Selasa, 15 November 2022

A’BAJI’DALAM SISTEM PERKAWINAN MASYARAKAT KINDANG - BULUKUMBA

Mukhtar Alshodiq

 

Abstrak

Praktik sistem perkawinan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pengaruh hukum agama dan hukum adat yang dianut dan berlaku dalam masyarakat setempat. Karena itu, perkawinan baru dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun penting ditekankan bahwa unsur ajaran agama dan kepercayaan dalam praktik perkawinan di Indonesia itu saling mengisi, berkolaborasi, beriringan, atau saling berpisah satu sama lain sepanjang sesuai dengan dinamika perkembangan sosial yang dihadapinya.

Ketentuan di atas dapat kita telusuri lebih dalam melalui penyelenggaraan acara “a’baji’” dalam sistem perkawinan yang dipraktikkan masyarakat yang ada di Kabupaten Bulukumba sejak turun temurun. Kata “a’baji’” sendiri berasal dari bahasa “Konjo”, yaitu bahasa lokal masyarakat Bulukumba selain bahasa Bugis dan Makassar. Kata “a’baji’” dengan kata dasar “baji’”, artinya: baik, enak. Kemudian mendapatkan sufiksi atau tambahan kata “a’”. Sedangkan dalam bahasa Bugis disebut dengan istilah “maddeceng”. Artinya, suatu acara yang diselenggarakan untuk memperbaiki kembali (merehabilitasi diri), di mana kedua mempelai (suami/istri) kembali kepada orangtua atau keluarga perempuan untuk menyambung silaturrahmi, setelah keduanya melanggar patron adat perkawinan yang berlaku. Awal mula sehingga peristiwa a’baji’ atau maddeceng ini terjadi, karena calon mempelai lak-laki dan/atau perempuan tidak mendapatkan restu dari salah satu pihak keluarga dan/atau kedua belah pihak untuk menikah, dengan berbagai alasan stratifikasi sosial yang melatarbelakangi, sehingga kedua calon mempelai tersebut sepakat untuk pergi bersama-sama tanpa izin orangtua atau keluarga calon mempelai perempuan, yang disebut silariang. Atau seorang laki-laki dengan sengaja membawa pergi anak perempuan seseorang yang sudah dalam usia menikah tanpa izin atau sepengetahuan orangtua atau pihak keluarganya, yang kemudian dinamakan nalariang.

Dalam menganalisis, tulisan ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan penelitian hukum (legal research). Menurut Sugiyono bahwa desktiptif kualitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen), di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci teknik pengumpulan data yang dilakukan secara tringulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk menggambarkan, melukiskan, menerangkan, menjelaskan, dan menjawab secara lebih rinci permasalahan yang akan diteliti dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok atau suatu kejadian. Sedangkan legal research dapat digunakan tidak hanya pada fakta hukum, peraturan hukum, buku-buku hukum, kasus-kasus hukum, atau referensi yang digunakan dalam penelitian hukum, melainkan dapat juga dilakukan penelitian pada perilaku individu-individu dalam masyarakat (behavioral jurisprudence) atau sering pula disebut dengan istilah “penelitian hukum empiris/sosiologis/socio-legal.

Kata Kunci: Sistem perkawinan, a’baji’, silariang, mallariang, mappaenre’, Bulukumba

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebelum lahirnya undang-undang tentang perkawinan, pelaksanaan perkawinan di Indonesia diatur dalam tatanan hukum adat yang begitu apik, berlaku dalam setiap kelompok masyarakat tertentu, sehingga dapat ditemukan beraneka ragam adat istiadat pelaksanaan perkawinan di Nusantara dengan latar belakang budaya masing-masing. Ditambah lagi dengan masuk dan dianutnya ajaran-ajaran agama di Nusantara, semakin menambah bobot sakralitas perkawinan itu. Karena secara tidak langsung, pelaksanaan perkawinan mempertemukan dan menggabungkan dua unsur ‘keyakinan’ dengan sumber yang berbeda, dalam satu kesatuan rumpung keluarga, yang kedua-duanya diyakini dan dipraktikkan secara bersamaan pula tanpa saling mengindahkan dan/atau mempertentangkan. Inilah salah satu bentuk pengejawantahan antara adat istiadat dan ajaran agama, yang membedakan pelaksanaan sistem perkawinan di Indonesia dengan negara-negara lainnya di dunia.

Bagi masyarakat adat, perkawinan merupakan hal yang sangat sakral, karena mempertemukan dua rumpung keluarga dengan latar belakang kepribadian dan sosio-kultural (interculture) yang ‘kemungkinan’ berbeda, sekalipun dalam stratifikasi sosial yang sama. Misalnya, kedua keluarga berasal dari keturunan raja atau keduanya sama-sama memiliki kedudukan atau jabatan, atau status sosial yang terpandang tetapi berbeda suku dan budaya. Apalagi kalau antar-keduanya memiliki strata sosial atau kasta yang berbeda, maka hukum adat semakin mengikat tatanan kehidupan sosial antar-kedua mempelai. Misalnya, keturunan raja perempuan menikah dengan laki-laki dalam strata sosial orang biasa, menurut adat ketika kemudian anak-anaknya lahir, maka mereka tidak berhak menyandang tambahan “nama” sebagai identitas keturunan raja, seperti: “Andi” bagi keturunan bangsawan Bugis atau “Karaeng” bagi keturunan bangsawan Makassar. Termasuk dalam penentuan “mahar” (sunrang) atau sompa dalam bahasa Bugis pun sangat ditentukan oleh kasta kedua keluarga mempelai. Kasta inilah sebagai standar untuk menentukan dan menetapkan mahar bagi perempuan yang dilamar dan penentuan uang atau biaya resepsi perkawinan. Dalam kebiasaan, mahar ini bisa dalam bentuk: uang, kebun cengkeh, kebun kopi, sawah, empang, dan sebagainya. Namun dalam masyarakat adat tidak menganut adanya praktik perkawinan antar-agama yang berbeda keyakinan.

Begitu kuatnya pengaruh adat dalam hubungan perkawinan, karena akan membentuk dan menjalin hubungan kekeluargaan dan mempersatukan dua keluarga besar dalam satu rumpung keluarga nantinya, sehingga kasta harus tetap dipertahankan, bahkan ini juga mempengaruhi dalam sistem kewarisan. Pengaruh adat ini pula yang seringkali mempengaruhi bahkan menentukan lamaran seorang laki-laki diterima atau ditolak oleh pihak keluarga perempuan, sekalipun antar-keduanya sudah saling kenal lama, tetapi ada kalanya hubungan itu akan dipaksa/terpaksa “berhenti”, karena pengaruh unsur-unsur di atas.

Belum ada lagi adanya syarat-syarat perkawinan adat yang sebagian calon pengantin laki-laki dan keluarga begitu memberatkan, terutama “biaya perkawinan”[1] (uang panai’), sehingga biasanya keluarga calon pengantin laki-laki jauh-jauh hari sebelum melamar sudah harus mempersiapkan “modal”, baik dalam bentuk uang, beras, kayu, hewan (sapi/kuda/kerbau), sunrang/sompa, dan sebagainya. Karena uang panai’ ini adalah bagian dari siri[2] untuk menjaga, melindungi, dan mempertahankan marwah status sosialnya di mata calon keluarga mempelai perempuan.

Dalam pada itu, seringkali terjadi pemaksaan kehendak, di mana seorang laki-laki menabrak patron-patron adat yang begitu kokoh itu hanya sekadar untuk memenuhi dan mewujudkan “cinta-kasih” yang sudah lama terjalin itu, dengan cara yang melanggar ketentuan-ketentuan adat setempat, yaitu: sepasang laki-laki dan perempuan sepakat pergi ke suatu tempat atau daerah tanpa sepengetahuan dan seizin orangtua dan sanak keluarga perempuan atau dikenal dengan istilah kawin lari (silariang) atau seorang laki-laki membawa kabur anak perempuan seseorang tanpa izin orangtua dan sanak keluarganya (mallariang).

Kedua bentuk perkawinan di atas sudah terjadi dan dipraktikkan sejak turun temurun dalam masyarakat adat di Kindang – Kabupaten Bulukumba. Faktor utama seorang laki-laki terpaksa melakukan kawin silariang atau mallariang adalah, karena:

1.       Keluarga tidak direstui hubungan mereka, dengan pertimbangan: status sosial (seperti: perbedaan kasta; keturunan raja dengan orang biasa/to biasa, perbedaan budaya, pergaulan, agama, dan lain sebagai).

2.       Keluarga pihak calon mempelai laki-laki tidak mampu memenuhi standar persyaratan penyelenggaraan perkawinan, terutama uang atau biaya perkawinan (doi’ panai’). Uang atau biaya perkawinan ini biasanya ditentukan oleh keluarga besar calon mempelai perempuan, yaitu: saudara-saudara orangtua dan para sepupu (sepupu satu kali = tingkatan pertama dari keturunan saudara kandung orangtua) calon mempelai perempuan, bahkan biasanya orangtua tidak terlibat dan hanya menjadi pendengar dalam pengambilan keputusan rapat tersebut.

3.       Seorang laki-laki dengan tekad membawa kabur anak perempuan seseorang secara paksa ke suatu daerah dengan cara mengelabui, kemudian dia mengirimkan kabar kepada keluarganya dan keluarga perempuan bahwa dia membawa anak perempuan si anu, maka anak perempuan tersebut terpaksa memenuhi kehendak laki-laki tersebut, karena pihak keluarganya sudah mencap dia di bawah kawin lari (nilariang) dan statusnya sebagai orang yang dalam keadaan anyyala (status perkawinan yang belum direstui dan disahkan oleh keluarganya). Kawin nilariang ini terjadi, biasanya perempuan tersebut cantik tetapi dia tidak mau menerima cinta laki-laki tersebut atau karena laki-laki tersebut dendam kepada keluarga perempuan, dan sebagainya.

4.       Seorang perempuan mendatangi laki-laki atau keluarga laki-laki yang dianggap telah mencederai martabatnya sebagai perempuan suci (mappaengre’ = Bugis atau appanai’ = Makassar). Misalnya: dia pernah dicium atau dipeluk atau si laki-laki pernah berjanji akan menikahinya tetapi kemudian dia ingkar janji atau dia tidak mau bertanggung jawab. Kondisi ini dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu: perempuan mendatangi laki-laki dan keluarganya minta pertanggungjawaban untuk dinikahi oleh laki-laki pujaannya itu, maka: (a) pihak keluarga laki-laki meminta perempuan tersebut kembali ke rumahnya dan akan segera mendatangi keluarganya untuk melamarnya sesuai adat perkawinan yang berlaku; (b) apabila perempuan tersebut tidak mau kembali ke rumahnya, karena misalnya sudah hamil, maka dia akan diserahkan terlebih dahulu ke imam desa atau imam dusun kemudian laki-laki tersebut menikahinya tanpa disaksikan oleh keluarga perempuan dan pastinya tidak tercatat pernikahannya di KUA atau di Kantor Catatan Sipil (nikah siri). Dalam masa perkawinannya itu perempuan berada dalam lindungan suaminya dan keluarga suaminya dalam statusnya sebagai mayyala, sehingga dia harus menyembunyikan dirinya dari pihak keluarganya, hingga laki-laki tersebut memiliki kemampuan untuk datang menyambung silaturrahmi dengan keluarga istrinya (ma’baji’) untuk memulihkan kembali nama baik dan martabatnya serta martabat istrinya di mata keluarga istrinya (appaengteng atau mappatettong siri’); (c) apabila laki-laki yang didatangi tidak mau bertanggungjawab atas perbuatannya kepada perempuan tersebut, kemudian perempuan tersebut menyerahkan diri kepada imam dusun atau imam desa setempat. Namun tidak lama kemudian ada laki-laki lain yang mau menikahi perempuan tersebut secara sukarela, maka kedudukan laki-laki ini dianggap sebagai pemenuhan harkat dan martabat perempuan tersebut atau dikenal dengan istilah pattongko’ siri’. Kemudian dia bersama suaminya itu datang menemui keluarganya untuk kembali memulihkan nama baiknya dan menyambung silaturrahmi (ma’baji’); serta (d) dalam masa nilariang (pelariannya) itu, tiba-tiba suami siri perempuan tersebut meninggal dunia atau kabur dari tempat tinggalnya selama ini, sehingga tidak diketahui lagi alamatnya dan tidak ada lagi kabar tentang kondisi hidup-matinya, maka perempuan tersebut dapat juga mengupayakan dirinya sendiri untuk kembali memulihkan martabat dan menyambung jalinan silaturrahmi dengan keluarganya melalui upacara ma’baji’.

Keempat faktor di atas itulah yang menjadi dasar sehingga laki-laki dan perempuan melakukan upaya: silariang, mallariang/nilariang, dan appanai’ atau mappaengre’ dalam budaya perkawinan masyarakat di Kindang.

Selain itu, sebagai masyarakat penganut agama Islam mayoritas, masyarakat adat Kindang sangat patuh terhadap simbol-simbol dan identitas keagamaannya, apalagi kalau hal itu langsung bersinggungan dengan adat istiadatnya, maka pasti ditegakkan dengan segala upayanya. Karena perkawinan merupakan perpaduan praktik keagamaan dan adat istiadat, maka secara otomatis masyarakat Kindang menyakini bahwa dalam ajaran Islam dilarang adanya hubungan seksual di luar pernikahan sesuai dengan ketentuan ajaran agama serta adat istiadat, maka apabila terjadi praktik kawin: silariang, mallariang/nilariang, maka pihak aparat dan tokoh masyarakat setempat sesegera mungkin menikahkan mereka, dengan memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan dalam ajaran Islam sesuai kemampuan kedua mempelai, walau tidak dihadiri dan disaksikan oleh pihak keluarga kedua mempelai atau dikenal dengan istilah “kawin di bawah tangan”. Di mana yang bertindak sebagai penghulu adalah imam desa atau imam dusun atau tokoh agama setempat. Calon mempelai laki-laki menyerahkan mahar (maskawin) dan kadang mengadakan acara syukuran semampunya serta disaksikan oleh masyarakat atau orang-orang tertentu di tempat tersebut. Praktik perkawinan tersebut dianggap dalam keadaan darurat dan hanya jalan itulah satu-satunya agar kedua pasang tersebut terhindar dari perbuatan zina.

 

Kerangka Konseptual

Silariang adalah suatu tindakan yang didahului adanya kesepakatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan pergi secara bersama-sama ke suatu tempat/daerah untuk menjalin hubungan perkawinan dan melangsungkan kehidupannya sebagai suami dan istri, tanpa izin dan persetujuan orangtua dan keluarga perempuan terlebih dahulu.

Mallariang adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang laki membawa pergi seorang perempuan, baik karena sepakat maupun terpaksa untuk dinikahi ke suatu tempat/daerah dan melangsungkan kehidupannya sebagai suami dan istri, tanpa izin dan persetujuan orangtua dan keluarga perempuan terlebih dahulu.

Nilariang adalah suatu tindakan di mana seorang perempuan dibawa pergi oleh seorang laki, baik karena sepakat maupun terpaksa untuk menikah ke suatu tempat/daerah dan melangsungkan kehidupannya sebagai suami dan istri, tanpa izin dan persetujuan orangtua dan keluarga perempuan terlebih dahulu.

Mappaengre’ (Bugis) atau appanai (Makassar) adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan mendatangi dan melaporkan tindakan asusila atau pelecehan seksual seorang laki-laki kepada imam dusun/imam desa wilayah tempat tinggal laki-laki tersebut, baik dalam keadaan hamil atau tidak hamil.

Ma’baji’ adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pasangan suami dan istri yang telah melakukan tindakan silariang, mallariang, nilariang atau mappaenre’/appanai untuk kembali memperbaiki nama baiknya dan menjalin hubungan silaturahmi dalam statusnya sebagai orang yang diasingkan (manyyala) kepada orangtua dan keluarga besar istrinya, dengan mengikuti adat upacara a’baji.

Siri’ adalah marwah harkat dan martabat serta jati diri setiap individu dalam batasan kriteria atau standar adat masyarakat Bugsi-Makassar yang wajib dijaga, dilindungi, dan dipertahankan sepanjang masa.

 

Kerangka Teoritis

…………….

 

METODE PENELITIAN

Dalam menganalisis pokok masalah di atas, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif (qualitative descriptive analysis), dengan pendekatan penelitian hukum (legal research).

Menurut Sugiyono bahwa desktiptif kualitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen), di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci teknik pengumpulan data dilakukan secara tringulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2016:9).

Adapun postpositivisme sendiri merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada positivisme. Postpositivisme sependapat dengan positivisme bahwa realitas itu memang nyata, ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain, postpositivisme berpendapat bahwa manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip triangulasi (gabungan), yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, dan lain-lain (sumber,…:…). Sedangkan  positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Positivisme muncul pada abad ke 19 dengan dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, sesungguhnya pendiri filsafat positivis adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Keyakinan dasar aliran positivisme berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Penelitian berupaya mengungkap kebenaran realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan (sumber,…:…).

Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk menggambarkan, melukiskan, menerangkan, menjelaskan, dan menjawab secara lebih rinci permasalahan yang akan diteliti dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok atau suatu kejadian (Sugiyono, 2016:9). Sedangkan legal research dapat digunakan tidak hanya pada fakta hukum, peraturan hukum, buku-buku hukum, kasus-kasus hukum, atau referensi yang digunakan dalam penelitian hukum, melainkan dapat juga dilakukan penelitian pada perilaku individu-individu dalam masyarakat (behavioral jurisprudence) atau sering pula disebut dengan istilah “penelitian hukum empiris/sosiologis/socio-legal (Peter M. Marzuki, …:…).

Studi ini dilakukan melalui penelitian lapangan (field reseacrh) di Desa Kindang Kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat termasuk kepada mantan pelaku perkawinan silariang dan nilariang melalui wawancara. Dalam wawancara tersebut dilakukan pendalaman materi terhadap kajian a’baji dalam praktik perkawinan masyarakat Kindang.

Sumber data yang diperoleh dari informan ini menjadi subjek penelitian, yang terdiri dari: kepala desa, imam desa, imam dusun, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta para pelaku perkawinan silariang dan nilariang. Data-data primer ini kemudian diperkuat dengan data skunder, berupa dokumen perpustakaan, seperti: buku, undang-undang, lontara’, makalah, jurnal, media online, dan website. Data-data yang terkumpul tersebut, kemudian dianalisis secara kualitatif deskriptif dengan pendekatan penelitian hukum.

 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Profil Desa Kindang

 

 

Tata Cara Melangsungkan Perkawinan dalam Masyarakat Adat Kindang

 

 

Praktik Perkawinan Silariang atau Nilariang

Ada beberapa bentuk praktik perkawinan bagi masyarakat adat Kindang selain menikah secara normal berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku seperti yang dijelaskan di atas, tetapi dapat juga dilakukan dengan melanggar ketentuan tersebut, sekalipun membawa konsekuensi sebagai perbuatan asusila serta bersedia untuk diasingkan, baik dalam jangka waktu yang tertentu maupun selamanya oleh keluarga besar pihak perempuan.

Bentuk-bentuk perkawinan yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku tetapi dapat diakomodiri oleh hukum adat bagi masyarakat Kindang adalah:

1.     Silariang

2.     Nilariang

3.     Mappaenre atau appanai’

 

Upacara A’baji’

Akibat tindakan seorang laki-laki membawa pergi seorang perempuan tanpa izin dan persetujuan orangtua dan keluarga si perempuan untuk menjalin hubungan dan membina rumah tangga sebagai suami-istri (silariang atau nilariang), maka selama masa pelariannya itu mereka berstatus sebagai orang yang diasingkan oleh keluarga besar perempuan (anyyala). Oleh karena itu, mereka tidak leluasa untuk bergerak dan pergi ke mana-mana, karena diri mereka terancam apabila ditemukan atau bertemu keluarga perempuan tersebut. Kalau pun secara tidak sengaja bertemu di suatu tempat, maka laki-laki dan perempuan tersebut dengan kesadarannya sendiri menghindar dan pergi menjauh.

Upaya untuk memulihkan kembali nama baiknya sebagai orang yang berstatus sebagai orang yang diasingkan oleh pihak keluarga besar perempuan, maka pihak laki-laki dan keluarganya memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa mereka akan kembali memulihkan nama baik dirinya bersama istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Cara untuk memulihkan nama baik orang yang berada dalam status sebagai tau nyala disebut a’baji, yaitu suatu upacara yang dilakukan oleh pihak orangtua perempuan dengan terlebih dahulu mengabarkan kepada seluruh keluarga besarnya tanpa terkecuali, kemudian menentukan hari dan tanggal pelaksanaan acara ma’baji’, lalu kembali orangtua perempuan mengundang seluruh keluarga besarnya itu untuk menghadiri acara ma’baji’ anak dan menantu beserta anak-anak yang dilahirkannya selama dalam masa pelariannya itu.

Acara ma’baji ini tidak jauh berbeda dengan acara resepsi pernikahan dalam perkawinan biasanya. Bedanya, karena diselingi adanya upacara a’baji serta acara resepsinya diadakan sangat sederhana, karena hanya dihadiri oleh sebagian keluarga laki-laki yang ikut mengantar dan keluarga perempuan saja.

Tata cara upacara a’baji dilakukan dengan ….

 

Pengesahan Perkawinan Silariang atau Nilariang

……………………

Kedudukan hukum anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan silariang atau nilariang, dan dampak hukumnya ketika orangtuanya cerai hidup atau cerai mati sebelum mendapatkan pengesahan perkawinan dari Pengadilan setempat.

Bagaimana negara melindungi dan memberi identitas anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan silariang atau nilariang untuk melegitimasi serta menjaga kedudukan anak yang dilahirkan itu sebagai anak yang berhak mendapatkan identitas kewarganegaraan yang sah dalam hukum yang berlaku di Indonesia.

 

Kedudukan Nikah Siri dalam Hukum Pidana Perkawinan Indonesia

…………………

 

 

PENUTUP

Kesimpulan

…………………

 

Rekomendasi

…………………

 

DAFTAR PUSTAKA

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: PT Alfabet.



[1]Istilah uang panai’ (Makassar) atau uang menre’ dalam bahasa Bugis lebih tepat disebut dengan uang atau biaya resepsi perkawinan. Karena dalam praktiknya, setelah pihak keluarga laki-laki melakukan upaya pendekatan untuk menelusuri jejak dan status calon mempelai perempuan (ma’manu’-manu’), di mana pihak laki-laki mendatangi keluarga perempuan secara diam-diam (rahasia), yang biasanya dilakukan oleh kalangan perempuan, untuk memastikan identitas dan status perempuan yang akan dilamar... Ketika seluruhnya  ketika keluarga atau perwakilan keluarga calon mempelai laki-laki datang melamar kepada keluarga calon perempuan dalam sebuah acara “lamaran”. Setelah lamaran diterima pihak perempuan mengajukan beberapa syarat yang terkait dengan kelangsungan acara perkawinan kedua mempelai.

[2]Dalam masyarakat adat Bugis-Makassar di setiap orang dari sejak kecil sudah ditanamkan tekad melalui petuah-petuah (paseng = Bugis atau pasang = Makkasar) orang tua untuk selalu memegang budaya siri’ dalam kehidupan sosial-bermasyakarat. Siri’ adalah harkat dan martabat atau nilai-nilai kemanusiaan dalam standar masyarakat Bugis-Makassar setiap individu yang wajib dijaga dan dilindungi. Apabila ada yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan, maka wajib ditegakkan kembali (appaengteng siri’ = Makassar atau dalam bahasa Bugir = mappatettong siri’), karena kalau seseorang yang dilarang siri’-nya lalu tidak ditegakkannya kembali, maka dia akan kehilangan siri’-nya (Bugis=ta’be siri’na). Ketika hilang martabat siri’-nya, misalnya karena takut (mapilloreng) dia tegakkan, maka di mata masyarakat dianggaplah dia sebagai orang yang mempermalukan atau merendahkan jati dirinya sebagai manusia yang bermartabat (mappakasiri’ siri’), maka di sinilah biasanya keluarga yang turun tangan menyelesaikannya, baik dengan cara bijaksana atau sekalin pun dengan kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar