
Al-Ghadayan (w. 2010)
f.
Abdullah bin Sulaiman Al-Muni’
g.
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
h. Abdul
Wahhab bin Ibrahim Abu Sulaiman
i.
Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim
Alu Syeikh
j.
Ahmad Sairul Mubaraki Asy-Syarif
k.
Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq
l.
Ya’qub bin Abdul Wahhab bin Yusuf
Al-Bahisin
m.Abdul Karim bin
Abdullah bin Abdurrahman Al-Hudhair
n. Ali
bin Abbas bin Utsman Hukmi
o.
Abdullah bin Muhammad Al-Khunain
p. Muhammad
bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi
q.
Muhammad bin Hasan Alu Syeikh
r.
Saad Asy-Syatsari (dikeluarkan
Juni 2009)[1]
s.
Qais bin Muhammad Abdullatif Alu
Mubarak
t.
Muhammad bin Abdul Karim Al-Isa
3.
Lembaga Fatwa India: Majma’
Fiqih Islami fil Hind[30]
India
termasuk negeri dengan jumlah umat Islam yang sangat besar meski masih di bawah
Indonesia. Setidaknya ada 150-an juta umat Islam yang menjadi warga negeri ini.
Seandainya dahulu Pakistan tidak memisahkan diri, mungkin boleh jadi negeri ini
adalah negara muslim terbesar di dunia.
Untuk
mengatasi problem masalah fatwa dan fiqih di tengah masyarakat muslim, di
negeri ini didirikan lembaga fiqih yang bernama resmi Majma’
Al-Fiqihi Al-Islami fi Al-Hindi (مجمع الفقه الإسلامي في الهند). Lembaga ini berpusat di India dan
didirikan tahun 1989 di bawah asuhan para ulama besar India.
4.
Lembaga Fatwa Eropa Al-Majelis Al-Urubi li
Al-Ifta’ wa Al-Buhuts[31]
Lembaga
ini bernama resmi Al-Majelis Al-Urubi li Al-Ifta’ wa Al-Buhuts atau European
Council for Fatwa and Research (المجلس الأوروبي للإفتاء والبحوث), berkedudukan di Republik Irlandia.
Majelis
ini mulai didirikan dari sebuah pertemuan yang diadakan di London di Inggris
pada 29-30 Maret 1997, yang dihadiri lebih dari lima belas ulama dunia, atas
prakarsa dari Ittihad Munazhzhamah fi Uruba (Persatuan Organisasi Islam di Eropa).
Pertemuan ini menghasilkan rancangan konstitusi Majelis.
Tujuan
lembaga ini antara lain sebagai upaya untuk mendekatkan para ulama yang
berdakwa di Eropa dalam satu pandangan di bidang pendapat-pendapat pada wilayah
fiqih.
Selain
itu lembaga ini juga berupaya menerbitkan fatwa kolektif yang amat dibutuhkan
oleh masyarakat muslim khususnya di benua Eropa. Juga menerbitkan hasil-hasil
penelitian dan riset terhadap masalah-masalah hukum Islam.
Lembaga
ini juga memberikan pembinaan kepada umat Islam di Eropa, khususnya kepada para
pemuda, lewat penyebaran kefahaman terhadap agama yang original dan fatwa yang syar’i.
Lembaga
ini sejak berdiri hingga sekarang tercatat sudah mengadakan 19 kali Daurah yang
diadakan secara rutin berpindah-pindah di tiap kota di Eropa, seperti di
Irlandia, Jerman, Bosnia, Perancis, Swedia, Inggris dan Turki. Lebih jauh
tentang lembaga ini, dapat kita buka situs mereka : http://e-cfr.org.
5.
Lembaga Fatwa Amerika Serikat Majma’ Fuqaha As-Syariah bi Amrika[32]
Di
benua Amerika juga berdiri lembaga serupa, yang bernama resmi The Assembly of
Muslim Jurists in Amerika (AMJA) atau Liga Fuqaha Syariah di Amerika. Dalam
bahasa Arab disebut (مجمع
فقهاء الشريعة بأمريكا).
Lembaga
ini didirikan sejak tanggal 2 Oktober tahun 2002 di Maryland Amerika, dengan
dihadiri peresmiannya lebih dari 40 tokoh ulama besar, bukan hanya ulama
syariah tetapi juga para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu.
Untuk
menguatkan hubungan antara Barat dan Timur, lembaga ini juga membuka kantor di
Mesir.
Lembaga
ini dipimpin oleh Prof. Dr. Husain Hamid Hassan. Bertindak sebagai wakil
pertama adalah Prof. Dr. Ali Ahmad As-Salus, sedangkan wakil kedua adalah Prof.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Sedangkan Prof. Dr. Shalih Ash-Shawi bertindak sebagai
Sekretaris Jenderal.
Untuk
mengetahu lebih jauh tentang lembaga ini, silahkan rujuk langsung ke situsnya: www.amjaonline.com
Lembaga
fatwa yang lain di Amerika bernama: The Islamic Supreme Council of America
(ISCA)
6.
Lembaga Mufti Rusia
7.
Lembaga Mufti India (Darul
Ifta India)[33]
Darul Ifta Ini adalah salah satu departemen yang paling
signifikan dari Darul Uloom dari mana orang di seluruh pertanyaan dunia dalam
hal keagamaan dan sosial mereka. Darul Uloom telah mengeluarkan fatwa dari awal
tetapi ketika pertanyaan mulai datang bulks dan sulit bagi guru untuk membalas
mereka dalam paruh waktu mereka, Darul Uloom mendirikan departemen ini pada
tahun 1310 H (1892). Darul Ifta selalu pusat atraksi dan memegang rasa hormat
yang besar dan kepercayaan di kalangan publik dan pengadilan. Sejauh ini lebih
dari 7 Lakh fatwa telah dikeluarkan dari departemen ini. Kehadiran Darul Ifta
dibangun pada 1368 H (1949) sedangkan ruang sebelah baru-baru ini ditambahkan.
Darul Ifta selalu pusat atraksi dan memegang rasa hormat
yang besar dan kepercayaan di kalangan publik dan pengadilan. Darul Ifta,
selain membimbing dalam hal religio-sosial juga merupakan sarana yang sangat kuat
dari hubungan antara Darul Uloom Deoband, dan jangka umum Muslim. The Fatwa
Darul Uloom telah sangat terhormat di dalam dan luar negeri; selain itu, massa
pengadilan hukum di negara itu juga menghormati mereka dan menganggap mereka
menentukan.
Darul Uloom Deoband berdiri berawal dari sejarah masuk dan
diterimanya agama Islam sebagai salah satu agama resmi di India pada hari
Kamis, tanggal 15 Muharram 1283 H
bertepatan dengan tanggal 30 Mei 1866, adalah bahwa hari diberkati dan
menguntungkan dalam sejarah Islam India saat batu fondasi bagi kebangkitan
ilmu-ilmu Islam dibaringkan di tanah Deoband. Melihat cara yang sederhana dan
biasa di mana itu telah dimulai, itu sulit untuk memvisualisasikan dan
memutuskan bahwa Madrasah yang diawali begitu rendah hati, dengan kurangnya
mengucapkan peralatan ini, ditakdirkan untuk menjadi pusat, dalam beberapa
tahun, dari ilmu-ilmu Islam di Asia.Accordingly, tak lama kemudian, mahasiswa
berkeinginan mempelajari Kitab Suci dan Sunnah, syariat dan Tariqah (jalan
spiritual), mulai berkumpul di sini berbondong-bondong dari sub benua ini serta
dari negara-negara tetangga dan jauh seperti Afghanistan, Iran, Bukhara dan
Samarqand, Burma, Indonesia, Malaysia, Turki dan jauh dari daerah benua Afrika,
dan dalam waktu singkat sinar bercahaya pengetahuan dan kebijaksanaan diterangi
hati dan pikiran umat Islam dari benua Asia dengan cahaya iman (iman) dan
budaya Islam.
Waktu ketika Darul Uloom Deoband,[34]
didirikan, yang Madaris tua di India hampir punah, dan kondisi dua atau empat
yang selamat dari kerusakan waktu tidak lebih baik daripada beberapa glow-cacing
di malam yang gelap. Rupanya begitu tampak pada waktu itu seolah-olah ilmu-ilmu
Islam telah mengemasi kit mereka dari India. Dalam keadaan ini, beberapa orang
dari Allah dan dokter ilahi, melalui cahaya batin mereka, merasakan bahaya yang
sudah dekat. Mereka tahu terlalu baik bahwa negara telah mencapai status hak
mereka melalui pengetahuan saja. Jadi, tanpa tergantung pada pemerintah saat
itu, mereka mendirikan Darul Uloom, Deoband, dengan kontribusi publik dan
kerjasama. Salah satu prinsip yang Hazrat Nanautavi (mungkin rahasianya
disucikan) diusulkan untuk Darul Uloom dan Madaris agama lain juga ini bahwa
Darul Ulum harus dijalankan percaya pada Allah dan dengan kontribusi masyarakat
yang rakyat miskin saja harus mengandalkan atas.
Darul Ulum, Deoband, yang kini menjadi pusat keagamaan dan
akademik terkenal di dunia Islam. Di sub-benua itu adalah lembaga terbesar
untuk penyebaran dan penyebaran Islam dan headspring terbesar pendidikan dalam
ilmu Islam. Sarjana dicapai seperti telah keluar dari Darul Uloom di setiap
periode yang mereka, sesuai dengan tuntutan kebutuhan agama dari waktu, telah
memberikan layanan yang berharga dalam menyebarkan dan menyebarkan keyakinan
agama yang benar dan ilmu-ilmu agama. Tuan-tuan ini, selain dalam sub-benua,
sibuk dalam melakukan agama dan pelayanan akademik di berbagai negara lain
juga, dan di mana-mana mereka telah memperoleh status menonjol atau bimbingan
agama kaum muslimin. Faktanya adalah bahwa Darul Uloom, Deoband, adalah gerakan
keagamaan, pendidikan dan reformatif besar pada abad ketiga belas Hijriah. Itu
adalah kebutuhan penting dan menangis seperti waktu yang indiferen ke dan
diam-diam di itu dapat menyebabkan umat Islam untuk berhadapan dengan bahaya
yang tak ternilai. Kafilah yang terdiri hanya dua jiwa pada tanggal 15
Muharram, AH. 1283, hari ini di kereta individu yang dari berbagai negara di
Asia!
Adapun para ulama yang pernah memimpin Darul Uloom sebagai
berikut:
a.
Hadhrat
Maulana Mufti Azizur Rahman (1859 - 1928)
b. Hadhrat Maulana Izaz Ali (1902 -
1955)
c. Hadhrat Mufti Riyazuddin (1902 -
1943)
d. Hadhrat Mufti Muhammad Shafee (1896
- 1943)
e. Hadhrat Mufti Muhammad Sahool (1896
- 1943)
f. Hadhrat Mufti Kifayatullah
Gangohi (1292 - 1943)
g. Hadhrat Mufti Muhammad Farooq
Ahmed (1896 - 1943)
h. Hadhrat Maulana Mufti Mahdi
Hasan (1301 - 1396)
i. Hadhrat Mufti Mahmud Hasan
Gangohi (1325 - 1417)
j. Maulana Mufti Nizamuddin (1328 -
1420)
8.
Lembaga Mufti Afrika Selatan (Mufti Ebrahim Desai)[35]
Mufti Ebrahim Desai menyelesaikan nya Quran Menghafal (Hifz)
di Watervaal Institut Agama Islam (Mia Pertanian), Afrika Selatan. Setelah itu
ia mengejar Alim Course di Jamia Islamia, Dhabel selama 7 tahun, dan lulus
dengan perbedaan di setiap tahun. Mufti Ebrahim Desai menyelesaikan nya Mufti
Course (IFTA) di Jamia Islamia, Dhabel, India di bawah Hazrat Mufti Ahmad
Khanpuri Saheb dari Dabhel selama dua tahun. Setelah menyelesaikan kursus ini,
ia menyelesaikan satu tahun lagi studi di iftaa bawah mufti akhir India, Hazrat
Mufti Mahmud al-Hasan Gangohi Rahmatullah alayh, penulis multivolume Fatawa
Mahmudiyya.
Mufti Saheb mengajarkan Fiqh, Prinsip Fiqh, Tafsir, hadits
di Madrasah Talīmuddīn, Isipingo Beach, Afrika Selatan selama 10 tahun. Dia
juga mengepalai Departemen Fatwa di Jamiatul Ulama, KZN. Dia adalah seorang
Syekhul Hadits senior di Madrasah In'aamiyyah, Camperdown selama 10 tahun. Pada
tahun 2011, Mufti Ebrahim Desai Saheb pindah ke Durban permanen dan meletakkan
dasar untuk Darul iftaa Mahmudiyyah, Sherwood, Durban.
Saat ini, Mufti Saheb berjalan Darul iftaa Mahmudiyyah di
mana ia mengajar siswa untuk menjadi Mufti. Darul iftaa melayani untuk banyak
fasilitas bawah pengawasan Mufti Saheb. Informasi lebih lanjut dapat dilihat
di: http://daruliftaa.net/Activities/introducing-diftaa.html
Mufti Saheb juga mengajarkan Sahih Bukhari Shareef, Mishkat
al Masabih dan Al Hidayah di Madrasah Numāniyyah, Chatsworth, Durban.
Mufti Ebrahim Desai telah menulis dua buku, "Pengantar
hadits: Sebuah pengantar umum hadits dan ilmu yang" dan "Introduksi
ke Commerce Islam". Fatwa nya telah disusun dalam sebuah buku berjudul
"Al-Mahmood". Kompilasi lain dari pembicaraan di Syariah Compliant
Bisnis Kampanye juga tersedia berjudul "Kampanye Syariah Compliant
Bisnis". Kompilasi terbaru dari putusan kontemporer juga tersedia berjudul
"Contemporary Fatwa".
Mufti Saheb telah mengeluarkan fatwa dalam berbagai bidang
selama lebih dari 17 tahun. Kampanye Syariah Compliant Bisnis yang juga
diprakarsai oleh Mufti Saheb pada tahun 2002 menyediakan sebuah konferensi
untuk mengatasi masalah bisnis kontemporer di Commerce Islam dan Keuangan.
Mufti Saheb juga merancang Wesbank Islamic Finance Ijarah Program sebagai
alternatif untuk penawaran bunga. Dia terus menjadi Syariah Penasihat Wesbank
dan berbagai lembaga komersial swasta lainnya.
Mufti Saheb telah mengunjungi Amerika Serikat Amerika
Serikat, Kanada, Inggris, China dan negara-negara lain selama hampir 15 tahun
dan disampaikan pembicaraan dan kuliah tentang berbagai topik di Masājids,
Universitas dan berbagai lembaga. Beliau juga menjabat sebagai penasihat agama
untuk Pangan dan Gizi Dewan Islam Amerika (IFANCA)
9.
Lembaga Mufti Australia (Darul
Ifta Australia)[36]
Darul Ifta Australia (Australian Institute of Fikih Islam)
Inc adalah sebuah organisasi non-profit yang berbasis di Melbourne, Australia.
Organisasi ini resmi dibuka pada 3 September 2011 di bawah
instruksi dan pengawasan dari Mufti Ebrahim Desai Sahib (daamat barakaatuhum) dari Afrika Selatan (dari www.askimam.org dan
www.daruliftaa.net). Pembukaan berlangsung di kediaman Mufti Faizal Riza,
presiden organisasi dan mahasiswa Mufti Ebrahim Desai Sahib. Banyak Ulama dan
Mufti menghadiri pertemuan untuk pembukaan.
Adapun tujuan pendirian Darul
Ifta Australia ini adalah:
1.
Untuk memberikan layanan fatwa yang dapat diandalkan untuk
komunitas Muslim terkait dengan semua aspek kehidupan seorang Muslim termasuk:
ibadah (shalat, zakat, puasa, haji, dll), transaksi bisnis, perkawinan,
perceraian, warisan, hibah, pemakaman, dll.
2.
Untuk menawarkan publikasi gratis dengan tujuan mendidik
umat Islam.
3.
Untuk mempromosikan program pendidikan Islam bagi
kepentingan umat Islam.
Darul Ifta Australia juga menawarkan takhassus fil fiqh wal iftaa (spesialisasi di Yurispurdence Islam
dan mengeluarkan fatwa) program berafiliasi dengan Darul iftaa Mahmudiya dari Mufti Ebrahim Desai Sahib.
Darul Ifta Australia terdaftar pada Consumer Affairs Victoria sebagai organisasi nirlaba.
Adapun Susunan Keanggotaan Darul Ifta Australia sebagai berikut:
Presiden Mufti : Faizal
Riza
Wakil Presiden Mufti : Munib
Ahmad
Anggota Eksekutif Mufti : Qazi
Anas
Ebrahim
Desai (Afrika Selatan)
Vawda
(Afrika Selatan)
Husain
Kadodia (Afrika Selatan)
Mufti Faizal Riza lahir di Fiji dan dibesarkan di Australia.
Dia adalah Shaikh memenuhi syarat (Alim) dan Mufti. Dia belajar mata pelajaran
Islam, seperti: Arab, Fiqh, Hadis, Tafsi,r dan Ushul di berbagai lembaga di
anak benua Indo-Pak, seperti Nadwatul Ulama, Lucknow, India; Darul Ulum
Deoband, UP, India; dan Jamia Binoria, Karachi, Pakistan. Dia mencapai MA dalam
Ilmu Islam dan Bahasa Arab dari Wafaqul Madaris Al-Arabiya, Pakistan. Dia
mempelajari takhassus fil fiqh wal iftaa
(spesialisasi di Yurisprudensi Islam dan mengeluarkan fatwa) program di bawah
pembimbing dari Mufti Ebrahim Desai Sahib dari Afrika Selatan selama tiga tahun
dan berhasil menyelesaikan kursus pada Juli 2011. Dia telah mengajar berbagai
mata pelajaran Islam, seperti Fiqh, Hadis dan Tafsir selama beberapa tahun di
Darul Ulum College of Victoria, Australia.
Untuk mengenal lebih detail program Darul Ifta Australia dapat
diklik: http://www.fatwa.org.au/about-us.html
10.
Lembaga Mufti Singapura (Majlis
Ugama Islam Singapura)[37]
The Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS), juga dikenal
sebagai Dewan Agama Islam Singapura, didirikan sebagai badan hukum pada tahun
1968 ketika Administrasi Hukum Act Muslim (KLSLM) mulai diberlakukan. Di bawah
KLSLM, MUIS adalah untuk memberikan nasihat kepada Presiden Singapura pada
semua hal yang berhubungan dengan Islam di Singapura.
Peran MUIS adalah untuk melihat bahwa banyak dan beragam
kepentingan komunitas Muslim Singapura tampak setelah. Dalam hal ini MUIS
bertanggung jawab untuk promosi kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan, ekonomi
dan budaya sesuai dengan prinsip-prinsip dan tradisi Islam seperti yang
termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah.
Fungsi utama dari MUIS adalah sebagai berikut:
a.
Administrasi zakat, wakaf (endowment), urusan haji,
sertifikasi halal dan kegiatan dakwah
b.
Konstruksi dan administrasi pembangunan masjid dan manajemen
c.
Administrasi Madrasah dan pendidikan Islam
d. Penerbitan fatwa (fatwa)
e.
Penyediaan bantuan keuangan untuk miskin dan membutuhkan
Muslim
f.
Penyediaan hibah perkembangan organisasi
Visi untuk Masyarakat
Sebuah Komunitas Muslim Gracious of Excellence yang Menginspirasi
dan memancarkan Berkat untuk Semua
Prioritas strategis
Untuk mengatur agenda Islam, membentuk kehidupan beragama
dan menempa Identitas Muslim Singapura
Misi Muis
Untuk bekerja dengan masyarakat dalam mengembangkan
kehidupan keagamaan dan lembaga dinamis yang mendalam.
Visi Muis
Untuk menjadi sebuah organisasi yang sangat kredibel,
spiritual dan intelektual yang kuat, didukung secara luas dan sangat efektif
dalam menangani isu-isu Islam.
Prinsip Dasar
a.
Integritas
b.
Konsultatif dan Inklusif
c.
Transformasional
Susunan organisasi MUIS
Dewan MUIS
Direktorat MUIS
1)
Bagian Pembangunan Agama: hubungan internasional,
kesekretariatan Mufti, pengembangan kebijakan, pendidikan remaja, keterlibatan
remaja.
2)
Bagian Pendidikan Agama: kebijakan dan perencanaan Madrasah,
pengembangan kurikulum Madrasah
3)
Bagian Kapasitas dan Keterlibatan Strategi: perguruan MUIS,
pusat harmoni, keterlibatan masyarakat, komunikasi korporat, komunikasi
strategi
4)
Bagian Aset: Keuangan,
sertifikasi halal, pelayanan haji, zakat, dan wakaf
5)
Bagian Pengembangan Masjid dan
Sosial: kantor perencanaan masjid, peningkatan masjid, pembinaan dan
pemberdayaan
6)
Bagian Pengembangan Organisasi:
perencanaan program, pelayanan informasi, SDM, pembinaan organisasi
Dewan MUIS adalah keseluruhan badan pembuat keputusan dan
bertanggung jawab untuk perumusan kebijakan dan rencana operasional. Dewan
terdiri dari Presiden MUIS, Mufti Singapura, Chief Executive, serta anggota
yang direkomendasikan oleh Menteri-in-Charge Urusan Muslim dan dicalonkan oleh
organisasi Muslim. Semua anggota Dewan diangkat oleh Presiden Republik
Singapura. Berikut susunan MUIS saat ini:
a.
Kepala Eksekutif
MUIS : Haji
Abdul Razak bin Hassan Maricar
b.
Presdien Dewan
MUIS : Haji
Mohammad Alami Musa
c.
MUFTI Singapura : Dr.
Mohamed Fatris Bakaram
d.
Anggota-Anggota : Haji
Shafawi Ahmad
Haji
Pasuni Maulan
Haji
Mohamad Hasbi Hassan
Haji
Ali Mohamed
Haji
Sallim bin Abdul Kadir
Haji
Zainol Abeedin Hussin
Haji
Muhammed Faiz Edwin Ignatious M
Dr.
Abdul Razak Chanbasha
Mr.
Asaad Sameer Ahmad Bagharib
Mr.
Mohammad Thahirrudin Shadat Kadarisman
Mdm.
Tuminah Sapawi
Mr.
Farihullah s/o Abdul Wahab Safiullah
Mr.
Raja Mohamad Maiden
Dr.
Rufaihah Abdul Jalil
Ms.
Nora Rustham
11.
Lembaga Mufti Brunei Darussalam
12.
Lembaga Mufti Malaysia
Kewenangan Mufti dalam Negara
(analisis)
Kedudukan dan Kewenangan Organisasi
Masyarakat (Ormas) Islam di Indonesia
1.
Majelis Ulama Indonesia
2.
Muhammadiyah
3.
Nahdlatul Ulama
4.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
5.
Persatuan Islam
6.
Mathlaul Anwar
7.
Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI)
Kenapa Mufti di Indonesia Belum
Terbentuk?
1.
Prof. Dr. KH. Umar Shihab, MA
2.
Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA
3.
Dr. KH. Hasyim Muzadi
4.
KH. Syuhada Bahri
5.
Prof.
Dr. H. Maman Abdurrahman, MA
6.
KH.
Ahmad Sadeli Karim
7.
Dr.
AGH. Sanusi Baco
8.
Prof.
Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc
[1]http://www.invonesia.com/luas-wilayah-negara-indonesia.html,
diakses tanggal 28 Oktober 2014.
[2]http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321,
diakses tanggal 28 Oktober 2014.
[3]http://www.datastatistik-indonesia.com/proyeksi/index.php?option=com_proyeksi&task=show&Itemid=941,
diakses tanggal 28 Oktober 2014.
[4]http://www.pewforum.org/2009/10/07/mapping-the-global-muslim-population/,
diakses tanggal 28 Oktober 2014. Dalam artikel: Mapping the Global Muslim
Population: A Report on the Size and
Distribution of the World’s Muslim Population, A New Study by The
Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life, 7 Oktober 2009.
[5]https://azzahab.wordpress.com/2012/02/11/islam-dan-modernisasi/,
diakses tanggal 30 Oktober 2014.
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Agama,
diakses 17 Mei 2014.
[7]A.
Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1995, hlm. 67-105 dan Badri Yatim, Sejarah
Perabadan Islam. Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 1994, hal. 55-97.
[8]Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak
Thales Sampai Capra. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000, hal. 117-233.
[9]Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi
Holistik. Bandung: Arasy Mizan, 2005, hal. 19-20.
[10]Fase sejarah Islam dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu: (a) Periode Klasik (650-1250 M,
merupakan periode kemajuan Islam dalam berbagai bidang
kehidupan dan ilmu pengetahuan; (b) Periode pertengahan dimulai tahun 1250-1800
M, dengan semakin meningkatnya disintegrasi tidak hanya dalam bidang politik,
tetapi juga dalam paham keagamaan dan sektarian serta dilanjutkan denga periode
3 kerajaan besar, yaitu: Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia,
dan Kerajaan Mughal di India tahun 1500-1700 M; (c) Periode modern tahun 1800
M-sekarang. Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI-Press, 1985, hal. 56-88. Lihat pula:
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam.
Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 22.
[11]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2013, hal. 569-570.
[12]QS an-Nisa [4]:59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، ذَلِكَ .خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil-amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya."
[13]HR ath-Thabrani:
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ
تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ،
قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي
سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ
رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ .“صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya:
“Dari Muadz ibn Jabal RA.,
bahwa Nabi SAW. ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu
jika dihadapkan permasalahan hukum? Dia berkata: “Saya berhukum dengan kitab
Allah”. Nabi bersabda: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah”?, dia berkata:
“Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah SAW.”. Nabi bersabda: “Jika tidak
terdapat dalam sunnah Rasul SAW.” ? Dia berkata: “Saya akan berijtihad dan
tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasulullah SAW. memukul ke dada Muadz dan
bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz)
dengan apa yang diridhai Rasulullah SAW.”.
[14]Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib
al-Arba’ah. Al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah, t.th. Imam Taqi al-Din
Abu Bakr, Kifayah al-Akhyar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
1973.
[15]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami.
hlm. 402.
[16]Zulkifli Mohamad
al-Bakri. 2008. Fatwa & Mufti Hukum, Etika dan Sejarah. Bandar Baru
Nilai: Universiti Sains Islam Malaysia, hlm. 10.
[17]… … Ensiklopedi
Islam, Jilid …. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
[18]Ibid.
[19]Muhammad al-Khudhari Bek, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr,
1080), hal. 69.
[20]Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ (Damaskus: Dar al-Qalam, 1435/2994),
hal. 37.
[21]Ibid., hlm. 38.
[22]Wahbah az-Zuhaili. 1984. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I. Damaskus: Dar
al-Fikr al-Mu’ashir, hlm. 35.
[23]Ibid.
[24]Muhammad
Abu Zahrah. 2011. Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum dkk. Jakarta: Pustaka
Firdaus, Cet. ke-14, hlm. 595.
[25]Dr. KH.
Ma’ruf Amin. 2008. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Paramuda
Advertising, Cet. I, hlm. 20-21.
[26]Imam An Nawawi. 1425-1426 H. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Jilid 1. Beirut-Libaon: Dar al-Fikr,
hlm. 71-99. Lihat juga, https://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi%E2%80%99i/,
diakses tanggal 4 November 2014.
[27]http://id.wikipedia.org/wiki/Mufti,
diakses tanggal 3 November 2014.
[28]Disadur dari artikel: Faza Abdu Robbih, ”Lembaga
Fatwa Mesir dari Masa ke Masa” tanggal 13 Maret 2013. Mahasiswa Jurusan Hadis
Fakultas Ushuludin Universitas al-Azhar dan Mahasiswa Akademi Al-‘Asyiroh
Al-Muhammadiyah Kairo. http://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2013/03/13/1342/lembaga-fatwa-mesir-dari-masa-ke-masa.html#.VE9oUfmUfIo,
diakses tanggal 28 Oktober 2014.
[29]http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=111,
diakses tanggal 28 Oktober 2014.
[30]http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=111,
diakses tanggal 28 Oktober 2014.
[31]http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=111,
diakses tanggal 28 Oktober 2014.
[32]http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=111,
diakses tanggal 28 Oktober 2014.
[33]http://www.darulifta-deoband.org/,
diakses tanggal 3 November 2014. Dapat juga diakses di:
http://www.darulifta-deoband.org/
[34]http://www.darulifta-deoband.org/,
diakses tanggal 3 November 2014.
[35]http://www.askimam.org/about, diakses
tanggal 3 November 2014. Dapat juga diakses melalui: http://daruliftaa.net/Activities/introducing-diftaa.html
[36]http://www.fatwa.org.au/about-us.html,
diakses tanggal 3 November 2014.
[37]http://www.muis.gov.sg/cms/aboutus/default.aspx,
diakses tanggal 3 November 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar