PERAN DATA DALAM EVALUASI
Mukhtar Alshodiq[1]
Berdasarkan
ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional menegaskan bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada “data”
dan “informasi” yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ada
2 frase yang penting digarisbawahi pada kesempatan saat ini, yaitu: “Data” dan
“Evaluasi”. Pertama, data adalah keterangan objektif tentang suatu fakta
yang ada di lapangan, baik dalam bentuk kuantitatif, kualitatif maupun gambar
visual (image) yang diperoleh, baik melalui observasi langsung maupun
dari data yang sudah terkumpul dalam bentuk cetakan atau perangkat penyimpan
lainnya. Data dapat berupa peristiwa atau kejadian atau fenomena alam yang
berlangsung di masyarakat. Oleh karena itu, data yang diperoleh haruslah berupa
“fakta” bukan hasil manipulasi apalagi rekayasa. Agar data tersebut
tersampaikan kepada publik atau ke pihak yang berkepentingan (stakeholders),
maka penting pula didukung oleh sebuah perangkat informasi, yaitu data yang
sudah terolah digunakan untuk mendapatkan suatu interpretasi tentang suatu
fakta. Dengan demikian, data akan berubah menjadi informasi apabila keberadaannya
mampu mengubah seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan.
Data yang masih dalam bentuk
kuantitatif, kualitatif, atau gambar visual penting untuk dinarasikan dengan
penggunaan bahasa yang baik dan benar serta harus didukung oleh performance
(perwajahan) sebaik mungkin pula, agar muatan yang terkandung di dalam data
tersebut mampu tersampaikan dan dapat dicerna oleh publik dengan baik. Oleh
karena itu, di sinilah letak pentingnya menghadirkan perangkat “informasi”,
baik dalam bentuk digital maupun cetak.
Adapun data yang
digunakan dalam perencanaan pembangunan adalah data yang telah menjadi
informasi sehingga menjadi bahan untuk menetapkan tindakan untuk mengubah
keadaan menjadi lebih baik daripada keadaan sebelumnya.
Dengan
memiliki basis data (database) dan informasi yang valid dan terukur,
maka proses perencanaan pembangunan yang baik dan komprehensif akan menjadi
titik penting untuk berhasilnya suatu pembangunan. Karena pembangunan merupakan
proses perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan
secara terencana.
Kedua,
menurut ketentuan Pasal 1 angka (3) PP Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan bahwa evaluasi adalah
rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output),
dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar yang telah ditetapkan.
Karena itu, evaluasi merupakan sebuah penilaian yang objektif dan sistematis
terhadap suatu intervensi yang direncanakan untuk menentukan pentingnya suatu
kegiatan, kebijakan atau program. Evaluasi dilakukan dengan maksud untuk dapat
mengetahui secara pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan, dan kendala yang
dijumpai dalam pelaksanaan rencana pembangunan dapat dinilai dan dipelajari
untuk perbaikan pelaksanaan rencana pembangunan di masa yang akan datang. Dengan
demikian, fokus utama evaluasi diarahkan kepada keluaran (outputs),
hasil (outcomes), dan dampak (impacts) dari pelaksanaan rencana
pembangunan. Oleh karena itu, dalam perencanaan yang transparan dan akuntabel
harus disertai dengan penyusunan indikator kinerja pelaksanaan rencana, yang
sekurang-kurangnya meliputi; (i) indikator masukan (input), (ii)
indikator keluaran (outputs), dan (iii) indikator hasil/manfaat (outcomes/impacts).
Sebagai
tindak lanjut dari sistem keterbukaan informasi publik dan pelayanan publik
sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 dan UU No. 25 Tahun 2009, maka
pengelolaan data dan informasi Kementerian Agama diatur lebih lanjut dalam KMA
No. 440 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Data dan Informasi pada Kementerian
Agama bahwa data dan informasi merupakan aset dan sumber daya yang esensial
bagi organisasi. Oleh karena itu, data perlu dikelola secara akurat,
berkesinambungan, efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan terintegrasi,
karena data memiliki fungsi yang sangat penting bagi kinerja dan kelancaran
kerja suatu instansi pemerintah.
Mengingat
begitu pentingnya menghadirkan data yang akurat bagi Kementerian Agama dalam
upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean
governance) dalam posisinya sebagai kementerian vertikal, dengan mencapai
4.484 satuan kerja yang tersebar di 34 provinsi, dengan variabel data yang
masih dikelola oleh masing-masing satuan kerja, maka penting menghadirkan satu
sistem alur pengelolaan data yang utuh dan menyeluruh. Karena begitu gemuknya
kewenangan yang diemban oleh Kementerian Agama menjalankan Tupoksinya dalam
urusan agama dan pendidikan agama serta menjadi ciri khas dalam berbangsa dan
bernegara di NKRI ini, maka sesungguhnya kehadiran “Kementerian Agama” adalah
untuk menyelamatkan kehidupan seluruh warga negara di dunia hingga di akhirat,
dengan semboyan utamanya: “Ikhlas Beramal” (mukhlisin), yang kemudian
dijelmakan dalam prinsip-prinsip 5 (lima) Budaya Berja Kementerian Agama,
yaitu: Integritas, Profesionalitas, Inovasi, Tanggung Jawab, dan Keteladanan.
Kementerian
Agama dalam posisinya sebagai penyelenggara urusan di bidang agama dan
pendidikan keagamaan dalam pemerintahan, maka kemudian menyusun berbagai
program strategi untuk menjaga “keutuhan umat beragama” dalam rangka mewujudkan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Misalnya, menghadirkan program
beasiswa, asuransi bagi jemaah haji yang kecelakaan dan meninggal dunia, nikah
gratis di KUA, bantuan sarana dan prasarana tempat ibadah dan pendidikan, dan
lain sebagainya. Program-program yang dihadirkan Kementerian Agama sesungguhnya
mengacu pada ketentuan “money follow program” dengan berbasis kinerja (sebagaimana
diatur pada Pasal 3 PP No. 17/2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran
Pembangunan Nasional). Artinya, penggunaan anggaran
negara harus mengacu pada program-program yang produktif, bukan sekadar
mengadakan kegiatan untuk mengejar target penyerapan anggaran semata.
Tampilnya
bangunan-bangunan KUA, Kampus PTKIN, dan Asrama Haji di daerah-daerah yang
bagus nan cantik serta peningkatan akses dan mutu madrasah semakin menunjukkan
eksistensi pemberdayaan Kementerian Agama secara nyata di tengah-tengah
masyarakat dengan memanfaatkan instrumen pembiayaan yang bersumber dari SBSN
sebagai upaya percepatan pembangunan infrastruktur di lingkungan Kementerian
Agama.
Saat
ini, Kementerian Agama melalui Ditjen PHU misalnya tengah berjibaku
menghadirkan program “Jemaah Haji Mandiri”, bukan berarti mandiri segalanya,
tetapi setiap jemaah haji diupayakan mampu mandiri menjalankan segala hal yang
terkait dengan proses perhajiannya melalui proses pembelajaran/manasik haji,
agar setiap jemaah mampu menggapai haji mabrur sebagai tujuan utamanya, yang
tercermin dalam kesalehan individu dan kesalehan sosial.
Kementerian
Agama (Ditjen PHU) telah mengatur dengan berbagai regulasinya, mulai dari alur
pendaftaran, sistem antrian, manasik haji dan umrah, pemberangkatan, asuransi,
pelayanan selama di Tanah Suci hingga tiba kembali di Tanah Air. Hanya saja berhenti
di situ. Lepas dari bandara tujuan atau debarkasi, maka lepas sudah pembinaan
terhadap ribuan jemaah haji itu. Padahal masih banyak di antara ribuan jemaah
haji tersebut yang hanya sekadar menunaikan ibadah haji karena kemampuan
finansialnya sudah “tercukupi”, tetapi sesungguhnya minim dalam hal pemahaman dan
pelaksanaan ajaran Islam lainnya sehingga masih jauh dari harapan menjadikan
jemaah haji sebagai agent of change. Di sinilah pentingnya kehadiran
data jemaah haji yang akurat di setiap daerah, agar pembinaan dan pembimbingan secara
berkelanjutan dapat dilakukan oleh para penghulu secara optimal di
daerah-daerah. Coba kita bandingkan dengan sistem pengelolaan dan pembinaan
yang dilakukan oleh KBIH-KBIH dan Travel Haji dan Umrah di daerah dengan fasilitas
dan biaya sendiri, tetapi mampu tetap menjalim silaturahim dengan mantan-mantan
jemaah hajinya.
Pemberdayaan
para penghulu, baik PNS maupun non-PNS merupakan suatu keniscayaan karena
sesungguhnya mereka menjadi ujung tombak Kementerian Agama dalam
mensosialisasikan program-programnya secara langsung kepada masyarakat.
Misalnya, saat ini Kementerian Agama tengah menghadirkan sistem aplikasi “siaga
dini konflik keagamaan” oleh Litbang Agama dengan mengoptimalkan kinerja para
penghulu di daerah.
Belum
lagi sistem pembinaan keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah (SAMAWA) di Kantor
Urusan Agama (KUA), sesungguhnya belum mampu memberikan dampak yang signifikan
terwujudnya keluarga SAMAWA, karena keterbatasan jangkauan dan waktu bagi KUA
dalam memberikan Kursus Calon Pengantin (Suscatin), hanya sesaat setelah Catin
mendaftarkan diri di KUA. Sementara data tingkat perceraian di Pengadilan Agama
Kota Bekasi tahun 2017 lalu misalnya mencapai 2.213 kasus perceraian, yang pada
umumnya karena perselingkuhan dan kawin lagi. Padahal membangun keluarga SAMAWA
sebagai tujuan dari perkawinan itu penting dengan menghadirkan program-program
pelayanan keagamaan secara berkesinambungan dan berkelanjutan, baik melalui
Majelis Taklim maupun lembaga-lembaga pembinaan umat lainnya. Inilah semua
menjadi bagian dari kerja-kerja Kementerian Agama, yang tugas dan fungsinya mengurusi
agama dan pendidikan keagamaan. Misalnya, dengan mengefektifkan program Madrasah
Diniyah Takmiliyah (MDT), yang saat ini berjumlah: MDT Ula: 60.834, MDT Wustha:
9.759, dan MDT Ulya: 2.488. Kehadiran MDT tersebut jangan sekadar hanya
mengejar lisensi “sertifikat” bagi anak-anak SD sebagai syarat melanjutkan
sekolah pada tingkatan selanjutnya, tetapi dapat pula difungsikan sebagai sarana
pendidikan pembinaan keluarga sakinah, khususnya bagi Catin yang memiliki
standar pendidikan umum, dengan mengikuti proses pendidikan pra nikah dan
bersertifikat. Jadi, salah satu syarat administrasi di KUA wajib menunjukkan
sertifikat dari MDT tersebut.
Termasuk
dalam hal menangkal paham-paham radikalisasi keagamaan di sekolah-sekolah dan
pendidikan tinggi, penting Kementerian Agama menghadirkan referensi-referensi
yang mendukung dan memobilisasi tingkat pemahaman anak-anak bangsa. Tapi
bagaimana bisa, misalnya saja ketersediaan Kitab Suci Al-Qur’an di
masjid-masjid amat sangat terbatas, belum lagi referensi-referensi standar
lainnya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh sebagian kalangan “berpaham radikal”
memasukkan literatur sesuai dengan haluan pemikiran dan ideologinya. Data
menunjukkan, jumlah Masjid di Indonesia sekitar 800.000, berdasarkan data Dewan
Masjid Indonesia (DMI) menunjukkan bahwa setiap 200 orang (85% Muslim/222,7
juta) terdapat 1 masjid atau mushalla. Sementera pengadaan pencetakan kitab
suci Al-Qur’an di LPQ hanya mampu mencetak 2 juta mushaf al-Qur’an dalam satu
tahun. Artinya, setiap masjid/mushalla hanya memiliki 2 mushaf al-Qur’an dalam
satu tahun. Jadi butuh sekitar 10 tahun. Di lain pihak, data perkiraan
menunjukkan bahwa ada sekitar 54% umat Islam Indonesia masih buta huruf
al-Qur’an, itu berarti ada sekitar 122,258 juta yang belum bisa mengakses
terhadap kitab sucinya. Penyebabnya macam-macam, bisa saja karena tidak ada
guru ngaji, malas belajar, tidak ada budaya mengaji al-Qur’an dalam keluarga,
atau memang tidak memiliki mushaf al-Qur’an. Termasuk penyediaan al-Qur’an
Brille bagi umat Islam yang berkebutuhan khusus masih sangat terbatas dengan
jumlah penyandang tunanetra kurang lebih 600.000 orang.
Belum
lagi dalam upaya menangkal paham radikal, maka penting dan urgen hadirnya
referensi-referensi Islam yang rahmatan lil alamiin, seperti pengadaan
kitab-kitab fiqih, tauhid, akhlak berstandar ahlussunnah wal jamaah, terutama
di setiap kelompok Majelis Taklim. Demikian pula dengan kondisi yang dialami
oleh umat Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Saya yakin mengalami
hal yang serupa.
Berdasarkan
kasus-kasus di atas, maka penyediaan data yang komprehensif bagi Kementerian
Agama sangat diperlukan sebagai indikator dalam pengambilan kebijakan-kebijakan
untuk mengatasi berbagai problematika pembangunan umat beragama dan
keberagamaan di Indonesia di masa akan datang. Indikator-indikator tersebut
kemudian dijadikan capaian target yang bisa diukur, sehingga saat pembangunan
sedang dan selesai dilaksanakan dapat dilakukan monitoring dan evaluasi dengan
pengukuran yang jelas.
Kenapa
Evaluasi?
Dengan
melakukan evaluasi, kita akan memperoleh kinerja atau berbagai kemajuan yang
telah dapat dicapai dalam suatu periode. Apakah kinerja yang kita capai
tersebut sudah sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena
itu, ketersediaan data-data di dalam indikator kinerja tersebut mutlak
diperlukan dalam suatu proses evaluasi. Dengan demikian, kita akan bisa
mengukur sejauhmana kesenjangan antara target dan capaian. Dengan mengetahui
kesenjangan yang terjadi, maka kita bisa melakukan identifikasi atas berbagai
faktor penyebab terjadinya kesenjangan tersebut. Apakah disebabkan oleh faktor
internal atau dari faktor eksternal. Selanjutnya, Pemerintah dapat mengambil
langkah-langkah program dan kebijakan ke depannya.
Akurasi
Data
Ketersediaan
data yang aktual dan akurat amat dibutuhkan dan dapat digunakan sebagai acuan
dalam rangka menentukan perencanaan dan evaluasi program-program pembangunan. Dengan
menggunakan sample pendataan yang besar dan standard error sekecil
mungkin, tentu data yang dihasilkan akan semakin akurat. Untuk mendapatkan data
yang akurat ini pada level tertentu sangat sulit diperoleh belum lagi ditambah
dengan kesulitan mendapatkan data yang terbaru (up to-date). Tanpa
data yang akurat dan up to-date, hasil evaluasi dan perencanaan
akan menghasilkan data atau pun informasi yang keliru. Hal ini akan
mengakibatkan salahnya perencanaan maupun pengalokasian anggaran pembangunan
untuk tahun berikutnya. Sebagai contoh, dengan salahnya data kependudukan akan
menyebabkan pembangunan di masa depan menjadi tidak terarah dan berakibat tidak
terbaginya kue pembangunan kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Permasalahan-permasalahan
tersebut terutama ditimbulkan karena kurangnya koordinasi dan sinkronisasi data
yang ada pada berbagai institusi, di luar ketersediaan SDM maupun biaya untuk
proses pengumpulan dan pengolahan data yang terbatas. Misalnya, di lapangan
sangat sering kali ditemukan elemen data yang sama tapi nilai yang
berbeda-beda, baik sesama instansi pemerintah maupun dengan BPS. Data jumlah
penduduk yang dikeluarkan oleh BPS dengan Badan KB dan PP berbeda, data jumlah
penduduk miskin yang dikeluarkan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dengan BPS
berbeda. Sedangkan di satu Instansi yang sama, data yang diberikan bisa berubah
apabila diminta pada waktu yang berbeda dalam kurun waktu yang tidak terlalu
lama dari permintaan data yang pertama. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya
masih ada yang tidak mengerti pentingnya data yang diminta dan implikasinya ke depan
akibat data yang diberikan itu tidak akurat dan valid.
Untuk
itu diperlukannya koordinasi yang cukup intens untuk menyinkronkan data-data
yang akan diterbitkan nantinya. Jangan sampai setelah dipublikasikan muncul
perdebatan dan permasalahan-permasalahan diakibatkan berbedanya data yang
diterima oleh pengguna data. Untuk itu diperlukan kesepakatan bersama antara institusi
dan satuan kerja dalam mempublikasikan data-datanya. Karena itu, penting
tersedianya basis data (database) yang up to-date,
terpercaya, dan valid.
Wallahu
a’lam bish-shawab
[1]Makalah ini disampaikan
pada kegiatan “Penyusunan Draft Evaluasi Program dan Anggaran Kementerian
Agama Tahun 2015-2018”, tanggal 12 Maret 2019 di Hotel 101 Bogor
Suryakencana, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar