Selasa, 15 November 2022

PERAN DATA DALAM EVALUASI

Mukhtar Alshodiq[1]

 

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menegaskan bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada “data” dan “informasi” yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ada 2 frase yang penting digarisbawahi pada kesempatan saat ini, yaitu: “Data” dan “Evaluasi”. Pertama, data adalah keterangan objektif tentang suatu fakta yang ada di lapangan, baik dalam bentuk kuantitatif, kualitatif maupun gambar visual (image) yang diperoleh, baik melalui observasi langsung maupun dari data yang sudah terkumpul dalam bentuk cetakan atau perangkat penyimpan lainnya. Data dapat berupa peristiwa atau kejadian atau fenomena alam yang berlangsung di masyarakat. Oleh karena itu, data yang diperoleh haruslah berupa “fakta” bukan hasil manipulasi apalagi rekayasa. Agar data tersebut tersampaikan kepada publik atau ke pihak yang berkepentingan (stakeholders), maka penting pula didukung oleh sebuah perangkat informasi, yaitu data yang sudah terolah digunakan untuk mendapatkan suatu interpretasi tentang suatu fakta. Dengan demikian, data akan berubah menjadi informasi apabila keberadaannya mampu mengubah seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan.

Data yang masih dalam bentuk kuantitatif, kualitatif, atau gambar visual penting untuk dinarasikan dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar serta harus didukung oleh performance (perwajahan) sebaik mungkin pula, agar muatan yang terkandung di dalam data tersebut mampu tersampaikan dan dapat dicerna oleh publik dengan baik. Oleh karena itu, di sinilah letak pentingnya menghadirkan perangkat “informasi”, baik dalam bentuk digital maupun cetak.

Adapun data yang digunakan dalam perencanaan pembangunan adalah data yang telah menjadi informasi sehingga menjadi bahan untuk menetapkan tindakan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik daripada keadaan sebelumnya.

Dengan memiliki basis data (database) dan informasi yang valid dan terukur, maka proses perencanaan pembangunan yang baik dan komprehensif akan menjadi titik penting untuk berhasilnya suatu pembangunan. Karena pembangunan merupakan proses perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.

Kedua, menurut ketentuan Pasal 1 angka (3) PP Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan bahwa evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar yang telah ditetapkan. Karena itu, evaluasi merupakan sebuah penilaian yang objektif dan sistematis terhadap suatu intervensi yang direncanakan untuk menentukan pentingnya suatu kegiatan, kebijakan atau program. Evaluasi dilakukan dengan maksud untuk dapat mengetahui secara pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan, dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan rencana pembangunan dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan rencana pembangunan di masa yang akan datang. Dengan demikian, fokus utama evaluasi diarahkan kepada keluaran (outputs), hasil (outcomes), dan dampak (impacts) dari pelaksanaan rencana pembangunan. Oleh karena itu, dalam perencanaan yang transparan dan akuntabel harus disertai dengan penyusunan indikator kinerja pelaksanaan rencana, yang sekurang-kurangnya meliputi; (i) indikator masukan (input), (ii) indikator keluaran (outputs), dan (iii) indikator hasil/manfaat (outcomes/impacts).

Sebagai tindak lanjut dari sistem keterbukaan informasi publik dan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 dan UU No. 25 Tahun 2009, maka pengelolaan data dan informasi Kementerian Agama diatur lebih lanjut dalam KMA No. 440 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Data dan Informasi pada Kementerian Agama bahwa data dan informasi merupakan aset dan sumber daya yang esensial bagi organisasi. Oleh karena itu, data perlu dikelola secara akurat, berkesinambungan, efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan terintegrasi, karena data memiliki fungsi yang sangat penting bagi kinerja dan kelancaran kerja suatu instansi pemerintah.

Mengingat begitu pentingnya menghadirkan data yang akurat bagi Kementerian Agama dalam upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance) dalam posisinya sebagai kementerian vertikal, dengan mencapai 4.484 satuan kerja yang tersebar di 34 provinsi, dengan variabel data yang masih dikelola oleh masing-masing satuan kerja, maka penting menghadirkan satu sistem alur pengelolaan data yang utuh dan menyeluruh. Karena begitu gemuknya kewenangan yang diemban oleh Kementerian Agama menjalankan Tupoksinya dalam urusan agama dan pendidikan agama serta menjadi ciri khas dalam berbangsa dan bernegara di NKRI ini, maka sesungguhnya kehadiran “Kementerian Agama” adalah untuk menyelamatkan kehidupan seluruh warga negara di dunia hingga di akhirat, dengan semboyan utamanya: “Ikhlas Beramal” (mukhlisin), yang kemudian dijelmakan dalam prinsip-prinsip 5 (lima) Budaya Berja Kementerian Agama, yaitu: Integritas, Profesionalitas, Inovasi, Tanggung Jawab, dan Keteladanan.

Kementerian Agama dalam posisinya sebagai penyelenggara urusan di bidang agama dan pendidikan keagamaan dalam pemerintahan, maka kemudian menyusun berbagai program strategi untuk menjaga “keutuhan umat beragama” dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Misalnya, menghadirkan program beasiswa, asuransi bagi jemaah haji yang kecelakaan dan meninggal dunia, nikah gratis di KUA, bantuan sarana dan prasarana tempat ibadah dan pendidikan, dan lain sebagainya. Program-program yang dihadirkan Kementerian Agama sesungguhnya mengacu pada ketentuan “money follow program” dengan berbasis kinerja (sebagaimana diatur pada Pasal 3 PP No. 17/2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional). Artinya, penggunaan anggaran negara harus mengacu pada program-program yang produktif, bukan sekadar mengadakan kegiatan untuk mengejar target penyerapan anggaran semata.

Tampilnya bangunan-bangunan KUA, Kampus PTKIN, dan Asrama Haji di daerah-daerah yang bagus nan cantik serta peningkatan akses dan mutu madrasah semakin menunjukkan eksistensi pemberdayaan Kementerian Agama secara nyata di tengah-tengah masyarakat dengan memanfaatkan instrumen pembiayaan yang bersumber dari SBSN sebagai upaya percepatan pembangunan infrastruktur di lingkungan Kementerian Agama.

Saat ini, Kementerian Agama melalui Ditjen PHU misalnya tengah berjibaku menghadirkan program “Jemaah Haji Mandiri”, bukan berarti mandiri segalanya, tetapi setiap jemaah haji diupayakan mampu mandiri menjalankan segala hal yang terkait dengan proses perhajiannya melalui proses pembelajaran/manasik haji, agar setiap jemaah mampu menggapai haji mabrur sebagai tujuan utamanya, yang tercermin dalam kesalehan individu dan kesalehan sosial.

Kementerian Agama (Ditjen PHU) telah mengatur dengan berbagai regulasinya, mulai dari alur pendaftaran, sistem antrian, manasik haji dan umrah, pemberangkatan, asuransi, pelayanan selama di Tanah Suci hingga tiba kembali di Tanah Air. Hanya saja berhenti di situ. Lepas dari bandara tujuan atau debarkasi, maka lepas sudah pembinaan terhadap ribuan jemaah haji itu. Padahal masih banyak di antara ribuan jemaah haji tersebut yang hanya sekadar menunaikan ibadah haji karena kemampuan finansialnya sudah “tercukupi”, tetapi sesungguhnya minim dalam hal pemahaman dan pelaksanaan ajaran Islam lainnya sehingga masih jauh dari harapan menjadikan jemaah haji sebagai agent of change. Di sinilah pentingnya kehadiran data jemaah haji yang akurat di setiap daerah, agar pembinaan dan pembimbingan secara berkelanjutan dapat dilakukan oleh para penghulu secara optimal di daerah-daerah. Coba kita bandingkan dengan sistem pengelolaan dan pembinaan yang dilakukan oleh KBIH-KBIH dan Travel Haji dan Umrah di daerah dengan fasilitas dan biaya sendiri, tetapi mampu tetap menjalim silaturahim dengan mantan-mantan jemaah hajinya.

Pemberdayaan para penghulu, baik PNS maupun non-PNS merupakan suatu keniscayaan karena sesungguhnya mereka menjadi ujung tombak Kementerian Agama dalam mensosialisasikan program-programnya secara langsung kepada masyarakat. Misalnya, saat ini Kementerian Agama tengah menghadirkan sistem aplikasi “siaga dini konflik keagamaan” oleh Litbang Agama dengan mengoptimalkan kinerja para penghulu di daerah.

Belum lagi sistem pembinaan keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah (SAMAWA) di Kantor Urusan Agama (KUA), sesungguhnya belum mampu memberikan dampak yang signifikan terwujudnya keluarga SAMAWA, karena keterbatasan jangkauan dan waktu bagi KUA dalam memberikan Kursus Calon Pengantin (Suscatin), hanya sesaat setelah Catin mendaftarkan diri di KUA. Sementara data tingkat perceraian di Pengadilan Agama Kota Bekasi tahun 2017 lalu misalnya mencapai 2.213 kasus perceraian, yang pada umumnya karena perselingkuhan dan kawin lagi. Padahal membangun keluarga SAMAWA sebagai tujuan dari perkawinan itu penting dengan menghadirkan program-program pelayanan keagamaan secara berkesinambungan dan berkelanjutan, baik melalui Majelis Taklim maupun lembaga-lembaga pembinaan umat lainnya. Inilah semua menjadi bagian dari kerja-kerja Kementerian Agama, yang tugas dan fungsinya mengurusi agama dan pendidikan keagamaan. Misalnya, dengan mengefektifkan program Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT), yang saat ini berjumlah: MDT Ula: 60.834, MDT Wustha: 9.759, dan MDT Ulya: 2.488. Kehadiran MDT tersebut jangan sekadar hanya mengejar lisensi “sertifikat” bagi anak-anak SD sebagai syarat melanjutkan sekolah pada tingkatan selanjutnya, tetapi dapat pula difungsikan sebagai sarana pendidikan pembinaan keluarga sakinah, khususnya bagi Catin yang memiliki standar pendidikan umum, dengan mengikuti proses pendidikan pra nikah dan bersertifikat. Jadi, salah satu syarat administrasi di KUA wajib menunjukkan sertifikat dari MDT tersebut.

Termasuk dalam hal menangkal paham-paham radikalisasi keagamaan di sekolah-sekolah dan pendidikan tinggi, penting Kementerian Agama menghadirkan referensi-referensi yang mendukung dan memobilisasi tingkat pemahaman anak-anak bangsa. Tapi bagaimana bisa, misalnya saja ketersediaan Kitab Suci Al-Qur’an di masjid-masjid amat sangat terbatas, belum lagi referensi-referensi standar lainnya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh sebagian kalangan “berpaham radikal” memasukkan literatur sesuai dengan haluan pemikiran dan ideologinya. Data menunjukkan, jumlah Masjid di Indonesia sekitar 800.000, berdasarkan data Dewan Masjid Indonesia (DMI) menunjukkan bahwa setiap 200 orang (85% Muslim/222,7 juta) terdapat 1 masjid atau mushalla. Sementera pengadaan pencetakan kitab suci Al-Qur’an di LPQ hanya mampu mencetak 2 juta mushaf al-Qur’an dalam satu tahun. Artinya, setiap masjid/mushalla hanya memiliki 2 mushaf al-Qur’an dalam satu tahun. Jadi butuh sekitar 10 tahun. Di lain pihak, data perkiraan menunjukkan bahwa ada sekitar 54% umat Islam Indonesia masih buta huruf al-Qur’an, itu berarti ada sekitar 122,258 juta yang belum bisa mengakses terhadap kitab sucinya. Penyebabnya macam-macam, bisa saja karena tidak ada guru ngaji, malas belajar, tidak ada budaya mengaji al-Qur’an dalam keluarga, atau memang tidak memiliki mushaf al-Qur’an. Termasuk penyediaan al-Qur’an Brille bagi umat Islam yang berkebutuhan khusus masih sangat terbatas dengan jumlah penyandang tunanetra kurang lebih 600.000 orang.

Belum lagi dalam upaya menangkal paham radikal, maka penting dan urgen hadirnya referensi-referensi Islam yang rahmatan lil alamiin, seperti pengadaan kitab-kitab fiqih, tauhid, akhlak berstandar ahlussunnah wal jamaah, terutama di setiap kelompok Majelis Taklim. Demikian pula dengan kondisi yang dialami oleh umat Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Saya yakin mengalami hal yang serupa.

Berdasarkan kasus-kasus di atas, maka penyediaan data yang komprehensif bagi Kementerian Agama sangat diperlukan sebagai indikator dalam pengambilan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi berbagai problematika pembangunan umat beragama dan keberagamaan di Indonesia di masa akan datang. Indikator-indikator tersebut kemudian dijadikan capaian target yang bisa diukur, sehingga saat pembangunan sedang dan selesai dilaksanakan dapat dilakukan monitoring dan evaluasi dengan pengukuran yang jelas.

 

Kenapa Evaluasi?

Dengan melakukan evaluasi, kita akan memperoleh kinerja atau berbagai kemajuan yang telah dapat dicapai dalam suatu periode. Apakah kinerja yang kita capai tersebut sudah sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, ketersediaan data-data di dalam indikator kinerja tersebut mutlak diperlukan dalam suatu proses evaluasi. Dengan demikian, kita akan bisa mengukur sejauhmana kesenjangan antara target dan capaian. Dengan mengetahui kesenjangan yang terjadi, maka kita bisa melakukan identifikasi atas berbagai faktor penyebab terjadinya kesenjangan tersebut. Apakah disebabkan oleh faktor internal atau dari faktor eksternal. Selanjutnya, Pemerintah dapat mengambil langkah-langkah program dan kebijakan ke depannya.

 

Akurasi Data

Ketersediaan data yang aktual dan akurat amat dibutuhkan dan dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka menentukan perencanaan dan evaluasi program-program pembangunan. Dengan menggunakan sample pendataan yang besar dan standard error sekecil mungkin, tentu data yang dihasilkan akan semakin akurat. Untuk mendapatkan data yang akurat ini pada level tertentu sangat sulit diperoleh belum lagi ditambah dengan kesulitan mendapatkan data yang terbaru (up to-date). Tanpa data yang akurat dan up to-date, hasil evaluasi dan perencanaan akan menghasilkan data atau pun informasi yang keliru. Hal ini akan mengakibatkan salahnya perencanaan maupun pengalokasian anggaran pembangunan untuk tahun berikutnya. Sebagai contoh, dengan salahnya data kependudukan akan menyebabkan pembangunan di masa depan menjadi tidak terarah dan berakibat tidak terbaginya kue pembangunan kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Permasalahan-permasalahan tersebut terutama ditimbulkan karena kurangnya koordinasi dan sinkronisasi data yang ada pada berbagai institusi, di luar ketersediaan SDM maupun biaya untuk proses pengumpulan dan pengolahan data yang terbatas. Misalnya, di lapangan sangat sering kali ditemukan elemen data yang sama tapi nilai yang berbeda-beda, baik sesama instansi pemerintah maupun dengan BPS. Data jumlah penduduk yang dikeluarkan oleh BPS dengan Badan KB dan PP berbeda, data jumlah penduduk miskin yang dikeluarkan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dengan BPS berbeda. Sedangkan di satu Instansi yang sama, data yang diberikan bisa berubah apabila diminta pada waktu yang berbeda dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama dari permintaan data yang pertama. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya masih ada yang tidak mengerti pentingnya data yang diminta dan implikasinya ke depan akibat data yang diberikan itu tidak akurat dan valid.

Untuk itu diperlukannya koordinasi yang cukup intens untuk menyinkronkan data-data yang akan diterbitkan nantinya. Jangan sampai setelah dipublikasikan muncul perdebatan dan permasalahan-permasalahan diakibatkan berbedanya data yang diterima oleh pengguna data. Untuk itu diperlukan kesepakatan bersama antara institusi dan satuan kerja dalam mempublikasikan data-datanya. Karena itu, penting tersedianya basis data (database) yang up to-date, terpercaya, dan valid.

Wallahu a’lam bish-shawab



[1]Makalah ini disampaikan pada kegiatan “Penyusunan Draft Evaluasi Program dan Anggaran Kementerian Agama Tahun 2015-2018”, tanggal 12 Maret 2019 di Hotel 101 Bogor Suryakencana, Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar