A’BAJI’DALAM SISTEM PERKAWINAN MASYARAKAT KINDANG - BULUKUMBA
Mukhtar Alshodiq
Abstrak
Praktik
sistem perkawinan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pengaruh hukum agama
dan hukum adat yang dianut dan berlaku dalam masyarakat setempat. Karena itu, perkawinan
baru dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, sebagaimana
diatur pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun penting ditekankan bahwa unsur ajaran
agama dan kepercayaan dalam praktik perkawinan di Indonesia itu saling mengisi,
berkolaborasi, beriringan, atau saling berpisah satu sama lain sepanjang sesuai
dengan dinamika perkembangan sosial yang dihadapinya.
Ketentuan
di atas dapat kita telusuri lebih dalam melalui penyelenggaraan acara “a’baji’”
dalam sistem perkawinan yang dipraktikkan masyarakat yang ada di Kabupaten
Bulukumba sejak turun temurun. Kata “a’baji’” sendiri berasal dari
bahasa “Konjo”, yaitu bahasa lokal masyarakat Bulukumba selain bahasa Bugis dan
Makassar. Kata “a’baji’” dengan kata dasar “baji’”, artinya:
baik, enak. Kemudian mendapatkan sufiksi atau tambahan kata “a’”. Sedangkan
dalam bahasa Bugis disebut dengan istilah “maddeceng”. Artinya, suatu
acara yang diselenggarakan untuk memperbaiki kembali (merehabilitasi diri), di
mana kedua mempelai (suami/istri) kembali kepada orangtua atau keluarga
perempuan untuk menyambung silaturrahmi, setelah keduanya melanggar patron adat
perkawinan yang berlaku. Awal mula sehingga peristiwa a’baji’ atau maddeceng
ini terjadi, karena calon mempelai lak-laki dan/atau perempuan tidak
mendapatkan restu dari salah satu pihak keluarga dan/atau kedua belah pihak
untuk menikah, dengan berbagai alasan stratifikasi sosial yang melatarbelakangi,
sehingga kedua calon mempelai tersebut sepakat untuk pergi bersama-sama tanpa
izin orangtua atau keluarga calon mempelai perempuan, yang disebut silariang.
Atau seorang laki-laki dengan sengaja membawa pergi anak perempuan seseorang
yang sudah dalam usia menikah tanpa izin atau sepengetahuan orangtua atau pihak
keluarganya, yang kemudian dinamakan nalariang.
Dalam
menganalisis, tulisan ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif
dengan pendekatan penelitian hukum (legal research). Menurut Sugiyono
bahwa desktiptif kualitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada
filsafat postpositivisme digunakan untuk meneliti pada kondisi objek
yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen), di mana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci teknik pengumpulan data yang dilakukan secara tringulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Penelitian deskriptif
kualitatif ini bertujuan untuk menggambarkan, melukiskan, menerangkan, menjelaskan,
dan menjawab secara lebih rinci permasalahan yang akan diteliti dengan
mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok atau suatu
kejadian. Sedangkan legal research dapat digunakan tidak hanya pada
fakta hukum, peraturan hukum, buku-buku hukum, kasus-kasus hukum, atau
referensi yang digunakan dalam penelitian hukum, melainkan dapat juga dilakukan
penelitian pada perilaku individu-individu dalam masyarakat (behavioral
jurisprudence) atau sering pula disebut dengan istilah “penelitian hukum
empiris/sosiologis/socio-legal.
Kata
Kunci: Sistem perkawinan, a’baji’, silariang, mallariang, mappaenre’,
Bulukumba
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebelum lahirnya undang-undang
tentang perkawinan, pelaksanaan perkawinan di Indonesia diatur dalam tatanan
hukum adat yang begitu apik, berlaku dalam setiap kelompok masyarakat tertentu,
sehingga dapat ditemukan beraneka ragam adat istiadat pelaksanaan perkawinan di
Nusantara dengan latar belakang budaya masing-masing. Ditambah lagi dengan
masuk dan dianutnya ajaran-ajaran agama di Nusantara, semakin menambah bobot
sakralitas perkawinan itu. Karena secara tidak langsung, pelaksanaan perkawinan
mempertemukan dan menggabungkan dua unsur ‘keyakinan’ dengan sumber yang
berbeda, dalam satu kesatuan rumpung keluarga, yang kedua-duanya diyakini dan
dipraktikkan secara bersamaan pula tanpa saling mengindahkan dan/atau
mempertentangkan. Inilah salah satu bentuk pengejawantahan antara adat istiadat
dan ajaran agama, yang membedakan pelaksanaan sistem perkawinan di Indonesia
dengan negara-negara lainnya di dunia.
Bagi masyarakat adat, perkawinan
merupakan hal yang sangat sakral, karena mempertemukan dua rumpung keluarga
dengan latar belakang kepribadian dan sosio-kultural (interculture) yang
‘kemungkinan’ berbeda, sekalipun dalam stratifikasi sosial yang sama. Misalnya,
kedua keluarga berasal dari keturunan raja atau keduanya sama-sama memiliki
kedudukan atau jabatan, atau status sosial yang terpandang tetapi berbeda suku
dan budaya. Apalagi kalau antar-keduanya memiliki strata sosial atau kasta yang
berbeda, maka hukum adat semakin mengikat tatanan kehidupan sosial antar-kedua
mempelai. Misalnya, keturunan raja perempuan menikah dengan laki-laki dalam
strata sosial orang biasa, menurut adat ketika kemudian anak-anaknya lahir,
maka mereka tidak berhak menyandang tambahan “nama” sebagai identitas keturunan
raja, seperti: “Andi” bagi keturunan bangsawan Bugis atau “Karaeng” bagi
keturunan bangsawan Makassar. Termasuk dalam penentuan “mahar” (sunrang)
atau sompa dalam bahasa Bugis pun sangat ditentukan oleh kasta kedua
keluarga mempelai. Kasta inilah sebagai standar untuk menentukan dan menetapkan
mahar bagi perempuan yang dilamar dan penentuan uang atau biaya resepsi
perkawinan. Dalam kebiasaan, mahar ini bisa dalam bentuk: uang, kebun cengkeh,
kebun kopi, sawah, empang, dan sebagainya. Namun dalam masyarakat adat tidak
menganut adanya praktik perkawinan antar-agama yang berbeda keyakinan.
Begitu kuatnya pengaruh adat dalam
hubungan perkawinan, karena akan membentuk dan menjalin hubungan kekeluargaan dan
mempersatukan dua keluarga besar dalam satu rumpung keluarga nantinya, sehingga
kasta harus tetap dipertahankan, bahkan ini juga mempengaruhi dalam sistem
kewarisan. Pengaruh adat ini pula yang seringkali mempengaruhi bahkan
menentukan lamaran seorang laki-laki diterima atau ditolak oleh pihak keluarga
perempuan, sekalipun antar-keduanya sudah saling kenal lama, tetapi ada kalanya
hubungan itu akan dipaksa/terpaksa “berhenti”, karena pengaruh unsur-unsur di
atas.
Belum ada lagi adanya syarat-syarat
perkawinan adat yang sebagian calon pengantin laki-laki dan keluarga begitu
memberatkan, terutama “biaya perkawinan”[1]
(uang panai’), sehingga biasanya keluarga calon pengantin laki-laki
jauh-jauh hari sebelum melamar sudah harus mempersiapkan “modal”, baik dalam
bentuk uang, beras, kayu, hewan (sapi/kuda/kerbau), sunrang/sompa, dan
sebagainya. Karena uang panai’ ini adalah bagian dari siri’[2]
untuk menjaga, melindungi, dan mempertahankan marwah status sosialnya di mata
calon keluarga mempelai perempuan.
Dalam pada itu, seringkali terjadi
pemaksaan kehendak, di mana seorang laki-laki menabrak patron-patron adat yang
begitu kokoh itu hanya sekadar untuk memenuhi dan mewujudkan “cinta-kasih” yang
sudah lama terjalin itu, dengan cara yang melanggar ketentuan-ketentuan adat
setempat, yaitu: sepasang laki-laki dan perempuan sepakat pergi ke suatu tempat
atau daerah tanpa sepengetahuan dan seizin orangtua dan sanak keluarga
perempuan atau dikenal dengan istilah kawin lari (silariang) atau
seorang laki-laki membawa kabur anak perempuan seseorang tanpa izin orangtua
dan sanak keluarganya (mallariang).
Kedua bentuk perkawinan di atas sudah
terjadi dan dipraktikkan sejak turun temurun dalam masyarakat adat di Kindang –
Kabupaten Bulukumba. Faktor utama seorang laki-laki terpaksa melakukan kawin silariang
atau mallariang adalah, karena:
1. Keluarga tidak direstui hubungan mereka,
dengan pertimbangan: status sosial (seperti: perbedaan kasta; keturunan raja
dengan orang biasa/to biasa, perbedaan budaya, pergaulan, agama, dan
lain sebagai).
2. Keluarga pihak calon mempelai laki-laki
tidak mampu memenuhi standar persyaratan penyelenggaraan perkawinan, terutama
uang atau biaya perkawinan (doi’ panai’). Uang atau biaya perkawinan ini
biasanya ditentukan oleh keluarga besar calon mempelai perempuan, yaitu:
saudara-saudara orangtua dan para sepupu (sepupu satu kali = tingkatan
pertama dari keturunan saudara kandung orangtua) calon mempelai perempuan,
bahkan biasanya orangtua tidak terlibat dan hanya menjadi pendengar dalam
pengambilan keputusan rapat tersebut.
3. Seorang laki-laki dengan tekad membawa
kabur anak perempuan seseorang secara paksa ke suatu daerah dengan cara
mengelabui, kemudian dia mengirimkan kabar kepada keluarganya dan keluarga
perempuan bahwa dia membawa anak perempuan si anu, maka anak perempuan tersebut
terpaksa memenuhi kehendak laki-laki tersebut, karena pihak keluarganya sudah
mencap dia di bawah kawin lari (nilariang) dan statusnya sebagai orang
yang dalam keadaan anyyala (status perkawinan yang belum direstui dan
disahkan oleh keluarganya). Kawin nilariang ini terjadi, biasanya
perempuan tersebut cantik tetapi dia tidak mau menerima cinta laki-laki
tersebut atau karena laki-laki tersebut dendam kepada keluarga perempuan, dan
sebagainya.
4. Seorang perempuan mendatangi laki-laki
atau keluarga laki-laki yang dianggap telah mencederai martabatnya sebagai
perempuan suci (mappaengre’ = Bugis atau appanai’ = Makassar).
Misalnya: dia pernah dicium atau dipeluk atau si laki-laki pernah berjanji akan
menikahinya tetapi kemudian dia ingkar janji atau dia tidak mau bertanggung
jawab. Kondisi ini dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu: perempuan mendatangi
laki-laki dan keluarganya minta pertanggungjawaban untuk dinikahi oleh
laki-laki pujaannya itu, maka: (a) pihak keluarga laki-laki meminta perempuan
tersebut kembali ke rumahnya dan akan segera mendatangi keluarganya untuk
melamarnya sesuai adat perkawinan yang berlaku; (b) apabila perempuan tersebut
tidak mau kembali ke rumahnya, karena misalnya sudah hamil, maka dia akan diserahkan
terlebih dahulu ke imam desa atau imam dusun kemudian laki-laki tersebut menikahinya
tanpa disaksikan oleh keluarga perempuan dan pastinya tidak tercatat
pernikahannya di KUA atau di Kantor Catatan Sipil (nikah siri). Dalam
masa perkawinannya itu perempuan berada dalam lindungan suaminya dan keluarga
suaminya dalam statusnya sebagai mayyala, sehingga dia harus
menyembunyikan dirinya dari pihak keluarganya, hingga laki-laki tersebut
memiliki kemampuan untuk datang menyambung silaturrahmi dengan keluarga
istrinya (ma’baji’) untuk memulihkan kembali nama baik dan martabatnya serta
martabat istrinya di mata keluarga istrinya (appaengteng atau mappatettong
siri’); (c) apabila laki-laki yang didatangi tidak mau bertanggungjawab atas
perbuatannya kepada perempuan tersebut, kemudian perempuan tersebut menyerahkan
diri kepada imam dusun atau imam desa setempat. Namun tidak lama kemudian ada
laki-laki lain yang mau menikahi perempuan tersebut secara sukarela, maka
kedudukan laki-laki ini dianggap sebagai pemenuhan harkat dan martabat
perempuan tersebut atau dikenal dengan istilah pattongko’ siri’.
Kemudian dia bersama suaminya itu datang menemui keluarganya untuk kembali
memulihkan nama baiknya dan menyambung silaturrahmi (ma’baji’); serta
(d) dalam masa nilariang (pelariannya) itu, tiba-tiba suami siri
perempuan tersebut meninggal dunia atau kabur dari tempat tinggalnya selama
ini, sehingga tidak diketahui lagi alamatnya dan tidak ada lagi kabar tentang
kondisi hidup-matinya, maka perempuan tersebut dapat juga mengupayakan dirinya
sendiri untuk kembali memulihkan martabat dan menyambung jalinan silaturrahmi
dengan keluarganya melalui upacara ma’baji’.
Keempat faktor di atas itulah yang
menjadi dasar sehingga laki-laki dan perempuan melakukan upaya: silariang,
mallariang/nilariang, dan appanai’ atau mappaengre’ dalam
budaya perkawinan masyarakat di Kindang.
Selain itu, sebagai masyarakat
penganut agama Islam mayoritas, masyarakat adat Kindang sangat patuh terhadap
simbol-simbol dan identitas keagamaannya, apalagi kalau hal itu langsung
bersinggungan dengan adat istiadatnya, maka pasti ditegakkan dengan segala
upayanya. Karena perkawinan merupakan perpaduan praktik keagamaan dan adat
istiadat, maka secara otomatis masyarakat Kindang menyakini bahwa dalam ajaran
Islam dilarang adanya hubungan seksual di luar pernikahan sesuai dengan
ketentuan ajaran agama serta adat istiadat, maka apabila terjadi praktik kawin:
silariang, mallariang/nilariang, maka pihak aparat dan tokoh
masyarakat setempat sesegera mungkin menikahkan mereka, dengan memenuhi rukun
dan syarat-syarat perkawinan dalam ajaran Islam sesuai kemampuan kedua
mempelai, walau tidak dihadiri dan disaksikan oleh pihak keluarga kedua
mempelai atau dikenal dengan istilah “kawin di bawah tangan”. Di mana yang
bertindak sebagai penghulu adalah imam desa atau imam dusun atau tokoh agama
setempat. Calon mempelai laki-laki menyerahkan mahar (maskawin) dan kadang
mengadakan acara syukuran semampunya serta disaksikan oleh masyarakat atau
orang-orang tertentu di tempat tersebut. Praktik perkawinan tersebut dianggap
dalam keadaan darurat dan hanya jalan itulah satu-satunya agar kedua pasang
tersebut terhindar dari perbuatan zina.
Kerangka Konseptual
Silariang
adalah suatu tindakan yang didahului adanya kesepakatan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan pergi secara bersama-sama ke suatu
tempat/daerah untuk menjalin hubungan perkawinan dan melangsungkan kehidupannya
sebagai suami dan istri, tanpa izin dan persetujuan orangtua dan keluarga perempuan
terlebih dahulu.
Mallariang
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang laki membawa pergi seorang
perempuan, baik karena sepakat maupun terpaksa untuk dinikahi ke suatu
tempat/daerah dan melangsungkan kehidupannya sebagai suami dan istri, tanpa
izin dan persetujuan orangtua dan keluarga perempuan terlebih dahulu.
Nilariang
adalah suatu tindakan di mana seorang perempuan dibawa pergi oleh seorang laki,
baik karena sepakat maupun terpaksa untuk menikah ke suatu tempat/daerah dan
melangsungkan kehidupannya sebagai suami dan istri, tanpa izin dan persetujuan
orangtua dan keluarga perempuan terlebih dahulu.
Mappaengre’
(Bugis) atau appanai (Makassar) adalah suatu tindakan yang dilakukan
oleh seorang perempuan dengan mendatangi dan melaporkan tindakan asusila atau
pelecehan seksual seorang laki-laki kepada imam dusun/imam desa wilayah tempat
tinggal laki-laki tersebut, baik dalam keadaan hamil atau tidak hamil.
Ma’baji’
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pasangan suami dan istri yang telah
melakukan tindakan silariang, mallariang, nilariang atau mappaenre’/appanai
untuk kembali memperbaiki nama baiknya dan menjalin hubungan silaturahmi dalam
statusnya sebagai orang yang diasingkan (manyyala) kepada orangtua dan
keluarga besar istrinya, dengan mengikuti adat upacara a’baji.
Siri’
adalah marwah harkat dan martabat serta jati diri setiap individu dalam batasan
kriteria atau standar adat masyarakat Bugsi-Makassar yang wajib dijaga,
dilindungi, dan dipertahankan sepanjang masa.
Kerangka Teoritis
…………….
METODE PENELITIAN
Dalam menganalisis pokok masalah di
atas, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif (qualitative
descriptive analysis), dengan pendekatan penelitian hukum (legal
research).
Menurut Sugiyono bahwa desktiptif
kualitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya
adalah eksperimen), di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci teknik
pengumpulan data dilakukan secara tringulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
daripada generalisasi (Sugiyono, 2016:9).
Adapun postpositivisme sendiri
merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada positivisme. Postpositivisme
sependapat dengan positivisme bahwa realitas itu memang nyata, ada sesuai hukum
alam. Tetapi pada sisi lain, postpositivisme berpendapat bahwa manusia tidak
mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak
dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan
antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu
menggunakan prinsip triangulasi (gabungan), yaitu penggunaan bermacam-macam
metode, sumber data, dan lain-lain (sumber,…:…). Sedangkan positivisme adalah satu aliran filsafat yang
menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Positivisme muncul
pada abad ke 19 dengan dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, sesungguhnya
pendiri filsafat positivis adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru
sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus
mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.
Keyakinan dasar aliran positivisme berakar pada paham ontologi realisme yang
menyatakan bahwa realitas berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan
hukum alam (natural laws). Penelitian berupaya mengungkap kebenaran
realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan
(sumber,…:…).
Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan
untuk menggambarkan, melukiskan, menerangkan, menjelaskan, dan menjawab secara
lebih rinci permasalahan yang akan diteliti dengan mempelajari semaksimal
mungkin seorang individu, suatu kelompok atau suatu kejadian (Sugiyono, 2016:9).
Sedangkan legal research dapat digunakan tidak hanya pada fakta hukum,
peraturan hukum, buku-buku hukum, kasus-kasus hukum, atau referensi yang
digunakan dalam penelitian hukum, melainkan dapat juga dilakukan penelitian
pada perilaku individu-individu dalam masyarakat (behavioral jurisprudence)
atau sering pula disebut dengan istilah “penelitian hukum empiris/sosiologis/socio-legal
(Peter M. Marzuki, …:…).
Studi ini dilakukan melalui
penelitian lapangan (field reseacrh) di Desa Kindang Kecamatan Kindang
Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dengan melibatkan tokoh masyarakat dan
tokoh agama setempat termasuk kepada mantan pelaku perkawinan silariang
dan nilariang melalui wawancara. Dalam wawancara tersebut dilakukan
pendalaman materi terhadap kajian a’baji dalam praktik perkawinan
masyarakat Kindang.
Sumber data yang diperoleh dari informan
ini menjadi subjek penelitian, yang terdiri dari: kepala desa, imam desa, imam
dusun, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta para pelaku perkawinan silariang
dan nilariang. Data-data primer ini
kemudian diperkuat dengan data skunder, berupa dokumen perpustakaan, seperti:
buku, undang-undang, lontara’, makalah, jurnal, media online, dan
website. Data-data yang terkumpul tersebut, kemudian dianalisis secara kualitatif
deskriptif dengan pendekatan penelitian hukum.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Profil Desa Kindang
Tata Cara Melangsungkan Perkawinan dalam Masyarakat
Adat Kindang
Praktik Perkawinan Silariang atau Nilariang
Ada beberapa bentuk praktik
perkawinan bagi masyarakat adat Kindang selain menikah secara normal
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku seperti yang dijelaskan di atas,
tetapi dapat juga dilakukan dengan melanggar ketentuan tersebut, sekalipun
membawa konsekuensi sebagai perbuatan asusila serta bersedia untuk diasingkan,
baik dalam jangka waktu yang tertentu maupun selamanya oleh keluarga besar
pihak perempuan.
Bentuk-bentuk perkawinan yang
melanggar ketentuan hukum yang berlaku tetapi dapat diakomodiri oleh hukum adat
bagi masyarakat Kindang adalah:
1.
Silariang
2.
Nilariang
3.
Mappaenre
atau appanai’…
Upacara A’baji’
Akibat tindakan seorang laki-laki
membawa pergi seorang perempuan tanpa izin dan persetujuan orangtua dan
keluarga si perempuan untuk menjalin hubungan dan membina rumah tangga sebagai
suami-istri (silariang atau nilariang), maka selama masa
pelariannya itu mereka berstatus sebagai orang yang diasingkan oleh keluarga
besar perempuan (anyyala). Oleh karena itu, mereka tidak leluasa untuk
bergerak dan pergi ke mana-mana, karena diri mereka terancam apabila ditemukan
atau bertemu keluarga perempuan tersebut. Kalau pun secara tidak sengaja
bertemu di suatu tempat, maka laki-laki dan perempuan tersebut dengan
kesadarannya sendiri menghindar dan pergi menjauh.
Upaya untuk memulihkan kembali nama
baiknya sebagai orang yang berstatus sebagai orang yang diasingkan oleh pihak
keluarga besar perempuan, maka pihak laki-laki dan keluarganya memberitahukan
kepada pihak keluarga perempuan bahwa mereka akan kembali memulihkan nama baik
dirinya bersama istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Cara untuk memulihkan
nama baik orang yang berada dalam status sebagai tau nyala disebut a’baji,
yaitu suatu upacara yang dilakukan oleh pihak orangtua perempuan dengan
terlebih dahulu mengabarkan kepada seluruh keluarga besarnya tanpa terkecuali,
kemudian menentukan hari dan tanggal pelaksanaan acara ma’baji’, lalu
kembali orangtua perempuan mengundang seluruh keluarga besarnya itu untuk
menghadiri acara ma’baji’ anak dan menantu beserta anak-anak yang
dilahirkannya selama dalam masa pelariannya itu.
Acara ma’baji ini tidak jauh
berbeda dengan acara resepsi pernikahan dalam perkawinan biasanya. Bedanya,
karena diselingi adanya upacara a’baji serta acara resepsinya diadakan
sangat sederhana, karena hanya dihadiri oleh sebagian keluarga laki-laki yang
ikut mengantar dan keluarga perempuan saja.
Tata cara upacara a’baji
dilakukan dengan ….
Pengesahan Perkawinan Silariang
atau Nilariang
……………………
Kedudukan hukum anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan silariang atau nilariang, dan dampak
hukumnya ketika orangtuanya cerai hidup atau cerai mati sebelum mendapatkan
pengesahan perkawinan dari Pengadilan setempat.
Bagaimana negara melindungi dan
memberi identitas anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan silariang
atau nilariang untuk melegitimasi serta menjaga kedudukan anak yang
dilahirkan itu sebagai anak yang berhak mendapatkan identitas kewarganegaraan
yang sah dalam hukum yang berlaku di Indonesia.
Kedudukan Nikah Siri dalam Hukum Pidana Perkawinan
Indonesia
…………………
PENUTUP
Kesimpulan
…………………
Rekomendasi
…………………
DAFTAR
PUSTAKA
Sugiyono.
(2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: PT
Alfabet.
[1]Istilah uang panai’
(Makassar) atau uang menre’ dalam bahasa Bugis lebih tepat disebut
dengan uang atau biaya resepsi perkawinan. Karena dalam praktiknya, setelah
pihak keluarga laki-laki melakukan upaya pendekatan untuk menelusuri jejak dan
status calon mempelai perempuan (ma’manu’-manu’), di mana pihak
laki-laki mendatangi keluarga perempuan secara diam-diam (rahasia), yang
biasanya dilakukan oleh kalangan perempuan, untuk memastikan identitas dan
status perempuan yang akan dilamar... Ketika seluruhnya ketika keluarga atau perwakilan keluarga
calon mempelai laki-laki datang melamar kepada keluarga calon perempuan dalam
sebuah acara “lamaran”. Setelah lamaran diterima pihak perempuan mengajukan
beberapa syarat yang terkait dengan kelangsungan acara perkawinan kedua
mempelai.
[2]Dalam masyarakat adat
Bugis-Makassar di setiap orang dari sejak kecil sudah ditanamkan tekad melalui
petuah-petuah (paseng = Bugis atau pasang = Makkasar) orang tua
untuk selalu memegang budaya siri’ dalam kehidupan sosial-bermasyakarat.
Siri’ adalah harkat dan martabat atau nilai-nilai kemanusiaan dalam
standar masyarakat Bugis-Makassar setiap individu yang wajib dijaga dan
dilindungi. Apabila ada yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan, maka wajib
ditegakkan kembali (appaengteng siri’ = Makassar atau dalam bahasa Bugir
= mappatettong siri’), karena kalau seseorang yang dilarang siri’-nya
lalu tidak ditegakkannya kembali, maka dia akan kehilangan siri’-nya
(Bugis=ta’be siri’na). Ketika hilang martabat siri’-nya, misalnya
karena takut (mapilloreng) dia tegakkan, maka di mata masyarakat
dianggaplah dia sebagai orang yang mempermalukan atau merendahkan jati dirinya
sebagai manusia yang bermartabat (mappakasiri’ siri’), maka di sinilah
biasanya keluarga yang turun tangan menyelesaikannya, baik dengan cara
bijaksana atau sekalin pun dengan kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar